Share

2-JENDELA

Kondisi ruangan tengah yang sebelumnya menyeramkan, sudah tidak kupedulikan. Bahkan, aku lupa apakah jendela tadi sudah tertutup sepenuhnya atau belum.

Brak!

Tak sengaja ku tabrak meja, sehingga radio dan kertas-kertas yang ada di meja tersebut berjatuhan ke lantai.

“AYUUU!” Aku berteriak saat membuka tirai berwarna merah muda–pembatas antara ruangan tengah dan kamar Ayu. Di sana, Ayu terlihat menggigil ketakutan.

Boneka besar yang menjadi teman tidurnya dijadikan penutup wajah, seolah bisa menghalangi dirinya dari hal yang membuatnya ketakutan. Anak itu terlihat menunjuk ke arah jendela yang kini terbuka–sama seperti di ruang tengah tadi.

Aku pun mengamati jendela yang terbuka dan betapa terkejutnya diriku karena ada sesosok pria yang sedang berdiri di sana.

Sosok itu terlihat sangat pucat.

Di bagian di tubuhnya terlihat beberapa bekas lilitan dari tumbuhan-tumbuhan rawa, bahkan ada satu yang melilit ke arah wajahnya dengan sangat kencang sehingga berdarah.

Wajah pucat itu dipenuhi tatapan yang sangat menakutkan dan mengarah ke Ayu, seolah begitu dendam.

“Huek.” Tanpa sadar, aku mual. Terlebih, ada bau busuk yang menyusul.

Hawa yang tidak mengenakan hati semakin menguat. Kakiku berhenti bergerak.

Ada apa ini sebenarnya? Bagaimana mungkin sosok suamiku yang baru saja meninggal dan dikuburkan, berdiri di sana? Seluruh tubuhku merinding.

“Sa-Satria?” panggilku.

Tidak, tidak mungkin itu Satria!

Mungkin saja, itu adalah sosok yang menyerupai Satria dan menakut-nakuti ayu. Kepalaku menggeleng tidak setuju. Tidak mungkin, Satria, yang sangat menyayangi putri semata wayangnya, menatap benci anaknya sendiri.

Namun, sosok itu terlalu persis dengan tubuh Satria yang pertama kali ditemukan tak bernyawa di rawa-rawa. Semua luka dan tubuhnya yang pucat karena kehilangan napas– sama dengan yang dia lihat sekarang.

“Ayuuu … kkeeessiiiniii kamuuu, Ayuuu!” Sosok itu terlihat memanggil Ayu dari luar jendela. Namun, Ayu semakin bersembunyi di balik bonekanya.

Dia mengangkat tangannya dengan jari-jarinya yang patah akibat berusaha melepaskan ikatan dari tumbuhan rawa dengan sekuat tenaga di akhir-akhir hidupnya.

Entah apa yang terjadi. Kenapa sosok itu memanggil Ayu?

Jujur, gelisah dan takut berkumpul menjadi satu. Tubuhku terasa beku.

Apakah dia makhluk yang menyerupai Satria? Atau, memang dia adalah Satria dengan urusannya yang belum selesai, sehingga dia muncul kembali dan meneror kita berdua yang ada di rumah ini?

Trak, trak, trak!

Sosok itu tiba-tiba menggerakan kepalanya yang tampak kaku. Terdengar dengan jelas suara tulang-tulang yang dipaksakan untuk bergerak ketika kepalanya dimiringkan ke kiri dan ke kanan dengan tatapannya yang sangat tajam.

Tap!

Salah satu tangan kirinya tiba-tiba memegang jendela yang terbuka lebar itu. Wajahnya yang bergerak itu masuk ke dalam kamar Ayu dengan perlahan. Dia mencondongkan tubuhnya untuk masuk ke dalam kamar dengan tangan kirinya yang terlihat sedang menggapai Ayu–seperti ingin mengambil Ayu yang masih ketakutan.

Tatapannya yang melotot terlihat sangat mengerikan. Bekas-bekas dari lilitan tumbuhan rawa kini terlihat sangat jelas ketika dia memasukan kepalanya. Apalagi, sebuah garis panjang dengan darah yang menetes dari arah mulut ke arah kening membuatnya tampak semakin menakutkan.

Kesadaranku seketika kembali ketika melihat sesuatu yang mengerikan itu dari dekat. Aku menahan rasa mualku dan segera menghampiri Ayu.

Kupaksakan tubuhku yang gemetar untuk menghampirinya segera. Bagiku, waktu terasa lambat walaupun aku berlari sekencang-kencangnya. Hingga akhirnya, aku berhasil memeluk Ayu.

Dengan keberanian yang tiba-tiba muncul begitu saja, aku berteriak sekeras yang kubisa pada sosok itu, “SATRIA SUDAH MENINGGAL DAN TENANG DI SANA!”

“PERGI KAMU, JANGAN MENYERUPAI SOSOK SUAMIKU DAN MENAKUT-NAKUTI KITA BERDUA!”

Aku rasa ini adalah teriakan terkencang yang pernah kulakukan seumur hidupku.Saking kerasnya, lampu lima watt yang menerangi kamar Ayu terlihat bergetar. Bahkan, nyalanya tiba-tiba redup beberapa kali.

Ketika lampu tersebut redup, entah mengapa sosok itu tiba-tiba menghilang dari kamar Ayu–menyisakan jendela yang terbuka dengan kegelapan di luar sana.

“Ayu takut, Mah. Ayu takut, Ayu takut dengan hantu Ayah, Mah. Ayah benar-benar marah ke Ayu.”

Aku dapat merasakan tubuh Ayu gemetar hebat ketika kupeluk. Tanpa sadar, kuusap beberapa kali kepala Ayu, berharap anak itu sedikit tenang.

“Sudah, sudah Ayu tenang, ya. Bunda yakin kalau Ayah gak akan marah seperti itu ke Ayu, kok. Ayah sayang sama Ayu. Apa yang Ayu lihat adalah makhluk yang menyerupai Ayah, yang seringkali muncul dan menakut-nakuti kita ketika ada yang meninggal. Ayah yang sebenarnya sudah tinggal di surga sekarang.”

Wushhh!

Tiba-tiba, ada angin yang berhembus kencang dari arah luar, seolah mengatakan apa yang kuucapkan pada Ayu adalah sesuatu yang salah.

Angin yang berhembus dari arah luar semakin lama semakin kencang, membawa hawa dingin yang semakin lama semakin menusuk kulit. Bahkan, hawa yang ada di kamar Ayu lebih dingin dan lebih mencekam dari apa yang aku rasakan ketika berada di ruangan tengah tadi.

Ini tidak bisa dibiarkan! Entah siapapun yang sudah mengganggu kami, aku tidak bisa memaafkannya. Kulepaskan pelukan dari Ayu secara perlahan. Namun, anak itu terlihat tidak ingin melepaskan pelukanku.

“Bunda mau ke mana?” kata Ayu dengan nada yang pelan.

“Bunda mau nutupin jendela kamar Ayu dulu, ya. Biar Ayu gak ketakutan ketika lihat jendela yang terbuka itu.” Aku berusaha tersenyum di depan Ayu, meskipun sebenarnya kurasakan ketakutan yang sama dengan yang sedang dialami oleh Ayu.

Dengan waspada–takut sosok itu muncul kembali di tempat yang tidak diperkirakan–aku melangkahkan kaki dengan berhati-hati, hingga akhirnya aku sampai di dekat jendela kamar Ayu.

Sengaja, aku keluarkan kepalaku meskipun aku sendiri ketakutan. Bahkan, dapat kurasakan bulir-bulir keringat dingin muncul secara perlahan di wajahku. Namun, aku harus memastikan bahwa semuanya aman. Aku tidak ingin sosok yang menyerupai Satria memunculkan dirinya lagi.

Kuperhatikan sekeliling. Semuanya tampak gelap. Seperti yang kulihat dari jendela di ruang tengah, hanya titik-titik cahaya kecil dari rumah tetangga yang terlihat. Aku mengibaskan tanganku ke arah telinga kiri dan kanannya–takut ada suara yang muncul tiba-tiba memanggil diriku seperti di ruang tengah tadi.

Kali ini, untungnya hal itu tidak terjadi.

Aku bahkan memberanikan diri untuk mengeluarkan setengah badanku ke luar jendela– untuk memastikan sosok itu tidak ada lagi.

Benar saja, sosok itu tidak ada. Hanya ada kegelapan total dan hening yang mengiringinya. Bahkan, entah kenapa, suara-suara hewan malam yang biasanya terdengar di malam-malam sebelumnya, tiba-tiba menghilang.

Tidak ada suara jangkrik, kodok, bahkan suara burung malam pun tidak terdengar sama sekali.

Derit jendela terdengar ketika kututup perlahan. Namun, hawa dingin yang dirasakan masih membuatnya tetap sama. Aku masih takut akan hal-hal yang di luar nalar seperti tadi kembali lagi. Namun, kupaksakan diri untuk berani supaya Ayu juga tidak ketakutan lagi.

“Sudah ya, nak. Ayu jangan ketakutan lagi, ya!” kataku sambil tersenyum di dekat jendela kamarnya.

Ayu yang melihat senyumanku, mulai mengangguk. Baiklah, sudah kuputuskan untuk menemaninya malam ini.

Namun, tepat ketika aku melangkahkan kaki untuk mendekati Ayu, tiba-tiba lampu rumahku mendadak mati!

Gelap gulita menyelimuti ruangan ini.

“AHH…!”

Ayu yang awalnya tenang, kini terdengar panik kembali. Rasa takut kembali muncul–apalagi dia tidak berani beranjak dari tempat tidurnya.

Sambil meraba-raba dinding kamar, aku berusaha menggapai Ayu agar dia tidak ketakutan lagi. Rasa mencekam semakin meningkat, hingga membuatku semakin bergegas mendekati anak itu.

“Tenang nak, tenang!” ucapku yang sebenarnya mulai panik. Setelah kutemukan Ayu, aku segera memeluknya dalam kegelapan.

Akal sehatku mulai hilang. Situasi ini semakin lama semakin terasa sangat aneh. Aku semakin bertanya-tanya kenapa tiba-tiba suasana rumah menjadi seperti ini. Semuanya menjadi menakutkan dan mencekam.

Prang!

Tiba-tiba, terdengar suara yang sangat keras dari arah ruangan tengah. Ada benda yang jatuh. Bahkan, disertai dengan suara napas yang berat yang Minah dengar dari luar jendela di ruangan tengah–terdengar persis di ruangan tengah yang letaknya di sebelah ruangan Ayu yang gelap ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status