Share

4. Ketakutan

Penulis: Lis Susanawati
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-01 19:04:32

Sebelum Berpisah

- Ketakutan

"Aku harus segera berangkat, El. Kamu bagaimana?"

"Nggak apa-apa. Aku berani." Elvira menjawab tanpa memandang sang suami. Sumpah, sebenarnya dia sangat takut dan cemas.

"Kamu mau ikut ke rumah sakit?"

"Nggak." Dia tidak mungkin pergi ke tempat yang paling tidak disukainya dan menunggu berjam-jam sampai Hendy keluar dari kamar operasi. Walaupun di rumah sendiri juga ketakutan. Lihat, lilin pun sudah mau habis.

Hendy termangu sejenak. Dia tidak bisa menunggu lama. Tim ruang operasi sedang menunggunya. Lelaki itu masuk ke kamar untuk mengambil jaket.

"Mas, bisa minta tolong. Antar aku sebentar ke kamar mandi. Setelah itu aku mau masuk kamar dan tidur."

"Pakai kamar mandiku. Aku benar-benar sedang ditunggu, El."

"Oh, ya sudah. Mas, pergi saja." Elvira mengambil asbak yang ada lilinnya. Namun ia memekik karena jarinya kepanasan. Asbak dari logam itu tentu saja panas kena lelehan lilin.

"Kenapa?" Hendy kaget dan mendekat.

"Nggak." Elvira memakai ujung jilbabnya sebagai lampin untuk mengangkat asbak. Lantas membawanya masuk ke kamar.

"El, pakai kamar mandiku. Jangan ditahan." Hendy mengambil kunci mobil lantas pergi.

Perut Elvira melilit. Dia tadi baru makan sedikit, pedas pula. Sekarang terasa ingin ke toilet. Namun tidak berani keluar. Rasa takut lebih mendominasi dan memilih menahan rasa sakitnya.

Elvira meringkuk dan tubuhnya berkeringat. Menahan sakit sekaligus gerah.

Walaupun Hendy menyuruhnya ke toilet yang ada di kamarnya, tapi Elvira tidak mau. Selama dua bulan ini, masuk ke kamar suaminya bisa dihitung dengan jari. Keluarga kalau datang tidak ada yang menginap. Jadi mereka aman tidur berasingan.

Wanita itu menangis dan mendesis lirih menahan sakit. Sedih juga. Entah, ini pernikahan seperti apa. Sejauh ini, Hendy pun tidak pernah mengajaknya bicara, mau dibawa ke mana pernikahan mereka.

Disuruh mengantarkan ke toilet sebentar saja, dia tidak bisa. Pasien memang lebih penting daripada istrinya yang tidak jelas ini. Elvira terisak. Apa dia tidak bisa merasakan setakut apa istrinya? Bahkan setelah satu jam kemudian, sang suami tidak menelepon untuk menanyakan keadaannya.

Ingin menghubungi Ranty, baterei ponsel minim sekali. Lagi pula temannya itu pasti sudah tidur. Dia kalau dibangunkan mendadak, migrainnya kumat.

Setelah beberapa jam hanya bisa membolak-balikkan badan, akhirnya Elvira terlelap kelelahan. Terbangun saat kembali merasakan perutnya sangat sakit dan suasana gelap gulita, karena lilin sudah habis. Kali ini tidak bisa ditahannya lagi. Dia memang harus ke belakang segera. Dia memakai kamar mandi di belakang, karena di kamarnya tidak ada.

Dinyalakan senter ponsel yang batreinya tinggal 25%. Elvira nekat. Dalam kepalanya berkelindan berbagai bayangan menakutkan. Di balik kegelapan seolah ada yang mengintai dengan tatapan tajamnya. Dalam hati terus membaca doa tiada henti. Tubuhnya sampai gemetaran dan merinding.

Setelah dari kamar mandi pun, perutnya masih tidak nyaman karena sudah terlanjur sakit. Dicarinya minyak kayu putih. Perutnya menghangat setelah dibaluri obat andalannya itu.

***L***

Hendy yang baru kembali dari bersepeda, heran karena dapur masih gelap dan sepi. Biasanya Elvira akan sibuk membuat sarapan sehabis salat subuh. Sedangkan sekarang sudah jam setengah enam pagi.

Lelaki itu memandang pintu kamar Elvira yang tertutup rapat. Apa dia belum bangun? Biasanya walaupun sedang haid dan tidak salat, tetap bangun untuk membuat sarapan. Padahal listrik sudah menyala jam dua pagi tadi.

Ketika hendak mengetuk kamar Elvira. Pintu depan terbuka. Istrinya masuk menenteng tas kresek. Wajahnya terlihat pucat.

"Maaf, aku nggak sempat masak, Mas. Kubelikan nasi kuning di warung Mak Yah." Elvira melangkah ke ruang makan. Meletakkan sebungkus nasi di atas piring. Sendok juga sudah disiapkan.

"El, wajahmu pucat gitu. Kamu sakit?" Hendy memperhatikan sang istri. Elvira menggeleng lantas mengambil sendok dan membawa sebungkus nasi ke kamarnya.

"Sorry, tadi malam ...."

"Nggak apa-apa. Aku ke kamar dulu." Elvira memotong perkataan suaminya.

Hendy mematung. Elvira sepucat itu apa dia ketakutan semalam. Atau dia sedang sakit. Biasanya dia berwajah cerah meski cemberut. Hendy tidak sempat menelepon, karena fokus pada operasi. Meski sudah melakukan tugas memberikan obat-obatan sedatif, anti nyeri pada pasien, dan berhasil membuat pasien tertidur. Bukan berarti tugasnya selesai. Ia harus memastikan tidak ada kendala hingga operasi selesai.

Pagi itu Hendy membuat teh dan sarapan sendirian. Kemudian masuk kamar untuk istirahat sebelum berangkat ke rumah sakit. Karena kelelahan, akhirnya tertidur dan bangun saat alarm berdering.

Buru-buru ia mandi dan berganti pakaian. Saat keluar, masih melihat helm milik Elvira di meja pojok ruang keluarga. Apa istrinya belum berangkat. Padahal ini sudah jam delapan. Elvira biasa pergi ke kantor jam tujuh pagi. Dan lihat, kunci motornya pun masih tergantung di dinding..

"El." Hendy mengetuk pintu kamar Elvira pelan. Tidak ada jawaban.

"El, kamu sakit?" Masih tidak ada sahutan. Diputarnya handle pintu, tapi dikunci. "El."

"Aku nggak apa-apa," terdengar sahutan pelan.

"Kamu nggak kerja?"

"Nggak."

"Aku berangkat ke rumah sakit."

"Ya."

Rumah kembali sepi. Elvira meringkuk di atas tempat tidur. Nasi yang baru dimakan sedikit terbiar di atas meja. Perutnya sudah terlanjur tak nyaman. Baru masuk nasi sedikit, rasanya sudah penuh.

Tidak ada yang dikerjakannya selain tiduran seharian. Jam tiga sore Ranty datang ke rumah.

"Kamu sudah mendingan?" tanya wanita itu seraya menyentuh kening Elvira. "Badanmu anget, El."

"Sepertinya maagku kambuh, Ran."

"Mulai sekarang kamu harus belajar minum obat. Obat maag itu nggak pahit, malah semriwing, rasa mint gitu. Selama ini kamu hanya ngandelin minyak kayu putih. Sakit perut, sakit kepala, sakit gigi, batuk, pilek, obatmu cuman itu saja. Oles sana sini kayak nenek-nenek bau balsem jadinya." Ranty mengomel sambil memijit pundak dan tengkuk Elvira.

Sedikit pun Elvira tidak membantah. Biar saja yang penting Ranty sudi datang. Dia satu-satunya orang yang mengerti banyak hal tentang dirinya. Hanya Ranty yang tahu kalau Elvira dan Hendy tidak pernah tidur sekamar.

"El, aku mau ngasih tahu kamu. Semoga ini nggak semakin menambah bebanmu."

Dada Elvira berdebar mendengar ucapan Ranty yang tampaknya mengkhawatirkan dan membuat penasaran. "Ada apa?"

"Tadi pagi aku nganterin Mbak Angel periksa kandungan ke dokter Herlina di klinik. Nggak sengaja aku ngelihat suamimu mengantar dokter itu ke sana. Mereka turun dan masuk ruangan."

Elvira terhenyak. Seperti apapun hubungannya dengan Hendy, tapi ia merasa kecewa karena lelaki itu suaminya.

"Aku nggak bakalan curiga kalau kamu nggak pernah cerita bagaimana kedekatan mereka."

"Mungkin ada operasi cesar di klinik bersalin itu, Ran."

"Oh, iya. Bisa jadi." Ranty tidak ingin memprovokasi sahabatnya.

Hening.

"Kamu cepetan pulih. Minggu depan kita harus ke Jakarta untuk mewakili Mbak Angel seminar. Ranty mengalihkan topik pembicaraan karena suasana mendadak tegang.

"Ya ampun. Aku hampir lupa, Ran."

"Masih ada waktu untuk bikin persiapan. Kamu ingin menghubungi Rizal dan ketemuan di sana?"

Keduanya saling pandang.

"Jangan deh. Seperti apapun hubunganmu dengan dokter Hendy. Kamu sudah menjadi istrinya, El. Oh ya, aku pulang dulu. Mau mampir ke apotek beliin obat ibu."

"Makasih kamu sudah datang." Elvira mengantarkan sahabatnya hingga ke teras. Kemudian ia ke dapur untuk memasak menu makan malam. Walaupun perutnya masih terasa perih jika berdiri terlalu lama.

Ketika tengah mengeluarkan sayuran dari kulkas, ponselnya di atas meja makan berpendar.

[Nggak usah masak. Mbak Ema mengundang kita ke rumahnya. Hari ini ulang tahunnya Tristan.] Pesan dari Hendy.

Elvira duduk di kursi. Sebenarnya ia malas ke mana-mana dengan kondisi perut yang tidak nyaman. Tapi tidak mungkin menolak. Ema itu kakaknya Hendy. Seorang dokter anak.

Dia selalu sibuk dengan ulang tahun orang lain. Tapi ulang tahunnya sendiri, tidak ada yang ingat kecuali Rizal dan Ranty. Sedih.

Kira-kira apa dokter Herlina nanti juga hadir di sana? Karena dia rekan baik kakak iparnya.

Segera dikembalikan sayuran ke dalam kulkas. Dia mau mandi dan dandan cantik malam ini.

Next ....

Selamat Membaca 🥰

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Helmy Rafisqy Pambudi
El kasihn amat ya hari ultah GK di kasih ucapan trs di tinggal oprasi LG..SM kek q haa
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
knp El vira gk coba aja buat narik perhatiannya Hendri.. dia kan istri Sah..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • SEBELUM BERPISAH   194. Pernikahan 3

    Ingat bagaimana dulu mereka berjuang untuk sampai ke tahap sekarang. Tentang bagaimana mereka melawan konflik dalam batin, Hendy yang memperjuangkan pernikahan supaya bisa tetap bertahan, dan bagaimana Elvira berusaha melupakan kisah lama yang baginya sangat sempurna. Rizal yang masih sanggup mempertaruhkan keselamatannya demi Elvira. Sungguh kisah cinta yang rumit. Memang benar, kunci sebuah hubungan ada pada suami. Sekuat apapun Elvira berontak, jika Hendy berpendirian teguh, perceraian tidak akan pernah terjadi. "I love you," bisik Hendy menatap lembut sang istri. "I love you too," balas Elvira sambil tersenyum. Disaat mereka berpandangan mesra, Keenan dan Kirana tiba-tiba berebutan untuk memeluk. Kirana langsung naik ke pangkuan sang papa, sedangkan Keenan memeluk mamanya. ***L*** Angin siang bertiup pelan, menggerakkan tirai jendela rumah Herlina. Suasana di dalam rumah terasa tenang. Musik instrumental mengalun lembut dari ruang dalam. Herlina duduk di meja makan, men

  • SEBELUM BERPISAH   193. Pernikahan 2

    Bu Karlina tampak canggung. Ada rasa malu yang membelenggu perasaannya. Namun diam-diam, ia bisa mengambil pelajaran dari peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Di depan mata sendiri, ia ditunjukkan betapa orang-orang yang ia sakiti hidup bahagia berkecukupan. Bahkan putrinya sendiri yang selama ini ia sia-siakan, mendapatkan pasangan yang sempurna.Pak Kuswoyo duduk di sofa seberang, memperhatikan mantan istrinya yang tampak canggung. Kemudian memandang ke arah Herlina. "Bagaimana acara pernikahannya Agnes? Semua berjalan lancar?" tanyanya, memecah keheningan."Alhamdulillah, lancar, Pa," jawab Herlina.Setelah beberapa jam berbincang, Herlina dan Bu Karlina berpamitan. "Kamu juga harus memikirkan tentang pernikahan, Her. Papa menunggumu untuk datang mengenalkan calon suami." Sambil melangkah ke depan, Pak Kuswoyo bicara pelan pada putrinya. Herlina mengangguk.Sopir keluarga mengantar mereka ke bandara. Dalam perjalanan, Bu Karlina terlihat lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Se

  • SEBELUM BERPISAH   192. Pernikahan 1

    SEBELUM BERPISAH- Ekstra PartJogjakarta ...."Mbak, jadi pulang ke Surabaya pagi ini?" tanya Agnes setelah masuk ke kamar yang ditempati mama dan kakaknya.Malam itu mereka menginap di rumah Pak Beny, papanya Aryo. Dan rumah itu yang selama ini ditinggali oleh Aryo. Karena Banyuaji sudah punya tempat tinggal sendiri. Nanti setelah usai acara pernikahan, papa dan mamanya Aryo kembali ke Jakarta.Mereka yang memegang kantor di Jakarta, juga sudah menetap di sana."Kami mau mampir dulu ke rumah Papa Kuswoyo, Nes." Sambil berkemas, Herlina memandang sang adik yang tampak lelah. Lelah karena seminggu ini mempersiapkan acara pernikahan yang padat, juga mungkin karena semalam adalah malam pertama bagi Agnes dan suaminya. Hmm ... rambut adiknya terlihat masih belum seberapa kering.Kemarin memang acara resepsi ngunduh mantu yang diselenggarakan secara megah di hotel berbintang. Dilanjutkan dengan acara keluarga di rumah orang tuanya Aryo yang ada di Jogja. Agnes sungguh beruntung. Keluarga

  • SEBELUM BERPISAH   191. Satu Momen di Surabaya 3

    Dua bulan kemudian ....Langit Surabaya begitu cerah pagi itu, seolah turut merayakan momen bahagia yang tengah berlangsung di salah satu hotel berbintang di pusat kota. Dekorasi berwarna emas dan putih mendominasi ruangan, menciptakan suasana elegan nan hangat. Hari ini adalah hari pernikahan Agnes dan Aryo.Setelah melangsungkan acara lamaran satu bulan yang lalu di rumah Pak Danu, hari ini menjadi momen kebahagiaan mereka dalam ikatan yang sah.Jam delapan pagi tadi, acara ijab qobul berjalan sangat khidmat.Sekarang Agnes dan Aryo bak raja sehari, duduk di pelaminan yang megah. Mengenakan busana pengantin Paes Ageng. Aryo tampak gagah dengan busana dada terbuka dan kepala yang dihiasi oleh Kuluk Kanigaran. Sedangkan Agnes menggunakan kemben dan kalung sungsun.Aryo di dampingi papa dan mamanya, sementara Agnes di dampingi Bu Karlina yang berdiri tepat di sebelahnya, lalu Herlina, Bu Danu, dan Pak Danu. Pria itu tetap memberikan kesempatan pada mantan istri untuk mendampingi putri

  • SEBELUM BERPISAH   190. Satu Momen di Surabaya 2

    Mendengar itu, dada Agnes berdebar hebat. Merasa malu sekaligus terharu. Ia tahu Aryo serius, tapi mendengar langsung pernyataan cintanya di hadapan sang papa dan mama tirinya, membuat wajah Agnes serasa menghangat karena malu."Saya serius, Pak. Saya sudah menunggu empat tahun untuk bisa datang ke Surabaya bertemu dengan Bapak." Jawaban Aryo yang membuat Agnes kian terharu sekaligus tersanjung.Pak Danu tersenyum bahagia, tampak puas dengan jawaban Aryo. Lelaki yang mencintai putrinya bukan pria sembarangan. Sosok keturunan ningrat yang jelas masa depannya. Dalam hati sangat bersyukur, anak yang menderita batin sejak kecil, kini mendapatkan calon suami yang benar-benar mencintainya."Baiklah. Saya tunggu keluargamu datang untuk melamar." Pak Danu pun tidak terlalu banyak berbasa-basi. Gestur Aryo sangat terbaca jelas, bagaimana dia sangat serius dengan putrinya.Aryo mengangguk. "Ya, Pak. Saya akan mengabari secepatnya."Selesai mereka bicara dengan Pak Danu dan istrinya, Agnes tida

  • SEBELUM BERPISAH   189. Satu Momen di Surabaya 1

    SEBELUM BERPISAH- Satu Momen di Surabaya "Aku hampir nggak pernah bertemu dengan ketiga kakakku dari papa," gumam Agnes."Terakhir aku bertemu mereka sudah lama sekali. Waktu aku datang ke rumah ini untuk menjenguk papa yang tengah sakit. Lama banget itu. Enam atau tujuh tahun yang lalu. Aku masih kuliah.""Mungkin kali ini juga menjadi kesempatanmu untuk bertemu dengan mereka," ujar Aryo.Agnes menghela nafas panjang. Menata hatinya yang kalang kabut. Tidak pernah datang, tiba-tiba ke sana dengan mengajak seorang laki-laki."Kita turun sekarang?""Ya," jawab Agnes sambil menata blouse yang ia pakai. Menyelipkan rambut di belakang telinga. Lantas membuka pintu mobil bersamaan dengan Aryo.Mereka mendekati pagar, Agnes menelpon sang papa. "Aku sudah di depan, Pa," ucapnya setelah panggilan dijawab. "Masuk saja. Papa tunggu di dalam," jawab Pak Danu.Agnes kembali menyimpan ponselnya ke dalam tas. "Kita masuk, Mas!"Aryo mengikuti Agnes yang membuka pintu pagar. Mereka melangkah di h

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status