Bara segera mendekati Dona dan memeluknya erat, tangannya mengusap lembut punggung dan rambut wanita itu yang mulai gemetar karena ketakutan.
“Sayang, sakit? Apa mau ke dokter?” tanya Bara dengan suara cemas yang terdengar nyaris bergetar. “Bara? Kamu gila! Kamu tega lihat Della sakit? Malah kamu bela staf kamu?” bentak ibunya keras, mendekat dan segera memeluk Della yang masih terduduk lemas. “Sakit banget, Ma…” rintih Della dengan wajah pucat dan air mata yang terus mengalir, pelan-pelan memegangi perutnya yang nyeri sambil mengadu manja. “Kita ke dokter. Mama bakal buat perhitungan sama kamu, Bara. Dan kamu, perempuan gatal! Saya harap kamu jangan pernah muncul lagi di kehidupan anak saya!” seru sang ibu dengan sorot mata benci sebelum menarik Della pergi dan membantunya berdiri. Langkah kaki mereka menggema di ruangan yang kin“Mas, itu ada mobil Mas Rangga,” bisik Dona, suaranya nyaris tercekat saat matanya menangkap mobil familiar yang terparkir tak jauh dari tempat mereka. Napasnya menegang, tubuhnya refleks bergeser lebih dekat ke Bara. “Wow, nekat juga.” Bara mendesis pelan. Matanya menajam. “Aku turun sendiri!” ujarnya tegas, dengan sorot mata yang mengancam badai. “Mas, no! Please...” Dona menarik lengan Bara. Jemarinya gemetar. “Tolong, jangan turun...” “Kenapa, Sayang? Kamu takut?” Bara menoleh, mencoba mencari kepastian di wajah perempuan yang kini wajahnya mulai pucat. “Mas... pasti jadi keributan. Aku khawatir sama Olla...” Suaranya melemah, hampir tenggelam oleh debur kecemasan yang terus menyerbu dadanya. Bara menahan napas sejenak. Ia tahu Dona tidak salah. Tapi amarah yang sedari tadi ia bendung kini mendesak keluar. Ia mengepalkan tangannya di atas paha, lalu menghela napas dalam-dalam. “Oke. Kamu tenang.” Suaranya melembut, meskipun rahangnya masih menegang. “Aku sudah minta ke
“Jadi gini ya… Pak Bara sama Mbak—eh, Bu Dona itu sengaja nggak kasih tahu soal hubungan mereka. Kenapa? Terbukti kan Bu Dona masuk sini lewat CV. Mau diinterview sama Pak Budiman dari HRD kita, ikut tes bulan kemarin, dan pas banget waktunya Pak Bara balik ke Indonesia, eh Bu Dona muncul, kan? Jadi emang mereka udah seting sih. Maunya biar nggak terkesan gimana gitu,” ucap Deni, dengan nada yakin meski sebenarnya ia baru saja mengarang cerita demi menenangkan keingintahuan massal di sekitarnya. “Oh…” ucap para staf lainnya hampir bersamaan, mulai menerima cerita versi Deni. “Jadi mereka udah lama nikah?” “Kapan dong?” “Udah lama lah… Nah, yang anak kecil centil yang pernah ke kantor? Tau, kan, kalian?” Deni melempar pertanyaan seperti kuis, membuat rekan-rekannya berpikir. “Oh…” Mereka serentak mengingat sosok Olla. “Anaknya Pak Bara. Pantes mirip banget.” “Iya, lucu banget lagi.” “Gemes!” Percakapan semakin ramai dengan tawa kecil dan desas-desus yang berubah menja
Bara segera mendekati Dona dan memeluknya erat, tangannya mengusap lembut punggung dan rambut wanita itu yang mulai gemetar karena ketakutan. “Sayang, sakit? Apa mau ke dokter?” tanya Bara dengan suara cemas yang terdengar nyaris bergetar. “Bara? Kamu gila! Kamu tega lihat Della sakit? Malah kamu bela staf kamu?” bentak ibunya keras, mendekat dan segera memeluk Della yang masih terduduk lemas. “Sakit banget, Ma…” rintih Della dengan wajah pucat dan air mata yang terus mengalir, pelan-pelan memegangi perutnya yang nyeri sambil mengadu manja. “Kita ke dokter. Mama bakal buat perhitungan sama kamu, Bara. Dan kamu, perempuan gatal! Saya harap kamu jangan pernah muncul lagi di kehidupan anak saya!” seru sang ibu dengan sorot mata benci sebelum menarik Della pergi dan membantunya berdiri. Langkah kaki mereka menggema di ruangan yang kin
Sementara itu, Della memaki petugas keamanan dan masih nekat menerobos masuk menuju lift hendak mendatangi lantai 14. Petugas pun mengejarnya dan mencoba untuk mencegah Della kembali. “Kalian pikir kalian ini siapa? Eh! Kalian harus tau, aku ini calon istrinya Bara! Paham!” teriak Della, wajahnya merah padam oleh amarah dan gengsi yang tercabik. “Tapi kami hanya melakukan tugas, Mbak!” sahut salah satu petugas dengan suara hati-hati, mencoba bersikap profesional meski tekanan terasa berat. “Jangan sentuh gue! Gue bikin viral ini kantor! Mau?” Della melotot, jemarinya sudah mengarah ke ponsel, ancaman nyata yang membuat petugas saling pandang cemas. Petugas pun mundur perlahan, tapi tetap setia berdiri di depan pintu ruangan kerja Bara, menjaga batasan yang kini terasa rapuh. Para staf yang berada di lantai itu menyaksikan kegaduhan tersebut dengan bisik-bisik dan tatapan penasaran, suasana kantor menjadi tega
“Mama, kok ke sini?” ucap Bara yang menatap wajah ibunya, namun masih duduk di atas sofa meski tampak ia tak menyukai kehadiran ibunya pagi itu. “Mama kan bebas ke kantor kamu, masa nggak boleh?” ucap ibunya sambil tersenyum dan meletakkan boks berisi kue dan makanan lainnya di atas meja. “Itu siapa?” tanya ibunya yang melihat seseorang berdiri menghadap jendela dan tengah berbincang di telepon. “Itu tuh perempuan yang aku ceritain ke Mama,” ucap Della sambil tersenyum sinis dan segera duduk di atas sofa yang sama dengan Bara. Dona segera mematikan teleponnya dan perlahan ia berbalik badan. “Ow... Jadi ini perempuan yang...” ucap ibunya Bara saat melihat Dona yang baru saja berbalik badan dan menatap ke arahnya. Dona terpaku memandangi wajah wanita itu, yang ternyata tak begitu ia ingat sebagai wajah mertuanya sendiri. Sementara itu, mertuanya tampak terkejut melihat perubahan drastis penampilan menantunya yang kini terlihat semakin cantik, elegan, dan cerdas. “Maaf, Pak. Saya
“Kayaknya posisi Deni sebagai asisten pribadinya Pak Bara bakal ditukar sama staf tadi deh.” “Bisa jadi. Kita lihat aja nanti.” Bara menuju ruang kerja pribadinya, sementara Dona kembali ke ruangannya dan segera mengerjakan tugas sebagai staf konsultan keuangan. Tak lama kemudian, Deni melangkah ke arah ruang kerja Dona. Wajahnya terlihat serius, tapi nada suaranya tetap sopan. “Mbak, diminta Pak Bara ke ruang kerjanya,” ucapnya. “Oh, oke,” jawab Dona sambil tersenyum tipis tanpa melepas pandangannya dari layar laptop. “Terus... dia bilang, buatin kopi dulu,” lanjut Deni, kali ini dengan nada suara lebih pelan dan senyum nakal di sudut bibirnya. “What? Hah... iya deh,” sahut Dona dengan tawa tertahan. Sorot matanya seolah tak percaya, tapi ia tetap bangkit dari kursi dengan ekspresi geli yang tersembunyi. Deni berlalu, kembali ke ruangannya. Sementara itu, Dona berdiri sejenak, menarik napas, lalu bergumam pelan sambil menggeleng pelan. “Doyan banget sama kopi hitam.