Share

BAB 3

Akhirnya sampai lewat jam pulang kerja karyawan, Meera masih mengetik berkas yang diminta oleh Varo untuk meeting besok siang. Jam sudah menunjukkan pukul enam sore saat Meera selesai mengetik.

Dengan segera ia merapikan mejanya, menyusun berkas yang tujuh belas bundel dan satu bundel lagi di map hijau dan biru. Semua ia masukkan di laci meja kerjanya, ia kunci kemudian kuncinya ia letakkan di laci panjang satunya.

Meera memang seperti itu, terbiasa mengunci lacinya jika ada berkas penting yang digunakan untuk meeting atau yang hanya sekedar dititipkan padanya. Varo sudah pulang sejak tiga puluh menit yang lalu, maka di ruangan ini tinggallah Meera.

Selesai dengan meja kerjanya, Meera merapikan barang bawaannya. Ponsel, dompet, dan beberapa barang penting ia cek lagi. Setelah dirasa cukup ia pun turun dari lantai lima. Menaiki lift dan keluar di lantai dasar.

Meera tak langsung pulang, ia terlebih dahulu menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslimah di masjid samping gedung perusahaan. Ia menanggalkan sepatunya, kemudian langsung menuju tempat wudhu wanita. Setelah selesai ia pun langsung menuju shaf wanita yang pintu keluarnya berada di samping.

Meera tak sadar ada sepasang mata yang tengah memperhatikan gerak geriknya, melihat setiap apa yang ia lakukan baik di tempat wudhu wanita maupun saat ia sedang shalat Magrib. Sampai ia selesai dengan shalatnya, melipat mukenanya, membetulkan lagi hijabnya, dan mengenakan satu sepatu miliknya sepasang mata itu pun masih tetap setia memperhatikannya.

Seseorang tengah menghampiri Meera saat ia sedang mengenakan lagi sepatunya yang laina. Meera yang menyadari ada seseorang tengah mendekat kemudian mendongakkan wajahnya, mencoba melihat siapa yang menghampirinya.

“Kenapa baru pulang?” Meskipun hanya menampakkan siluet badannya karena terhalang pantulan cahaya lembayung sore tapi Meera hafal betul pemilik suara itu.

“Saya baru selesai shalat Magrib, Pak,” ucap Meera berusaha setenang mungkin dengan sedikit mencengkeram ujung pakaiannya melampiaskan perasaan gugupnya.

“Bukan itu, kenapa baru pulang kantor?” tanya Varo lagi lebih memperjelas pertanyaannya.

“Jam enam tadi saya baru selesai mengetik semua berkas untuk meeting besok, Pak,” jawab Meera lagi.

“Varo, just Varo. Ini di luar kantor.” Meera mengangguk, ia mengerti maksud Varo.

“Pulang naik apa?” tanya Varo masih datar seperti  sebelumnya.

“Naik taksi online, Pak.” Meera melirik ponselnya, di sana terlihat bahwa taksi online yang Meera pesan saat sedang duduk mengenakan sepatu sebelahnya tadi sudah menunggu di depan kantor.

“Bahaya naik taksi online malam-malam. Apalagi kamu wanita, aku antar aja.” Varo kemudian berjalan menuju mobilnya namun langkahnya terhenti karena Meera  menghentikannya.

“Maaf, Pak. Tapi taksi saya sudah di depan, kasihan sopirnya nanti nungguin,” tolak Meera dengan halus takut menyinggung perasaan Varo yang sudah baik hati menawarkan tumpangan untuknya.

Varo menoleh, kemudian tersenyum. Tak tahu apa maksudnya tersenyum seperti itu, namun Varo tetap melangkah maju. Namun, ia melewati mobilnya dan berjalan lurus ke depan ke arah gerbang perusahaan.

Ternyata ia menghampiri taksi online yang Meera pesan, merogoh sakunya, mengambil dompet kemudian memberikannya selembar uang berwarna merah lalu ia melangkah lagi ke tempat di mana Meera masih duduk.

“Belum juga pakai sepatunya?” tanya Varo dengan tersengal karena ia sedikit berlari menghampiri Meera, takut Meera menunggunya terlalu lama.

“Maaf, Pak.” Meera kemudian melanjutkan memakai sepatunya.

Ia berdiri kemudian Varo berjalan mendahuluinya. Varo berada dua langkah di depannya, Meera pun sedang menimang ajakan Varo. Ia bingung apa harus mengiyakan atau menolak lagi.

“Kenapa?” tanya Varo saat sadar Meera tak lagi mengikutinya, ia  sudah berada di depan mobilnya.

Meera yang ternyata sedang berdiri mematung tak sadar langkahnya terhenti karena terlalu fokus dengan pikirannya sendiri. Ia menghembuskan nafasnya berat, kemudian melangkah lagi mendekati Varo.

“Pak, saya ....” belum selesai Meera bicara Varo sudah memotong ucapannya langkahnya pun terhenti lagi.

“Varo, Meer. Kenapa? Kamu takut aku yang jahat sama kamu? Terlalu jauh pikiran kamu!” Varo menoleh tersenyum sinis menatap Meera.

“Bukan gitu, Varo,” ucap Meera canggung karena tak terbiasa.

“Lalu?” tanya Varo lagi masih memperhatikan Meera yang akan menjawabnya.

“Aku sama kamu bukan mahram, mana boleh berada pada satu tempat tanpa mahramnya yang lain,” ucap Meera mencoba menjelaskan alasannya.

“Lakukanlah apa yang membuatmu nyaman saat aku mengantarmu, tapi aku tidak menerima penolakan,” ucap Varo lantang kemudian ia membuka pintu mobilnya dan masuk ke dalamnya tanpa menunggu Meera.

Akhirnya dengan berat hati ia kembali melangkah menuju mobil Varo, ia berhenti tepat di samping pintu depan mobil, ada senyum tersungging di sudut bibir Varo. Namun kemudian, Meera melangkah lagi dan membuka pintu mobil belakang Varo.

“Kenapa duduk di belakang?” tanya Varo ketus.

“Kata kamu lakukan apa yang membuatku nyaman. Dengan begini, aku merasa lebih nyaman.” Saat itu juga pertama kali Varo menyesali ucapan yang keluar dari mulutnya.

“Shit!” umpatnya dalam hati.

“Ya sudah, kita jalan.” Varo pun menyalakan mesin mobilnya, mengendarainya dengan kecepatan sedang, meninggalkan perkantoran yang sudah sangat sepi saat jam sudah menunjukkan pukul enam tiga puluh.

Varo masih fokus pada jalan sebelum suara ponselnya membuyarkan konsentrasinya. Itu dari teman-temannya yang sudah menunggu di klub malam. Ya, begitulah Varo yang sangat akrab dengan dunia malam, sangat berbeda  dengan Meera yang hidup di tengah keluarga yang agamis.

“Halo, bisa ga kalau belum gue angkat lo berhenti telepon. Gue lagi bawa mobil, mau lo gue cepat menghadap malaikat maut?” ucap Varo sangat ketus dengan orang di seberang telepon, membuat Meera yang berada di belakangnya terkejut. 

“Lo tunggu  aja, nanti gue datang.” Varo pun mematikan panggilan tersebut secara sepihak. Mereka sudah setengah jam lebih di jalan dan di saat yang sama Meera mendengar suara azan.

“Kalau kamu ada urusan tinggalin aku aja di masjid depan sana, Varo,” ucap Meera.

“Ngapain ke masjid lagi?” tanya Varo sangat ingin tahu.

“Shalat, tadi aku dengar udah azan Isya,” jelas Meera.

Varo akhirnya memberhentikan mobilnya di halaman masjid yang ditunjuk oleh Meera tadi. Saat selesai memarkirkan mobil, Meera keluar mobil menuju masjid ternyata  Varo pun ikut keluar dari mobil, tentu saja hal itu membuat Meera bingung.

“Kamu pergi aja, ga  apa aku ditinggal sendiri di sini. Masjid ini sudah berada di kompleks perumahanku, kok. Jadi sudah aman,” ucap Meera menghentikan langkahnya karena tak ingin membuat Varo berlama-lama sedangkan ia sedang ada janji dengan temannya.

“Aku lagi ga ada janji, kok.” Varo kemudian berdiri bersandar pada mobilnya mengambil posisi ternyaman untuknya.

“Aku cuma mau tunggu kamu,” lanjut Varo lagi, kening Meera pun mengerut, bingung.

Tak lama kemudian ia tersenyum, melihat Varo yang seperti sangat berbeda dengan saat ia berada di kantor, “Ga sekalian shalat aja?”

“Ayo! Sebelum terlambat, terlambat pun masih lebih baik dari pada ga sama sekali,” ucap Meera membuat Varo merasa tertampar.

Sudah sangat lama Varo tak mengerjakan kewajibannya sebagai muslim. Itu terjadi sejak ia putus cinta dari  kekasihnya yang sudah menjalin hubungan selama tiga tahun. Kini ia lebih dekat dengan dunia malam, berganti pasangan walau hanya sampai sebatas teman kencan.

Orang tuanya pun sudah selalu membimbingnya, tapi sikap dinginnya yang diturunkan dari sang papi malah mendarah daging sampai sekarang. Kebaikannya selalu sebatas karena sesama manusia, dan lagi kepada karyawannya dia selalu bersikap angkuh. Merasa pantas meminta kewajiban mereka bahkan lebih, karena haknya telah terpenuhi.

Akhirnya dengan langkah berat ia memasuki kawasan masjid, membuka sepatunya dan menuju tempat wudhu. Sebelum mengambil wudhu ia pun sejenak berpikir lagi, “Apa ada yang salah, ya?”

Namun, tubuhnya bergerak melakukan yang seharusnya dilakukan jika seseorang ingin shalat. Setelah selesai ia menengadahkan tangan selayaknya orang berdoa setelah mengambil wudhu. Namun lagi-lagi ia berpikir sejenak dan bukan bacaan doa selesai berwudhu yang keluar dari mulutnya, melainkan negosiasi kepada Tuhannya.

“Yaa Allah, jika jalanku berawal dari sini, tunjukkanlah. Jangan membuat harapan palsu lagi padaku. Aku sudah lelah,” ucapnya lirih, ada setetes air bening yang menggenang di sudut matanya saat ia mengucapkan kalimat tersebut.

Varo memang sudah lelah, sudah hampir tiga tahun ia seperti ini. Tak juga ia  menemukan apa yang telah kosong di hatinya. Terkadang Zayn juga mengajaknya shalat, tapi tak ia gubris sama sekali. Saat diajak shalat Jum’at, ia hanya bilang “iya” tanpa melangkahkan kakinya ke masjid.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status