Aku dan Mas Yanuar berdiri dan bersalaman dengan semua orang yang ada di ruangan ini, kecuali Angga. Sengaja kami melewati jabatan tangan dengan lelaki yang menunduk itu. Saat Mas Yanuar mengucapkan salam kepada Pak lurah, justru kata-kata terakhir itu membuat aku semakin membencinya."Terima kasih, Pak. Maaf jika nanti akan merepotkan Bapak lagi." Mas Yanuar berucap sedikit lirih diiringi dengan anggukan kecil. "Lain kali kalau ada masalah kami tidak akan bisa membantu lagi, ini saya suruh untuk tidak berlanjut saja nggak mau mendengarkan perkataan saya. Urus sendiri saja, Mas!" ucapnya yang membuat diri ini mendongakkan kepala dengan tatapan tajam. "Ayo, Mas, biarkan saja mereka tidak mau membantu. Ayo kita lanjut ke Polsek!" ajakku dengan menggandeng tangan suamiku tersebut. Kami berdua melangkah keluar, tidak ada lagi suara yang keluar. Kami sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing. Samar, aku mendengar Angga bertanya kepada seseorang dengan pertanyaan yang sedikit membuatn
Kami sampai di kantor polisi, rasa aneh yang menjalari seluruh tubuh ini seakan mengambil kesadaran dan kekuatan besar yang bisa membuat kuat. Ada sisi lemah yang tiba-tiba menyerang dari sisi gelapku. Hingga membuat tubuh ini mematung di pintu masuk.Mas Yanuar menghentikan langkah ini kala hampir mencapai pintu masuk. Sedikit tersentak, aku mendapati mata tajam itu menyorot ke arahku yang tampak bingung seperti seseorang yang kehilangan arah."Tetap semangat, jangan pernah gentar. Ada aku," bisiknya dengan mengelus punggung ini berulang-ulang.Aku mengangguk dan kami pun meneruskan langkah menuju ruangan sang kepala bagian. Mas Yanuar mengetuk pintu tiga kali, hingga suara dari dalam mengizinkan untuk membuka dan menyuruh masuk. Lelaki yang hampir seusiaku duduk dengan senyum ramahnya, mempersilahkan duduk lalu menghadap kami yang telah duduk berjajar di kursi panjang sampingnya."Ada apa, Mbak? Kenapa nggak mau di selesaikan di balai desa?" tanyanya ramah. Aku tersenyum masam sam
Hampir dua jam aku dan Mas Yanuar dicerca beberapa macam pertanyaan. Sesekali aku menangis karena teringat kejadian demi kejadian antara aku dan Angga beserta keluarganya. "Baiklah kalau Mbak Suci dan Mas Yanuar tetap pada pendiriannya, akan saya proses. Namun, sekali lagi saya ingatkan, andai nanti berhenti di tengah jalan maka itu semua bisa dikenakan denda. Paham?" tanyanya mengulangi lagi hingga tiga kali. Aku mengangguk lalu dia pun meneruskan tugasnya dengan menerima laporan kami. Ada sedikit rasa lega di dalam dada sini, semua telah aku pikirkan matang-matang. Andai Angga masuk jeruji besi, itu bukan karena sikap sombong dari diriku, tapi sekedar memberikan kejutan kecil atas sikap mereka. Karena diam tak selamanya menjadi emas. Adakalanya seekor semut itu menggigit lawannya yang tengah menyakiti berulang kali, bukan begitu pembaca? Kami pulang seusai memberikan penjelasan secara rinci kepada pihak berwajib. Meskipun ada sedikit rasa takut yang mencoba mengusik ketenangan j
"Kayak orang pintar saja bisa tahu, sudahlah tidak akan ada apa-apa. Mungkin mau berganti musim jadi ya seperti aneh cuaca malam ini." Ibu menjawab sebentar lalu meneruskan tugasnya. Aku keluar memandang langit yang menghitam, bulan dan bintang yang biasanya selalu menghiasi indahnya malam tidak muncul juga. Mungkin benar apa kata Ibu, jika pergantian musim akan terjadi. Musim penghujan yang selalu dinanti oleh para petani akan datang. "Agus!" teriak Ayah dari dalam rumah, sontak aku kaget dan berlari menuju ke dalam. Diri ini mematung kala melihat Mas Agus yang tiba-tiba kejang dengan mata melihat ke atas. Wajahnya pasi, sedang Ibu membuat aku seperti tak bertulang. Tubuh itu luruh ke lantai dengan pandangan kosong. Entah apa yang terjadi selanjutnya karena pandangan mata ini tiba-tiba gelap.Suara orang mengaji terdengar sayup-sayup di telinga, serta aroma khas minyak aromaterapi begitu mencuat seiring dengan terbukanya mata ini perlahan. Tak ada suara, hanya air mata yang terus
Kutuntun Ibu yang memang berniat ingin mensucikan raga anak lelakinya tersebut. Banyak dari anggota keluarga meminta beliau untuk tidak melakukan ritual itu, tapi Ibu tetap bersikukuh untuk melakukannya. Tangisan kami pecah kala memandang wajah yang tengah tertidur pulas itu, tak bisa berdiri dengan tegak meskipun niat dalam hati begitu kuat. "Bawa Ibumu masuk, biarkan Ayah sama yang lain meneruskan ini! Masuklah, Bu!" bisik Ayah lembut. Ibu setengah berontak saat tubuhnya aku gandeng untuk masuk ke dalam rumah, tapi berbagai macam bujukan dari saudara membuat hatinya akhirnya melemah dan menurut. Alhasil, Ibu tergugu di dalam kamar ketika menanggalkan pakaiannya yang basah karena memandikan Mas Agus barusan."Ibu, minum dulu! Jangan membuat Suci bersedih, kita jangan terlalu larut dalam kesedihan ini. Yang Mas Agus harapkan adalah doa dari kita yang masih hidup, semangat, Bu, ada Suci!" bisikku dengan mencium pipi beliau yang masih basah karena air mata. "Ibu belum siap ditinggal
Iya, aku hamil, Bu." Diraihnya kembali tubuh ini untuk berada di pelukannya, tangis kami pecah. Hingga tak terdengar jika ada ketukan di pintu dan terbukalah lebar. Ayah memandang ke arah kami berdua yang saling berpelukan. "Ayo keluar, jenazah Agus sudah mau diberangkatkan! Ikhlas, ya, percayalah jika Agus akan bahagia dan tenang di alamnya sana," ujar Ayah dengan memalingkan muka secepat mungkin. Pundak yang kokoh itu ku pegang saat hendak membuka pintu kamar. Ayah lalu terdiam mematung tanpa menoleh. Aku tahu jika hatinya terluka dalam, tapi dengan pintarnya Ayah menyembunyikan itu semua dari kami. Ku peluk erat tubuh itu dan sedetik kemudian berguncang keras. Ayah menangis tanpa suara. Lelaki hebat di depanku ini sedang mengeluarkan rasa sesak dalam hati sama seperti apa yang kamu rasakan."Ayah, jangan sembunyikan luka ini sendiri, kami tahu Ayahlah yang paling sedih di sini dan tidak sepatutnya Ayah menyimpannya dalam. Masih ada aku, Ayah kuat." Sebelum mengangguk, Ayah mem
Mbak Tika menoleh dan mengajak keluar mengikuti jenazah mas Agus yang sudah keluar dari rumah. Tangis keluarga pecah, bahkan Ibu pingsan saat iring-iringan pelayat mengantar ke tempat peristirahatan terakhir. Tubuh ini terasa melayang tinggi, bagaikan kapas putih yang terbang ke langit biru. Pandangan pun tiba-tiba menjadi buram dan suara-suara orang yang berbicara semakin lama semakin hilang. Akhirnya akupun …. Wangi aromaterapi menusuk hidung, perlahan kubuka mata ini dan melihat Ibu yang duduk di sampingku berbaring mengelus lembut punggung tanganku berulang-ulang dengan pandangan kosong. Lagi-lagi aku harus merasakan duka yang mendalam, apalagi melihat orang yang aku sayang seperti tidak bergairah. Kupeluk tubuh Ibu, tangannya pun membelai lembut rambut ini lalu mengecup pelan. Kami sama-sama terbawa suasana hati yang tidak pernah sekalipun terlintas selama ini. Mas Agus yang aku pikir sehat-sehat saja selama ini justru dia berpulang terlebih dahulu dan tanpa diduga-duga. Takd
"Siapa yang bilang seperti itu, Mbak?" tanya Ayah dengan menoleh ke arah kami semua, aku dan Bude Kusrini saling pandang karena kaget dengan pertanyaannya barusan. Tidak kami sadari jika Ayah ternyata sudah pulang dari pemakaman dan mendengar apa yang tengah kami perbincangkan. Sungguh di luar dugaan. Namun, bukankah itu adalah sebuah kebaikan? Supaya Ayah tahu lagi perbuatan dari saudaranya tersebut meskipun itu sangat memalukan karena banyak keluarga dari pihak Ibu yang akhirnya tahu akan sifat Bi Salimah sekeluarga?Ah, entahlah, disini aku sendiri menjadi seseorang yang serba salah. Harus memberitahukan tabiat salah satu keluarga supaya keluarga lain melihat jelas dan menilai sendiri siapa mereka. Namun, itu justru akan membuat Ayah semakin terpojok karena ulah dari adiknya. Kalau hanya diam saja, nanti Ibu yang merasa sakit, seperti seolah tidak ada yang membelanya. Aku menunduk, mengikuti alur yang sedang berjalan seperti hembusan angin yang menerpa wajah."Tuh, adik kamu! Kal