“Maaf Sayang, bukannya ingin berkhianat, tapi aku—“Bagus tak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia terus menatap nisan dihadapannya dengan penuh rasa bersalah. Seminggu terhitung sejak hari ini ia akan melangsungkan pernikahan dengan Kayla, wanita yang telah ia pilih menjadi ibu sambung bagi Adiba.“Cintaku tetap sama dan namamu akan kutempatkan pada bagian yang paling spesial dihatiku selamanya. Semoga kamu mengerti.”Terkadang kata hati tak sejalan dengan pikiran. Dua minggu yang lalu, ia nekat meminang Kayla dan memintanya menjadi bagian dari hidupnya.“Terima kasih sudah mau menerima undangan kami Kay,” ucap Bagus pada sosok wanita yang kini memakai topi lebar yang digunakan untuk melindungi wajahnya dari terik matahari.“Sama-sama, Mas. Aku senang kalian mau ngajak aku.”Atas permintaan Adiba, Bagus sengaja mengajak Kayla liburan ke pantai untuk merayakan hari ulang tahun Adiba yang ke enam. Meski hanya liburan sederhana namun kali ini terasa spesial karena ada seorang wanita bera
“Mbak, beli sayur kentangnya lima ribu sama tempe lima biji, ya,” ucap Rini yang tengah berdiri berjejal dengan beberapa ibu-ibu di rumah Sari – penjual sayur matang yang terletak tepat di seberang rumahnya.“Lima ribu enggak dapat sayur kentang! Mending beli sayur bening aja, nih dapet seplastik! Lumayan kalo sekali makan airnya di kasih dua sendok, bisa buat sampe sore,” jawab Sari ketus sembari menyodorkan satu bungkus sayur bayam.“Tapi Bayu kepingin sayur kentang, Mbak. Dapet sedikit enggak apa-apa, kok.” “Kentang mentahnya aja udah mahal, apa lagi ini ditambah krecek sapi, apa mau kuahnya aja? Lagian enggak punya uang enggak usah sok-sokan kepengin sayur kentang. Kamu itu lebih baik makannya sama garam, biar irit. Jadi sisa uangnya bisa ditabung buat beli baju. Lihat tuh, seragam Bagus, lap mejaku aja lebih bersih dari baju anak kamu. Baru kelas satu kok bajunya udah jelek gitu, jangan-jangan itu bekas bapaknya jaman dulu,” ejek Sari menunjuk pada anak berseragam putih merah ya
“Rin-Rini, kamu di dalam enggak?” Suara seorang wanita menggema dari pintu depan rumah Rini.“I-Iya, Sebentar!” Dengan sigap Rini langsung memasukkan kembali uang-uang tersebut ke dalam amplop dan meletakkannya di tempat semula. Rini menyambar hijabnya kemudian bergegas menemui wanita yang suaranya telah ia hafal. “Ada apa, Mbak?” tanya Rini pada Farida yang datang bersama anaknya perempuannya.“Rin, pinjam duit lima puluh ribu. Sila muntah-muntah terus, aku enggak pegang uang sama sekali buat ke dokter.” “Tapi, Mbak, aku juga enggak punya duit, lagi pula Mas Budi sampai sekarang belum kirim uang.”“Kamu perhitungan sama aku, hah? Gini-gini aku juga kakaknya Budi, masa iya mau pinjem uang adiknya aja enggak boleh. Apa kamu enggak kasihan sama Sila?” ucapnya dengan nada memelas.Ranti melirik pada bocah perempuan berwajah pucat dalam gendongan kakak iparnya. Tubuhnya yang kurus berbanding terbalik dengan mamanya yang tumbuh subur ke atas dan ke samping. Mata Rini melebar tatkala pan
“Mau beli apa, Rin?” bisik Santi - salah satu tetangga Rini yang sedang berjalan beriringan menuju rumah Sari.“Beli ayam goreng, Bu. Ari pengin makan ayam, tapi aku enggak sempat masak, buru-buru mau kerja.”“Kamu bawa duit berapa?” cegah Santi menghentikan langkahnya.Rini mengerutkan dahi mendengar pertanyaan wanita bergelar Bu RT itu. “Ini aku pinjami duitku dulu, kamu bisa balikin kapan-kapan. Kasihan aku kalo liat kamu yang dihina terus sama Sari,” ujar Santi menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan.Hati Rini tiba-tiba menghangat, tak menyangka karena ternyata ada tetangga yang perhatian padanya.“Makasih, Bu RT. Alhamdulillah aku lagi ada sedikit rezeki, jadi bisa beli ayam goreng,” tolaknya lembut.“Oh, ya sudah kalo begitu. Kalo ada apa- apa bilang aja sama aku, ya. Jangan biarin si Sari menghina kamu terus. Tuman tau!” Rini mengangguk lalu berjalan kembali ke rumah Sari. Sebenarnya penjual sayur matang bukan Cuma Sari tapi berhubung rumah mereka berhadapan Rini menjad
Tak seperti hari-hari sebelumnya, kini Rini sudah tak berharap banyak dengan Budi. Dimulai dari terpaksa, ia sudah mulai terbiasa hidup dan mencari uang sendiri. Dia meyakini bahwa Tuhan pasti telah menakar rezekinya dari awal, nyatanya semakin hari pekerjaan Rini semakin banyak hingga tanpa mengambil jatah dari Budi pun ia dan anak-anaknya bisa makan.Rini mematut dirinya di depan cermin, ia tengah mengamati bintik-bintik hitam yang mulai timbul di wajahnya. Berhadapan dengan panas matahari dan debu setiap hari membuatnya terlihat lebih tua dari usianya, terlebih lagi ia sudah lupa kapan terakhir kali membeli produk perawatan wajah. Benar-benar mengenaskan.“Assalamualaikum, Nduk.”“Waalaikum salam...” Mata Rini berbinar tatkala melihat wajah yang telah lama di rindukan. Sedetik kemudian ia mengambur pada pelukan wanita dan lelaki berusia senja yang baru saja turun dari becak motor.“Sehat, Bu, Pak.” Bergantian Rini mencium tangan mereka takdim.Setelah acara kangen-kangenan selesai
“Semua teman-teman Ari udah sunat, Ma. Aku kapan?” tanya Ari saat Rini baru saja pulang menghadiri hajatan salah satu tetangganya yang baru saja menyunati anaknya.“Sebentar lagi ya, Nak. Nunggu mama kumpulin uang dulu buat bikin selamatan,” jawab Rini pelan.Mungkin Ari sudah bosan dengan jawaban yang selalu terlontar dari mulut Rini saat anak sulungnya yang sebentar lagi akan menginjak kelas enam bertanya kapan ia di sunati.“Enggak usah pake selamatan segala, Ma. Kita langsung ke Pak Mantri aja. Aku enggak apa-apa kok enggak dapet amplop dari tetangga.”Mata Rini berkaca-kaca mendengar perkataan anak pertamanya itu. Rata-rata anak-anak di kampungnya minta sunat karena tergiur oleh amplop yang akan di berikan para tetangganya agar bisa membeli sepeda atau barang-barang yang diinginkannya. Sudah menjadi tradisi di kampunya, para tetangga akan memberikan uang saku kepada anak yang baru saja di sunat. Mau tak mau sebagai orang tua harus menyediakan makanan untuk suguhan dan memberikan
[Mas, bulan depan bisa enggak kirim uang lebih. Ari minta di sunati]Dengan cepat jari-jari Rini mengetik pesan untuk suaminya. Sebulan lagi anak sulungnya akan naik ke kelas enam, itu artinya ia harus menepati janjinya untuk menyunatinya.[Aku usahakan ya, Dek. Tapi kalo enggak bisa kamu cari utangan dulu di situ, nanti aku yang bayar]Rini mencebikkan bibir membaca balasan dari suaminya. Jawaban yang sama setiap ia meminta uang lebih untuk membeli keperluan anak-anaknya.[Tapi Ari sudah besar, Mas. Dia malu karena satu kelas dia sendiri yang belum sunat. Kamu jadi Bapaknya mbok ya mikir]Dengan perasaan geram Rini kembali membalas pesan Budi. [Ya, mau gimana lagi, kerjaan lagi susah, Dek.]“Susah kok tahunan,” gerutu Rini.[Bulan depan dan seterusnya enggak usah kirim uang, aku sudah tak butuh uangmu]Setelah mengirim balasan untuk Budi Rini melempar kasar ponselnya ke atas ranjang. Percuma saja di meminta uang pada suaminya kalo ujung-ujungnya di suruh hutang. Lagi pula sejak awal
“Astaga, benar-benar keterlaluan si Sari,” pekik Wulan sembari menunjukkan selembar uang berwarna ungu.“Kenapa?” tanya Rini heran.“Masa iya kondangan Cuma sepuluh ribu.”“Ah, kamu salah kali, paling tadi ada yang jatuh pas kamu ambil uangnya,” ucap Rini sembari merapikan amplop kosong di hadapannya.“Beneran cuma sepuluh ribu. Liat, nih” Wulan membolak-balikkan uang di tangannya.“Enggak apa-apa, lagian ini hanya syukuran. Jadi mereka enggak wajib ngasih amplop."Kemarin Rini menepati janjinya untuk menyunati anak sulungnya. Seperti umumnya, ia membuat selamatan dan menyediakan makan juga bingkisan untuk para tetangga dan saudara yang datang. Bermodalkan uang dari orang tuanya dan sedikit uang tabungannya akhirnya ia bisa melaksanakan kewajiban sebagai orang tua, tentu saja tanpa bantuan Budi, suaminya yang tak tahu diri.“Kalo kayak gini kamu rugi, dong! Masak udah makan di kasih bingkisan cuma ngasih sepuluh ribu. Gayanya aja selangit, eh enggak taunya pelit," cibir wanita berginc