Sepanjang perjalanan pulang, Theo terus bertanya ada apa denganku. Mulutku terkatup. Malas bicara, sedang mataku masih bengkak bekas menangis semalaman.
Pagi-pagi sekali, sebelum Om dan Tante Baskoro bangun dari tidur, aku langsung meminta Theo untuk pulang. Kalau dia tidak mau mengantar, maka aku akan pulang sendiri. Tak ada pilihan, Theo terpaksa mengantarku meski yang lain masih terlelap dalam dunia mimpi, termasuk Nicholas.
"Kamu yakin nggak apa-apa, May?" Theo bertanya terakhir kali saat aku baru akan masuk ke dalam indekost.
Tanganku terkepal di kedua sisi. "Kamu pulang aja sekarang. Aku masih ngantuk. Mau lanjut tidur lagi," kataku dingin, tanpa berbalik menghadap dirinya.
Aku tahu, kadang-kadang, aku terlalu jahat kepada Theo. Padahal dia tak bersalah sama sekali. Tapi apa lagi yang bisa aku perbuat? Melihatnya sekarang hanya mengingatkanku kepada Nicholas.
***
Surat pengunduran diri kupegang erat di tangan sembari berjalan menuju ru
Bibirku meliuk-liuk gugup. Kalau memang Cherry hanya teman untuk bersenang-senang, lantas aku akan dijadikan apa? Predikat apa yang akan disematkan Nicholas kepadaku?"Kok bengong? Masih ragu? Kamu pikir aku bohong? Kamu bisa tanya Cherry!" Intonasi Nicholas meninggi.Kepalaku menggeleng pelan. "Bukannya aku ragu, tapi ...""Pokoknya tinggalin Theo! Kamu lepasin dia!" sela Nicholas."Kamu sendiri? Kalau aku lepasin Theo, apa kamu mau lepasin Cherry juga?" tanyaku pelan, arah mataku jatuh ke lantai, agak malu bertanya seperti ini.Jemari lentik Nicholas menyentuh daguku, mengangkat mukaku, mempertemukan mata kami lagi. "Kalau aku udah memiliki kamu, apa lagi alasan dia ada di dekat aku? Aku cuma butuh kamu sekarang."Secara tidak langsung, Nicholas mengatakan kalau aku akan menggantikan posisi Cherry! Itu artinya ... Aku akan ... "Nggak mau! Nggak mau kalau gitu!" Aku langsung menepis tangannya."Nggak mau apa?" Kening Nicholas mengeru
"Kebetulan atau apa, nih? Ketemu sejoli lagi pacaran juga di sini." Cherry tanpa basa-basi langsung duduk di meja kami.Aku dan Theo saling melempar pandang, mata kami kompak sepakat mengatakan kalau Cherry tak semestinya ada di sini. Sementara itu, Cherry nampak cuek saja, memanggil pelayan untuk memesan makanan. Diliriknya Nicholas yang masih bimbang untuk duduk atau tidak."Kamu ngapain tegak di situ? Bengong aja, kayak penagih utang. Ayo duduk, Yang!" panggil Cherry.Sekilas Nicholas mendecakkan lidah sebal, tapi akhirnya ikut duduk juga, di samping kiriku, di hadapan Cherry. Selama lebih dari lima menit kami semua diam. Untunglah makanan Theo sudah habis dia santap."Ayo pulang, Theo. Kamu udah kelar makan, kan?" Aku berniat untuk berdiri dari kursi.Tiada angin, tiada hujan, Nicholas tiba-tiba memegang punggung tanganku yang berada di atas meja. Mata kami bertabrakan. "Ngapain buru-buru? Aku traktir. Pesan aja lagi, minimal minuman." Suaranya
Di dalam kamar mandi, aku menunggu dengan harap-harap cemas. Semoga tak ada yang direncanakan oleh Nicholas. Semoga aku lolos malam ini. Hatiku terus merapal segala mantra."Nih, handuknya ..."Pintu kamar mandi diketuk pelan. "Jangan liat ke sini! Arahkan aja tangan kamu ke dekat pintu!" pintaku sebelum perlahan membuka pintu kamar mandi."Ya, bawel! Buruan! Nih, aku udah ada di depan kamar mandi!"Kutilik sesaat keluar, ada tangan Nicholas memegang handuk. Pelan-pelan aku keluarkan tanganku pula, menarik handuk itu. Syukurlah sampai aku tutup kembali pintu kamar mandi, dia tak mengulah."Kamu jangan liat ke arah aku, ya! Aku keluar cuma buat ambil baju aku aja!" kataku memberi peringatan usai melilitkan handuk menutupi dada sampai setengah paha."Hm! Udah sana buruan, jangan kelamaan."Kaki kananku akhirnya melangkah keluar, tujuanku adalah lemari pakaian. Sehabis mengambil piyama tidur, aku mesti kembali ke kamar mandi untuk mengen
Di dalam kamar mandi, aku menunggu dengan harap-harap cemas. Semoga tak ada yang direncanakan oleh Nicholas. Semoga aku lolos malam ini. Hatiku terus merapal segala mantra. "Nih, handuknya ..." Pintu kamar mandi diketuk pelan. "Jangan liat ke sini! Arahkan aja tangan kamu ke dekat pintu!" pintaku sebelum perlahan membuka pintu kamar mandi. "Ya, bawel! Buruan! Nih, aku udah ada di depan kamar mandi!" Kutilik sesaat keluar, ada tangan Nicholas memegang handuk. Pelan-pelan aku keluarkan tanganku pula, menarik handuk itu. Syukurlah sampai aku tutup kembali pintu kamar mandi, dia tak mengulah. "Kamu jangan liat ke arah aku, ya! Aku keluar cuma buat ambil baju aku aja!" kataku memberi peringatan usai melilitkan handuk menutupi dada sampai setengah paha. "Hm! Udah sana buruan, jangan kelamaan." Kaki kananku akhirnya melangkah keluar, tujuanku adalah lemari pakaian. Sehabis mengambil piyama tidur, aku mesti kembali ke kamar mandi untuk
Ribuan kupu-kupu seolah sedang berenang di dalam perutku saat aku mendengar suara ikat pinggang dibuka. Mataku sudah terpejam kuat, kedua tangan terkepal di depan muka. Aku belum siap. Aku belum siap. Kalimat itu terus kurapalkan bagai mantra dalam dada.Ikat pinggang telah lepas dari celana Nicholas. Sekarang yang lebih membuat aku gugup, aku mendengar suara resleting celana yang diturunkan. Darah di tubuhku mengalir deras layaknya air terjun. Dari ujung kepala sampai ujung kaki.Kepala Nicholas turun, memberi satu ciuman mesra di atas perutku, tepat di atas pusarku. Duniaku berputar, melayang, telinga serasa berdenging. Celananya telah dia lepaskan, aku bisa mendengar dan merasakannya.Kedua kakiku masih terbuka, Nicholas terasa kian dekat, dan sepertinya akan mencapai tujuannya. Mataku masih tertutup rapat. Baiklah, ini adalah penentuannya. Aku harus melakukan sesuatu kalau mau selamat."Aku masukin sekarang ya, Sa--"Belum selesai mulut Nichola
Setelah sedikit cekcok di depan ruang kerja Nicholas, aku tak tahu bahwa ternyata saat itu juga Theo naik ke lantai atas untuk menemui ayahnya. Tanpa memberi salam, Theo membuka pintu ruang kerja CEO, Om Baskoro."Papa sibuk?" Theo menyapa.Om Baskoro yang sedang mengecek beberapa berkas langsung menoleh ke sumber suara. "O ... hei, Theo. Udah adtang kamu? Gimana kerja hari pertama di sini? Nyaman?" tanya Om Baskoro tanpa beralih dari pekerjaannya."Sebetulnya ada sesuatu yang mau aku minta, Pa." Theo duduk di hadapan ayahnya."Minta apa lagi? Mau ruang kerja baru? Ngomong sama staf aja, Theo.""Bukan itu. Ini soal Bang Nicholas."Jemari Om Baskoro langsung berhenti bergerak, kepalanya tegak kembali menatap putera bungsunya. "Kenapa sama abang kamu? Kalian ada masalah lagi?""Kalau aku bisa minta sama Papa, apa bisa Papa pindahkan Bang Nicho ke ... cabang yang lain? Ke Jepang mungkin? Atau ke perusahaan punya Opa di Amerika. Nggak usa
Kenapa sebuah sandiwara akhirnya bisa membuatku terjebak dalam situasi ini? Apa sebaiknya aku memberi tahu Nicholas kalau aku dan Theo sesungguhnya tidak punya hubungan apa-apa selain bersahabat? Tidak. Mayang, jangan egois. Kalau aku lakukan itu, bagaimana dengan Theo? Theo akan menanggung malu. Malu untuk seumur hidup. Selamanya dia akan menjadi bahan cemoohan keluarganya.Misiku adalah untuk membantu Theo, bukannya malah merusak hidupnya. Tapi jika sudah begini, aku sebaiknya bagaimana? Sekarang memang aku mesti memilih, Theo atau Nicholas."Nicholas, aku ..., aku janji nanti bakal ngomong sama Theo. Aku janji. Kamu jangan marah. Aku akan minta putus." Kupegang lagi tangan Nicholas.Bujukanku tampaknya tak mempan. Mata Nicholas masih nyalang. "Aku mau temuin Theo dulu!" katanya galak.Sungguh sebuah ide yang buruk dalam kondisi mereka masih sama-sama panas, terutama Nicholas. Jika salah langkah, Theo bisa babak belur di tangannya."Aku mohon, Ni
Ungkapan perasaan Theo masih merajai kepalaku. Sulit untuk aku percaya, sahabatku sendiri, tak aku sangka sama sekali bahwa selama ini dia memiliki perasaan kepadaku. Mengingat sikapnya terhadap Nicholas, aku bisa mengerti. Wajar saja dia mendadak cemburu tak menentu.Dan, yang penting, sekarang aku harus bagaimana? Theo punya tempat khusus di hatiku. Dia adalah orang yang menemaniku selama ini, sebagai sahabat setia di saat duka maupun bahagia. Sementara Nicholas? Aku baru mengenalnya beberapa bulan terakhir. Namun, aku mencintai dia. Mesti aku akui, aku telah jatuh kepadanya.Saat ini, aku terjepit. Theo membenciku. Nicholas pun marah kepadaku. Akan lebih baik kalau aku bisa menghilang saja.***Sampai jam pulang kerja, Nicholas tak juga kembali, aku tak tahu dia ke mana. Malam ini sepertinya akan aku habiskan dengan perasaan gundah gulana. Pukul 11 malam, setelah siap makan malam yang terlalu terlambat dan hendak pergi tidur, pintu kamar indekosku dike