Laura masih merasakan debar jantungnya yang berdegup semakin cepat. Tubuhnya masih bersandar di balik pintu kamarnya.Setelah mendengar perbincangan para asisten rumah tangga itu, dia merasa tidak kuat untuk berdiri lebih lama di sana. Laura memutuskan untuk meninggalkan pintu dapur berjalan menuju kamarnya."Jadi, Mas Naka dan Mbak Dinda dulu pernah bertunangan dan Mas Naka sangat mencintainya?" batin Laura menghapus air matanya yang mulai deras menetes di pipi. Tubuhnya perlahan merosot dan terduduk di pintu.Laura begitu minder jadinya. Dibandingkan Dinda, dia hanya bocah yang sedang dimabuk cinta. Tidak punya pengalaman, dan terlihat seperti gadis kampung yang tidak bisa berdandan. Naka pasti malu jika membawanya nanti ke pertemuan."Oh, Tuhan. Apa yang harus aku lakukan? Kenapa begitu sakit mengetahui kenyataan ini?" cicitnya menunduk dan meletakkan kepala di dengkulnya yang dilipat menyatu ke dada.Sampai Naka pulang, Laura hanya diam. Naka sudah bertanya, ada apa, tapi Laura ha
Dewa hampir saja melompat, tapi yang bisa dilakukan hanya mengusap wajahnya. Dia menatap Dinda yang masih berbaring atas ranjang."Sayang, kita akan punya anak lagi?" Mata Dewa bahkan hampir berkaca-kaca. Masih seperti mimpi.Dinda tidak kalau terharunya dengan Dewa. dia bahkan memeluk suaminya dengan sangat erat membiarkan kemeja Dewa bahasa oleh air matanya.Baik dokter dan juga perawat yang ada di ruangan itu ikut tersenyum bisa merasakan kebahagiaan mereka.Setelah pulang dari rumah sakit, Dia memutuskan untuk tidak pergi ke kantor hari itu. Dia ingin menjaga cinta menghabiskan waktu bersama istrinya."Kamu ke kantor aja. Masa iya, jadi gak kerja," ucap Dinda yang masih geli melihat sikap overprotektif suaminya."Besok. kerjaan gampang ada John yang mengurusnya." Dinda tak lagi berani mendebat, mengikuti apa yang dikatakan Dewa.Sesampainya di rumah, Dewa tidak ingin segera memberikan kabar itu kepada Reni. Jangan karena histeria dan rasa gembira mereka membuat Dinda kelelahan. C
"Kapan kamu bisa melayaniku lagi?"Dinda mengerutkan keningnya seketika saat ia mendengar hal tersebut. Pertanyaan itu muncul dari bibir Dewa, atasannya, tanpa mengalihkan pandangannya dari tumpukan berkas yang harus dia baca dan mendapatkan tanda tangannya."Maksud Bapak?" tanya Dinda, benar-benar tidak paham. Terdengar suara dengusan napas Dewa. Pria itu mendongak, melihat wajah polos Dinda. Sorot matanya yang tajam akhirnya membuat si sekretaris kembali menunduk karena merasa tidak nyaman."Kapan milikmu bisa aku pakai lagi?"Kali ini, pertanyaan itu cukup bisa dimengerti. Dinda meremat jemarinya. Kenapa pria itu terus memburunya?Sudah beberapa bulan ini, Dinda terikat kontrak dengan Dewa. Pekerjaannya sebagai sekretaris hanyalah sebagai kedok agar Dinda bisa terus berada di dekat pria tersebut. Dengan terpaksa, Dinda menjadi pemuas hasrat sang presdir. Kalau wanita itu punya pilihan lain, tidak akan mungkin ia merendahkan harga dirinya sebagai simpanan seperti ini.Namun, saa
"Tidak! Kamu harus tetap di sini!"Dinda menghela napas. “Pak, saya harus pulang.” Kali ini dia berkata tegas, membuat rahang Dewa mengeras.Pria itu berdiri, kemudian membawa Dinda menuju ruang kerjanya untuk berbicara tanpa perlu didengar orang lain.“Pak, saya harus pulang,” pinta Dinda lagi. “Saya sudah ikut ke sini. Sebelumnya Bapak tidak menegaskan kalau saya harus tinggal–”Dewa tersenyum miring. “Pandai bermain kata-kata ya sekarang.”“Pak.” Dinda menghela napas. Ia mencoba menjelaskan dengan sabar. “Tadi saya sudah mengatakan kalau saya harus segera kembali karena ada urusan keluarga. Ibu saya membutuhkan saya, Pak.”“Seperti yang kamu ketahui, ini masih hari Jumat. Kewajibanmu padaku belum selesai.”Dinda menunduk. Ini memang masih pukul 8 malam. Dalam surat perjanjian yang mereka tandatangani bersama, jelas tertera, kalau pihak nomor dua, yaitu Dinda, berhak menolak permintaan pihak pertama jika sudah di luar hari kontrak. Ia hanya berkewajiban mematuhi Dewa lima hari semi
“Dari mana kamu dapat uang untuk membeli semua ini?”Dinda diam sejenak, menyembunyikan perasaan tidak nyaman dalam hatinya. Meskipun ia paham mengapa ibunya curiga, tetapi tetap saja ia berharap sang ibu tidak perlu bertanya.Tiga bulan lalu, Dinda sulit mendapatkan pekerjaan karena kartu tanda pengenal yang oa punya bukan dari kota ini. Padahal saat itu mereka sedang kesulitan finansial karena semua harta yang mereka punya sudah habis untuk bisa berusaha menyelamatkan Leon. Waktu itu, Dinda hampir gila saat dokter mengatakan kemungkinan Leon tidak akan mungkin bisa diselamatkan kalau tidak segera menjalani operasi.Dinda pontang-panting, pergi selama dua hari tanpa ada kabar berita pada sang ibu, hingga pada hati ketiga, dia datang ke rumah sakit dan menyerahkan sejumlah uang untuk deposit operasi di rumah sakit tersebut agar putranya bisa segera menjalani operasi.Wanita itu tidak pernah mengatakan pada sang ibu mengenai asal uang tersebut. Tidak sampai sekarang, bahkan hingga kap
Pesanlah makan siang untuk kita berdua.”“Saya ada janji dengan teman, Pak,” tolaknya dengan cepat.Dewa mengerutkan kening, “Dengan siapa?” tanyanya. Salah satu alisnya naik ke atas. Ciri khas pria itu kalau tengah menyelidik. “Sepertinya aku belum cukup memberimu pelajaran ya?”“Bukan begitu, Pak,” sanggah Dinda buru-buru.“Kamu pasti tahu kalau ini masih jam kerja kamu.”“Saya mengerti,” ucap Dinda, mencoba untuk tidak terdengar terlalu membantah sang atasan. “Saya akan pesankan makan siang untuk Bapak. Namun, saya tidak bisa menemani Bapak makan kali ini.”Langkahnya terhenti ketika Dewa menghadangnya. “Dengan siapa?”Pria itu mengulang pertanyaan yang sama.“Peraturan nomor 5, Pak. Maaf saya permisi,” jawab Dinda tegas. Ia menyebutkan pasal di mana pihak pertama dilarang mengurusi urusan pribadi pihak kedua. Baik itu menyelidiki, memata-matai, atau sekadar bertanya sekalipun.Dewa tidak bergerak, sebelum kemudian berkata, “Langsung ke apartemen.”Pria itu akhirnya sadar bahwa Dind
“Dari mana saja kamu? Lagi-lagi kamu memancing amarah saya, ya?” Salak Dewa begitu mendapati wajah Dinda di balik daun pintu. Sejak tadi dia dilingkupi rasa kesal yang luar biasa pada gadis itu. Janjinya pergi hanya sebentar, tapi ditunggu, tak kunjung datang. Dewa juga sudah berusaha menghubungi ponselnya, tapi tidak aktif. “Ya, Maaf, Pak. Saya juga gak tahu kan, bakal lama ngobrol nya,” jawab Dinda menerobos masuk, melewati lengan kekar pria arogan itu. Memilih kursi single lalu mengempaskan bokongnya di sana. Pandangannya kini menatap lekat ke arah Dewa, ketika pria itu melihatnya, dia buang muka. Tubuh Dinda sangat lelah, sepanjang hari menemani pria itu bermain peluh di ranjang, kini rasa lelahnya bertambah dengan misi penuh beban yang diberikan Helen padanya. “Tampaknya malam ini kau harus kembali di hukum, seolah hukuman siang tadi tidak cukup.” Dewa sudah mendekat dan menarik tangan Dinda masuk ke dalam kamar. Wanita itu pasrah, dia terlalu lelah untuk mendebat. *** “Ada
Dering bel yang tiba-tiba terdengar dan terus berulang-ulang menyelamatkan Dinda dari terkaman Dewa kali ini. Keduanya saling tatap seolah dalam diam bertanya siapa yang datang malam ini."Ada yang datang, Pak."Dewa masih mengunci tatapan matanya pada wajah ketakutan Dinda. Bagaimana tidak, dia masih ada di apartemen milik bosnya, pada malam hari, terlebih saat ini dalam keadaan tanpa sehelai pakaian pun! Habislah dia kali ini.Tanpa kata, Dewa meninggalkan kamar mandi dan berjalan menuju ruang depan guna melihat siapa yang datang bertamu malam-malam begini. Di dalam kamar mandi, Dinda yang ketakutan menebak kalau orang yang menekan bel kemungkinan adalah pengurus apartemen ini. Bulan lalu, saat dia juga berada di apartemen ini, pria itu datang untuk menanyakan perihal keamanan dan kebersihan apartemen apakah sudah memuaskan Dewa.Dinda terus berdoa, jangan sampai ada yang tahu dia bersembunyi di kamar mandi ini, siapapun yang datang kali ini.Rasa penasaran membuatnya menempelkan t