“Hahhh ….”
Nafasku terengah-engah. Lagi-lagi, mimpi buruk itu. Sudah dua hari Satria dikuburkan, tetapi di mimpiku seolah dia kembali ke rumah ini–seperti ada sesuatu yang belum selesai dilakukannya. Namun, semua itu kutampik. Kurasa aku masih belum bisa menerima kepergiannya.
Aku melihat sekelilingku.
Gelap.
Bahkan, lampu minyak di sudut kamarku, tidak membantu penerangan sama sekali.
Desa yang awalnya sepi, semakin sepi karena malam. Bahkan, terasa hening sekali. Jika ada jarum yang jatuh ke lantai rumah ini, mungkin tetanggaku yang rumahnya cukup jauh dari sini, dapat mendengarnya.
Mungkin, ini perasaanku saja. Sejak kematian mendadak Satria di rawa-rawa, jarang sekali orang yang sengaja keluar rumah pada malam hari. Desa ini semakin tampak kosong. Kalau saja tidak ada lampu-lampu lima watt yang menyala dari depan rumah, kuyakin orang luar akan mengira bahwa desa ini tidak berpenghuni.
Aku pun menuju ke ruang tengah dan meraih buku dengan tulisan Aminah Siti Nur di sampulnya. Buku ini adalah temanku–tempatku mengadu tentang kehidupanku di desa terpencil ini. Keluhan-keluhan yang tak dapat kusampaikan pada Satria mengenai sulitnya beradaptasi di desa impiannya ini, kutuangkan di buku ini.
Kunyalakan radio dengan volume paling kecil dan segera membuka halaman kosong.
[ 9 May 1996
Lagi-lagi, aku bermimpi Satria datang kepadaku. Sosok yang kucintai itu terlihat menyeramkan. Kurasa kematiannya meninggalkan trauma pada diriku.
Aku bingung memikirkan hari esok. Bagaimana caranya aku bertahan di desa terpencil ini? Belum lagi, bersama Ayu–anak Satria dari pernikahan pertamanya.
Anak itu sedang berada di dalam kamarnya. Mungkin, sama sepertiku, dia masih bersedih mengingat ayahnya yang meninggal hari itu. Sengaja, kubiarkan dia sendiri. Mungkin, dia akan bisa menjalani hari esok seperti biasa–meskipun tanpa adanya sosok ayah di sampingnya lagi.
Apakah aku bisa menjadi ibu sambung yang baik untuknya? Bagaimana jika aku justru menyakiti anak itu tanpa kusadari, seperti di mimpi-mimpi burukku? Sungguh hormat sebesar-besarnya kuberikan bagi para perempuan yang bisa membesarkan anak orang lain, seperti milik mereka sendiri. Aku— ]
Wuuush!
Aku berhenti menulis. Tiba-tiba kurasakan suhu menjadi dingin. Ada hawa yang menusuk, sehingga membuat tubuhku seketika merinding.
“Desa sialan,” lirihku pelan memaki desa terpencil ini. Namun, dingin yang semakin menusuk membuatku bergegas mengambil jaket yang ada di dalam kamar.
Namun … rasa dingin itu tetap saja terasa oleh tubuhnya walaupun jaket telah kupakai. Bahkan, kini aku juga seakan diawasi oleh seseorang. Beberapa kali aku melihat ke setiap sudut ruangan rumah. Sayangnya, tidak ada siapapun di sana.
Rumah ini hanya berisi aku dan Ayu yang menangis di kamarnya.
Sepertinya, pikiranku kacau sampai-sampai berhalusinasi.
Aku pun melanjutkan diri untuk menulis buku harianku itu.
“Mi … nah ….” Tanganku seketika berhenti menulis saat mendengar seseorang seperti memanggil namaku. Tepat di telingaku! Bulu kudukku merinding. Terlebih, suara itu seperti dikeluarkan oleh orang yang sedang kesakitan.
Kini suara itu kembali terdengar tepat dari arah jendela yang tertutup di luar rumah. Seakan-akan, seseorang yang memanggilku tadi berdiri disana dengan napas yang terdengar sangat berat.
Aku teringat jasad Satria yang mengenaskan ketika pertama kali ditemukan mengambang di rawa-rawa.
Aku mulai merasa ngeri. Namun, akal sehatku menolak ide bahwa ada makhluk halus di rumah ini. Jadi, aku kini sengaja membesarkan volume radio agar otakku dapat terjauh dari hal-hal aneh yang bisa membuat ketakutan.
Anehnya, suasana semakin lama semakin hening.
Semakin sepi, bahkan aku merasa menggigil seperti kedinginan. Aku gelisah. Tubuhku bahkan bergetar tanpa kusadari.
Hingga akhirnya ….
Brak!
Jendela yang sudah tertutup rapat itu terbuka sendiri. Tak sadar, pulpen kulempar saking kagetnya. Bagaimana mungkin jendela itu terbuka? Ada kayu berat di depannya yang tidak mungkin terbuka hanya karena angin. Ini seperti … ada orang di sana yang sengaja membukanya!
Detak jantungku menggila.
Apalagi, angin malam yang sangat dingin tiba-tiba berhembus dari arah luar. Rasa takut mulai tak dapat kuhindari.
Sekali lagi, aku menoleh ke arah jendela. Hanya ada kegelapan malam di luar sana yang membuat siapapun akan takut ketika melihatnya.
Tubuhku membeku, seakan tidak bisa bergerak sama sekali.
“Siapa di sana? Jangan macam-macam, ya!” ucapku sambil bergetar.
Kucoba berpikir jernih. Apa mungkin ada anak tetangga yang mengerjaiku? Anak-anak memang tidak bisa dicegah kelakuannya, kan?
Suara aneh itu masih terdengar di sana. Dengan ragu, kudekati jendela itu walau kusadari bahwa tubuhku bergetar hebat–ketakutan.
Sekarang, suara langkah kakiku yang melangkah di lantai kayu terdengar. Entah mengapa, justru membuat suasana semakin mencekam. Seandainya ada Satria di sini. Suamiku yang pemberani itu pasti akan segera menemukan bocah nakal mana yang mengerjaiku!
Kedua tanganku saling memegang satu sama lain–mendekat ke arah dada, berharap menemukan pelaku kejahilan ini segera.
Karena–
Krosak … krosak … krosak ….
Tubuhku membeku ketika mendengar kembali suara aneh itu. Apalagi, kali ini ditambah dengan suara lain, seperti ada yang melewati semak-semak yang ada di kebun yang terdengar.
“Apakah itu adalah suara babi hutan?” Aku mulai berpikir bukan bocah-bocah nakal yang membuat suara aneh itu. Tunggu! Tapi, tidak mungkin babi hutan bisa membuka jendela rumah. Apalagi, memanggil namaku?!
Aku benar-benar bingung sekarang. Rasa takutku mulai tidak terbendung. Suasana di sekitarku benar-benar tidak mengenakkan.
Dari jendela, dapat kulihat tidak ada apapun di luar sana. Yang ada hanyalah kegelapan karena rumah kami memang dikelilingi oleh kebun luas yang baru mulai digarap selama tiga bulan ini.
Selain lampu lima watt yang menyala di depan rumah para warga–yang terlihat seperti titik-titik kecil–karena rumah antar tetangga jaraknya berjauhan, tidak ada apa pun yang terlihat!
Jujur, aku sangat takut untuk menutup jendela saat itu. Tanganku bergetar ketika aku menarik sebuah tali kecil yang digantung di jendela untuk ditarik agar jendela tertutup. Namun, mau tidak mau, aku harus melakukan hal itu agar jendelanya tertutup rapat dan tidak terbuka kembali nantinya.
Seeet
Akhirnya, jendela tertutup secara perlahan. Sayangnya, suara itu kembali terdengar. Kali ini lebih parah!
“Minaaaaaaaaaahhhhh!”
Suara itu tiba-tiba muncul tepat di sebelah kiri telingaku, sehingga langsung kulepaskan tali yang sedang kupegang.
Aku segera mundur beberapa langkah sehingga merapat ke arah dinding.
Deg! Deg! Deg!
Detak jantungku menggila. Kedua tanganku memegang dinding yang ada di belakangku karena suara ini benar-benar terdengar sangat jelas.
Kutolehkan kepalaku ke sebelah kiri–ke arah asal suara tersebut. Namun, tidak ada apapun yang terlihat. Hanya ada sebuah kursi kosong tempat biasanya Satria duduk dan mengobrol denganku pada malam hari.
Kali ini, aku benar-benar ketakutan. Kucoba tenangkan diri, tetapi tidak berhasil. Kurapalkan doa, tetap gagal.
Ada apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi?
“BUNDAAAAAAAAA!” Teriakan Ayu tiba-tiba terdengar..
Aku yang masih ketakutan pun kini kembali dikejutkan oleh suara Ayu. Segera, aku langsung membalikan tubuh dan berlari ke arah kamar Ayu.
“Ayu! Kenapa kamu, Ayu?”
Suasana Bandung pada sore itu sangatlah ramai. Maklum, liburan panjang membuat banyak orang terutama dari ibukota mengunjungi Bandung untuk sekedar ke restoran atau ke tempat-tempat wisata yang bisa membuat pikiran mereka kembali fresh setelah penat oleh pekerjaan mereka di setiap harinya. Aku, yang menjadi penulis dari cerita ini, kini mempunyai hobby baru, selain menuangkan tulisanku di dalam karyaku, aku juga kini menjadi seorang podcaster amatir dengan gimmick sebagai duo demit yang seringkali mengomentari manusia dalam podcastku. Cerita horor yang aku tulis dalam keadaan serius, membuatku harus mencari kesibukan lain sehingga aku bisa melepas tawa meskipun obrolannya masih sama tentang tahayul, mitos, juga para mahluk yang ada di sekitar kita. Matahari sore itu tampaknya sedikit mendung, tepat ketika aku keluar studio. Aku hari ini berencana untuk bertemu seseorang yang ingin bercerita di tempat kerjanya yang sekarang. Sebuah cerita yang mungkin saja bisa aku angkat menjadi cer
Sebuah desa yang menjadi mitos dalam keluarga dirinya, yang katanya desa itu ditinggalkan oleh ayahnya sendiri karena suatu hal yang tidak dia ketahui kini berada tepat beberapa meter di depan matanya.Pepohonan yang lebat serta ilalang yang menutupi hingga melebihi tubuhnya membuat desa ini sangat susah untuk diketahui. Bahkan warga di Desa Muara Damar yang kini menjadi sebuah kecamatan besar pun tidak mengetahui bahwa ada desa di tengah hutan seperti ini.Bahkan mereka pun terlihat enggan untuk berjalan selama enam jam lebih hanya untuk ke tempat ini, karena mereka takut hewan buas yang mungkin akan menerkam mereka di tengah hutan. Mereka pun sebenarnya tidak mengetahui bahwa ada sebuah desa terlupakan di tengah hutan yang tinggalkan oleh penghuninya yang salah satunya ayahnya sendiri.Ayahnya masih ingat bagaimana dia tiba-tiba terbangun seperti mimpi, dan terbangun di pagi hari di dekat rawa-rawa seberang Desa Muara Damar bersama dengan para warga yang lain. Namun semuanya tidak i
Aku masih ingat Bu Cucu berkata ‘TAHAAAAAN!’ dengan keras di dekatku, aku benar-benar tidak kuat ketika tuselak itu masuk ke dalam tubuhku, rasa sakit disertai rasa dingin benar-benar aku rasakan di dalam tubuhku, seperti ada ratusan jarum yang menusuk-nusukku dari dalam.Sungguh cara yang gila yang aku lakukan, namun sudah tidak ada cara lain lagi karena hal itu harus aku lakukan.Butuh waktu lima belas menit hingga tuselak itu seluruhnya masuk ke dalam tubuh, tubuhku yang merasakan sesuatu yang asing langsung melakukan penolakan dan ingin memuntahkannya, namun Bu Cucu berkata bahwa aku harus bisa menahannya hingga tuselak itu bersemayam di dalam tubuhku dengan segel dari Bu Cucu agar tidak bisa memberontak dari dalam sana.Hingga akhirnya.Aku melihat Ayu yang awalnya berdiri dengan tegap tiba-tiba jatuh seketika dengan luka darah yang mengucur dari punggungnya, jantungnya mendadak berhenti tepat ketika tuselak itu masuk ke dalam tubuhku.Aku sempat berteriak dan ingin menangkap tub
Srak, srak, srak, Tanah yang berwarna coklat tua disertai dengan banyak sekali akar-akar pohon yang berada di dalam tanah kini secara perlahan aku pindahkan kembali setelah aku gali selama beberapa jam ini. Sinar matahari yang terik sangatlah terasa dengan bau keringat yang menyengat karena dari semalam aku tidak sempat membersihkan diri atas apa yang terjadi. Aku mengangkat tanganku, menutupi wajahku yang penuh keringat, melihat langit yang kini biru dengan sedikit awan di atas sana. Apa yang terjadi semalam kini kembali berubah menjadi normal kembali ketika matahari tiba. Namun bedanya, kini semuanya telah usai. Desa Muara Ujung yang awalnya ramai, penuh dengan canda tawa, penuh dengan rasa semangat dari orang-orang yang hidupnya kembali ke titik nol di tempat ini, kini harus terusir oleh apa yang keluargaku lakukan. Haaaaaahhh Aku menghela nafas panjang, tepat ketika aku menyelesaikan pekerjaanku sekarang, aku menurunkan cangkul yang aku bawa di tanah, dan memandang sebuah pek
Kedua tanganku benar-benar berkeringat, aku menahan Ayu agar tidak bisa bergerak dengan cara apapun, parang yang aku tancapkan masih terlihat menembus punggungnya.Aku sengaja menusuknya ke arah dada, agar parang itu tidak tertahan oleh tulang rusuk yang bisa menyulitkanku ketika aku menahan Ayu.Aku benar-benar menjadi pembunuh sekarang, pembunuh dari anak tiriku sendiri, meskipun tubuhnya kini di selimuti oleh sesuatu kekuatan yang gelap yang membuatnya bisa bergerak meskipun seharusnya tubuhnya telah mati akibat luka yang dia terima.Namun tetap saja, aku adalah bagian dari pembunuhan itu, pembunuhan terhadap anak kecil tidak berdosa yang didalamnya terdapat suatu makhluk yang mengerikan.Aku yakin, Ayu sekarang sudah tiada, dia hanyalah sebuah tubuh kosong yang diambil Alih oleh tuselak.Sehingga, ketika Bu Cucu mengambil tuselak itu dengan kedua tangannya, maka tubuhnya akan seketika berhenti bergerak.“TAHANN MINAH, SEDIKIT LAGI!” kata Bu Cucu yang dengan sigap menarik bayangan
‘Aku harus bertanggung jawab.’‘Aku harus mengakhiri semua ini.’‘Ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, karena kalau Bu Cucu meregang nyawa, maka para warga desa tidak bisa lagi melarikan diri dan mereka bisa menjadi korban.’Suara-suara itu berkecamuk dalam diriku, ditengah-tengah suasana genting yang bisa saja mengakibatkan nyawaku melayang.Aku melihat ke sekeliling ketika sebuah angin yang sangat besar menghempaskan semua yang ada di sekitarku sehingga banyak dari mereka yang terpental ke segala arah.Banyak anak kecil yang terlepas dari pangkuan ibunya, banyak juga para orang tua yang terjatuh dan terguling di semak-semak. Semuanya benar-benar kacau.Apalagi, Bu Cucu sudah tampak kelelahan dengan luka yang dia terima pada saat itu.Tanganku tiba-tiba bergetar hebat, parang yang masih aku pegang dengan erat aku lihat dengan seksama.Keberanian dan ketakutan tercampur aduk saling beradu satu sama lain di dalam diriku pada saat itu.Apakah yang akan aku lakukan sekarang, apakah aku