Sebelum Berpisah
- Menguntit "Kenapa kamu mengikutiku tadi?" tanya Hendy yang membuat Elvira terkesiap. Jadi suaminya tahu kalau diikuti. Wajah wanita itu pias karena ketahuan. "Aku nggak ngikutin. Biasanya aku juga lewat situ," elak Elvira sambil menggoreng ayam untuk lauk makan malam. "Aku tahu kamu sering memperhatikanku dan dokter Herlina." Elvira terhenyak. Tangannya yang memegang spatula sampai gemetar. Namun ia tidak berani menoleh ke belakang, pada Hendy yang duduk di kursi meja makan. "Ah, Mas ini ke GR-an. Siapa juga yang merhatiin." Elvira menutupi rasa gugupnya. "Oh, gitu ya." Dada Elvira berdebar hebat. Bodoh sekali. Seharusnya ia tadi tidak usah mengikuti mobil dokter Herlina. Yang ternyata mengantarkan Hendy ke bengkel. Ia baru tahu kalau mobil Hendy masuk bengkel. Makanya subuh tadi pulang di antar dokter cantik itu. Tapi kenapa harus dokter Herlina? Apa di rumah sakit sebesar itu dia tidak memiliki teman dokter laki-laki. Atau naik taksi misalnya. Kenapa selalu dokter Herlina? Ada hubungan apa di antara mereka? Hmm, kenapa dirinya harus tahu? Itu hak Hendy mendapatkan kebahagiaan yang tidak diperolehnya di rumah. Keduanya terdiam sampai Elvira selesai menggoreng ayam, membuat sambal, dan memotong timun untuk lalapan. Sekaligus menghidangkannya di meja makan. "Maaf, seladanya habis. Aku belum sempat belanja." Elvira berkata tanpa memandang suaminya. "Mas, makan dulu. Aku nanti saja." "Kamu mau ke mana?" "Aku lupa, ada yang harus aku kerjakan." Elvira melangkah meninggalkan ruang makan. "Makanlah dulu!" teriak Hendy. "Nanti saja, aku belum lapar." Elvira masuk kamar. Duduk dan memandang ke arah cermin. Wajahnya tidak bisa berbohong. Lihat sepias itu karena malu. Menyesal sekali kenapa dia mengikuti suaminya. Bukankah dirinya sendiri yang bilang kalau jangan mencampuri urusan masing-masing. Tapi dia penasaran, apa hubungan Hendy dengan dokter kandungan itu. Pernikahan ini, sungguh rumit. Kenapa dulu dia pulang dan akur dengan perjodohan. Sudah kabur ya kabur saja dan menghadapi apapun yang terjadi. Dia kembali juga tidak mendapatkan kebahagiaan. Seperti perkiraannya, Hendy terlalu dingin untuk Elvira yang periang. Sebenarnya mereka sudah tahu satu sama lain sejak lama. Ayah Elvira teman baik papa dan mamanya Hendy. Namun dirinya dan Hendy memang tidak pernah saling tegur sapa. Elvira membuka tas dan mengeluarkan kotak yang berisi gelang batu giok. Hadiah ulang tahunnya yang dikirim oleh Rizal. Bagus dan dia suka. Sore tadi sudah menelepon lelaki itu untuk mengucapkan terima kasih. "Mereka menjodohkanmu, supaya kamu mendapatkan suami terbaik. Aku sadar diri, El. Hanya anak seorang janda yang nggak punya apa-apa. Sekolah, kuliah, cuma mengandalkan beasiswa. Bukan aku nggak ingin memperjuangkanmu, tapi tangisan ibuku membuatku tak berdaya." Air mata Elvira menetes ingat ucapan Rizal. Ia tahu kalau kakak sulungnya pernah mendatangi Rizal dan mengancamnya. Dan Bu Salima takut terjadi apa-apa pada putra tunggalnya. Untuk itu, Rizal diminta mundur meski di antara mereka tidak pernah ada kata putus. Elvira yang menjadi saksi, bagaimana Rizal berjuang untuk meraih gelar arsitekturnya. Dia lelaki yang tidak kenal menyerah. Tidak malu bekerja kasar untuk membantu ibu dan demi membiayai kuliahnya. "Percayalah aku selalu ada untukmu. Jangan segan untuk bercerita atau minta tolong disaat kamu butuh bantuan." Elvira sesenggukan dan menelungkup di meja riasnya. Cinta mereka tidak pernah selesai. Wajar kalau Rizal mendengar apa saran ibunya. Karena hanya sang ibu yang masih ia punya. Wanita itu juga sangat baik padanya. Tiap bertemu, selalu memeluknya dengan sayang. Tatapan matanya teduh dan penuh kasih. Elvira seperti memiliki ibu lagi. Namun sekarang ia sudah kehilangan semua itu. Saat perutnya terasa perih, Elvira menegakkan duduknya. Ternyata lambungnya tidak bisa dibohongi. Ia minum banyak supaya kenyang dan tidak perlu keluar untuk makan. Namun hanya bertahan beberapa saat saja, setelah itu kembali terasa perih. Dia bangkit dan membuka pintu pelan-pelan. Ruangan sepi. Tampaknya Hendy sudah masuk kamar. Okelah, dia mau makan sekarang. Lauk di atas meja masih tersisa separuh. Tapi sambalnya tinggal sedikit, karena suaminya tahu kalau Elvira tidak suka pedas. Hendy memang jagonya makan pedas. Lauk apapun yang penting ada sambalnya. Eh, tapi .... Elvira hampir terbatuk-batuk. Mengecap nasi yang masuk ke mulutnya. Hambar sekali rasa sambalnya, hanya terasa pedas yang menyengat. Astaga, dia lupa tidak menaruh garam tadi. Jadi Hendy menghabiskan sambal meski tidak ada rasa asin sama sekali. Elvira memandang pintu kamar Hendy yang tertutup rapat. Suaminya tidak pernah protes dengan apapun yang ia masak. Elvira merasa tidak enak hati. "Aaaaa ...." Elvira berteriak saat tiba-tiba listrik padam. Mana belum selesai makan. "MAS HEN," teriaknya tanpa bergerak. Dia paling takut dengan gelap. Tidak ada sahutan. Apa Hendy sudah tidur? Padahal dia berteriak cukup kencang. Nelangsa betul. Pikiran sedang kacau, pakai acara listrik mati segala. Terpaksa dia berdiri dan berjalan dengan tangan terangkat untuk meraba persekitaran. Apa yang ia lakukan membuatnya teringat tentang vampir yang selalu mengangkat tangan dan melompat-lompat. Elvira semakin takut. Dia lupa menaruh lampu emergency di mana. Ada genset tapi di belakang. Mana berani dia ke sana. Lagi pula tidak tahu bagaimana menyalakannya. Kembali Elvira berteriak saat dari dalam kamar muncul cahaya kecil dan bayangan seseorang. Hendy keluar sambil menyalakan senter ponsel. "El, duduk sini. Aku ambil lampu emergency." Hendy menarik kain lengannya Elvira untuk menyuruhnya duduk di sofa ruang keluarga. Hendy membuka bufet dan mengambil satu-satunya lampu yang masih berfungsi. Tapi sayangnya sudah redup karena tidak di charge. Jarang mati listrik, jadi mereka melupakan mengurusi hal-hal begini. "Kenapa nggak nyalain genset saja, Mas." "Gensetnya rusak. Lupa mau bawa ke tukang service." Elvira kembali memekik saat satu-satunya lampu emergency padam kehabisan daya. Hendy bangkit untuk mencari lilin. Tinggal sebiji. Ia nyalakan di atas asbak dan ditaruh di depan mereka. Untuk pertama kalinya setelah dua bulan menikah, mereka duduk berdampingan begitu dekat. Elvira menatap lurus pada kegelapan di depan, sedangkan Hendy sibuk dengan ponselnya. "Maaf, tadi sambalnya lupa nggak kukasih garam, Mas." Elvira membuka suara setelah cukup lama terdiam. "Tidak apa-apa. Sudah kumakan," jawab Hendy tanpa mengalihkan perhatian. Hening kembali. Kalau mati listrik, keadaan benar-benar terasa sangat senyap. "Kamu takut gelap sejak kecil?" "Ya. Kalau lampu mati, aku pasti lari mencari ibu. Sekarang aku udah nggak punya ibu." Elvira menunduk. "Setelah ibu nggak ada, kalau mati lampu aku diam ketakutan. Mas Amar yang peduli. Tapi dia jarang di rumah, karena sekolah dan tinggal di asrama." Mendengar itu, Hendy baru menoleh pada Elvira. Sejenak kemudian beralih ke ponselnya yang kembali berpendar. "Aku harus ke rumah sakit, El. Ada pasien yang mesti operasi cesar sekarang." Elvira kembali tegang dan menegakkan duduknya. Dia akan sendirian kalau Hendy pergi. Kapan listrik menyala? Dia takut. Operasi cesar, berarti berhubungan dengan dokter Herlina lagi. Tapi di rumah sakit, dia bukan satu-satunya dokter kandungan, kan? Ponsel Hendy berdering. Saat dilirik ia membaca dengan jelas nama dokter Herlina di layar. Oh, sepertinya dia yang akan menangani operasi itu. Next .... Selamat Membaca 🥰Ingat bagaimana dulu mereka berjuang untuk sampai ke tahap sekarang. Tentang bagaimana mereka melawan konflik dalam batin, Hendy yang memperjuangkan pernikahan supaya bisa tetap bertahan, dan bagaimana Elvira berusaha melupakan kisah lama yang baginya sangat sempurna. Rizal yang masih sanggup mempertaruhkan keselamatannya demi Elvira. Sungguh kisah cinta yang rumit. Memang benar, kunci sebuah hubungan ada pada suami. Sekuat apapun Elvira berontak, jika Hendy berpendirian teguh, perceraian tidak akan pernah terjadi. "I love you," bisik Hendy menatap lembut sang istri. "I love you too," balas Elvira sambil tersenyum. Disaat mereka berpandangan mesra, Keenan dan Kirana tiba-tiba berebutan untuk memeluk. Kirana langsung naik ke pangkuan sang papa, sedangkan Keenan memeluk mamanya. ***L*** Angin siang bertiup pelan, menggerakkan tirai jendela rumah Herlina. Suasana di dalam rumah terasa tenang. Musik instrumental mengalun lembut dari ruang dalam. Herlina duduk di meja makan, men
Bu Karlina tampak canggung. Ada rasa malu yang membelenggu perasaannya. Namun diam-diam, ia bisa mengambil pelajaran dari peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Di depan mata sendiri, ia ditunjukkan betapa orang-orang yang ia sakiti hidup bahagia berkecukupan. Bahkan putrinya sendiri yang selama ini ia sia-siakan, mendapatkan pasangan yang sempurna.Pak Kuswoyo duduk di sofa seberang, memperhatikan mantan istrinya yang tampak canggung. Kemudian memandang ke arah Herlina. "Bagaimana acara pernikahannya Agnes? Semua berjalan lancar?" tanyanya, memecah keheningan."Alhamdulillah, lancar, Pa," jawab Herlina.Setelah beberapa jam berbincang, Herlina dan Bu Karlina berpamitan. "Kamu juga harus memikirkan tentang pernikahan, Her. Papa menunggumu untuk datang mengenalkan calon suami." Sambil melangkah ke depan, Pak Kuswoyo bicara pelan pada putrinya. Herlina mengangguk.Sopir keluarga mengantar mereka ke bandara. Dalam perjalanan, Bu Karlina terlihat lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Se
SEBELUM BERPISAH- Ekstra PartJogjakarta ...."Mbak, jadi pulang ke Surabaya pagi ini?" tanya Agnes setelah masuk ke kamar yang ditempati mama dan kakaknya.Malam itu mereka menginap di rumah Pak Beny, papanya Aryo. Dan rumah itu yang selama ini ditinggali oleh Aryo. Karena Banyuaji sudah punya tempat tinggal sendiri. Nanti setelah usai acara pernikahan, papa dan mamanya Aryo kembali ke Jakarta.Mereka yang memegang kantor di Jakarta, juga sudah menetap di sana."Kami mau mampir dulu ke rumah Papa Kuswoyo, Nes." Sambil berkemas, Herlina memandang sang adik yang tampak lelah. Lelah karena seminggu ini mempersiapkan acara pernikahan yang padat, juga mungkin karena semalam adalah malam pertama bagi Agnes dan suaminya. Hmm ... rambut adiknya terlihat masih belum seberapa kering.Kemarin memang acara resepsi ngunduh mantu yang diselenggarakan secara megah di hotel berbintang. Dilanjutkan dengan acara keluarga di rumah orang tuanya Aryo yang ada di Jogja. Agnes sungguh beruntung. Keluarga
Dua bulan kemudian ....Langit Surabaya begitu cerah pagi itu, seolah turut merayakan momen bahagia yang tengah berlangsung di salah satu hotel berbintang di pusat kota. Dekorasi berwarna emas dan putih mendominasi ruangan, menciptakan suasana elegan nan hangat. Hari ini adalah hari pernikahan Agnes dan Aryo.Setelah melangsungkan acara lamaran satu bulan yang lalu di rumah Pak Danu, hari ini menjadi momen kebahagiaan mereka dalam ikatan yang sah.Jam delapan pagi tadi, acara ijab qobul berjalan sangat khidmat.Sekarang Agnes dan Aryo bak raja sehari, duduk di pelaminan yang megah. Mengenakan busana pengantin Paes Ageng. Aryo tampak gagah dengan busana dada terbuka dan kepala yang dihiasi oleh Kuluk Kanigaran. Sedangkan Agnes menggunakan kemben dan kalung sungsun.Aryo di dampingi papa dan mamanya, sementara Agnes di dampingi Bu Karlina yang berdiri tepat di sebelahnya, lalu Herlina, Bu Danu, dan Pak Danu. Pria itu tetap memberikan kesempatan pada mantan istri untuk mendampingi putri
Mendengar itu, dada Agnes berdebar hebat. Merasa malu sekaligus terharu. Ia tahu Aryo serius, tapi mendengar langsung pernyataan cintanya di hadapan sang papa dan mama tirinya, membuat wajah Agnes serasa menghangat karena malu."Saya serius, Pak. Saya sudah menunggu empat tahun untuk bisa datang ke Surabaya bertemu dengan Bapak." Jawaban Aryo yang membuat Agnes kian terharu sekaligus tersanjung.Pak Danu tersenyum bahagia, tampak puas dengan jawaban Aryo. Lelaki yang mencintai putrinya bukan pria sembarangan. Sosok keturunan ningrat yang jelas masa depannya. Dalam hati sangat bersyukur, anak yang menderita batin sejak kecil, kini mendapatkan calon suami yang benar-benar mencintainya."Baiklah. Saya tunggu keluargamu datang untuk melamar." Pak Danu pun tidak terlalu banyak berbasa-basi. Gestur Aryo sangat terbaca jelas, bagaimana dia sangat serius dengan putrinya.Aryo mengangguk. "Ya, Pak. Saya akan mengabari secepatnya."Selesai mereka bicara dengan Pak Danu dan istrinya, Agnes tida
SEBELUM BERPISAH- Satu Momen di Surabaya "Aku hampir nggak pernah bertemu dengan ketiga kakakku dari papa," gumam Agnes."Terakhir aku bertemu mereka sudah lama sekali. Waktu aku datang ke rumah ini untuk menjenguk papa yang tengah sakit. Lama banget itu. Enam atau tujuh tahun yang lalu. Aku masih kuliah.""Mungkin kali ini juga menjadi kesempatanmu untuk bertemu dengan mereka," ujar Aryo.Agnes menghela nafas panjang. Menata hatinya yang kalang kabut. Tidak pernah datang, tiba-tiba ke sana dengan mengajak seorang laki-laki."Kita turun sekarang?""Ya," jawab Agnes sambil menata blouse yang ia pakai. Menyelipkan rambut di belakang telinga. Lantas membuka pintu mobil bersamaan dengan Aryo.Mereka mendekati pagar, Agnes menelpon sang papa. "Aku sudah di depan, Pa," ucapnya setelah panggilan dijawab. "Masuk saja. Papa tunggu di dalam," jawab Pak Danu.Agnes kembali menyimpan ponselnya ke dalam tas. "Kita masuk, Mas!"Aryo mengikuti Agnes yang membuka pintu pagar. Mereka melangkah di h
"Sudah empat tahun. Sejak aku mulai bekerja di sini. Dia juga baru tinggal di Jogja tujuh tahunan. Sebelumnya tinggal di Jakarta.""Kamu sudah menceritakan tentangmu padanya?""Sudah.""Dia nggak menjauhimu. Berarti dia bisa menerimamu. Aryo sudah cukup jelas menunjukkan keseriusannya. Minta ke dia untuk memberitahu orang tuanya tentang kamu, Nes."Hening kembali. Mungkin sebenarnya orang tua Aryo sudah tahu. Yang dipikirkan Agnes sekarang memang kakaknya. Dia berharap Herlina menikah lebih dulu.Herlina memandang sang adik. Apa yang membuat adiknya minder, bukankah papanya orang berada. Kakak-kakak yang seayah dengan Agnes juga sukses semua. "Jangan tunggu mbak. Usiamu sudah dua puluh delapan tahun, Nes."Agnes memandang kakaknya sekilas. Kembali mereka terdiam hingga denting ponsel membuat Agnes meraih benda pipih di nakas sebelahnya.[Jam berapa besok kalian mau berangkat ke Surabaya?][Pagi, Mas. Jam 6 berangkat dari sini.][Oke. Setengah enam aku sampai di kosanmu. Pakai mobilk
"Aku sudah lama sekali memaafkan semuanya. Kamu nggak perlu merasa bersalah lagi. Hidup ini terlalu singkat untuk menyimpan dendam. Herlina dan aku serta adik-adiknya juga sudah bisa bertemu dan berkomunikasi dengan baik. "Semua permasalahan sudah berlalu. Kita punya jalan hidup masing-masing. Aku bersyukur kita bisa bertemu seperti ini dalam keadaan masih sehat."Kita hanya manusia. Nggak ada yang sempurna. Semoga kita bisa menjalani hidup ini dengan lebih baik lagi di sisa usia kita."Mendengar itu, Bu Karlina tersentuh, terharu, dan malu. Sebisa mungkin menahan air matanya supaya tidak jatuh.Herlina yang duduk di samping ibunya ikut terharu melihat momen itu. Sebenarnya sang papa adalah pria penyabar sejak dulu. Namun Herlina menutup mata disaat doktrin sang ibu sangat mendominasi dikala masa pertumbuhannya.Sekarang setelah berpuluh tahun, lelaki itu begitu legowo memberikan maafnya.Sedangkan Bu Fatimah hanya menjadi pendengar. Dia tidak boleh ikut campur urusan masa lalu suami
SEBELUM BERPISAH- Serius "Kamu saja yang nemui papamu, Her. Mama nggak usah." Bu Karlina tidak percaya diri bertemu dengan mantan suaminya. "Ma, bukannya ini kesempatan yang bagus. Mama bisa bertemu Papa dan meminta maaf atas apa yang pernah terjadi." Herlina berucap persis seperti apa yang dikatakan Bu Karlina ketika sang anak ragu untuk mencari papanya beberapa bulan yang lalu.Wajah Bu Karlina menegang, sorot matanya penuh kecemasan. "Kamu tahu sendiri apa yang pernah Mama lakukan ke papamu. Mama nggak tahu harus bicara apa kalau bertemu. Mama belum siap, Her.""Papa sudah lama memaafkan kita. Beliau bahkan nggak pernah membahas masa lalu setiap kali kami ngobrol di telepon. Papa sudah bahagia dengan hidupnya sekarang. Lagipula, kalau Mama terus menghindar, kapan lagi Mama bisa meminta maaf."Bu Karlina diam. Herlina benar. Bukankah ini kesempatan untuk bertemu dengan orang yang pernah disakitinya. Namun ia malu. Karena kondisinya yang sekarang terpuruk sedangkan sang mantan san