Kondisi ruangan tengah yang sebelumnya menyeramkan, sudah tidak kupedulikan. Bahkan, aku lupa apakah jendela tadi sudah tertutup sepenuhnya atau belum.
Brak!
Tak sengaja ku tabrak meja, sehingga radio dan kertas-kertas yang ada di meja tersebut berjatuhan ke lantai.
“AYUUU!” Aku berteriak saat membuka tirai berwarna merah muda–pembatas antara ruangan tengah dan kamar Ayu. Di sana, Ayu terlihat menggigil ketakutan.
Boneka besar yang menjadi teman tidurnya dijadikan penutup wajah, seolah bisa menghalangi dirinya dari hal yang membuatnya ketakutan. Anak itu terlihat menunjuk ke arah jendela yang kini terbuka–sama seperti di ruang tengah tadi.
Aku pun mengamati jendela yang terbuka dan betapa terkejutnya diriku karena ada sesosok pria yang sedang berdiri di sana.
Sosok itu terlihat sangat pucat.
Di bagian di tubuhnya terlihat beberapa bekas lilitan dari tumbuhan-tumbuhan rawa, bahkan ada satu yang melilit ke arah wajahnya dengan sangat kencang sehingga berdarah.
Wajah pucat itu dipenuhi tatapan yang sangat menakutkan dan mengarah ke Ayu, seolah begitu dendam.
“Huek.” Tanpa sadar, aku mual. Terlebih, ada bau busuk yang menyusul.
Hawa yang tidak mengenakan hati semakin menguat. Kakiku berhenti bergerak.
Ada apa ini sebenarnya? Bagaimana mungkin sosok suamiku yang baru saja meninggal dan dikuburkan, berdiri di sana? Seluruh tubuhku merinding.
“Sa-Satria?” panggilku.
Tidak, tidak mungkin itu Satria!
Mungkin saja, itu adalah sosok yang menyerupai Satria dan menakut-nakuti ayu. Kepalaku menggeleng tidak setuju. Tidak mungkin, Satria, yang sangat menyayangi putri semata wayangnya, menatap benci anaknya sendiri.
Namun, sosok itu terlalu persis dengan tubuh Satria yang pertama kali ditemukan tak bernyawa di rawa-rawa. Semua luka dan tubuhnya yang pucat karena kehilangan napas– sama dengan yang dia lihat sekarang.
“Ayuuu … kkeeessiiiniii kamuuu, Ayuuu!” Sosok itu terlihat memanggil Ayu dari luar jendela. Namun, Ayu semakin bersembunyi di balik bonekanya.
Dia mengangkat tangannya dengan jari-jarinya yang patah akibat berusaha melepaskan ikatan dari tumbuhan rawa dengan sekuat tenaga di akhir-akhir hidupnya.
Entah apa yang terjadi. Kenapa sosok itu memanggil Ayu?
Jujur, gelisah dan takut berkumpul menjadi satu. Tubuhku terasa beku.
Apakah dia makhluk yang menyerupai Satria? Atau, memang dia adalah Satria dengan urusannya yang belum selesai, sehingga dia muncul kembali dan meneror kita berdua yang ada di rumah ini?
Trak, trak, trak!
Sosok itu tiba-tiba menggerakan kepalanya yang tampak kaku. Terdengar dengan jelas suara tulang-tulang yang dipaksakan untuk bergerak ketika kepalanya dimiringkan ke kiri dan ke kanan dengan tatapannya yang sangat tajam.
Tap!
Salah satu tangan kirinya tiba-tiba memegang jendela yang terbuka lebar itu. Wajahnya yang bergerak itu masuk ke dalam kamar Ayu dengan perlahan. Dia mencondongkan tubuhnya untuk masuk ke dalam kamar dengan tangan kirinya yang terlihat sedang menggapai Ayu–seperti ingin mengambil Ayu yang masih ketakutan.
Tatapannya yang melotot terlihat sangat mengerikan. Bekas-bekas dari lilitan tumbuhan rawa kini terlihat sangat jelas ketika dia memasukan kepalanya. Apalagi, sebuah garis panjang dengan darah yang menetes dari arah mulut ke arah kening membuatnya tampak semakin menakutkan.
Kesadaranku seketika kembali ketika melihat sesuatu yang mengerikan itu dari dekat. Aku menahan rasa mualku dan segera menghampiri Ayu.
Kupaksakan tubuhku yang gemetar untuk menghampirinya segera. Bagiku, waktu terasa lambat walaupun aku berlari sekencang-kencangnya. Hingga akhirnya, aku berhasil memeluk Ayu.
Dengan keberanian yang tiba-tiba muncul begitu saja, aku berteriak sekeras yang kubisa pada sosok itu, “SATRIA SUDAH MENINGGAL DAN TENANG DI SANA!”
“PERGI KAMU, JANGAN MENYERUPAI SOSOK SUAMIKU DAN MENAKUT-NAKUTI KITA BERDUA!”
Aku rasa ini adalah teriakan terkencang yang pernah kulakukan seumur hidupku.Saking kerasnya, lampu lima watt yang menerangi kamar Ayu terlihat bergetar. Bahkan, nyalanya tiba-tiba redup beberapa kali.
Ketika lampu tersebut redup, entah mengapa sosok itu tiba-tiba menghilang dari kamar Ayu–menyisakan jendela yang terbuka dengan kegelapan di luar sana.
“Ayu takut, Mah. Ayu takut, Ayu takut dengan hantu Ayah, Mah. Ayah benar-benar marah ke Ayu.”
Aku dapat merasakan tubuh Ayu gemetar hebat ketika kupeluk. Tanpa sadar, kuusap beberapa kali kepala Ayu, berharap anak itu sedikit tenang.
“Sudah, sudah Ayu tenang, ya. Bunda yakin kalau Ayah gak akan marah seperti itu ke Ayu, kok. Ayah sayang sama Ayu. Apa yang Ayu lihat adalah makhluk yang menyerupai Ayah, yang seringkali muncul dan menakut-nakuti kita ketika ada yang meninggal. Ayah yang sebenarnya sudah tinggal di surga sekarang.”
Wushhh!
Tiba-tiba, ada angin yang berhembus kencang dari arah luar, seolah mengatakan apa yang kuucapkan pada Ayu adalah sesuatu yang salah.
Angin yang berhembus dari arah luar semakin lama semakin kencang, membawa hawa dingin yang semakin lama semakin menusuk kulit. Bahkan, hawa yang ada di kamar Ayu lebih dingin dan lebih mencekam dari apa yang aku rasakan ketika berada di ruangan tengah tadi.
Ini tidak bisa dibiarkan! Entah siapapun yang sudah mengganggu kami, aku tidak bisa memaafkannya. Kulepaskan pelukan dari Ayu secara perlahan. Namun, anak itu terlihat tidak ingin melepaskan pelukanku.
“Bunda mau ke mana?” kata Ayu dengan nada yang pelan.
“Bunda mau nutupin jendela kamar Ayu dulu, ya. Biar Ayu gak ketakutan ketika lihat jendela yang terbuka itu.” Aku berusaha tersenyum di depan Ayu, meskipun sebenarnya kurasakan ketakutan yang sama dengan yang sedang dialami oleh Ayu.
Dengan waspada–takut sosok itu muncul kembali di tempat yang tidak diperkirakan–aku melangkahkan kaki dengan berhati-hati, hingga akhirnya aku sampai di dekat jendela kamar Ayu.
Sengaja, aku keluarkan kepalaku meskipun aku sendiri ketakutan. Bahkan, dapat kurasakan bulir-bulir keringat dingin muncul secara perlahan di wajahku. Namun, aku harus memastikan bahwa semuanya aman. Aku tidak ingin sosok yang menyerupai Satria memunculkan dirinya lagi.
Kuperhatikan sekeliling. Semuanya tampak gelap. Seperti yang kulihat dari jendela di ruang tengah, hanya titik-titik cahaya kecil dari rumah tetangga yang terlihat. Aku mengibaskan tanganku ke arah telinga kiri dan kanannya–takut ada suara yang muncul tiba-tiba memanggil diriku seperti di ruang tengah tadi.
Kali ini, untungnya hal itu tidak terjadi.
Aku bahkan memberanikan diri untuk mengeluarkan setengah badanku ke luar jendela– untuk memastikan sosok itu tidak ada lagi.
Benar saja, sosok itu tidak ada. Hanya ada kegelapan total dan hening yang mengiringinya. Bahkan, entah kenapa, suara-suara hewan malam yang biasanya terdengar di malam-malam sebelumnya, tiba-tiba menghilang.
Tidak ada suara jangkrik, kodok, bahkan suara burung malam pun tidak terdengar sama sekali.
Derit jendela terdengar ketika kututup perlahan. Namun, hawa dingin yang dirasakan masih membuatnya tetap sama. Aku masih takut akan hal-hal yang di luar nalar seperti tadi kembali lagi. Namun, kupaksakan diri untuk berani supaya Ayu juga tidak ketakutan lagi.
“Sudah ya, nak. Ayu jangan ketakutan lagi, ya!” kataku sambil tersenyum di dekat jendela kamarnya.
Ayu yang melihat senyumanku, mulai mengangguk. Baiklah, sudah kuputuskan untuk menemaninya malam ini.
Namun, tepat ketika aku melangkahkan kaki untuk mendekati Ayu, tiba-tiba lampu rumahku mendadak mati!
Gelap gulita menyelimuti ruangan ini.
“AHH…!”
Ayu yang awalnya tenang, kini terdengar panik kembali. Rasa takut kembali muncul–apalagi dia tidak berani beranjak dari tempat tidurnya.
Sambil meraba-raba dinding kamar, aku berusaha menggapai Ayu agar dia tidak ketakutan lagi. Rasa mencekam semakin meningkat, hingga membuatku semakin bergegas mendekati anak itu.
“Tenang nak, tenang!” ucapku yang sebenarnya mulai panik. Setelah kutemukan Ayu, aku segera memeluknya dalam kegelapan.
Akal sehatku mulai hilang. Situasi ini semakin lama semakin terasa sangat aneh. Aku semakin bertanya-tanya kenapa tiba-tiba suasana rumah menjadi seperti ini. Semuanya menjadi menakutkan dan mencekam.
Prang!
Tiba-tiba, terdengar suara yang sangat keras dari arah ruangan tengah. Ada benda yang jatuh. Bahkan, disertai dengan suara napas yang berat yang Minah dengar dari luar jendela di ruangan tengah–terdengar persis di ruangan tengah yang letaknya di sebelah ruangan Ayu yang gelap ini.
Aku kembali teringat dengan jendela yang belum sempat aku tutup ketika aku berlari menghampiri Ayu pada waktu itu.Namun, aku tidak bisa berbuat apa-apa sekarang. Situasi di dalam kamar benar-benar gelap, tidak ada satupun titik cahaya yang bisa membantu melihat situasi yang ada di ruangan tengah.“Bunda, Ayu takut!”Ayu berkata dengan mulutnya yang gemetar. Semakin lama, pelukannya semakin erat. Aku hanya bisa mengusap kepalanya beberapa kali–sebisa mungkin menenangkannya.“Ayu … Ayu gak boleh takut. Ada Bunda di sini ya, nak!”Suara langkah kaki yang aku dengar diluar kini mulai menghilang. Suasana kembali menjadi hening dengan kegelapan yang masih menyelimuti kamar Ayu dan rumahku ini.Aku ingin sekali memastikan semuanya aman. Sayangnya, tidak bisa! Penerangan–yang seharusnya membantuku melangkah ke ruangan tengah–tidak ada sama sekali di sini.“Ayu!” kataku, “bukannya Ayu ada mainan yang bisa menyala? Itu disimpan di mana? Mainan yang seperti tongkat penyihir yang dulu diberikan
Arggghh!Aku merenyit kesakitan ketika pecahan-pecahan kaca itu aku injak, wajahku tak kuasa menahan rasa sakit ketika aku berlari ke arah kamar Ayu pada saat itu.Aku panik, benar-benar panik, aku tidak memperdulikan kakiku yang kini berlumuran darah segar yang menetes ke lantai.Suasana benar-benar terasa mencekam ketika aku berlari ke arah kamar, jarak yang seharusnya dekat pun terasa jauh, apalagi ditambah dengan rasa sesak yang aku rasakan, seperti sedang menembus beberapa orang yang saling berdesakan di ruangan yang kecil ini.Aku berusaha sekuat tenaga untuk cepat sampai ke arah kamar, meskipun aku harus berjibaku dengan rasa sakit dan sesak yang aku rasakan sekarang.Namun,Ketika aku beberapa langkah lagi sampai ke depan kamar. Di balik sebuah tirai kamar yang terbuka, aku melihat seseorang yang sedang berdiri tegak dan memandang ke arahku.Lampu kamar yang terang membuatnya seperti bayangan yang berdiri di pintu kamar dengan tirai yang tersibak.Aku sontak berhenti, aku tak
Cahaya sinar bulan purnama terlihat lebih redup dari sebelumnya, bintang-bintang dilangit yang seharusnya berkilauan kini mendadak menghilang, digantikan oleh awan hitam tipis yang menutupi langit malam sehingga sinarnya yang awalnya membuat tenang kini menjadi kelam.Hawa diluar cukup dingin, bahkan lebih dingin dari sebelumnya, suasana yang mencekam membuat semua orang yang keluar pada malam itu pasti akan bergidik ketakutan.Apalagi aku, yang pada saat ini sedang berjalan menyusuri kebun di belakang rumah dengan kewaspadaan penuh untuk mencari Ayu yang hilang entah kemana.Semua warga yang tinggal di Desa Muara Ujung memang memiliki kebun yang luas di belakang rumahnya, kebun-kebun sebanyak dua hektar yang dikelola oleh masing-masing keluarga menjadikannya sebagai sumber pendapatan dan penghidupan bagi mereka yang pindah dan menetap di desa ini.Sehingga, apabila kita memasuki kebun tersebut kita bisa saja tersesat saking luasnya, apalagi pada malam hari, dimana tidak ada peneranga
Belaian lembut dari tanganku sepertinya membuat Ayu sedikit agak tenang, suara tangisan yang awalnya keras kini terasa perlahan-lahan berhenti setelah aku mengusap-usap kepalanya.Kondisi tubuh Ayu benar-benar parah, baju dan celananya tampak sobek seperti terkena sesuatu yang menyentuh tubuhnya dengan keras. Sehingga dia tampak menggigil kedinginan di dalam isak tangis yang dia rasakan sekarang.Namun, tubuhnya yang kecil dan mungil itu tampak masih sehat dan bugar tanpa ada bekas luka di seluruh tubuhnya.Aku merasakan hal aneh dengan tubuh Ayu, karena aku yang melihat sendiri ketika kepala Ayu berputar seratus delapan puluh derajat ke arahku ketika di dalam rumah, kini terlihat kembali normal.Aku bahkan memeriksa lehernya, karena aku dengan jelas melihat kulitnya yang mengkerut ketika kepalanya berputar dengan suara tulang-tulang yang saling beradu satu sama lain.Tapi, tetap saja, leher Ayu tampak normal, tidak ada bekas luka dari leher yang diputar secara paksa pada saat itu. Be
Jujur, pikiranku kini kembali di kacaukan ketika aku melakukan kesalahan yang membuat Ayu menghilang kembali pada saat itu.Tangan yang awalnya aku pegang erat sengaja aku lepas, karena aku mendengar sebuah suara dari semak-semak hutan yang bergerak di dalam kegelapan.Namun, rupanya suara-suara itu sengaja ada agar aku lengah dan membuatku melepaskan tangan Ayu sehingga dirinya di tarik oleh sesuatu hingga menghilang kembali di dalam hutan yang sangat gelap ini.Aku yang memaksakan diri memasuki semak-semak hutan tidak bisa melihat jejaknya sama sekali sekarang, semak-semak hutan yang rimbun dengan banyaknya tumbuhan yang berduri disana. Membuatku tidak bisa memaksakan diri lebih jauh ke dalam sana, tubuh Ayu yang kecil mungkin saja bisa masuk, namun aku tidak.Sehingga, aku berhenti beberapa meter setelah aku masuk ke dalam semak-semak yang penuh duri itu, yang secara perlahan membuat tangan dan kakiku sedikit terluka sekarang.Rasa sakit yang aku rasakan sebelum kejadian ini masih
Suara teriakanku benar-benar menggema di tengah hutan, bahkan saking kerasnya aku melihat daun-daun yang berada di sekitarku bergerak secara perlahan.Aku benar-benar tidak tega melihat Ayu dibawa seperti itu oleh Satria, seorang ayah yang kini menjadi teror setelah dirinya meninggal.Tubuh Ayu benar-benar tidak berdaya, dan teriakanku sepertinya tidak membuat hantu Satria berhenti. Dia terus saja melayang sambil menyeret Ayu dengan kasar di tengah hutan.Aku yang tidak tahan dengan hal itu kini hanya bisa berlari. Aku sudah tidak peduli dengan sosok Satria yang menyeramkan sekarang, perasaanku untuk menyelamatkan Ayu kini lebih besar daripada aku harus takut kepada sosok hantu yang ingin membawa anaknya sendiri mati bersamanya pada malam ini.Aku sudah tidak berpikir jernih sekarang, semua khayalan dan realita kini sudah tercampur sepenuhnya. Aku yang sedang berpikir logis atas apa yang terjadi sekarang sudah tidak berlaku lagi.Karena semua kejadian yang menimpaku pada saat ini suda
Suara dari Ayu yang tiba-tiba berubah menjadi suara Satria dengan nada yang sangat berat membuatku tidak bisa berbuat apa-apa lagi sekarang.Bahkan, kini Ayu yang sedang dirasuki lagi oleh Satria melompat ke arahku dengan sangat cepat, salah satu tangannya berubah seperti cakar hewan dan ingin melukaiku di tempat itu.Lompatannya sungguh tidak masuk di akal, dia seperti hewan buas yang akan menerkamku dan ingin mengoyak-ngoyak tubuhku dengan tangannya yang kecil itu.Aku benar-benar tidak siap, karena aku masih shock dengan keadaan Ayu yang benar-benar parah daripada sebelumnya. Tubuhnya yang penuh luka dan darah yang mengucur membuat batinnya kini pasti sedang merasakan sakit yang amat sangat. Namun dia tidak bisa meminta tolong kepada siapapun karena tubuhnya sedang diambil alih oleh ayahnya sendiri yang menginginkannya mati menyusul dirinya.Otakku berputar dengan cepat, dan kali ini otakku membuat tubuhku ikut bergerak, di saat rasa lelah yang aku rasakan.SetttTubuhku secara ref
Sinar berwarna merah ke kuning-kuningan akhirnya muncul secara perlahan di ufuk timur, sinar yang disertai dengan burung-burung hutan yang berkicau dengan indahnya membuat suasana menjadi syahdu.Apalagi sinarnya yang hangat, membuat orang yang awalnya terlelap tidur secara pelan-pelan terbangun dengan sendirinya, di iringi dengan hawa sejuk yang berhembus ketika pintu dan jendela rumah mereka yang dibuka lebar. Membuat mereka bersemangat untuk menyongsong hari baru karena hari sudah berganti dan mereka harus kembali bekerja ke kebun masing-masing yang ada dibelakang rumah.Beginilah desa transmigrasi yang kita tinggali, sebagai desa perintis yang letaknya sangat jauh dari keramaian, dengan jarak yang berpuluh-puluh kilometer melewati hutan lebat dan rawa-rawa membuat kami harus bekerja keras setiap paginya, menggarap lahan pertanian yang sudah pemerintah beri untuk kami kelola.Dengan harapan, desa ini akan maju seperti desa-desa yang sudah lebih dulu ada di tanah ini. Kami tinggal d