Share

1-MIMPI BURUK

“Hahhh ….”

Nafasku terengah-engah. Lagi-lagi, mimpi buruk itu. Sudah dua hari Satria dikuburkan, tetapi di mimpiku seolah dia kembali ke rumah ini–seperti ada sesuatu yang belum selesai dilakukannya. Namun, semua itu kutampik. Kurasa aku masih belum bisa menerima kepergiannya.

Aku melihat sekelilingku.

Gelap.

Bahkan, lampu minyak di sudut kamarku, tidak membantu penerangan sama sekali.

Desa yang awalnya sepi, semakin sepi karena malam. Bahkan, terasa hening sekali. Jika ada jarum yang jatuh ke lantai rumah ini, mungkin tetanggaku yang rumahnya cukup jauh dari sini, dapat mendengarnya.

Mungkin, ini perasaanku saja. Sejak kematian mendadak Satria di rawa-rawa, jarang sekali orang yang sengaja keluar rumah pada malam hari. Desa ini semakin tampak kosong. Kalau saja tidak ada lampu-lampu lima watt yang menyala dari depan rumah, kuyakin orang luar akan mengira bahwa desa ini tidak berpenghuni.

Aku pun menuju ke ruang tengah dan meraih buku dengan tulisan Aminah Siti Nur di sampulnya. Buku ini adalah temanku–tempatku mengadu tentang kehidupanku di desa terpencil ini. Keluhan-keluhan yang tak dapat kusampaikan pada Satria mengenai sulitnya beradaptasi di desa impiannya ini, kutuangkan di buku ini.

Kunyalakan radio dengan volume paling kecil dan segera membuka halaman kosong.

[ 9 May 1996

Lagi-lagi, aku bermimpi Satria datang kepadaku. Sosok yang kucintai itu terlihat menyeramkan. Kurasa kematiannya meninggalkan trauma pada diriku.

Aku bingung memikirkan hari esok. Bagaimana caranya aku bertahan di desa terpencil ini? Belum lagi, bersama Ayu–anak Satria dari pernikahan pertamanya.

Anak itu sedang berada di dalam kamarnya. Mungkin, sama sepertiku, dia masih bersedih mengingat ayahnya yang meninggal hari itu. Sengaja, kubiarkan dia sendiri. Mungkin, dia akan bisa menjalani hari esok seperti biasa–meskipun tanpa adanya sosok ayah di sampingnya lagi.

Apakah aku bisa menjadi ibu sambung yang baik untuknya? Bagaimana jika aku justru menyakiti anak itu tanpa kusadari, seperti di mimpi-mimpi burukku? Sungguh hormat sebesar-besarnya kuberikan bagi para perempuan yang bisa membesarkan anak orang lain, seperti milik mereka sendiri. Aku— ]

Wuuush!

Aku berhenti menulis. Tiba-tiba kurasakan suhu menjadi dingin. Ada hawa yang menusuk, sehingga membuat tubuhku seketika merinding.

“Desa sialan,” lirihku pelan memaki desa terpencil ini. Namun, dingin yang semakin menusuk membuatku bergegas mengambil jaket yang ada di dalam kamar.

Namun … rasa dingin itu tetap saja terasa oleh tubuhnya walaupun jaket telah kupakai. Bahkan, kini aku juga seakan diawasi oleh seseorang. Beberapa kali aku melihat ke setiap sudut ruangan rumah. Sayangnya, tidak ada siapapun di sana.

Rumah ini hanya berisi aku dan Ayu yang menangis di kamarnya.

Sepertinya, pikiranku kacau sampai-sampai berhalusinasi.

Aku pun melanjutkan diri untuk menulis buku harianku itu.

“Mi … nah ….” Tanganku seketika berhenti menulis saat mendengar seseorang seperti memanggil namaku. Tepat di telingaku! Bulu kudukku merinding. Terlebih, suara itu seperti dikeluarkan oleh orang yang sedang kesakitan.

Kini suara itu kembali terdengar tepat dari arah jendela yang tertutup di luar rumah. Seakan-akan, seseorang yang memanggilku tadi berdiri disana dengan napas yang terdengar sangat berat.

Aku teringat jasad Satria yang mengenaskan ketika pertama kali ditemukan mengambang di rawa-rawa.

Aku mulai merasa ngeri. Namun, akal sehatku menolak ide bahwa ada makhluk halus di rumah ini. Jadi, aku kini sengaja membesarkan volume radio agar otakku dapat terjauh dari hal-hal aneh yang bisa membuat ketakutan.

Anehnya, suasana semakin lama semakin hening.

Semakin sepi, bahkan aku merasa menggigil seperti kedinginan. Aku gelisah. Tubuhku bahkan bergetar tanpa kusadari.

Hingga akhirnya ….

Brak!

Jendela yang sudah tertutup rapat itu terbuka sendiri. Tak sadar, pulpen kulempar saking kagetnya. Bagaimana mungkin jendela itu terbuka? Ada kayu berat di depannya yang tidak mungkin terbuka hanya karena angin. Ini seperti … ada orang di sana yang sengaja membukanya!

Detak jantungku menggila.

Apalagi, angin malam yang sangat dingin tiba-tiba berhembus dari arah luar. Rasa takut mulai tak dapat kuhindari.

Sekali lagi, aku menoleh ke arah jendela. Hanya ada kegelapan malam di luar sana yang membuat siapapun akan takut ketika melihatnya.

Tubuhku membeku, seakan tidak bisa bergerak sama sekali.

“Siapa di sana? Jangan macam-macam, ya!” ucapku sambil bergetar.

Kucoba berpikir jernih. Apa mungkin ada anak tetangga yang mengerjaiku? Anak-anak memang tidak bisa dicegah kelakuannya, kan?

Suara aneh itu masih terdengar di sana. Dengan ragu, kudekati jendela itu walau kusadari bahwa tubuhku bergetar hebat–ketakutan.

Sekarang, suara langkah kakiku yang melangkah di lantai kayu terdengar. Entah mengapa, justru membuat suasana semakin mencekam. Seandainya ada Satria di sini. Suamiku yang pemberani itu pasti akan segera menemukan bocah nakal mana yang mengerjaiku!

Kedua tanganku saling memegang satu sama lain–mendekat ke arah dada, berharap menemukan pelaku kejahilan ini segera.

Karena–

Krosak … krosak … krosak ….

Tubuhku membeku ketika mendengar kembali suara aneh itu. Apalagi, kali ini ditambah dengan suara lain, seperti ada yang melewati semak-semak yang ada di kebun yang terdengar.

“Apakah itu adalah suara babi hutan?” Aku mulai berpikir bukan bocah-bocah nakal yang membuat suara aneh itu. Tunggu! Tapi, tidak mungkin babi hutan bisa membuka jendela rumah. Apalagi, memanggil namaku?!

Aku benar-benar bingung sekarang. Rasa takutku mulai tidak terbendung. Suasana di sekitarku benar-benar tidak mengenakkan.

Dari jendela, dapat kulihat tidak ada apapun di luar sana. Yang ada hanyalah kegelapan karena rumah kami memang dikelilingi oleh kebun luas yang baru mulai digarap selama tiga bulan ini.

Selain lampu lima watt yang menyala di depan rumah para warga–yang terlihat seperti titik-titik kecil–karena rumah antar tetangga jaraknya berjauhan, tidak ada apa pun yang terlihat!

Jujur, aku sangat takut untuk menutup jendela saat itu. Tanganku bergetar ketika aku menarik sebuah tali kecil yang digantung di jendela untuk ditarik agar jendela tertutup. Namun, mau tidak mau, aku harus melakukan hal itu agar jendelanya tertutup rapat dan tidak terbuka kembali nantinya.

Seeet

Akhirnya, jendela tertutup secara perlahan. Sayangnya, suara itu kembali terdengar. Kali ini lebih parah!

“Minaaaaaaaaaahhhhh!”

Suara itu tiba-tiba muncul tepat di sebelah kiri telingaku, sehingga langsung kulepaskan tali yang sedang kupegang.

Aku segera mundur beberapa langkah sehingga merapat ke arah dinding.

Deg! Deg! Deg!

Detak jantungku menggila. Kedua tanganku memegang dinding yang ada di belakangku karena suara ini benar-benar terdengar sangat jelas.

Kutolehkan kepalaku ke sebelah kiri–ke arah asal suara tersebut. Namun, tidak ada apapun yang terlihat. Hanya ada sebuah kursi kosong tempat biasanya Satria duduk dan mengobrol denganku pada malam hari.

Kali ini, aku benar-benar ketakutan. Kucoba tenangkan diri, tetapi tidak berhasil. Kurapalkan doa, tetap gagal.

Ada apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi?

“BUNDAAAAAAAAA!” Teriakan Ayu tiba-tiba terdengar..

Aku yang masih ketakutan pun kini kembali dikejutkan oleh suara Ayu. Segera, aku langsung membalikan tubuh dan berlari ke arah kamar Ayu.

“Ayu! Kenapa kamu, Ayu?”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
boy s.
iih sereeem bingit ..baru baca sedikit aja udahan ..hehe..good job dear writer
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status