"Ma, kenapa mama tegang begitu? Siapa yang menelpon?""Fan, ah, nggak nggak. Gak papa!"Hampir saja mama Agni keceplosan mengatakan tentang Hilmi."Ma, mama kenapa sih? Sekarang mama kayak yang cemas gitu, tapi bilangnya gak apa-apa,"Arfan merasa ada yang disembunyikan oleh mama Agni. Dia paham betul bagaimana sifat dan karakter dari wanita yang sudah melahirkan nya itu.Sedangkan mama Agni hatinya diliputi kebimbangan. Dia ingin melihat keadaan Hilmi secara langsung, tapi disisi lain, saat ini mama Agni sedang bersiap untuk menghadiri pesta ulang tahun perusahaan milik Arfan."Ma, ada apa?" tanya Fika yang turut memerhatikan gelagat tak biasa pada mertuanya tersebut."Gak apa-apa. Oh, ya, kalian berangkat duluan saja, mama masih ada urusan.""Satu jam lagi udah mulai loh, Ma. Tolong jujur pada Arfan, siapa yang menelpon mama dan apa yang dia katakan sehingga mama langsung cemas seperti itu.""Nggak, gak ada apa-apa. Tadi, teman mama, Jeng Imah menelpon katanya dia tak bisa menghadir
"Kenapa bisa separah itu? Apakah Hilmi terjatuh atau ketabrak atau apa?""Tidak, Bu. Tadi pagi kan Hilmi membantu saya masak untuk acara pengajian mingguan. mbak Hilmi sudah tak mengerjakan yang berat-berat, karena semua ibu-ibu melarang. Tiba-tiba siang tadi mbak Hilmi keringetan parah dan wajahnya pucat sekali, lalu pingsan. Saat pingsan kami berusaha menyadarkan mbak Hilmi dengan mengolesi minyak kayu putih, tapi sejam lebih gak sadarkan diri, membuat kami panik hingga akhirnya memutuskan membawa mbak Hilmi ke rumah sakit. Tiba-tiba di perjalanan ada darah merembes dari jalan lahirnya," jelas Umi Zakia kepada mama Agni yang menghembuskan nafas dengan berat."Tuhan, selamatkan cucuku." gumamnya."Ma, tolong jelaskan semua ini!" pinta Arfan dengan menatap dalam kedua netra mama Agni."Apa yang perlu mama jelaskan Arfan, bukankah sudah jelas kalau anak yang di kandung Hilmi itu cucu mama yang membuat mama berada disini saat ini.""Apakah itu artinya, bayi yang di kandung Hilmi anakku?
Ada rasa tak terima di hati Zidan saat mendengar kalau Hilmi mencari Arfan, lelaki yang menurutnya sudah mencampakkan Hilmi. Namun, dia juga tak berharap kalau dirinya yang di cari oleh wanita yang tengah terbaring lemah di ruang ICU sana."Umi, sebaiknya kita pulang dulu saja, Abah pasti sudah menunggu dari tadi," ajaknya kepada sang ibu."Bagaimana dengan Hilmi, Zidan?""Umi, sudah ada mereka yang menjaga dan menunggui Hilmi. Besok Zidan antarkan umi ke sini lagi," ujarnya sambil menunjuk Rian dan mama Agni yang menunggu di depan ruang ICU."Baiklah, umi mau pamitan dulu sama mereka.""Zidan keluarin mobil dulu dari parkiran,""Iya."Pemuda yang usianya hampir tiga puluh tahun itu pun berlalu meninggalkan ruang tunggu. Meskipun hatinya menolak keras untuk pergi, karena rasa khawatir yang begitu besar akan wanita yang bukan siapa-siapa bagi dirinya, akan wanita yang sempat di bencinya karena sudah dianggap merebut semua perhatian uminya dari dirinya. Moodnya sedang tidak baik-baik sa
"Ya, aku ada di sini, untukmu dan calon anak kita." Jawab Arfan dengan senyum yang mengembang di wajahnya.Hilmi terbelalak mendengan penuturan Arfan, "Kamu sudah tahu tentangnya?" Tanyanya dengan ragu."Ya aku tahu. Kamu tenang saja, jangan berpikir yang macam-macam dulu. Kamu harus fokus pada kesembuhan kamu agar anak kita bisa berkembang dengan baik di rahim kamu." Kata Arfan yang mengerti akan ketakutan Hilmi. Dokter datang dan mulai memeriksa kondisi Hilmi. Alhamdulillah, kondisinya sudah lebih baik dari siang tadi dan itu berkat kedatangan Arfan meskipun ketika Arfan datang dan menggenggam tangan Hilmi saat di ruang ICU, wanita itu tetap tak sadarkan diri, tapi Hilmi sudah tak memanggil nama Arfan lagi seolah merasakan kehadiran lelaki yang merupakan ayah kandung dari janin yang ada di perutnya. Selesai memeriksa Hilmi, dokter kembali ke ruangannya, sedangkan Arfan ia sibuk menanyakan Hilmi ingin makan apa dan menanyakan apa yang dirasakan oleh wanita itu.Hilmi senang Arfan ad
Di lain tempat, tepatnya di sebuah rumah mewah yang ada di kawasan perumahan elit tampak seorang perempuan sedang berkutat di dapur ditemani seorang art dan seorang anak laki-laki yang duduk anteng di kursi dekat bar dapur."Selesai!!" serunya senang setelah berhasil memindahkan masakan yang ada di wajan ke dalam kotak tupperware dan meletakkan di atas meja."Hoyeee! Mama, kita jadi 'kan yang au ke kantoy papa?" Rico, dengan suara cadelnya berbicara dengan begitu antusias saat melihat masakan yang di masak sang mama sudah masak. Bocah itu begitu bersemangat karena akan bertemu dengan sang papa. Arfan yang beberapa hari ini begitu sibuk bahkan Taka dan waktu bermain dengan Rico, membuat bocah itu begitu merindukan Arfan."Jadi dong, Sayang. Sekarang Rico mandi dulu biar wangi nanti saat papa cium Rico. Oke?""Oce, Mamaaa!" Seru Rico dengan penuh semangatKini Rico tampak semakin tampan dengan setelannya yang cassual. Celana jeans selutut di padukan dengan Hem kotak-kotak berwana merah
"Ngelamunin apa toh, Le?"Zidan terperanjat saat sebuah tepukan hinggap di bahunya. Dia yang sejak tadi duduk di teras depan rumah. Kopi dan bakwan yang semula masih mengepulkan asap, kini sudah tak lagi. Dingin dan berampas adalah kondisi gorengan serta kopi yang tak disentuh sama sekali oleh Zidan."Eh, Ummi. Ngagetin ajah tahu nggak!""Ah, kamu ini. Padahal Ummi hanya menepuk pelan loh punggung kamu. Kamunya ajah yang melamun hingga tak menyadari kehadiran Ummi. Bahkan kopi dan bakwan rasanya juga tidak kamu sadari kalau sudah pada dingin." ujar Ummi Zakia seraya duduk di kursi yang ada di seberang tempat duduk Zidan."Ih, siapa yang melamun sih, Ummi. Aku hanya melihat burung yang beterbangan itu. Andai aku bisa terbang, tentu aku sudah membawa Ummi ....""Halah kamu ini, ada ajah buat ngelesnya!"Zidan hanya menggaruk dahinya yang tak gatal. Kemudian dia meraih cangkir yang berisi kopi dan meneguknya, Zidan terkejut karena kopinya sudah sangat dingin tak ada hangat-hangatnya sama
"Stop! Perutku kram, Mas!" pinta Hilmi yang kini sudah meringis memegangi perut bagian bawahnya.Seketika Arfan menghentikan tarikannya pada tangan Hilmi. Beruntung mereka sudah keluar dari dari mall. Lelaki itu menatap khawatir pada Hilmi. Celingukan Arfan mencari tempat duduk yang tak jauh darinya, setelah dapat gegas ia membawa Hilmi untuk duduk di kursi tersebut.Hilmi menyenderkan tubuhnya dan berusaha mengatur nafas hingga kram yang dirasakannya sudah mulai mereda."Maaf, maafkan aku. Apakah masih terasa sakit?" tanya Arfan menatap cemas pada Hilmi."Sudah mendingan. Lebih baik sekarang kita pulang saja, Mas. Aku takut Fika mendapati kita di sini," ajak Hilmi yang memejamkan matanya."Baiklah, sekali lagi aku minta maaf. Semoga tak terjadi apa-apa pada anak kita,""Insyaallah nggak. Kram sudah biasa terjadi pada orang hamil."Arfan menuntun Hilmi menuju mobil, dia membuka pintu mobil, setelah memastikan Hilmi duduk dengan nyaman, Arfan menutup kembali pintu mobilnya dan berlari
."Wah, lagi pada ngumpul toh. Boleh saya ikutan ngumpul-ngumpulnya?" tanya umi Zakia pura-pura gak tahu akan pembahasan mereka sebelumnya."Hehe, ini lagi nanya-nanya saja ke Hilmi perihal lelaki yang sering berkunjung ke kontrakannya beberapa bulan terakhir ini." seseibu dengan gamblangnya memberitahukan maksud kedatangan mereka pagi ini ke rumah Hilmi."Walah, emangnya kenapa toh?""Ya, ya kan ... kan kesannya mereka ini kayak pasangan kumpul kebo gitu loh, Umi. Soalnya si lelaki pulangnya sering larut malam.""Memangnya mereka cuma berdua di dalam rumah?""Ya nggak sih. Sama itu siapa itu ibu-ibu yang juga sering datang ke sini,""Nah, kalau ada orang lain selain mereka berdua kenapa berpikiran yang negatif? Toh mbak Hilmi juga ada Rian kan di rumah?""Iya sih, Umi. Tapi meresahkan saja kepada kami para tetangganya,""Ya sudah. Nanti tak nasihati mbak Hilminya biar nggak terlalu sering menerima tamu laki-laki yang bukan keluarganya.""Nah iya, Umi, setuju. Kalau Umi yang ngomong p