Share

 8. RUTH DAN HIZKIA RIBUT DI RUMAH BUNDA

Entah telah sejauh apa hubungan antara Hizkia dan Naomi. Kerja sama antarperusahaan akan membuat mereka hampir setiap hari bertemu. Menerka-nerka hal itu tidak baik bagi pikiran mama Elkana, rasa tidak percaya diri pun kian mendominasi Ruth.

Ruth kembali ke kamarnya sekitar pukul dua puluh dua setelah menidurkan Elkana. Sempat ingin beristirahat bersama Elkana saja namun ia ingat ini bukan di rumah mereka. Tentu saja tidak tepat bersikap egois dan kekanakan saat ini.

Ternyata Hizkia belum tidur dan sedang duduk melipat kaki dengan tangan terangkat di sandaran sofa kamar menunggu istrinya. Mama Elkana masuk lalu menutup pintu. Ia mengerling cepat dan menemukan suaminya tengah menatapnya.

Ruth berjalan melewati suaminya menuju ranjang tanpa sapaan sedikit pun. Hizkia yang menunggu istrinya tapi dicuekin benar-benar habis kesabaran. Perlakuan mama Elkana semenjak di Jakarta sampai tiba di Palembang bikin Hizkia geram. 

Beranjak dari duduknya, Hizkia menarik lengan mama Elkana yang tadinya melangkah naik ke ranjang. Kini mereka saling berhadapan. Rasa sesak menyelimuti hati Ruth tatapan tajam Hizkia bukanlah tanda merindu melainkan amarah.

"Lepas!" Ruth menarik diri, menoleh pada jendela kamar yang telah tertutup rapi.

Hizkia menatap wajah istri yang telah beberapa hari tak dilihatnya. Apa sebegitu tidak diinginkan kehadirannya oleh sang istri? Jauh datang dari Jakarta bukannya mendapat sambutan baik dari istri malahan wajah jutek.

"Ini sudah malam. Aku mau istirahat." Mama Elkana meneruskan perkataan tanpa ingin tahu mengapa kini mereka berdiri saling berhadapan. Hatinya masih inginkan jarak dengan suami.

"Tidak menanyakan kabarku?" Hizkia bertolak pinggang, menatap tajam istri yang tak sudi bersemuka dengannya. Ruth melipat tangan di dada, bila diterjemahkan isi pikiran Ruth 'bodo amat'.

"Pasti kabarmu baik. Kalau tidak, tidak sampai ke sini," Ruth menjawab sekenanya.

"Apakah tidak ada percakapan suami-istri yang normal setelah tidak bertemu beberapa hari?" tanya Hizkia masih ingin berlama-lama.

Mendengar itu, emosi mama Elkana malah memuncak. 

Dia menatap suaminya dan tersenyum tipis lalu menjawab, "Normal!? Mau kamu apa dari percakapan suami istri, rumah tangga ini saja tidak normal. Mengapa kamu ke sini dan tidak menghabiskan malam bersama kekasihmu saja?" 

Hizkia diam menelusuri ekspresi Ruth yang berkaca-kaca. Sesak rasa dada Ruth bila berurusan dengan suaminya. 

 "Oh, kalian ingin terang-terangan berhubungan? Seharusnya kamu tidak pernah menerima pernikahan ini," tekan Ruth.

 "Kamu cemburu?" Hizkia entah mengharapkan jawaban apa dari pertanyaannya.

"Bukan soal penting cemburu atau tidak," jawab Ruth seraya mengalihkan pandangannya ke jendela kembali.

Tercipta keheningan di antara Ruth dan Hizkia beberapa saat. 

Ruth menganggap percakapan selesai. Ia menaikkan kakinya ke ranjang. Belum lagi sempurna, Hizkia kembali menegakkan tubuh Ruth menghadap padanya. Baginya, percakapan belum selesai, tetapi istrinya seenaknya mau merebahkan diri.

"Apa lagi!?" tantang mama Elkana menatap suaminya dengan kesal. Jangan bilang Hizkia mengajak debat malam ini. Padahal selama hampir setahun pernikahan, Hizkia sosok yang tenang di mata Ruth.

"Apa begini kamu bersikap sebagai istri saat bersama abang? Bersikap tidak hormat pada suami?" 

Pertanyaan sederhana itu menyindir hati Ruth.

Mama Elkana benar-benar tidak habis pikir mengapa jadi ia yang tampak salah? Bukannya mengoreksi diri sendiri, Hizkia sungguh menyulut api. Mereka sama-sama emosional.

"Jangan - pernah - bawa-bawa - pernikahanku - dulu. Pernikahan kami sangat bahagia tanpa sandiwara. Kalau kamu mau bicara to the point saja. Apa!? Mau izin berpoligami atau cerai?" tanya Ruth langsung ke inti pembicaraan.

Merembet ke mana-mana kalimat mama Elkana. Membuat Hizkia tidak sabar dan geram. Ia menarik mama Elkana sampai membentur dadanya. 

Dagu perempuan itu dicengkeram dan nada ancaman dibisikkan di telinganya, "Ini rumah Bunda. Jangan menyulut amarahku. Jangan pernah ulangi lagi dua kata itu dalam pernikahan kita. Aku tidak segan buat kamu menderita kalau lepas dari aku. Walau aku jauh lebih muda, belajarlah menghargai suami." 

Hizkia lalu melepas dan sedikit mendorong Ruth sampai terduduk di ranjang. Ruth terkejut, napasnya terjeda. Ia menghela napas berat dan mengedip-ngedipkan mata tidak menyangka akan sikap berbeda Hizkia. Ruth sampai gemetar.

Hizkia memilih mengambil bantal dan selimut dari ranjang untuk tidur malam di sofa. Ia memunggungi Ruth. Agaknya merasa kecewa dengan penyambutan istrinya hari ini.

Ruth masih terduduk, melihat di ranjang hanya tersedia bantal. Ia membutuhkan sesuatu untuk menghalau rasa dingin di kamarnya. Ruth menarik selimut dari lemari dan berjalan sepelan mungkin menuju tempat tidur. Ruangan rasanya mencekam sekali dibanding tadi ia masuk. Ruth terintimidasi sikap suaminya.

💕💕

Sarapan pagi berempat pemandangan manis yang jarang terjadi. Mama Elkana menyuapi buah hatinya yang berceloteh terus dan memainkan finger food kesukaannya.

"Bunda, besok siang kami berencana kembali ke Jakarta. Apa bunda ingin ikut ke Jakarta?" Pernyataan itu membuat hangat hati Magdalena, ia mengira semalam hubungan anak mantunya semakin baik.

Lain hal dengan Ruth yang diam terpaku karena pagi tadi mereka belum membicarakan rencana kepulangan ke Jakarta.

"Bunda bukan ngga mau ya, Nak. Ketepatan beberapa hari ini pesanan katering Bunda penuh. Ada pesanan untuk acara perusahaan dan sekolah, Nak. Bunda sudah menyusun jadwal kosong, beberapa bulan lagi baru bisa berkunjung ya, Nak," Magdalena menjelaskan, pagi ini ia banyak tersenyum.

"Oke, Bunda. Nanti dikabari kalau mau ke Jakarta ya, Bun," menantunya menanggapi.

Mama Elkana bisa apa, terpaksa menuruti suami kembali ke Jakarta atau hal tak terduga bisa dilakukan oleh Hizkia. Padahal ia masih kesal dengan Hizkia yang seenaknya. Ia masih ingin menikmati kekesalan eh bukan... kebersamaan dengan bundanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status