Share

2-JENDELA

last update Last Updated: 2022-11-07 11:06:28

Kondisi ruangan tengah yang sebelumnya menyeramkan, sudah tidak kupedulikan. Bahkan, aku lupa apakah jendela tadi sudah tertutup sepenuhnya atau belum.

Brak!

Tak sengaja ku tabrak meja, sehingga radio dan kertas-kertas yang ada di meja tersebut berjatuhan ke lantai.

“AYUUU!” Aku berteriak saat membuka tirai berwarna merah muda–pembatas antara ruangan tengah dan kamar Ayu. Di sana, Ayu terlihat menggigil ketakutan.

Boneka besar yang menjadi teman tidurnya dijadikan penutup wajah, seolah bisa menghalangi dirinya dari hal yang membuatnya ketakutan. Anak itu terlihat menunjuk ke arah jendela yang kini terbuka–sama seperti di ruang tengah tadi.

Aku pun mengamati jendela yang terbuka dan betapa terkejutnya diriku karena ada sesosok pria yang sedang berdiri di sana.

Sosok itu terlihat sangat pucat.

Di bagian di tubuhnya terlihat beberapa bekas lilitan dari tumbuhan-tumbuhan rawa, bahkan ada satu yang melilit ke arah wajahnya dengan sangat kencang sehingga berdarah.

Wajah pucat itu dipenuhi tatapan yang sangat menakutkan dan mengarah ke Ayu, seolah begitu dendam.

“Huek.” Tanpa sadar, aku mual. Terlebih, ada bau busuk yang menyusul.

Hawa yang tidak mengenakan hati semakin menguat. Kakiku berhenti bergerak.

Ada apa ini sebenarnya? Bagaimana mungkin sosok suamiku yang baru saja meninggal dan dikuburkan, berdiri di sana? Seluruh tubuhku merinding.

“Sa-Satria?” panggilku.

Tidak, tidak mungkin itu Satria!

Mungkin saja, itu adalah sosok yang menyerupai Satria dan menakut-nakuti ayu. Kepalaku menggeleng tidak setuju. Tidak mungkin, Satria, yang sangat menyayangi putri semata wayangnya, menatap benci anaknya sendiri.

Namun, sosok itu terlalu persis dengan tubuh Satria yang pertama kali ditemukan tak bernyawa di rawa-rawa. Semua luka dan tubuhnya yang pucat karena kehilangan napas– sama dengan yang dia lihat sekarang.

“Ayuuu … kkeeessiiiniii kamuuu, Ayuuu!” Sosok itu terlihat memanggil Ayu dari luar jendela. Namun, Ayu semakin bersembunyi di balik bonekanya.

Dia mengangkat tangannya dengan jari-jarinya yang patah akibat berusaha melepaskan ikatan dari tumbuhan rawa dengan sekuat tenaga di akhir-akhir hidupnya.

Entah apa yang terjadi. Kenapa sosok itu memanggil Ayu?

Jujur, gelisah dan takut berkumpul menjadi satu. Tubuhku terasa beku.

Apakah dia makhluk yang menyerupai Satria? Atau, memang dia adalah Satria dengan urusannya yang belum selesai, sehingga dia muncul kembali dan meneror kita berdua yang ada di rumah ini?

Trak, trak, trak!

Sosok itu tiba-tiba menggerakan kepalanya yang tampak kaku. Terdengar dengan jelas suara tulang-tulang yang dipaksakan untuk bergerak ketika kepalanya dimiringkan ke kiri dan ke kanan dengan tatapannya yang sangat tajam.

Tap!

Salah satu tangan kirinya tiba-tiba memegang jendela yang terbuka lebar itu. Wajahnya yang bergerak itu masuk ke dalam kamar Ayu dengan perlahan. Dia mencondongkan tubuhnya untuk masuk ke dalam kamar dengan tangan kirinya yang terlihat sedang menggapai Ayu–seperti ingin mengambil Ayu yang masih ketakutan.

Tatapannya yang melotot terlihat sangat mengerikan. Bekas-bekas dari lilitan tumbuhan rawa kini terlihat sangat jelas ketika dia memasukan kepalanya. Apalagi, sebuah garis panjang dengan darah yang menetes dari arah mulut ke arah kening membuatnya tampak semakin menakutkan.

Kesadaranku seketika kembali ketika melihat sesuatu yang mengerikan itu dari dekat. Aku menahan rasa mualku dan segera menghampiri Ayu.

Kupaksakan tubuhku yang gemetar untuk menghampirinya segera. Bagiku, waktu terasa lambat walaupun aku berlari sekencang-kencangnya. Hingga akhirnya, aku berhasil memeluk Ayu.

Dengan keberanian yang tiba-tiba muncul begitu saja, aku berteriak sekeras yang kubisa pada sosok itu, “SATRIA SUDAH MENINGGAL DAN TENANG DI SANA!”

“PERGI KAMU, JANGAN MENYERUPAI SOSOK SUAMIKU DAN MENAKUT-NAKUTI KITA BERDUA!”

Aku rasa ini adalah teriakan terkencang yang pernah kulakukan seumur hidupku.Saking kerasnya, lampu lima watt yang menerangi kamar Ayu terlihat bergetar. Bahkan, nyalanya tiba-tiba redup beberapa kali.

Ketika lampu tersebut redup, entah mengapa sosok itu tiba-tiba menghilang dari kamar Ayu–menyisakan jendela yang terbuka dengan kegelapan di luar sana.

“Ayu takut, Mah. Ayu takut, Ayu takut dengan hantu Ayah, Mah. Ayah benar-benar marah ke Ayu.”

Aku dapat merasakan tubuh Ayu gemetar hebat ketika kupeluk. Tanpa sadar, kuusap beberapa kali kepala Ayu, berharap anak itu sedikit tenang.

“Sudah, sudah Ayu tenang, ya. Bunda yakin kalau Ayah gak akan marah seperti itu ke Ayu, kok. Ayah sayang sama Ayu. Apa yang Ayu lihat adalah makhluk yang menyerupai Ayah, yang seringkali muncul dan menakut-nakuti kita ketika ada yang meninggal. Ayah yang sebenarnya sudah tinggal di surga sekarang.”

Wushhh!

Tiba-tiba, ada angin yang berhembus kencang dari arah luar, seolah mengatakan apa yang kuucapkan pada Ayu adalah sesuatu yang salah.

Angin yang berhembus dari arah luar semakin lama semakin kencang, membawa hawa dingin yang semakin lama semakin menusuk kulit. Bahkan, hawa yang ada di kamar Ayu lebih dingin dan lebih mencekam dari apa yang aku rasakan ketika berada di ruangan tengah tadi.

Ini tidak bisa dibiarkan! Entah siapapun yang sudah mengganggu kami, aku tidak bisa memaafkannya. Kulepaskan pelukan dari Ayu secara perlahan. Namun, anak itu terlihat tidak ingin melepaskan pelukanku.

“Bunda mau ke mana?” kata Ayu dengan nada yang pelan.

“Bunda mau nutupin jendela kamar Ayu dulu, ya. Biar Ayu gak ketakutan ketika lihat jendela yang terbuka itu.” Aku berusaha tersenyum di depan Ayu, meskipun sebenarnya kurasakan ketakutan yang sama dengan yang sedang dialami oleh Ayu.

Dengan waspada–takut sosok itu muncul kembali di tempat yang tidak diperkirakan–aku melangkahkan kaki dengan berhati-hati, hingga akhirnya aku sampai di dekat jendela kamar Ayu.

Sengaja, aku keluarkan kepalaku meskipun aku sendiri ketakutan. Bahkan, dapat kurasakan bulir-bulir keringat dingin muncul secara perlahan di wajahku. Namun, aku harus memastikan bahwa semuanya aman. Aku tidak ingin sosok yang menyerupai Satria memunculkan dirinya lagi.

Kuperhatikan sekeliling. Semuanya tampak gelap. Seperti yang kulihat dari jendela di ruang tengah, hanya titik-titik cahaya kecil dari rumah tetangga yang terlihat. Aku mengibaskan tanganku ke arah telinga kiri dan kanannya–takut ada suara yang muncul tiba-tiba memanggil diriku seperti di ruang tengah tadi.

Kali ini, untungnya hal itu tidak terjadi.

Aku bahkan memberanikan diri untuk mengeluarkan setengah badanku ke luar jendela– untuk memastikan sosok itu tidak ada lagi.

Benar saja, sosok itu tidak ada. Hanya ada kegelapan total dan hening yang mengiringinya. Bahkan, entah kenapa, suara-suara hewan malam yang biasanya terdengar di malam-malam sebelumnya, tiba-tiba menghilang.

Tidak ada suara jangkrik, kodok, bahkan suara burung malam pun tidak terdengar sama sekali.

Derit jendela terdengar ketika kututup perlahan. Namun, hawa dingin yang dirasakan masih membuatnya tetap sama. Aku masih takut akan hal-hal yang di luar nalar seperti tadi kembali lagi. Namun, kupaksakan diri untuk berani supaya Ayu juga tidak ketakutan lagi.

“Sudah ya, nak. Ayu jangan ketakutan lagi, ya!” kataku sambil tersenyum di dekat jendela kamarnya.

Ayu yang melihat senyumanku, mulai mengangguk. Baiklah, sudah kuputuskan untuk menemaninya malam ini.

Namun, tepat ketika aku melangkahkan kaki untuk mendekati Ayu, tiba-tiba lampu rumahku mendadak mati!

Gelap gulita menyelimuti ruangan ini.

“AHH…!”

Ayu yang awalnya tenang, kini terdengar panik kembali. Rasa takut kembali muncul–apalagi dia tidak berani beranjak dari tempat tidurnya.

Sambil meraba-raba dinding kamar, aku berusaha menggapai Ayu agar dia tidak ketakutan lagi. Rasa mencekam semakin meningkat, hingga membuatku semakin bergegas mendekati anak itu.

“Tenang nak, tenang!” ucapku yang sebenarnya mulai panik. Setelah kutemukan Ayu, aku segera memeluknya dalam kegelapan.

Akal sehatku mulai hilang. Situasi ini semakin lama semakin terasa sangat aneh. Aku semakin bertanya-tanya kenapa tiba-tiba suasana rumah menjadi seperti ini. Semuanya menjadi menakutkan dan mencekam.

Prang!

Tiba-tiba, terdengar suara yang sangat keras dari arah ruangan tengah. Ada benda yang jatuh. Bahkan, disertai dengan suara napas yang berat yang Minah dengar dari luar jendela di ruangan tengah–terdengar persis di ruangan tengah yang letaknya di sebelah ruangan Ayu yang gelap ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SEHARUSNYA KAU IKUT MATI   EXTRA BAB-AKU (PENULIS)

    Suasana Bandung pada sore itu sangatlah ramai. Maklum, liburan panjang membuat banyak orang terutama dari ibukota mengunjungi Bandung untuk sekedar ke restoran atau ke tempat-tempat wisata yang bisa membuat pikiran mereka kembali fresh setelah penat oleh pekerjaan mereka di setiap harinya. Aku, yang menjadi penulis dari cerita ini, kini mempunyai hobby baru, selain menuangkan tulisanku di dalam karyaku, aku juga kini menjadi seorang podcaster amatir dengan gimmick sebagai duo demit yang seringkali mengomentari manusia dalam podcastku. Cerita horor yang aku tulis dalam keadaan serius, membuatku harus mencari kesibukan lain sehingga aku bisa melepas tawa meskipun obrolannya masih sama tentang tahayul, mitos, juga para mahluk yang ada di sekitar kita. Matahari sore itu tampaknya sedikit mendung, tepat ketika aku keluar studio. Aku hari ini berencana untuk bertemu seseorang yang ingin bercerita di tempat kerjanya yang sekarang. Sebuah cerita yang mungkin saja bisa aku angkat menjadi cer

  • SEHARUSNYA KAU IKUT MATI   110-WANITA TUA

    Sebuah desa yang menjadi mitos dalam keluarga dirinya, yang katanya desa itu ditinggalkan oleh ayahnya sendiri karena suatu hal yang tidak dia ketahui kini berada tepat beberapa meter di depan matanya.Pepohonan yang lebat serta ilalang yang menutupi hingga melebihi tubuhnya membuat desa ini sangat susah untuk diketahui. Bahkan warga di Desa Muara Damar yang kini menjadi sebuah kecamatan besar pun tidak mengetahui bahwa ada desa di tengah hutan seperti ini.Bahkan mereka pun terlihat enggan untuk berjalan selama enam jam lebih hanya untuk ke tempat ini, karena mereka takut hewan buas yang mungkin akan menerkam mereka di tengah hutan. Mereka pun sebenarnya tidak mengetahui bahwa ada sebuah desa terlupakan di tengah hutan yang tinggalkan oleh penghuninya yang salah satunya ayahnya sendiri.Ayahnya masih ingat bagaimana dia tiba-tiba terbangun seperti mimpi, dan terbangun di pagi hari di dekat rawa-rawa seberang Desa Muara Damar bersama dengan para warga yang lain. Namun semuanya tidak i

  • SEHARUSNYA KAU IKUT MATI   109-PENJELASAN

    Aku masih ingat Bu Cucu berkata ‘TAHAAAAAN!’ dengan keras di dekatku, aku benar-benar tidak kuat ketika tuselak itu masuk ke dalam tubuhku, rasa sakit disertai rasa dingin benar-benar aku rasakan di dalam tubuhku, seperti ada ratusan jarum yang menusuk-nusukku dari dalam.Sungguh cara yang gila yang aku lakukan, namun sudah tidak ada cara lain lagi karena hal itu harus aku lakukan.Butuh waktu lima belas menit hingga tuselak itu seluruhnya masuk ke dalam tubuh, tubuhku yang merasakan sesuatu yang asing langsung melakukan penolakan dan ingin memuntahkannya, namun Bu Cucu berkata bahwa aku harus bisa menahannya hingga tuselak itu bersemayam di dalam tubuhku dengan segel dari Bu Cucu agar tidak bisa memberontak dari dalam sana.Hingga akhirnya.Aku melihat Ayu yang awalnya berdiri dengan tegap tiba-tiba jatuh seketika dengan luka darah yang mengucur dari punggungnya, jantungnya mendadak berhenti tepat ketika tuselak itu masuk ke dalam tubuhku.Aku sempat berteriak dan ingin menangkap tub

  • SEHARUSNYA KAU IKUT MATI   108-PAGI TIBA

    Srak, srak, srak, Tanah yang berwarna coklat tua disertai dengan banyak sekali akar-akar pohon yang berada di dalam tanah kini secara perlahan aku pindahkan kembali setelah aku gali selama beberapa jam ini. Sinar matahari yang terik sangatlah terasa dengan bau keringat yang menyengat karena dari semalam aku tidak sempat membersihkan diri atas apa yang terjadi. Aku mengangkat tanganku, menutupi wajahku yang penuh keringat, melihat langit yang kini biru dengan sedikit awan di atas sana. Apa yang terjadi semalam kini kembali berubah menjadi normal kembali ketika matahari tiba. Namun bedanya, kini semuanya telah usai. Desa Muara Ujung yang awalnya ramai, penuh dengan canda tawa, penuh dengan rasa semangat dari orang-orang yang hidupnya kembali ke titik nol di tempat ini, kini harus terusir oleh apa yang keluargaku lakukan. Haaaaaahhh Aku menghela nafas panjang, tepat ketika aku menyelesaikan pekerjaanku sekarang, aku menurunkan cangkul yang aku bawa di tanah, dan memandang sebuah pek

  • SEHARUSNYA KAU IKUT MATI   107-USAHA TERAKHIR

    Kedua tanganku benar-benar berkeringat, aku menahan Ayu agar tidak bisa bergerak dengan cara apapun, parang yang aku tancapkan masih terlihat menembus punggungnya.Aku sengaja menusuknya ke arah dada, agar parang itu tidak tertahan oleh tulang rusuk yang bisa menyulitkanku ketika aku menahan Ayu.Aku benar-benar menjadi pembunuh sekarang, pembunuh dari anak tiriku sendiri, meskipun tubuhnya kini di selimuti oleh sesuatu kekuatan yang gelap yang membuatnya bisa bergerak meskipun seharusnya tubuhnya telah mati akibat luka yang dia terima.Namun tetap saja, aku adalah bagian dari pembunuhan itu, pembunuhan terhadap anak kecil tidak berdosa yang didalamnya terdapat suatu makhluk yang mengerikan.Aku yakin, Ayu sekarang sudah tiada, dia hanyalah sebuah tubuh kosong yang diambil Alih oleh tuselak.Sehingga, ketika Bu Cucu mengambil tuselak itu dengan kedua tangannya, maka tubuhnya akan seketika berhenti bergerak.“TAHANN MINAH, SEDIKIT LAGI!” kata Bu Cucu yang dengan sigap menarik bayangan

  • SEHARUSNYA KAU IKUT MATI   106-TENAGA YANG TERSISA

    ‘Aku harus bertanggung jawab.’‘Aku harus mengakhiri semua ini.’‘Ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, karena kalau Bu Cucu meregang nyawa, maka para warga desa tidak bisa lagi melarikan diri dan mereka bisa menjadi korban.’Suara-suara itu berkecamuk dalam diriku, ditengah-tengah suasana genting yang bisa saja mengakibatkan nyawaku melayang.Aku melihat ke sekeliling ketika sebuah angin yang sangat besar menghempaskan semua yang ada di sekitarku sehingga banyak dari mereka yang terpental ke segala arah.Banyak anak kecil yang terlepas dari pangkuan ibunya, banyak juga para orang tua yang terjatuh dan terguling di semak-semak. Semuanya benar-benar kacau.Apalagi, Bu Cucu sudah tampak kelelahan dengan luka yang dia terima pada saat itu.Tanganku tiba-tiba bergetar hebat, parang yang masih aku pegang dengan erat aku lihat dengan seksama.Keberanian dan ketakutan tercampur aduk saling beradu satu sama lain di dalam diriku pada saat itu.Apakah yang akan aku lakukan sekarang, apakah aku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status