SENTUHAN HARAM SUAMIKU
Fov Fajar
Di depan jendela, Nina sedang mematung. Matanya menatap lurus hamparan sawah yang mulai menguning di luar sana. Ya, persis di belakang puskesmas ini terdapat area persawahan yang luas.
Aku ikut berdiri di sampingnya. Mataku tertuju pada langit yang mulai berubah senja.
"Nin, emang ga apa-apa Risa ditinggalin? Takutnya dia nangis nyariin kamu," ucapku pada Nina setelah kembali ke dalam ruang rawat.
"Ga apa-apa, Bang. Risa kan sudah besar. Dia emang suka anteng di rumah Bibi. Malahan dia suka nangis kalau di ajak pulang," jawab Nina.
" Oh, sukur kalau gitu. Jadi kamu bisa fokus di sini merawat Ibu. Oh, iya, tadi Ayu titip salam buat kamu. Tadinya Ayu mau ke sini, tapi aku larang."
"Iya, Bang. Mbak Ayu mending di rumah aja. Kasian Putri juga kan masih ASI."
"Fajar ... Nina ...."
Terdengar rintihan ibu memanggil namaku dan Nina. Aku dan Nina langsung menoleh ke arah Ibu se
SENTUHAN HARAM SUAMIKUPOV Fajar"Ibu, sudah tidak ada."Perkataan Nina bak petir di siang bolong. Hatiku serasa dihantam palu godam. Sakit tak terperi. Badanku gemetar hebat, hingga menyebabkan ponsel yang masih dalam genggaman terjatuh. Tubuhku terasa lunglai seketika. Menepikan mobil, aku menangis sesenggukan. Berkali-kali kupukul stir mobil. Merutuki kebodohan yang telah aku lakukan. Pergi bekerja meninggalkan ibu yang sedang sakit tak berdaya. Andaikan aku tadi tetap bersama ibu, menemaninya di saat-saat terakhirnya. Maafkan aku, Ibu.Segera kuhapus jejak air mata di pipi. Aku harus kuat. Aku harus segera sampai di puskesmas. Kasian Nina, dia pasti sangat terpukul dengan kepergian Ibu.Bergegas aku kembali memacu mobilku. Membelah jalanan dengan air mata yang masih mengaliri pipi.Langit bak ikut berduka. Mendung makin pekat di atas sana. Titik-titik air mulai turun, kemudian berubah deras dalam sekejap.Aku b
SENTUHAN HARAM SUAMIKUPov AyuMalam ini, Mas Fajar memintaku untuk menemaninya tidur di kamar ibu mertua. Katanya, dia masih ingin mengenang ibu. Menghirup aroma minyak angin yang masih menguar tajam di tempat ibu biasa beristirahat.Namun sayang , sampai larut mataku tak kunjung mau terpejam. Aku yang tidur menyamping, memunggungi Mas Fajar, merasakan ada pergerakan di ranjang ini. Setelah aku berbalik, ternyata, Mas Fajar yang turun."Mau ke mana, Mas?" tanyaku pada Mas Fajar."Mau ke dapur, Dek, ambil minum," jawab Mas Fajar seraya menoleh ke arahku."Biar aku yang ambilkan, Mas. Kamu tunggu aja, di sini." Aku beringsut untuk segera bangkit."Ga usah, Dek. Kamu temani Putri saja, takutnya bangun mau nenen." Aku mengangguk seraya kembali merebahkan tubuhku.Jujur aku penakut. Bulu kudukku menegang seketika saat M
SENTUHAN HARAM SUAMIKUMas Fajar yang sedang minum langsung tersedak mendengar ucapanku."Ya ampun, Mas. Hati-hati dong!" Aku memberikan tissue yang sudah tersedia di meja makan kepada Mas Fajar."Maaf, Dek. Habisnya, kamu ngomong ada-ada saja. Memang gampang cari calon suami untuk Nina? Kalaupun ada, Nina juga belum tentu mau.""Namanya juga usaha, Mas."***Hari berganti bulan berlalu. Tak terasa sudah hampir setengah tahun ibu mertua berpulang. Aku sering berkunjung dan menginap di rumah Nina untuk menemani dan menghiburnya.Putri pun kini sudah semakin besar, sudah pandai berlari. Sudah mulai bisa bicara juga meski masih banyak yang belum dimengerti.Malam Minggu ini, aku kembali menginap di rumah Nina. Aku juga ingin kembali membujuk Nina, agar mau ikut tinggal bersama di rumahku."Nin, coba dipikirkan lagi tawaranku untuk tinggal di rumahku? Biar aku juga ada teman, ga kesepian. Mas Fajar ju
SENTUHAN HARAM SUAMIKUPesan yang kubaca di ponsel Mas Fajar, berhasil membuat dadaku sesak seketika. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata. Bayang-bayang pengkhianatan yang telah dilakukan Mas Fajar dulu, kini kembali menari-nari di ingatan. Bagaimana tidak, dia kini telah melakukan kesalahan yang sama. Membuka kembali pintu perzinahan yang seharusnya ditutup rapat-rapat. Seharusnya jangan lagi memberi celah, jika ingin perbuatan haram itu tak terulang lagi.Derap langkah kaki Mas Fajar yang baru saja selesai menunaikan solat isya terdengar semakin dekat. Dia terpaku menatapku yang sedang berlinang air mata menggenggam gawainya di tanganku."Kamu, kenapa, Sayang? Kok, nangis?" Mas Fajar menghampiriku kemudian duduk di sebelahku.Sesak yang masih menyeruak seolah mengunci rapat mulutku. Aku tak dapat berkata apa-apa.Melihatku yang tak kunjung bersuara, Mas Faja
SENTUHAN HARAM SUAMIKU[ Pagi, Pak Fajar. Maaf pagi-pagi sudah ganggu. Boleh saya numpang kembali ke kantor?]Kontak yang sama dengan yang semalam. Belum lagi masalah semalam selesai, sekarang ditambah lagi. Aku jadi curiga, apa benar apa yang dikatakan Mas Fajar semalam itu? Atau mungkin hanya rekayasa untuk menutupi kebohongannya. Duh ... Kepala rasanya pusing, serasa mau pecah memikirkan semua ini.Kenop pintu terdengar diputar, sepertinya Mas Fajar yang akan masuk ke kamar. Aku segera berpura-pura merapikan tempat tidur, melipat selimut, dan membereskan area ranjang dengan sapu lidi agar debu dan kotoran yang menempel hilang.Mas Fajar masih diam, tak menyapaku. Dia langsung menghampiri gawainya. Aku terus memperhatikannya sambil masih berpura-pura membereskan bantal, menepuk-nepuk sarung bantal dan guling. Mas Fajar terlihat serius sedang mengetik sesuatu pada gawainya."Bun, Kakak mau berangkat."Tiba-tiba ter
Sentuhan Haram SuamikuMatahari bersinar sangat terik siang ini. Putri yang baru saja bangun dari tidurnya banjir keringat. Akhirnya aku membuka seluruh pakaiannya, hanya menyisakan kaos dalam dan diaper, agar ia tak kepanasan.Di rumahku memang ada AC, tapi aku dan Putri tergolong yang rentan sakit jika terkena dingin. Itulah sebabnya, aku lebih memilih kegerahan daripada harus menghirup dinginnya AC. Bisa-bisa aku dan Putri langsung pilek. Terkadang sakit perut melilit yang tak tertahankan karena masuk angin.Saat ingin mengganti diaper Putri, baru teringat kalau diaper-nya tinggal satu. Tentu tak akan cukup sampai nanti malam apalagi besok pagi."Assalamu'alaikum."Suara salam Putra terdengar sampai ruang depan. Putra sudah pulang dari sekolah. Berarti sebentar lagi sudah akan masuk waktu duhur."Dede Putri lagi apa?" tanya Putra sambil mencium t
Sentuhan Haram SuamikuDuh ... gimana ya? Mau nolak, tapi ga enak. Lagipula, cuma ngobrol sambil minum, apa salahnya? Benar yang dikatakan Bambang, ini pertemuan pertama kami setelah belasan tahun yang lalu.Bambang adalah temanku waktu SMA. Bahkan, aku mengenal Bambang terlebih dahulu sebelum mengenal Mas Fajar. Kami dulu cukup dekat. Meski hanya sebatas teman, tapi Bambang selalu memperlakukanku dengan istimewa. Karena perhatiannya, dulu aku pun sempat naksir sama dia. Tapi karena dia tak pernah sekalipun mengungkapkan perasaannya, aku mundur pelan-pelan sampai aku bertemu Mas Fajar dan jatuh hati padanya.Bambang memang tidak pernah mengatakan langsung 'aku mencintaimu', tapi dia selalu bilang padaku dan semua teman-temannya bahwa suatu saat, jika dia sudah sukses akan datang melamar-ku. Bahkan saat Bambang tahu aku jadian sama Mas Fajar, karena sering melihatku di antar jemput, Bambang pernah bilang, 'sekarang kamu boleh pacaran sama siapa saja
Sentuhan Haram SuamikuSenyum terkembang di bibirku saat motor yang dikendarai melaju santai. Ya, aku terbiasa membawa motor dengan pelan. Pernah dulu terburu-buru mengendarai motor karena ada urusan penting, malah jatuh terperosok ke pinggir selokan. Hal itu menyebabkan badanku terasa remuk, kakiku terluka dan tidak bisa berjalan selama beberapa hari. Sejak saat itu, Mas Fajar melarangku untuk kembali membawa motor. Tapi aku protes, keberatan. Akhirnya Mas Fajar mengijinkan kembali membawa sepeda motor dengan syarat pelan-pelan dan hanya jarak dekat.Dari kaca spion, terlihat mobil Faj*ro hitam persis seperti milik Bambang membuntutiku. Tadi, aku sempat melihat plat nomornya, jadi bisa dipastikan itu memang benar mobil Bambang. Tapi untuk apa dia mengikutiku? Ah, mungkin hanya kebetulan dia akan pergi ke arah yang sama denganku.Aku pun kembali fokus pada jalanan di depanku. Tak ingin kembal