Share

9. Dia

“Lagi ngapain?”

Bu Fris mendekatiku lagi menggunting pola di lantai.

“Hee, kerjaan iseng, Bu.”

“Kok kecil-kecil? Baju ukuran Barbie?” Ikut duduk di lantai beliau perhatikanku.

“Iya, Bu. Ukuran itu.” Kulirik boneka cantik di dekat meteran jahit.

“Kreatif.”

“Daripada bengong, Bu.”

“Ini gambarnya?” Bu Fris pegang design di kertas HVS.

Aku tersenyum dikulum. “Iya, Bu. Kasihan Barbie-nya cuma pakai gaun plastik, kalau dibuatkan baju pengantin pasti tambah cantik,” ujarku setengah bercanda. Ini bakal aku buat untuk kejutan, jadi masih kurahasiakan.

“Lihat tangan kamu cekatan gitu, ibu jadi mau belajar jahit.”

“Mudah kok, Bu.” Aku sudah duduk di belakang mesin, satukan kain di bawah jarum yang bergerak cepat.

“Iya, kelihatannya.” Bu Fris tergelak, beliau memang tampak sedang ceria. “Kalau bisa jahit ibu mau buat pakaian bayi,” ujarnya sedikit ragu.

Senyam-senyum aku menangkap maksudnya. Guru cantik ini pasti tak sabar punya momongan. Semoga saja setelah nikah nanti cepat diberikan.

“Ibu jangan takut, sebelum Ibu bisa jahit, kalau udah ‘isi’ nanti pesan sama Sekar aja. Insya Allah Sekar akan buat.”

“Boleh, boleh banget. Jadi kita akan kerjasama, ya. Ibu pesan, kalau bagus ibu akan bantu promoin.”

Membelalak mata, terasa ada lampu berpijar terang di atas kepala.

“Beneran, Bu? Apa lebih baik usaha mandiri aja, ya. Tapi bukan terima jahitan, Sekar belum pede bikin pesanan orang, ilmunya masih kuasai dasar. Salah-salah bisa rusakin kain orang.”

“Bikin yang gampang aja dulu, trus jual. Ibu bisa usahakan dukung modal awalnya, gimana?”

“Aaaa!” Gegas berdiri, langsung kupeluk erat Bu Fris.

“Bu, ini ide hebat. Makasiih, Bu. Bu Fris memang terbaik sedunia,” pujiku masih memeluknya erat-erat.

Suara ponsel Bu Fris menghentikanku.

“Sebentar, Sekar.” Handphone ber-casing silver itu ada di meja ruang tengah, Bu Fris ke depan lalu kembali, menyodorkan ponsel ke tanganku.

“Yandi.”

Ragu kuterima, sembari permisi menjauh.

Salamku dibalas Yandi cepat.

“Kenapa nomornya nggak aktif?” Sudah kuduga pasti langsung tanya itu.

“Ng, maaf, Yan. Hapenya … hilang.” Menggigit bibir bawah, aku meringis. Lupa siapkan jawaban untuk ini.  

Di sana dia diam sesaat.

“Yan?”

“Apa kamu bilang tadi?” Ternyata dia nggak dengar. Terpaksalah bohong lagi.

“Hapenya hilang ….” Kali ini ternyata kalimatku lancar.

“Mau bohong, ya?”

“Enggak. Memang hilang!”

“Hilang di mana? Ceritain.” Dia kembali diam, dan aku mulai gugup.

Ya ampun, aku belum siap mengarang cerita ….

“Sekar?”

“I-itu hilang dari tas.”

 Argh!

“Trus?”

“Ya, hilang gitu aja, Yan.”

“Kamu nggak tanya siapa yang ambil?” Ampun … dia masih mengejarku untuk melanjutkan kebohongan ini. Telapak tangan terasa makin dingin.

“Tanya juga, tapi nggak ada yang ngaku ….” Aih, dustaku terasa ngambang.

“Oh ya? Emang di mana hilangnya?” Nada suaranya terdengar sedikit mengejek. Apa Yandi curiga?

“Di tempat kerja.”

“Ohh. Ya sudah tutup dulu, biar aku telpon Pak Kung-“

“Jangan!”

Upss!

Menepuk jidat, aku lupa sebelum berangkat Yandi ini minta simpan nomor Pak Kung, alasannya waktu itu kalau aku sakit, atau lagi nggak bisa masuk kerja dia yang izinkan aku ke bos. Dia anggap dirinya itu wali aku.

Agh! Gimana ini?!

“Kenapa …?”

Kugaruk-garuk kepala yang tak gatal.

“Kamu bohong, ‘kan? Haa, aku udah nebak dari awal.” Tawa lepas dan renyah.

“Jadi maksudnya ini ngerjain?”

“Siapa? Kamu kali yang ngerjain, Sayang. Seharian aku nelpon, nge-chat sampe puluhan, ternyata nggak aktif-aktif juga.”

“Ya sudah kita udahan aja.”

“Sekar? Kok, dikit-dikit ngomong udahan gitu. Sakit tahu dengarnya. Aku lagi berjuang buat kita.”

Arg! Yan, kamu nggak tau aku juga sakit kalau kamu berharap gini ...!

“Besok aku kirim yang baru-“

“Jangan!”

“Kenapa?”

“Aku bisa beli sendiri!”

“Oh, aku transfer, ya.”

“Yandi!” Suaraku menaik, jadi setengah teriak.

Dia terdiam. Dada ini perih, merasa ada sesal sudah meneriakinya.

 Aku sulit menolak kamu, Yan. Aku suka semua yang kamu lakuin, tapi … hubungan kita hanya akan nyakitin orang tuamu. Berhenti. Jangan buat rasa ini membesar lagi.

 “Yan, udahan, ya. Hape Bu Fris sudah panas. Ass-“

Belum selesai kuucap salam Yandi memutuskan panggilan sepihak. Seketika hati ini terasa terlepas dari tempatnya.

Perih!

*

Hari ini aku putuskan akan pindah, berusaha melepaskan ketergantungan pada Bu Fris yang akan segera berkeluarga.

“Kamu yakin pindah sekarang? Kenapa nggak nunggu ibu selesai acara aja?”

“Yakin kok, Bu. Biar belajar mandiri.” Bu Fris membantuku berkemas, meski cuma punya sedikit pakaian, dan peralatan jahit lumayan repot juga mengumpulkan untuk diangkut.

Aku sudah sewa barak alias kos di jalan S. Parman. Letaknya di pinggir jalan, hanya empat pintu kamar, aku di kamar keempat ujung. Harga sewanya terjangkau, cuma 400 ribu sebulan. Listrik, air bayar ke Bu Kos nambah 50 ribu, kecuali punya barang elektronik baru nambah lagi.

“Ibu dukung keinginan kamu mandiri, kita tetap akan sering ketemu. Kan kita punya bisnis,” hibur Bu Fris. Kami sama-sama berat nerpisah. Kebersamaan sudah seperti teman dan saudara, rasa sayang ini tulus tumbuh.

Terima kasihku tak terhingga untuk Bu Fris atas semua kebaikannya dari awal. Sampai aku bilang berhenti cari kerja, berniat dikos ini akan terima permak. Beliau malah memodaliku 1,5 juta, bantuan yang sempat kutolak, tapi kemudian dikatakan itu sebagai pinjaman, boleh kubayar kapan saja, tanpa bunga.

*

Besok Bu Fris dan rombongan keluarga Pak Irwan akan ke berangkat menemui orang tuanya. Sore ini aku kembali datang, membantu bersih-bersih atau apa yang bisa kulakukan.

“Sekar, ada yang mau ibu sampaikan.”

Aku lagi nyapu sisa sampah di ruang tengah. Bu Fris mengajakku ngobrol tentang Yandi. Sebelum pindah aku sudah minta Bu Fris jangan kasih nomor rekening, atau menerima kiriman Yandi ke sini, sebab hubungan kami mau kuakhiri.

“Coba diselesaikan, kamu hindari tanpa kejelasan begini makin buat Yandi mengejar. Kasihan, Sekar. Ibu susah jelaskan apa, bagaimana isi hati kamu ibu nggak tau.” Disodorkan ponsel padaku.

“Itu sudah pakai paket nelpon, bicarakan sampai selesai.”

“Terima kasih, Bu.”

Rasa bersalah menyusup, aku terus saja merepotkan Bu Fris. Pasti panggilan dari Yandi sudah mengganggunya.

“Sama-sama. Sana, ngobrol di kamarmu,” ujar Bu Fris sebelum menemui dua saudaranya yang besok juga akan ikut berangkat.

Aku duduk di bibir ranjang, akan menghubunginya setelah mengirim chat. Rupanya Yandi langsung telepon lebih dulu.

Kaku. Mulut ini terasa sulit menjawab banyak pertanyaannya, sampai kalimat yang sudah kupikirkan terucap.

“Kita kembali berteman aja, Yan.”

“Kenapa? Jelaskan alasannya sampai aku paham, Sekar!” suaranya terdengar frustrasi, terus mengejarku dengan banyak tanya.

 “Sekar, kalau kamu katakan tidak pantas, aku akan memantaskan diri buatmu. Berhenti kuliah, pulang, merusak diri, baru kita pantas. Begitu ‘kan?”

Astagfirullah, sama cowok satu ini bahaya kalau salah bicara.

“Bukan gitu, Yan. Kita pantas. Cuma aku sudah ketemu cowok lain.” Arg! Kenapa sulit katakana jujur!

“Ah, kamu bohong lagi! Cuma alasan!” emosinya sangat kentara.

“Ya, oke. Aku memang bohong. Aku pembohong, Yan.”

“Sekar?”

“Aku bohong pernah bilang suka kamu. Padahal perasaanku cuma anggap kamu teman, nggak lebih! Assalamualaikum.”

Kuusap wajah dengan ujung kerudung. Ada lega bercampur perih membersamai keputusanku.

Sudah berakhir, ya, semua sudah berakhir.

Biarkan kita menjalani hidup masing-masing, Yan.

Bunyi dari applikasi hijau tiga kali, kembali mataku tertuju pada layar. Kugeser dengan ujung jempol. Pesan dari Yandi.

Apa yang terbaca sungguh membuat mata membelalak.

‘Besok aku pulang!’

‘Kita lihat saja kamu bisa bohong nggak kalau di depanku.’

‘Aku sayang kamu, Sekar.’

Yandi?!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status