LOGINIbu Dias benar-benar tidak terima.Wajahnya memerah, napasnya memburu, dan sorot matanya menatap David tanpa sedikit pun rasa segan. Ia berdiri di sisi Dias, seolah menjadikan tubuh anaknya tameng sekaligus senjata baginya.“Kami diusir istana?” suaranya meninggi. “Setelah semua yang sudah terjadi, kau berani bilang kami harus pergi dari istana ini?”Dias ikut maju setengah langkah. “David,” ucapnya tajam, “ini maksudmu? Kau mau mengusir istrimu sendiri dari hidupmu?”David berdiri kaku. Sorot matanya menyapu wajah Dias, lalu beralih pada Raja Ayah yang sejak tadi menahan diri untuk tidak ikut campur terlalu jauh.“Aku tidak mengusir kalian,” jawab David akhirnya, suaranya berat tapi jelas. “Aku memberi pilihan. Dan pilihan itu adil.”Ibu Dias tertawa sinis. “Haha... adil kau bilang?” Ia menunjuk lantai marmer di bawah kaki mereka. “Adil di istana ini selalu berarti memihak yang punya kuasa. Dan jelas, itu bukan aku.”Raja Ayah menghela napas panjang. “Ibu Dias,” katanya dengan suara
Langkah Gita terdengar pelan. Ia berhenti di ambang pintu, menunduk sopan, menahan napas yang sejak tadi terasa berat.“Ampun, Yang Mulia Ayah,” ucapnya pelan. “Hamba pamit.”Tak ada yang langsung menjawab. David berdiri beberapa langkah di belakang Raja Ayah, wajahnya kaku, pandangannya lurus ke depan seolah Gita tak pernah ada di ruangan itu. Sikap itu menusuk lebih daripada kata-kata kasar mana pun.Gita melirik sekilas ke arahnya, berharap, entah apa. Sepatah kata. Satu anggukan. Apa saja. Tapi David tetap saja diam.Raja Ayah yang pertama kali bergerak. Suaranya berat, penuh kelelahan.“David.”Nada itu bukan panggilan biasa. Itu teguran.David menoleh, tapi hanya sebentar. “Ampun, Ayah.”“Kau dengar dia berpamitan kan,” ujar Raja Ayah tegas. “Dan kau memilih diam saja?”David mengangguk pada Raja Ayah. “Aku… aku tidak tahu harus berkata apa.”“David kau bilang apa, tidak tahu?” Raja Ayah mendekat satu langkah. “Atau kau memang memilih tidak peduli?”Gita buru-buru menunduk lebih
Tak ada yang duduk. Tak ada yang benar-benar tenang. Raja Ayah berdiri dengan kedua tangan bertumpu di meja, napasnya berat. David berdiri beberapa langkah di sampingnya, sorot matanya tak lepas dari Dias dan ibu mertuanya. Sementara Dias berdiri tegak, tapi bahunya kaku, bukan karena takut, melainkan karena marah yang sudah tak lagi ia sembunyikan. “Jadi ini ujungnya?” suara Dias akhirnya pecah, getir. “Ayah mau memaksa ibuku berhenti hidup dengan caranya sendiri, sementara Ayah dan Ibu, David tetap hidup nyaman di istana?” “Itu bukan caranya sendiri,” jawab Raja Ayah tajam. “Akibat perbuatan Ibumu itu menyengsarakan rakyat. Dan kamu tahu itu.” Ibunya Dias mendengus sinis. “Ah, rakyat. Selalu rakyat. Sejak kapan istana peduli pada kami sebelum Dias jadi permaisuri?” David akhirnya bicara, suaranya berat tapi tertahan. “Istana mengirimkan kebutuhan Ibu setiap bulan. Aku sendiri yang pastikan itu. Jangan bilang hidup Ibu menderita di sana.” "Hei kau dengar David, itu semua tida
David berdiri tepat di hadapan Dias. Jarak mereka tak sampai satu langkah, tapi rasanya seperti dipisahkan jurang yang dalam. Tatapan Dias tajam, basah oleh emosi yang tak lagi ia sembunyikan.“Kau benar-benar akan membiarkanku sendirian?” suara Dias bergetar, bukan lemah, tapi penuh tuntutan. “Di saat semua orang menuduhku, di saat ibuku diseret ke masalah ini, kau malah berdiri di sana dan menekanku untuk mengaku?”David menarik napas panjang. Dadanya sesak, tapi kali ini ia tak mundur.“Sayang, aku tidak pernah membiarkanmu sendirian,” katanya tegas. “Tidak pernah, Dias. Dari hari pertama aku menikahimu, aku selalu ada untukmu dan untuk ibumu. Untuk semua yang kau butuhkan.”Dias mendengus, senyum pahit muncul di bibirnya. “Hah itu menurutmu, David. Menurutku, kau sudah lama meninggalkanku.”David menggeleng pelan. “Tidak, aku mencintaimu dari dulu sampai sekarang. Tapi aku lelah, Dias. Aku hanya minta satu hal, jujur. Apa susahnya jujur padaku? Mengakui apa yang memang terjadi?”K
Raja Ayah menarik napas panjang. Dadanya naik turun, bukan karena marah semata, tapi karena lelah, lelah menghadapi kebenaran yang terus diputarbalikkan.“Cukup,” ucap Raja Ayah. “Kau bertanya apakah sejak awal aku tak pernah percaya padamu, Dias?”Raja Ayah melangkah satu langkah mendekat, menatap Dias lurus tanpa kebencian, hanya kekecewaan yang tertahan.“Dengar baik-baik jawabanku, nak,” katanya tegas. “Aku percaya padamu sejak hari pertama kau menikah dengan David. Aku memilihmu untuk jadi bagian dari istana ini.”Dias terdiam. Alisnya berkerut, seolah tak siap mendengar itu.“Justru saat istriku menolakmu,” lanjut Raja Ayah, suaranya sedikit bergetar namun mantap, “akulah yang berdiri paling depan. Akulah yang memaksa Ratu Ibu menerima kau sebagai menantuku. Aku percaya kau bisa menjadi istri yang baik bagi anakku, David.”David mengangguk pelan. “Itu benar, Dias,” katanya lirih tapi jelas. “Ayah yang meyakinkan Ibu… Ayah yang selalu membelamu, Dias. Ayah percaya dan sayang pada
Raja Ayah menghela napas panjang sebelum kembali menatap Dias. Tatapannya tajam, namun suaranya berusaha tetap terkendali.“Ayah tidak menyalahkan tanpa dasar, Dias,” ucapnya pelan tapi menekan. “Saksi sudah bicara. Bukti memang sempat hilang, tapi benangnya jelas mengarah ke kalian. Ayah hanya meminta kejujuran sebelum semuanya semakin membesar.”Dias tersenyum miring. Senyum yang tidak sampai ke mata.“Kejujuran?” ulangnya, getir. “Atau pengakuan yang Ayah inginkan supaya selir itu bisa kembali ke istana?”David tersentak. “Dias, tolong!”“Tidak!” potong Dias keras. Ia menatap suaminya sekilas, lalu kembali menghadapi Raja Ayah. “Jangan pura-pura netral, David. Dari tadi kau hanya diam saja, membiarkan Ayahmu menekan aku dan Ibuku seolah kami ini penjahat. Kalau memang kau percaya pada kami, kenapa kau di sini?”Raja Ayah berdiri dari duduknya. Suaranya meninggi untuk pertama kalinya.“Karena ini menyangkut istana, nama keluarga, dan nasib orang-orang kecil yang kalian sakiti! Jang







