Ucapan Yandi terakhir itu benar-benar membuatku resah.
Apa dia akan nekat ke sini …?
Hari ini pun perut jadi terasa mulas-mulas dibuatnya, makan sesuap pun sulit masuk, padahal tadi rendang kuminta Uda sirami kuah banyak, tetap saja tak selera. Kalau Yandi tiba-tiba muncul … waduhh, bakal perang dunia kedua dia sama orang tuanya.
Pintu kututup rapat. Duduk di kursi jahit coba fokus selesaikan miniatur wedding yang kubuat untuk kado nikahannya Bu Fris. Tinggal membuat jas pria, boneka si pangeran pasangan Barbie sudah dapat kemarin di toko.
Ini akan kukemas dengan mika, bagus buat pajangan. Saat akan menyelesaikan sedikit lagi, suara ketukan disertai panggilan dari luar membuatku terlonjak. Kutekan dada, merasa degup jantung meloncat-loncat.
Refleks menebak, apa itu Yandi …?
“Mbak Sekar.” Namaku dipanggil lagi. Oh, itu suara tetangga kamar.
“Iya, Kak. Sebentar.” Gegas aku beranjak, menarik kerudung yang siaga di sisi kursi.
“Iya-“ Lidah ini terasa langsung kaku, saat mata tertuju pada seseorang berdiri di dekat mobil, di pinggir jalan sana.
“Itu ada yang nyari nama Sekar, apa Mbak kenal?”
“I … iya, kenal. Makasiih, Kak.”
Kuusahakan tenangkan diri, melihatnya mendekat. Tubuhku mematung kaku di depan pintu. Cowok tinggi, kulit putih rambut tebalnya berantakan senyam-senyum melihat reaksiku.
Ya Tuhan … dia benar-benar cowok nekat.
Pantas, tadi aku pertajam pendengaran untuk dengar suara motor bebeknya yang khas, sama sekali tak terdengar, ternyata dia ke sini naik mobil.
Tetangga kamar kembali masuk. Sementara mataku masih lekat tertuju pada cowok berkaus putih. Kenapa kelihatan makin cakep …?
Telapak lebar dingin mengusap mukaku, membuatku tergeragap.
“Biasa aja lihatnya. Aku tau mukaku tambah ganteng.”
Tenggorokkan terasa jadi kering kerontang, mau bicara sulit, senyumku pun susah terbentuk. Muka panas sampai ke kepala. Komplit!
“Mana cowok yang kamu bilang itu?” Kepalanya melongok ke dalam.
“Co-cowok?” Tergagap, otak masih blank, lihat dia benar-benar muncul begini membuat kesadaranku terasa tinggal setengah. Jadi, aku belum nyambung maksudnya apa.
“Itu, cowok sainganku,” ujarnya sambil menggulung lengan baju.
“Cowok mana …?” Mulutku menganga sempurna.
“Yang kamu bilang di telepon, Sekar.”
Melongo sejenak aku pun sadar.
“Ya ampun, Yan … kamu itu kenapa sih sampai nekat ke sini cuma gara-gara candaanku. Coba hitung, berapa uang tiket pulang pergi? Tenagamu? Kecewanya mama papamu? Belum lagi kamu bolos kuliah. Mau ngapain, coba?!” Kesadaran yang membuat otak panas.
Diacaknya kerudungku. “Mulai cerewet, kayak Mama.”
“Memang benar, Yan. Kamu aneh kenapa sampe gini?!” Kucubit lengannya sampai dia mengaduh.
“Kasian tau mama papamu, nanti aku juga yang disalahin ….” Aku hampir menangis menahan kesal. Dia ini kok bisa terlihat santai menanggapi.
“Aku pulang nggak sia-sia, kok, Sekar. Ini termasuk perjuangan.”
“Perjuangan? Perjuangan apa?!”
“Kita bicara.” Tanganku dipegang. Cekalan tangannya kuat, susah untukku lepaskan.
“Ikut aku.”
“Ke mana?”
“Ikut aja. Jangan bawel.”
Cepat kukunci pintu, lalu mengikutinya masuk mobil.
Ugh! Rasa tersayat tipis hati ini begitu duduk. Teringat bagaimana kalimat ibunya menghinaku, di tempat dudukku yang sama. Bau parfum Tante Mel pun masih tertinggal di depan hidung.
Yandi menyetir dalam diam, makin menambah nyeri di dalam dada. Kutarik napas panjang, menghalaunya.
“Kita ke mana?” tanyaku lihat kendaraan mengarah ke jalan Sudirman, ini arah keluar kota.
“Cari tempat ngobrol.”
“Berhenti di pinggir jalan ‘kan bisa, Yan. Kenapa jauh-jauh?”
“Aku mau culik kamu juga nggak apa-apa.”
Mendengkus, aku membuang pandang ke sisi jalan.
Hening.
Entah kenapa rasanya kami ini seperti tengah lari dari tekanan orang tuanya. Cium bau parfum Tante Mel amat menekan perasaanku.
Mobil belok kiri, masuk jalan tanah berpasir.
Ini ‘kan arah ke wisata Danau Biru …? Bekas galian yang terisi air warna hijau kebiruan.
Kupilih diam, meliriknya serius nyetir.
“Kenapa?” tanyanya lembut menyadari aku memerhatikannya.
“Nggak.” Kembali kubuang pandang.
Kenapa ya ada sakit menyergap kuat, saat teman baik mencintai kita, juga sebaliknya, tapi orang tuanya sudah jelas katakan tidak akan setuju.
Agh! Harusnya dari awal kami hanya berteman. Hubungan begini sangatlah tidak enak, aku bisa kehilangan sahabat sekaligus orang yang disayang.
Mungkin ini maksud Ummi dulu, pernah aku ikut di sebelahnya saat ceramah, beliau bilang pacaran itu banyak mudharatnya, tapi sekarang … aku malah terjebak dalam hubungan yang dilarang.
Di parkiran kami turun, jalan ke sisi danau, lalu duduk di bangku kayu menghadap air tenang terbentang di depan mata.
“Mama kamu tanya apa lihat kamu pulang, Yan?” tanyaku memulai.
“Biasa, cuma tanya kenapa.”
“Trus, kamu jawab apa?”
Yandi membungkuk, mengambil batu dan melemparkan ke permukaan air. Setelah meloncat beberapa kali batu itu tenggelam dan air kembali diam.
“Kubilang perjuangin masa depan.” Dia terkekeh.
Aku tersenyum getir sesaat, merasa kami ini sama-sama jadi anak nakal.
“Harusnya jangan berlebihan gini, Yan. Aku nggak enak sama keluargamu.” Kujeda kalimat, mengambil napas panjang.
“Kuliahmu lebih penting, kan sudah janji berusaha menggapai keinginanmu dan orang tua dulu, baru mikirin lain, masa harus terganggu karena aku?”
“Siapa bilang kamu ganggu? Justru kamu makin nambah semangatku, Sekar.”
“Ngeyel! Kalau aku buat kamu kecewa trus kamu akan nggak semangat lagi, begitu?”
Ditatapnya aku dengan senyum nakal. “Kamu nggak akan kecewakan aku. Aku tau.”
“Aku manusia, Yan. Salahku banyak. Dosaku banyak. Mana bisa kamu yakin gitu.”
“Iya, oke. Aku cuma optimis kita jodoh. Anggap aja ini bagian perjuangan masa depanku, Sekar. Jangan mikir terlalu berat.”
Kupejamkan mata sejenak.
“Yan-“
“Hemm.”
Sedikit mendongak, kulempar pandang seluas mungkin. Menikmati lukisan alam buatan Tuhan yang terasa bisa menawarkan perih ini, senyum manis kuukir.
“Aku rasa … aku belum siap nikah muda. Aku punya cita-cita lain sebelum punya suami dan anak …” Dari sudut mata kulihat dia menoleh ke sini memandang lekat padaku yang masih ingin bicara.
“jadi Fashion Designer, berani merancang produk sendiri dan punya nama,” ujarku sembari melebarkan senyum, menatap langit biru.
Dia belum menanggapi. Kutoleh kepala, lihat dia juga tengah senyum padaku. Baris gigi rapi, mata bening, dan rambut tebalnya jatuh ke dahinya terkena angin, menambah kadar ketampanan Yandi, sejenak aku terpana.
“Indah … mimpi yang indah. Aku doakan tercapai.”
“Makasih, Yan. Coba kita fokus pada mimpi aja. Kita saling dukung mencapai mimpi, gimana?” Mungkin dengan begitu dia mau lepaskan rasa cinta berlebihan dariku.
“Boleh aku tanya sesuatu?” Yandi belum mau memindahkan pandang dariku.
Jengah, aku lebih suka alihkan pandang ke air. “Tanya aja.”
“Sebenarnya kamu cinta aku apa enggak?” Pertanyaan yang terasa langsung mengisap separuh darahku.
“Jawab dengan lihat aku, Sekar,” pintanya datar.
Owh, kenapa jadi perih mata ini. Kucuri napas panjang, coba bersikap tenang.
Beranikan diri, kutatap matanya. “Aku … cuma anggap kamu teman, Yan.”
“Kalau itu benar kenapa kamu mau nangis?”
Aku refleks tertawa, saat yang sama bulir mata jatuh dari pelupuknya.
“Aku nangis karena sudah kasih kamu harapan palsu,” tawaku masih keluar sambil mengusap sisa air mata.
Memang harus kulenyapkan segala yang ada di dalam dada. Hubungan Yandi dengan orang tuanya lebih penting dibanding perasaan bodoh ini.
“Aku tau kamu bohong.”
“Baguslah kalau tahu, makanya rugi kamu pulang gara-gara aku, Yan.”
Disentuhnya pipiku, untuk kembali melihat matanya.
“Maksudnya bagus juga aku ke sini, Sekar. Aku jadi aku tahu perasaanmu sebenarnya.”
“Ya, bagus. Kamu sudah tau sebenarnya. Cepatlah kembali, lanjutkan kuliahmu. Empat tahun harus selesai, ‘kan, Yan? Itu janjimu bukan buatku, tapi buat dirimu sendiri.”
“Nanti sore aku juga sudah pergi. Tiket kubeli PP. Kamu senang kalau aku jauh?”
Pertanyaannya terasa menusukkan jarum ke dasar hati. Kenapa aku jadi tidak rela. Mata ini kembali perih, pandanganku memburam.
Dia lelaki terbaik yang mau memahamiku ya Tuhan, masih bisa kah ketemukan orang sepertinya nanti …? Hati ini meratap. Aku benar-benar munafik.
“Aku pergi sementara sampai menjemputmu lagi,” gumamnya.
Aku menoleh tak percaya.
Diusapnya sudut mataku lembut. “Aku sudah tau Mama yang ambil hapemu. Benda itu ada di meja dan Mama kaget aku tiba-tiba pulang. Sekar, di antara kewajiban aku nuruti mau mereka aku juga berhak memilih masa depan aku. Perjuangan ini masih akan kulanjutkan, sampai Tuhan bilang kita enggak jodoh baru aku berhenti.”
Kututup muka dengan dua telapak tangan. Isak ini tumpah seketika.
Mana bisa aku bohong, hati ini teriakkan aku juga menyukainya ….
Kami pulang setelah hampir dua jam bicara dari hati ke hati, saling mengetahui perasaan masing-masing, saling cerita mimpi-mimpi kami sambil melihat awan yang berarak. “Bisakah kita janji, akan sama-sama perjuangkan cinta kita ke depannya?” Sesampai di depan barak, belum aku turun dari mobil Yandi menodongku dengan mengulurkan kelingkingnya. “Lebay, apaan coba pakai janji segala. Kita-“ “Sekar. Ini buktikan keseriusan kita. Biar aku makin mantap melangkah. Aku butuh janji kamu sebelum pergi.” Terdiam, kupandangi kelingkingnya. “Berjanjilah kalau kita akan berjuang, melewati apa pun yang terjadi di depan. Perasaanku ini nggak main-main, Sekar. Ingat, saat pertama kita jadi tetangga?” Kudengarkan dia bicara.
“Ngapain kok lama buka? Nggak sopan sama orang tua!” Belum apa-apa sudah marah. Sama saja dengan Ibu. “Paman.” Aku mendekat meraih punggung tangannya. Kakak Ibu ini datang rombongan, yang mau masuk ada tiga orang. Lelaki tua yang mengedipkan mata waktu itu terlihat jelalatan menatapku. Ihh, jadi merinding! “Kamu ini mau-maunya tinggal di tempat begini.” Melihat ruangan sempit tempatku tinggal, wajah Paman cemberut. Bisa kuingat, saat kejadian buruk menimpaku Paman termasuk lantang ikut menyalahkan, dan menyebutku anak salah didik. Aku tersenyum pahit. “Nggak apa, Paman. Silakan duduk.” Aku mengangguk sopan pada yang lain, menunjuk kursi plastik tiga di depan mereka. “Kami ke sini bukan mau bertamu. Cuma mau sampaikan pesan dari ibumu. Paman ini sudah diserahkan jadi wali kamu ….”
“Makanlah. Habiskan.” Nasi bungkus diberikan Pak Haji, diambil dari sisa jualan istrinya yang baru pulang berjualan keliling. “Terima kasih, Pak.” Mata masih terasa menyipit bekas menangis tadi. Kaki pegal sisa capai lari kencang dikejar Paman, tapi hati sudah melega. Setelah Paman pergi aku menerima telepon Yandi yang khawatir panggilannya tak kunjung diangkat, dia langsung bisa kuandalkan dengan solusinya. “Sama-sama. Kamu itu bapak nilai anak sopan juga cerdas. Tidak seperti yang pamanmu bilang.” Sedikit menunduk, aku tersenyum kecil sambil mengunyah suapan pertama. Ternyata ini nasi gurih, meski lauk sederhana lengkap dengan sambal teri, rasanya sangat enak. “Memang tidak ada anak nakal, Pak. Yang ada anak yang belum diberitahu baik-baik, belum paham. Lihat tadi, Sekar mau bantu a
Dua jam kebersamaanku dengan keluarga ini terasa singkat. Aku benar-benar hanyut dengan suasana akrab dengan mereka, padahal kami baru saja mengenal. “Kamu yakin ini akan pulang, menuruti ibu dan pamanmu?” Ragu-ragu, aku mengangguk kecil atas pertanyaan Pak Haji. “Kalau memang mau menikah, tunggu dulu kabar bapakmu, Sekar. Usahakan mencarinya, biar pernikahanmu tidak batil,” nasihatnya lagi. Pak Haji tadi bilang, kalau beliau dengar kabar terakhir Bapak sudah pulang ke Semarang, kebetulan tanah Bapak di desa seberang Mentaya itu dijual pada saudara Pak Haji, karena anak Bapak sakit. Kebetulan Pak Haji yang bantu urus dulu, masih tersimpan fotocopy KTP Bapak, yang akan jadi titik terang aku mencari kampung asalnya. Alhamdulillah, lari ke sini mungkin sudah jadi petunjuk-Nya untukku. “Terima
“Sebentar.” Menyambar ponselnya dengan tangan kiri Yandi lekas ke kamar mandi, menutup pintu. Senyum, sambil lanjutkan makan kuarahkan kuping mendengar Yandi nge-drama. Dia bilang lagi sakit perut. “Nanti aja lagi Mama nelpon, Yandi mulas, Ma ….” Terdengar mengaduh, sudah bisa kubayangkan mukanya dibuat meringis di depan layar. Kasihan. Dusta Yandi bisa selancar itu demi melindungiku. Senang, tapi ada rasa asing lain di dalam dada. Tak sampai semenit dia keluar dari kamar mandi. Kuhitung ada puluhan kalimat kebohongan keluar darinya tadi, membuat selera makan sedikit menguap. Rasa bersalah menyergap saat menatap wajah itu memerah, tapi usaha senyum-senyum padaku. “Gitu tuh tampangnya kalau habis bo’ong,” ujarku seraya menyudahi makan. Bangun, cuci tangan di kamar mandi.
Tidak sulit mencari. Setelah mampir sarapan soto, dan mengabarkan Yandi tadi langkah sudah membawaku di depan ruko berpintu kaca lebar. Menarik napas panjang diiringi doa aku mendorong pintu kaca. Wajah langsung disergap angin dingin, kuatur napas, adaptasi sejenak dengan hawa baru sebelum menutup pintu. “Pagiii, ada yang bisa dibantu, Mbak?” Salam super ramah dari seorang wanita cantik, yang berdiri dari balik meja panjang. Sedikit tergeragap kuanggukkan kepala. “Pa-pagi, Mbak.” Tadi kukira langsung dihadapkan pada peralatan jahit, baju-baju pajangan, bukan diterima secara resmi begini. Ini seperti ruang kantoran, dinding kaca lebar itu dihiasi tirai lipat mewah warna putih. Aduhh, mendadak badan terasa mengambang tak jelas. Degup jantung mulai tak beraturan.
Hari pertama di tempat kerja, terasa berat karena kulewati tanpa bisa berbagi cerita dengan Yandi. Dia melarangku mengontak sampai dihubungi lebih dulu. Tak ingin membuat masalah aku dengan orang tuanya kupilih fokus pada pekerjaan. Di sini aku sekarang, ruang jahit, letaknya belakang ruko yang terbagi dua lorong. Belok ke sisi kanan adalah ruang khusus pelanggan dan pajangan jas mewah, dengan sewing room minimalis, tampak mewah. Sebelum ke ruang ini aku diajak melihat di sana. Kata Pak Calvin kalau kerjaku bagus akan ada saatnya aku jadi bagian di ruang itu. Semacam motivasi untukku berjuang dari awal ini. Ya, karena kalimatnya itu aku jadi sangat ingin bergabung di tempat kerja yang persis kantor begitu. Jauh beda dengan di sini, hanya ruang luas tanpa sekat, tempat 20 pekerja yang melewatiku malam tadi. Mereka semua adalah penjahit produk merk Calvin juga, tapi berupa cardigan dan blazer. H
“Sekar masih belum selesai?” Tatapan prihatin teman sebelah, melihatku yang masih tegang di belakang mesin jahit. Aku merasa lamban dibanding mereka. “Belum, Mbak,” jawabku lemah. “Maaf kita nggak bisa nunggu, ya.” “Iya, nggak apa, Mbak.” Aku mendongak sambil tersenyum, lalu kembali menggerakkan jari yang terasa mulai kebas. Mereka satu persatu pulang, aku cuma bisa melirik, menahan perasaan cemas akan tertinggal lagi sendiri. Tugas wajib selesai, kalau tidak mungkin aku gagal, dan siap-siap ditendang keluar oleh si Kulkas. Harus tetap fokus. “Belum selesai juga?” Kuangkat wajah, baru menyadari ada lelaki berkemeja putih berdiri tak jauh dariku. Dia ini yang kusebut Kulkas itu. “Belum, Pak." A