“Coba kamu ulangi lagi!” titah Mas Yanuar, dia berdiri sambil menatap ke arahku.“Berapa kali kamu meminta perpisahan kepadaku?” imbuhnya.“Jika memang aku bukanlah yang terbaik bagimu kenapa tidak kita sudahi saja pernikahan ini? Bukankah seumur hidup itu lama dan kita juga masih muda, kamu masih banyak pilihan yang baik untuk kedepannya. Soal Raka, aku tidak akan menghalangi untuk bertemu.”“Masih banyak wanita diluar sana yang jauh lebih baik daripada aku bukan? San kamu tahu sendiri jika aku sulit diatur dan tidak bisa bekerjasama dengan baik. Lalu apa yang kamu cari lagi jika celah dan kesempatan sudah aku berikan?” ujarku dengan bibir bergetar.Sakit sebenarnya hati ini mengeluarkan apa yang baru saja terdengar aneh di telinga. Namun, aku akan semakin sakit jika tidak ada dukungan dan genggaman kuat menghadapi hati yang terus saja tersakiti oleh sikap dan ucapan mereka yang aku sayang.Aku keluar kamar, menuju tempat paling nyaman, dia adalah kursi yang terbuat dari bambu dan te
“Suci, apa kamu ingin tahu isi hati kami? Terlebih lagi Ibu, apakah kamu ingin mengetahuinya, nak?” Ibu mulai bersuara, beliau duduk di kursi bambu lalu memandang ke depan.Tidak ada airmata juga kesedihan, beliau justru beberapa kali mengedipkan kedua matanya. Aku melihat itu adalah sebuah cara untuk menghalau air mata supaya tidak keluar. Aku yakin itu.“Sebenarnya jauh di lubuk hati ibu sakit, terluka dan perih sekali menerima kenyataan pada usia senja Ibu ini. Ipar, keponakan dan mertua yang begitu membenci Ibu, berharap ibu tidak ada lagi di dunia ini, memaki Ibu, menghina bahkan meludahi Ibu dengan tawa nyaringnya kala itu. Semua perlakuan mereka memang membekas di sini!” ucap Ibu dengan menunjuk dadanya yang naik turun.Semua terdiam, baik itu Mas Yanuar dan Ayah. Tiba-tiba suasana berubah, pada hewan peliharaan kami pun seolah tahu bahwasanya ada hati yang ingin membuka luka menganga tersebut.Bahkan aku nyaris ambruk tatkala mendengar perkataan Ibu yang jauh dari perkiraanku
Akupun ikut berbaur dengan memeluk mereka berdua, kami berangkulan dengan deraian air mata. Semua yang di dada keluar, hingga kesalahan yang paling ujung di dalam jiwa pun seakan ikut keluar juga. Terbang tinggi mengikuti angin yang baru saja datang.Juga saat elusan lembut mendarat di punggung ini menyadarkanku dari tangisan. Ku lihat mata indah yang pernah membuat hatiku terbuai itu lalu memeluknya erat dan mengatakan dengan terbata kata maaf.“Maafkan aku, Mas, aku belum bisa menjadi istri yang baik bagimu. Maafkan aku,” isakku hari.“Aku sudah memaafkan, kita perbaiki kesalahan yang pernah lalu supaya kedepannya rumah tangga yang telah kita bina semakin baik dan bahagia, mau?” ucap Mas Yanuar dengan menyeka air mata ini.Aku hanya bisa mengangguk karena sekedar bersuara lagi pun tenggorokan ini terasa sulit. Semua seolah berhenti di tengah-tengah sehingga yang mampu aku lakukan adalah menangis dan menangis. Bahagia rasanya memiliki suami seperti Mas Yanuar, dia begitu sabar di saa
"Lihat itu anak kamu, anak lelaki kebangganmu nggak bisa jalan, lumpuh, nggak bisa bicara, cacat" teriak Lek Santoso, Ayah Angga."Santoso! Jangan pernah bawa-bawa anakku, kamu wa ras atau sudah gila? Sini kamu kalau berani!" teriak Ayah tak kalah keras. Lelaki yang masih ada ikatan hubungan keluarga itu saling naik pitam. Ayah yang tangannya dipegang erat oleh ibu seakan kemarahannya sudah sampai tingkat atas."Kamu tahu apa artinya keluarga? Keluarga itu saling menghormati dan menghargai bukan menghina seperti ini. Jika kamu tidak terima dengan niat baikku, bicara baik-baik!" tegas Ayah. Namun, bukan pada Lek Santoso dia malah berkacak pinggang seolah menantang Ayah. "Aku nggak butuh keluarga seperti kamu, memalukan. Punya saudara kok ca cat! Malu!"Tangan ini mengepal erat, urat-urat nadi menyembul menandakan aku sedang berada di titik puncak kemarahan. Masih kutahan karena berharap dia akan sadar dengan ucapannya dan meminta maaf. Namun, bukannya permintaan maaf yang keluar. Di
Aku melangkahkan kaki menuju rumah. Amarah ini masih membakar dan sampai saat ini masih membara. Rasanya aku ingin mencaci makinya, menampar serta mengajaknya duel. Sampai rumah hatiku bertambah perih, Ayah dan Ibu tergugu. Kedua orang tua yang aku sayang itu menangis dan membuat hati ini remuk-redam. Andai aku bisa meniup mereka dan melenyapkan tanpa menyentuh, pasti akan aku lakukan di depannya barusan. Sayangnya, semua itu hanyalah imajinasiku yang melintas sesaat. Mas Agus yang duduk tak jauh dari Ayah dan Ibu hanya bisa melihat kedua orang tuanya terluka dalam. Sungguh perlakuan kedua orang tadi membuatku semakin membencinya sebesar gunung Himalaya."Tolong, demi apapun jangan pernah ikut campur lagi masalah mereka. Biarkanlah mereka seperti itu, aku nggak akan rela jika anak-anakku dihina serendah itu lagi," isak Ibu dengan bibir bergetar."Tidak akan lagi. Tidak." Ayah menunduk, aku tahu ada luka besar yang begitu menganga. "Maafkan, Ayah, ya, Gus. Ayah tidak bermaksud membua
Rumah Bi Salimah sejak pagi tadi kelihatan ramai, banyak saudara datang ke kediamannya. Mobil dan motor terparkir di halaman rumahnya yang luas. Aku yang melihat mendadak menjadi tidak enak hati, jantungku seolah merasakan akan terjadi sesuatu yang diluar kehendak. Namun, aku berusaha menepisnya. Alangkah baiknya jika berpikir posyandu jernih, supaya sesuatu yang tidak terduga nanti pun akan baik. "Kok ramai banget, ada apa, ya?" tanah Ibu yang aku jawab dengan mengedikkan kedua bahu. "Andai ada acara keluarga, pasti kita akan diundang. Apa mungkin karena hal kemarin jadi mereka tidak mengundang kita?" tanya Bapak dengan mata masih memandang keluar. "Sudah, Pak. Biarkan saja, kalau mereka masih menganggap Bapak ada pasti akan datang kemari untuk berbicara. Namun, kalau tidak, tolong Bapak nggak usah ikut campur. Diam saja di rumah!" tegasku. Bukannya aku ingin menjadi anak durhaka yang membentak orang tuanya seperti itu, hanya saja aku nggak mau kejadian kemarin menjadikan luka i
Malam ini masih saja ramai di rumah Bi Salimah, justru saat malam semakin beranjak naik dan sesudah Isya, para tamu berdatangan memenuhi halaman rumahnya. Riuh para tamu seakan ada acara keluarga yang bahagia. Namun, lagi-lagi mengundang tanyaku di hati. Kenapa Bapak nggak diundang? Jiwa kepo ini terus berontak ingin tahu segalanya. Andai benar mereka memutuskan hubungan keluarga ini, apa mau dikata? Akupun akan sama dengan yang mereka lakukan. Memutuskan juga."Ada acara lamaran untuk Julia, makanya ramai sekali," jelas Ibu seperti memahami isi hatiku. "Oh, begitu." "Biar saja, mungkin mereka telah memutuskan hubungan dengan kita. Nggak apa, ya, Pak. Jangan diambil hati! Masih banyak saudara yang baik sama kita," hibur Ibu saat Bapak datang dengan membawa sepiring martabak manis. Senyum lelaki tua yang terlihat keriputnya dimana-mana itu merekah. Tak ada gurat sakit hati di mukanya. Entah terbuat dari apa hati Bapak ini. Kalau jadi aku, sudah aku marahin itu adik yang kurang aja
Setengah berlari aku mengejar gerombolan ibu-ibu yang sedang mengerubungi tukang sayur di ujung gang. Ibu meminta membeli sayur juga ikan untuk makan siang nanti. Karena aku sudah menyelesaikan pekerjaan rumah, maka diminta oleh beliau untuk berbelanja. "Anakku semalam di lamar oleh anak juragan sapi tetangga sebelah. Lamarannya nggak main-main, ada perhiasan emas satu set, pakaian dan juga jajanan banyak. Maklum orang kaya," cerocos Bi Salimah saat melihatku sedang memilih sayuran. "Alhamdulillah, semoga langgeng, ya, Bu. Enak lho, dapat besan Pak Kamari, orangnya ramah, baik dan juga serba punya. "Lha, iya, dong. Lagian keluarga kami itu nggak ada yang cacat, makanya jodohnya dekat." Mata Bi Salimah melirik tajam. Namun, aku enggan menanggapi. Berpura-pura tidak mendengarnya adalah jalan terbaik. Daripada pagi-pagi begini harus menguras emosi, sayang sekali jika harus terbuang sia-sia.Meski dadaku sudah kembang-kempis menahan gejolak amarah yang siap meledak, tapi aku harus ta