LOGINDian berdiri di balik pilar koridor sejak beberapa menit lalu. Awalnya ia ragu untuk mendekat, tapi suara-suara yang meninggi membuat kakinya berhenti melangkah. Ia tak berniat menguping, namun kalimat demi kalimat yang terdengar membuat dadanya mengencang.“Aku juga tidak percaya Gita melakukan itu," sahut Dian.Suara Raja Ayah terdengar lelah, tapi tegas.“Ayah,” sahut Dias cepat, nada suaranya meninggi, “Ayah terlalu mudah dibutakan. Sejak kapan Ayah lebih membela selir yang bahkan tidak tahu diri dengan posisinya?”Ibu Dias menimpali tanpa ragu, “Benar, Raja Ayah. Anak saya ini istri sah, tapi diperlakukan seolah tak berarti. Apa Ayah tidak sayang lagi pada keluarga sendiri?”Wajah Raja Ayah memerah. “Jaga ucapan kalian. Gita merawatku saat aku sakit. Itu bukan hal kecil.”David melirik Gita sekilas, lalu kembali menatap Dias. “Tapi tetap saja, Ayah… itu seharusnya tugas Dias. Kenapa Gita melakukannya tanpa izin?”Kalimat itu jatuh seperti palu.Gita menelan ludah. Tangannya dingi
Begitu mobil berhenti di halaman istana, Gita tak langsung turun. Matanya masih merah, dadanya terasa kosong. David menunggu beberapa detik, lalu membuka pintu untuknya.“Kita masuk,” ucapnya pelan.Langkah Gita terasa berat, seolah setiap pijakan mengingatkan pada kata-kata yang baru saja menghantamnya. Belum sempat mereka melewati pintu utama, Dias sudah berdiri di sana, terlihat rapi, tenang, dengan senyum yang terlalu manis untuk situasi seperti ini. Di sampingnya, ibunya ikut menyunggingkan ekspresi puas yang tak berusaha disembunyikan.“Oh, kalian sudah kembali,” Dias bersuara ringan, matanya langsung tertuju pada wajah Gita yang basah air mata. “Gita, kamu kenapa? Apa yang terjadi? Kok pulang-pulang nangis?”Ibunya ikut mendekat. “Jangan-jangan kebohongannya kebongkar, ya?”Gita hanya menunduk. Tangannya mengepal. Ia ingin bicara, ingin membela diri, tapi suaranya seperti tertahan di tenggorokan.Dias menoleh pada David dan Ratu Ibu. “Yang Mulia, Sayang... aku sudah dengar. Git
Langit mulai mendung ketika mereka bertiga melangkah keluar dari istana. Gita yang sejak tadi dadanya terasa sesak. Ia berjalan di antara David dan Ratu Ibu, langkahnya ragu, dan pikirannya tak henti bertanya-tanya apakah keputusan ini benar.“Gita, kau yakin orang itu mau bicara?” tanya David akhirnya, suaranya lebih pelan dari biasanya.Gita mengangguk, meski sebenarnya hatinya tak setenang itu. “Terakhir kami bertemu... dia ketakutan. Tapi dia bilang lelah terus dipalak, Baginda.”Ratu Ibu menatap lurus ke depan. “Kalau dia masih punya nurani, dia akan jujur.”Di depan gerbang kecil rumah sederhana itu, Gita berhenti. Tangannya gemetar saat mengetuk pintu. Butuh beberapa detik sebelum pintu terbuka, memperlihatkan wajah seorang perempuan yang langsung pucat begitu melihat siapa saja yang berdiri di hadapannya.“Permisi, Bu,” Gita membuka suara, lega sekaligus cemas. “Kami hanya ingin bicara sebentar.”Perempuan itu menelan ludah. Pandangannya menyapu David dan Ratu Ibu, lalu kembal
Ayah Dian akhirnya benar-benar melangkah keluar dari istana sore itu. Raut wajahnya serius, matanya masih menyimpan kemarahan yang belum tuntas. Sebelum naik ke kereta, ia berhenti dan menatap Ratu Ibu lama.“Saya titipkan anak saya di sini,” katanya tegas tanpa basa-basi. “Kalau terjadi apa pun pada Dian, saya tidak akan bertanya pada siapa-siapa. Saya langsung datang pada Anda, Ratu.”Ratu Ibu mengangguk, kali ini tanpa senyum. “Saya jamin keselamatannya.”Ayah Dian menoleh ke Dian. “Hati-hati, Nak. Jangan percaya siapa pun terlalu cepat.”Dian mengangguk pelan. “Baik ayah. Ayah juga hati-hati di jalan.”Kereta bergerak menjauh, meninggalkan istana yang rasanya semakin pengap. Dian berdiri diam beberapa detik sebelum akhirnya menarik napas panjang. Ia belum sempat melangkah pergi ketika Dias sudah berdiri di hadapannya.“Dian, aku peringatkan kau untuk jaga jarak dari suamiku!” ucap Dias, tanpa basa-basi. “Aku tidak peduli niatmu apa.”Dian menatap Dias lurus. “Aku tidak pernah bern
Ayah Dian sudah menggenggam tangan putrinya, berniat membawa pergi dari istana yang semakin terasa pengap. Namun Dian justru menarik tangannya perlahan.“Ayah,” suaranya pelan, tapi cukup membuat semua mata tertuju padanya. “Aku belum bisa pulang sekarang. Aku mau bantu istana ini.”Ayah Dian menoleh cepat. “Dian, anakku. Istana ini bukan tempat yang aman. Lebih baik kau ikut pulang ayah dan tidak ikut campur urusan istana yang bukan wewenangmu.” “Ayah, aku tahu,” jawab Dian jujur. Dadanya naik turun, jelas gugup. “Tapi justru karena itu aku harus tinggal di sini. Kalau aku pergi sekarang, semua ini akan dianggap tidak pernah terjadi.”Ratu Ibu langsung melangkah mendekat, wajahnya berubah, bukan lagi keras, melainkan penuh kepura-puraan yang nyaris menyentuh batas memohon.“Tuan Jaya,” katanya lembut tapi penuh tekanan, “izinkan Dian tinggal di istana. Demi kebenaran. Demi nama baik kerajaan.”Ibu Dias mendengus sinis. “Atau demi rencana busukmu sendiri, Yang Mulia Ratu?”Ratu Ibu m
Ayah Dian masuk dengan langkah cepat dan wajah merah menahan marah. Usianya sudah tidak muda, tapi sorot matanya tajam dan penuh wibawa. Begitu melihat Dian berdiri kaku di tengah ruangan dengan tatapan tertekan, langkahnya langsung berhenti.“Dian.” Suaranya berat. Penuh kekhawatiran sekaligus amarah.Dian menoleh cepat. “Ayah. Kenapa ayah datang kemari?”Tanpa menunggu penjelasan apa pun, Ayah Dian langsung melangkah ke arahnya, berdiri di samping putrinya seperti perisai. Lalu pandangannya beralih ke Ratu Ibu, tanpa basa-basi.“Ratu, jadi ini caranya Anda memperlakukan anak orang lain?” tanyanya datar tapi mengandung bara. “Dipanggil ke istana, dijadikan alat perjodohan, lalu dilempar ke tengah konflik keluarga kerajaan?”Ratu Ibu mengangkat dagu. “Saya hanya menawarkan kesempatan untuk Dian.”“Kesempatan?” potong Ayah Dian tajam. “Anak saya bukan barang tawar-menawar politik. Dian datang ke sini karena Anda memintanya, bukan karena ambisinya.”Dian menunduk, jemarinya saling mengg







