Rini harus berjuang memenuhi kebutuhannya juga kedua anaknya karena minimnya uang bulanan yang diberikan suaminya yang bekerja diluar negeri. Belum lagi permasalahan dengan tetangga dan saudaranya membuat hidupnya semakin rumit. Ditengah kehidupannya yang serba kekurangan, ia dihadapkan pada seseorang misterius yang rajin mengiriminya uang jutaan rupiah. Apakah Rini tergiur dengan uang tersebut atau terus mempertahankan harga dirinya untuk tak memakainya?
View MoreShe shielded herself behind a thick oak tree. Her black hair pulled back into a loose braid draped over her shoulder. A light blue cotton dress fell to her ankles and hugged her hips. Her dark eyes drifted up to the white balcony of the Manor with eager impatience. The breeze rustled the summer leaves above her and carried her scent away from the direction of the Manor. She was grateful that Nature had been benefiting her this night. However, she still took the precautionary measures and laced herself with oils and herbs to help blend herself into the environment that surrounded her.
Light from the balcony doors swiveled and swayed while shadows danced across space. Voices sounded from within, mumbled through the windowpane as a barrier. The door suddenly opened, and she tucked herself behind the trunk while she dared herself to peek around it carefully. Heavy footsteps across the marble tiles as a man approached the ledge. Her eyes shined at his glorious frame that was outlined in the lantern light, but the help of the moon gave way to his marvelous facial features. Jet black hair combed back, his chiseled jawline would make the angels envious. His blue eyes were dark as a storm at sea. He adorned a white button up with the sleeves rolled up on the forearms.
"Your Majesty?" A woman's voice spoke up from behind him. The woman stepped forward, her black hair with a tease of silver at the roots pulled back into a neat bun on the back of her head. She stopped beside him, her arms folded across the white ruffles of her blouse and a red coat rested on her shoulders.
"You know you do not need to address me in such a way, Mother." He stated as he rested his arms on the ledge and leaned against it. The woman smiled to herself as she admired his glorious form under the moonlight.
"I know that this troubles you, dear." She said.
"Troubled? How could I be troubled?" He asked with dripping sarcasm. "My reign is in danger so long as I do not have a Mate."
"It is not as if previous Kings did not have the same problem." She said as she gazed out over the terrain. "Most just had their bonds before their time was..." Her words faded away.
"Exactly." He growled as he brushed his fingers through his hair. "My Mate could be across the ocean for all I know." Sadness latched onto his tone. The woman pressed her hand against the ache in her chest.
"It's not too late." The woman said as she rested her hand on his forearm. "She will come to you when you need her most." She gave his arm a squeeze before she turned her back to the dark forest. "Come now. We still have the war to deal with as well." His mother sighed deeply.
"Right." He sighed. "General Washington requested aid, correct?" He asked her as he followed her back inside and closed the door behind themselves. The woman shut her eyes as her heart raced within her chest and a smile spread across her lips.
"I could help him..."
----------
With each day that passed, she spent her time with her nose in the books while she lived in her tiny studied her mentor gave her. As the sun dipped low below the horizon and gave way to the moon to be her company, she fixated on the idea of assisting the King at any costs. Dark bags rested beneath her eyes as evidence of her sleepless nights and her body grew frail over time from the lack of nutrition. She could sense the worry from her fellow Witches, from her mentor and from Janice, but nothing would sway her.
"There has to be something I can provide." She grumbled softly to herself as she read through the "Summoning" Grimoire for the third time.
"Karmina?" A woman peeked her head into the candlelit room. Loose strands of grey hair swayed freely from her low ponytail held back by a ribbon. "It's time to eat, dear."
"I am not hungry. You may give my plate to one of the others." She suggested without glancing her way. The woman frowned as she stepped into the room and scanned the open grimoires that were scattered around.
"You are passing on another meal." She said with concern. She peered over Karmina's shoulder curiously. "Is there something you are looking for? You know I can assist you in your research."
"No." Karmina said too sharply. The woman raised a brow questioningly as Karmina cleared her throat. "I am sorry, Melonie. I just wanted to focus on this." She finally steered her gaze away from the texts and looked up at the Witch behind her. "I promise once I am finished, I will come straight to you with what I have come up with."
Melonie still looked troubled, but gradually relented with a sigh. "Very well, but stop pushing yourself too hard. Your magic will become blocked and you will achieve nothing new. That also goes with eating and sleeping." She gave Karmina's shoulder a squeeze before she left her alone again. Karmina turned back to her book again and let out a drawn out yawn.
"Achieve nothing new, huh?" She stared down at the pages with exhaustion heavy on her body. Then it hit her. Her eyes grew wide as dinner plates as she grabbed her own grimoire and opened it to the first page. "Perhaps it was never in these because no one had come up with a solution like this before." Her eyes shined in the candlelight. "I can be the first."
“Maaf Sayang, bukannya ingin berkhianat, tapi aku—“Bagus tak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia terus menatap nisan dihadapannya dengan penuh rasa bersalah. Seminggu terhitung sejak hari ini ia akan melangsungkan pernikahan dengan Kayla, wanita yang telah ia pilih menjadi ibu sambung bagi Adiba.“Cintaku tetap sama dan namamu akan kutempatkan pada bagian yang paling spesial dihatiku selamanya. Semoga kamu mengerti.”Terkadang kata hati tak sejalan dengan pikiran. Dua minggu yang lalu, ia nekat meminang Kayla dan memintanya menjadi bagian dari hidupnya.“Terima kasih sudah mau menerima undangan kami Kay,” ucap Bagus pada sosok wanita yang kini memakai topi lebar yang digunakan untuk melindungi wajahnya dari terik matahari.“Sama-sama, Mas. Aku senang kalian mau ngajak aku.”Atas permintaan Adiba, Bagus sengaja mengajak Kayla liburan ke pantai untuk merayakan hari ulang tahun Adiba yang ke enam. Meski hanya liburan sederhana namun kali ini terasa spesial karena ada seorang wanita bera
Bagus menyentuh gundukan tanah merah yang rutin ia kunjungi setiap minggu sejak lima tahun yang lalu. Sebuah bunga lili putih ia letakkan di sana sebelum ia duduk dan berdoa untuk wanita yang telah lama meninggalkannya. “Hai Mama, Diba datang lagi.” Bocah berbaju kuning itu berbicara pada batu nisan yang ia anggap sebagai rumah Mamanya. “Maaf Sayang, mungkin setelah ini kami akan jarang datang, semoga kamu mengerti. Kami akan pindah ke kampung seperti harapanmu dulu. Bukannya kami ingin meninggalkanmu, tapi kami ingin menjalani hidup baru tanpa bayang-bayang masa lalu di sana,” ucap Bagus mengelus lembut nisan mendiang istrinya. Lima tahun telah berlalu, Bagus merasa sudah saatnya ia membenahi hidupnya. Ia yakin Andin tak akan suka jika dirinya terus-terusan terbelenggu dengan masa lalu. Setelah berpikir ribuan kali, Bagus memutuskan untuk mencari tempat yang lebih tenang untuk menata hidupnya kembali, tentu saja dengan Adiba—putri kesayangannya, buah cintanya bersama Andin, bocah m
“Bagus, kamu langsung ke rumah sakit, Andin pendarahan.”Bagaikan tersambar petir disiang bolong, kabar yang baru saja diberikan Papa mertuanya berhasil membuat hatinya hancur berkeping-keping. Bagaimana mungkin istrinya tiba-tiba mengalami pendarahan, padahal beberapa jam yang lalu saat ia akan pergi ke kantor wanita itu terlihat biasa saja. Tak menunggu lama, Bagus segera memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit yang mertuanya sebutkan. Ia tak peduli lagi dengan meeting penting yang beberapa menit lagi akan diadakan atau tender yang mungkin akan hilang karena saat ini yang terpenting adalah menemui Andin secepatnya.Tulang-tulang ditubuh Bagus serasa rontok saat pertama kali ia memandang wanita yang kini terbaring lemah di atas bangkar dengan beberapa alat yang memenuhi tubuh dan wajahnya.“Jangan lupa bahagia, Sayang.” Kata-kata itu terus terngiang saat wanita itu pagi tadi mengantarkannya berangkat kerja. Tak seperti biasanya, Andin memeluknya cukup lama dan m
“Capek?” Bagus mengelus lembut perut Andin yang mulai membuncit.“Heem.” Andin menyeruput jus mangganya hingga tandas lalu beralih memandang Bagus.Saat ini mereka baru saja pulang dari rumah Rini dan Tanto untuk menghadiri selamatan yang diadakan karena kedua anaknya hamil bersamaan. Tak hanya selamatan, Andin dan Fira juga harus bertukar baju seperti kata orang tua zaman dahulu yang masih dipercaya oleh Rini. Meski hanya naluri, namun Rini hanya ingin memohon keselamatan untuk kedua menantunya.“Masih mual?”Andin mengangguk.Sejak awal kehamilan, Andin memang mengalami mual dan muntah yang cukup parah. Ia bahkan hampir tak bisa meminum air putih jika lidahnya merasakan air tanpa perasa. Sebagai gantinya setiap saat ia akan meminum jus buah atau teh manis agar asupan cairan ditubuhnya tetap terjaga.“Mau makan? Mama bawakan rendang tadi.”Andin mengangguk semangat.Tak hanya kesulitan minum, untuk urusan makan pun Andin terbilang cukup susah. Wanita itu bahkan bisa memuntahkan semu
“Kapan kamu akan resign? Papa nanyain terus tuh!” Andin mengantarkan Bagus yang akan berangkat kerja sampai halaman rumah.“Aku belum bicara sama atasan,” lirih Bagus.“Kok gitu? Kamu enggak mau terima tawaran Papa?” “Mau sih, tapi—““Tapi apa?”“Enggak apa-apa. Aku berangkat kerja dulu, baik-baik di rumah, nanti sore kita ke rumah Mama.” Bagus mencium kening, pipi kanan, pipi kiri dan yang terakhir mengecup bibir istrinya sekilas.Andin hanya tersenyum melihat tingkah suaminya yang mulai berani menunjukkan kemesraannya berbeda dengan awal-awal menikah yang terlihat begitu pemalu dan tak berkutik jika berada di luar kamar.Andin memutuskan kembali masuk ke dalam rumah setelah mobil hitam yang dikendarai Bagus meninggalkan halaman. Ia melangkah menuju ruangan kamar yang berada tepat di sebelah kamarnya yang telah disulap menjadi ruang kerjanya. Dari kamar bernuansa krem inilah Andin setiap hari berkutat dengan laptop untuk berkoordinasi dengan beberapa teman yang menjalankan usahanya.
I⁹Andin menyunggingkan senyum melihat tangan kekar yang kini memeluknya erat. Embusan nafas hangat terasa menyapu kepalanya membuatnya enggan beranjak dari posisinya. Ia memejamkan mata mengingat aktivitasnya semalam yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata saat lelaki yang kini mendekapnya berhasil mendapatkan mahkota yang paling ia jaga selama hidupnya.“Udah bangun?” bisik Bagus tepat ditelinga Andin.“Heem.” Bukannya melepaskan tangannya, Bagus malah mengeratkan pelukannya. Aroma sampo yang sejak semalam menguar dihidungnya membuatnya enggan untuk beralih posisi. Bahkan jika bisa ia ingin berada dalam posisi seperti ini setiap saat. Entah kebaikan apa yang telah ia lakukan semasa hidup, hingga ia bisa mendapatkan istri secantik Andin. Seorang wanita yang seharusnya hanya ada dalam angannya namun kini nyata menjadi miliknya. “Terima kasih.” Bagus menghujani kepala istrinya dengan kecupan bertubi-tubi.Tidak ada kata yang bisa mengungkapkan kebahagiaannya saat ini. Bagus merasa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments