MasukTanpa sepengetahuan, Ibu Sagara mencoba ke istana. Kedatangan Ibu Sagara ke istana tidak tercatat secara resmi. Ia masuk lewat pintu samping, mengenakan kerudung gelap dan pakaian sederhana, seolah hanya tamu biasa yang ingin berteduh sebentar. Tapi langkahnya tidak ragu. Matanya tajam, wajahnya menyimpan sesuatu yang sudah lama ia bawa.Ia langsung meminta bertemu Dias.Dias yang sedang berada di ruang kecil dekat taman belakang sempat terdiam saat pelayan menyebut nama itu. Jantungnya berdegup lebih cepat.“Ibu Sagara?” suaranya nyaris berbisik.Belum sempat Dias menolak, pintu sudah terbuka. Ibu Sagara berdiri di ambang pintu, menatapnya tanpa senyum, tanpa basa-basi.Ibunya Dias ikut berdiri. Wajahnya langsung berubah.“Apa urusanmu datang ke sini?” tanyanya ketus, bahkan sebelum Ibu Sagara duduk.Ibu Sagara melangkah masuk, menutup pintu sendiri. “Aku datang bukan untuk bertanya kabar. Aku datang untuk menagih kalian.”Dias terkejut. Tangannya gemetar di sisi gaun.“Menagih apa?”
Ibu Sagara menyandarkan punggung ke kursi, jarinya mengetuk-ngetuk kayu dengan ritme pelan tapi membuat jantung berdebar. Tatapannya tak lepas dari Dian, seperti sedang menunggu celah sekecil apa pun untuk menerkam.“Kamu belum jawab pertanyaanku,” katanya akhirnya. “Utusan siapa kamu sebenarnya?”Dian tidak langsung menjawab. Ia melepas tas kecilnya, meletakkannya di lantai, lalu duduk berhadapan tanpa menunduk sedikit pun.“Kalau saya bilang saya datang atas kemauan sendiri?” ujarnya tenang.Ibu Sagara tersenyum sinis. “Hah... aku bukan anak kecil yang mudah dikelabui. Tidak ada orang datang sejauh ini tanpa tujuan.”“Ada,” sahut Dian. “Kalau yang dibawa itu dendam.”Kata itu membuat wajah Ibu Sagara menegang.“Kamu tidak punya hak bicara soal dendam!” katanya. “Yang kehilangan anak itu aku. Yang kehilangan cucu itu aku.”Dian mengangguk pelan. “Dan yang membuat semuanya terjadi bukan saya. Bukan istana.”“Lalu siapa?” suara Ibu Sagara meninggi.“Dias,” jawab Dian tanpa ragu. “Dan i
“Kamu datang jauh-jauh ke sini sebenarnya untuk apa,” katanya akhirnya, suaranya serak tapi tegas, “dan bilang dirimu mantan Sagara. Perempuan-perempuan seperti itu banyak.”Dian tidak tersinggung. Ia sudah memperkirakan sambutan seperti ini.“Kalau saya perempuan sembarangan,” jawabnya pelan, “saya tidak akan berdiri di sini sekarang.”Ibu Sagara mendengus kecil. “Semua orang bisa bicara.”Dian mendekat dua langkah. “Tapi tidak semua orang tahu bahwa Sagara selalu membenci hujan sore karena ibunya dulu sering memaksanya pulang saat hujan turun. Tidak semua orang tahu dia menyimpan uang di bawah kasur, bukan di lemari. Dan tidak semua orang tahu, dia ingin menikahi saya sebelum Dias hamil.”"Apa kau bilang? Anakku hamili Dias?" tanya Ibu Sagara. "Itu tidak benar.""Tidak benar atau tidak ingin diketahui publik?" desak Dian.Ibu Sagara mulai penasaran. "Kamu itu sebenarnya siapa?" Kursi itu berderit pelan saat Ibu Sagara bergeser. Tatapannya berubah, bukan percaya, tapi tidak lagi mer
Rumah itu lebih kecil dari yang dibayangkan Dian. Dindingnya kusam, pagar besinya berdecit saat didorong. Bau minyak menyambutnya begitu ia melangkah masuk.Seorang perempuan paruh baya muncul dari balik pintu. Rambutnya disanggul asal, matanya tajam, menilai dari ujung kepala sampai kaki.“Ada wanita disini..Kamu siapa?” tanyanya tanpa basa-basi.Dian menegakkan punggung. “Permisi, Bu. Saya Dian.”Tidak ada reaksi.“Saya… mantan kekasih Sagara.”Kalimat itu membuat tangan perempuan itu berhenti di gagang pintu. Ia menatap Dian lebih lama, kali ini bukan sekadar curiga, melainkan menghitung.“Mantannya Sagara?” ulangnya pelan. “Sagara nggak pernah cerita punya mantan.”“Karena dia pergi begitu saja,” jawab Dian tenang. “Tanpa penjelasan.”Ibu Sagara mendengus. “Kok aneh. Selama hidupnya, yang dia sebut cuma Dias. Dari muda sampai mati.”Dian tersenyum, nyaris iba. “Itu karena Dias selalu menangis di depannya. Perempuan seperti itu memang pandai membuat pria merasa bertanggung jawab.”
Dian berdiri di balik pilar koridor sejak beberapa menit lalu. Awalnya ia ragu untuk mendekat, tapi suara-suara yang meninggi membuat kakinya berhenti melangkah. Ia tak berniat menguping, namun kalimat demi kalimat yang terdengar membuat dadanya mengencang.“Aku juga tidak percaya Gita melakukan itu," sahut Dian.Suara Raja Ayah terdengar lelah, tapi tegas.“Ayah,” sahut Dias cepat, nada suaranya meninggi, “Ayah terlalu mudah dibutakan. Sejak kapan Ayah lebih membela selir yang bahkan tidak tahu diri dengan posisinya?”Ibu Dias menimpali tanpa ragu, “Benar, Raja Ayah. Anak saya ini istri sah, tapi diperlakukan seolah tak berarti. Apa Ayah tidak sayang lagi pada keluarga sendiri?”Wajah Raja Ayah memerah. “Jaga ucapan kalian. Gita merawatku saat aku sakit. Itu bukan hal kecil.”David melirik Gita sekilas, lalu kembali menatap Dias. “Tapi tetap saja, Ayah… itu seharusnya tugas Dias. Kenapa Gita melakukannya tanpa izin?”Kalimat itu jatuh seperti palu.Gita menelan ludah. Tangannya dingi
Begitu mobil berhenti di halaman istana, Gita tak langsung turun. Matanya masih merah, dadanya terasa kosong. David menunggu beberapa detik, lalu membuka pintu untuknya.“Kita masuk,” ucapnya pelan.Langkah Gita terasa berat, seolah setiap pijakan mengingatkan pada kata-kata yang baru saja menghantamnya. Belum sempat mereka melewati pintu utama, Dias sudah berdiri di sana, terlihat rapi, tenang, dengan senyum yang terlalu manis untuk situasi seperti ini. Di sampingnya, ibunya ikut menyunggingkan ekspresi puas yang tak berusaha disembunyikan.“Oh, kalian sudah kembali,” Dias bersuara ringan, matanya langsung tertuju pada wajah Gita yang basah air mata. “Gita, kamu kenapa? Apa yang terjadi? Kok pulang-pulang nangis?”Ibunya ikut mendekat. “Jangan-jangan kebohongannya kebongkar, ya?”Gita hanya menunduk. Tangannya mengepal. Ia ingin bicara, ingin membela diri, tapi suaranya seperti tertahan di tenggorokan.Dias menoleh pada David dan Ratu Ibu. “Yang Mulia, Sayang... aku sudah dengar. Git







