Dewa hanya bisa memendam amarahnya saat Naka mengajak Dinda ke acara pesta ulang ulang tahun pernikahan ayah dan ibunya. Dia hanya bisa melihat kedekatan keduanya dalam diam. Yang paling membuat kesal, Dinda tampil begitu cantik malam ini. Gaun dipakainya membuat wanita satu anak ini terlihat sangat mempesona."Aku gak menyangka kau akan datang bersama Naka," bisik Dewa setelah berjam lamanya memperhatikan Dinda. Dia sengaja mendekat ke arah gadis itu dengan alasan mengambil champagne. "Maaf, Pak. Apa kehadiran saya menganggu kenyamanan Bapak? Kalau iya, saya akan pulang saja." Dinda sudah menolak untuk ikut, tapi Naka memohon kepadanya, dan pria itu jugalah yang mendandaninya hingga tampil seperti wanita yang berada dari kalangan mereka. Tapi, Naka terus memohon, hingga dia tidak enak menolak. Lagi pula, ini hari Sabtu, dia tidak terikat dengan Dewa, jadi bebas saja mau pergi dengan siapa."Dan membuat ibuku bertanya-tanya kemana kau pergi?" ejek Dewa. "Di sini kamu rupanya, aku
Minuman yang sejak tadi dia konsumsi berhasil membuat tubuhnya terasa panas dan kepala sedikit berputar. Belum lagi melihat kedekatan Naka dan Dinda, semakin membuatnya terbakar cemburu."Sayang, udah cukup minumnya. Ingat apa kata dokter, kamu harus bisa mengontrol pola makan dan minum mu. Jangan minum alkohol, kita mau punya anak, kan?" Helen sudah berada di dekat Dewa. Sementara mata pria itu masih menatap marah tangan Naka yang menyentuh punggung telanjang Dinda saat keduanya berdansa.Saat ini mereka ada dalam ruangan danda. Hanya ada beberapa tamu undangan khusus di sana, termasuk kedua orang tua Dewa dan juga kedua mertuanya.Dewa terpaksa mau diseret ke sana karena diminta untuk berdansa dengan Reni. Tetap saja, saat berdansa pun, ibunya mengingatkan dirinya untuk bersikap lembut dan perhatian pada Helen karena Soraya sudah mengeluhkan sikap Dewa yang terlihat menyia-nyiakan putrinya."Iya, Ma. Aku tahu." Hanya itu jawaban Reni. Setelah satu putaran lagu selesai, Dewa tidak ber
Helen tidak percaya apa yang dihadapkan padanya. Setelah beberapa lama mereka tidak bercinta, kenyataan pahit menamparnya. Dewa tidak sanggup bercinta lagi dengannya. Helen hampir tidak percaya atas apa yang terjadi.Helen hanya kini duduk di sudut kamar menangis terisak-isak, sementara Dewa hanya bisa duduk di tepi ranjang dengan perasaan bersalah. Ini bukan dibuat-buat, miliknya memang tidak bisa hidup untuk Helen.Dewa yang dihinggapi rasa malu mendekati istrinya. Dia pun bingung harus bilang apa. "Aku minta maaf, Helen," ucap Dewa lirih. Dia juga tidak menyangka akan begini. Jelas Minggu lalu dia baru bercinta dengan Dinda dengan begitu dahsyatnya di apartemennya. Lantas, kenapa dengan Helen dia tidak berselera?"Apa yang salah, Dewa? Kenapa bisa begini?" Helen menoleh pada Dewa, ingin meminta penjelasan pada suaminya. Hal yang paling menyakitkan bagi seorang istri adalah saat suami tidak lagi bergairah pada istrinya."Aku juga gak tahu, Len. Aku minta maaf," ucap Dewa menjatuhka
"Jadi, gimana keadaan suami saya, Dok?" tanya Helen penuh antusias. Setelah memaksa dengan tangisnya bahkan mengancam pada Reni, akhirnya Dewa setuju untuk melakukan pemeriksaan.Dia pasrah mengikuti apapun perkataan istrinya itu. Dia juga penasaran kenapa miliknya tidak bisa bangun lagi saat berhubungan dengan Helen kemarin. Mendapati keadaan malam itu, Dewa juga sempat down, rasa percaya dirinya hilang. Dia takut kalian nanti akan berhubungan dengan Dinda, miliknya juga tidak berfungsi. Kan, dia bisa malu.Selama ini tidak ada yang meragukan keperkasaan Dewa. Meski sepanjang hidupnya hanya ada Helen, tapi wanita itu selalu merasa puas bahkan ketagihan pada permainan pria itu."Hasilnya akan keluar Minggu depan. Tapi, dari pemeriksaan, semua tampak bagus. Warna dan kekentalan cairan sp*rma yang dikeluarkan juga tidak ada masalah. Tapi, lebih bagus lagi, kita tunggu hasil lab Minggu depan."Mendengar keterangan dokter itu, perasaan Dewa sedikit lega. Hanya sedikit. Sebelum membuktika
"Maaf, ya kalau aku terus aja nyusahin kamu." Senyum Helen melengkung di bibirnya. Dind yang melihat hanya bisa membalas tersenyum dengan kaku. Kali ini apa lagi yang akan disampaikan wanita itu?"Ada apa, Bu? Kalau soal Pak Dewa, bukankah beliau sudah pulang ke rumah tiap hari?" tanya Dinda, gadis itu ingat kalau dulu yang dia curhat soal Dewa yang tidak mau pulang ke rumah.Helen menarik napas panjang sebelum buka suara. Masing menimbang apa benar tindakannya ini? Membuka aib suaminya di depan orang lain? Tapi dia perlu teman untuk mendengar kegelisahan di hatinya. Dia sudah menganggap Dinda sahabat, jadi rasanya sah saja kalau cerita, lagi pula dia yakin kalau gadis itu bisa menyimpan rahasia, ketimbang teman sosialitanya."Iya, sih, Din. Tapi, ada masalah lain dan aku perlu pendapat kamu.""Saya, Bu? Apa yang bisa saya bantu?" Perasaan Dinda mulai gak tenang. Setiap Helen mencarinya saja dia sudah gelisah, apalagi kalau sudah berhadapan begini. Dinda merasa jadi manusia paling mun
Melihat wajah panik Dinda, Naka tidak mengajukan pertanyaan, meski hatinya begitu penasaran atas maksud kalimat Dinda.Sesekali, Naka menoleh ke arah gadis itu. Satu pemikiran berkelebat dalam benaknya. Anak? Anak siapa maksud Dinda? Apa gadis itu sudah punya anak? Kenapa dia tidak pernah bertanya soal status Dinda? Yang dia tahu, tidak mungkin Dewa menerima wanita yang sudah berkeluarga menjadi sekretarisnya. Atau mungkin Dinda pengecualian? Semua pertanyaan itu silih berganti muncul dalam benak Naka hingga mereka tiba di rumah sakit.Tanpa mengatakan apapun, Dinda segera keluar dari mobil, berlari kecil dari parkiran menuju lobi rumah sakit."P-ermisi, pasien anak, atas nama Leon Mahendra," tanya Dinda terbata-bata."Lantai dua, ruang Dahlia ya, Bu." Setelah mengucapkan terimakasih, Dinda bergerak cepat menuju lift. Naka setia mengikuti langkah Dinda tanpa buka suara. Hingga keduanya tiba di ruangan kelas tiga."Bu, kenapa lagi dengan Leon?" lirih Dinda menatap ke arah anaknya yan
Dinda ikut tersenyum melihat Naka dan Leon. Keduanya bisa langsung akrab padahal baru bertemu. Selama Leon dirawat, Naka senantiasa datang ke rumah sakit menjenguk Leon sekaligus mengontrol kesehatan anak itu.Naka selaku dokter pasti sudah lebih mengerti perkembangan keadaan Leon, terlebih di rumah sakit ini Naka mengenal dokter yang mengurus Leon."Kamu tidak ikut gabung?" Suara Diana membawa kepala Dinda menoleh ke belakang. Ternyata Diana juga memperhatikan dirinya sejak tadi."Ah, Ibu....""Naka baik. Ibu bisa melihat kalau dia tulus padamu."Dinda diam, tidak menjawab perkataan ibunya. Biasanya insting ibunya sangat akurat. Dia juga yakin kalau Naka pria yang baik, Dinda tidak ragu sedikitpun. Tapi, dia belum siap menerima cinta pria itu. Memikirkan perkataan ibu tadi, jangan sampai Naka bicara pada Diana dan mengatakan niatnya untuk melamar Dinda. Wanita paruh baya itu akan melonjak kegirangan."Hey, kamu dengar gak ibu ngomong?""Iya, Ibu. Tapi dia bukan tercipta untukku. Nak
Senyum kepuasan serta lega yang tidak terkira mengembang di bibir Dewa. Dia tidak pernah sebahagia ini mengetahui kebenaran tentang sesuatu hal.Dia melirik Dinda yang tertidur setelah kelelahan yang disebabkannya. Napas gadis itu halus, tatapan Dewa jatuh ke dada gadis itu yang sejak tadi menjadi mainnya, naik turun mengikuti tarikan dan hembusan napas Dinda.Dia memiringkan tubuhnya. Keduanya berada di bawah satu selimut yang sama setelah bermain peluh. Tanpa sungkan, Dewa melingkarkan tangan di perut rata Dinda, lalu mencium puncak kepala gadis itu."Terima kasih, Dinda. Kamu sudah membuktikan kalau aku bukan pria impoten!" bisiknya kembali mengulang ciuman di pucuk kepala gadis itu yang masih terlelap.Fix! Dewa tidak impoten seperti yang disangkakan Helen padanya. Terbukti, dia sudah dua kali mencetak gol ke gawang Dinda. Begitu lidah gadis itu bermain liar di dalam mulutnya, milik Dewa langsung menegang, membuktikan dia masih bisa produktif.Sebuah pemikiran kini membuat kedua u