Share

Bagian 2

Perkataan itu tidak salah. Embun mengingat jelas kata-kata Adzriel saat mereka pertama bertemu. Hanya saja tidak seharusnya dalam situasi saat ini —atau mungkin memang inilah saat yang tepat— untuk pria itu mengingatkan. Agar Embun tidak terlena pada kebahagiaan semu.

“Kita menikah karena dijodohkan, bukan karena cinta.”

Embun tidak segera menjawab, ia malah mengisi kembali gelas wine miliknya. Setelah menuangkannya hingga penuh dan membawa gelas itu tepat di ujung bibir. Ia menikmati aroma manis dari anggur merah sambil diam-diam memperhatikan ekspresi Adzriel. Mata sehitam jelaga tertuju pada gelas ditangan sang gadis.

“Jangan berlebihan,” katanya pada akhirnya.

Tidak menggubris peringatan suaminya, Embun menegak wine hingga tandas dalam sekali minum. Ia bahkan membiarkan cairan merah pekat jatuh di sela bibir. Turun mengikuti lekuk wajah hingga ke leher dan berakhir masuk di antara dua gunung kembarnya. Adzirel memalingkan wajah, merasa melakukan kesalahan karena tidak bisa menjaga matanya.

“Aku mencintaimu. Kalau kamu lupa, Kak.” Suaranya terdengar putus-asa.

Mata hitam cemerlangnya menatap lurus ke arah Adzriel penuh damba. “Empat tahun, Kak. Aku memendam rasa ini dan aku tidak minta kamu untuk membalasnya. Hanya saja… tidak bisakah kamu bersikap lembut padaku hari ini? Untuk malam ini, biarkan pantulanku ada di matamu.”

Suara berderak dari kaki kursi terdengar tiba-tiba. Embun berdiri tanpa melepaskan pandangannya dari Adzriel. Seakan meminta izin untuk mendekat dan pria itu memalingkan wajah. Enggan menjawab ataupun berdebat di malam yang panjang dan melelahkan ini. Tetapi nyatanya jawaban tak tersirat itu diabaikan. Embun menghampiri, duduk di lantai dengan kedua tangan terlipat di atas paha suaminya.

Tarikan napas panjang dengan helaan lelah terdengar dari Adzriel. Ia menurunkan mata, membalas tatapan Embun yang sendu. Aroma paduan kayu manis dan cinnamon serta asamnya anggur merah tercium dari tubuh Embun. Rambut sehitam malam yang digerai dan masih agak basah, serta gaun tidur tipis berwarna merah tanpa lengan. Membuat pemuda itu sontak menelan ludah.

Meski hati dan kepalanya menolak pernikahan ini. Adzriel masihlah pria sehat penuh gairah yang bisa kapan saja melepas genggaman kuat pada tali imannya. Dan pegangan itu lepas ketika Embun menggigit bibir bawahnya menahan tangis. Tarikan kasar di dagu mengejutkan sang gadis. Lebih lagi saat ia merasakan sesuatu menekan bibir dan mengecupnya singkat.

Dua pasang mata saling bersitatap, sedetik kemudian kecupan kedua terjadi. Tangan besar itu beralih dari dagu mungil Embun ke pipi. Lalu menelusup masuk ke tengkuk di sela-sela rambut panjang, menggelitiknya sebelum rasa geli berubah menjadi rangsangan dan membuat bulu kuduk Embun meremang.

“Ngh–!” Lenguhan manja terdengar di sela-sela kecupan.

Adzriel masih bertahan ketika Embun sudah memejamkan kedua mata. Pria itu kali ini berniat melumat bibir istrinya. Sesekali dijilatnya sebelum menggigit bibir bawah Embun membuatnya mengaduh. Saat itulah, daging tebal menerobos masuk ke dalam gua mulut dan berkelit di dalamnya. Napas pengantin baru yang tengah bercumbu mulai berat.

“Haa… haa… Kak Riel,” panggil Embun di sela-sela ciuman panas.

“Buka mulutmu,” suara berat Adzriel berbisik tepat di telinga Embun yang sensitif.

Embun menurut, ia melakukan sesuai perintah Adzriel. Hanya untuk hampir limbung saat pria itu menciumnya lagi. Secara insting, kedua tangan segera melingkar di leher Adzriel. Salah satu tangan bahkan sudah meremas pelan rambut belakang kepala sang pria. Desahan demi desahan mulai memenuhi kamar hotel, bersama deru napas panas penuh gairah. Adzriel menarik tangan Embun agar beranjak dari lantai dan duduk di pangkuannya.

Saat gadis itu duduk di atasnya, bagian bawah perut Adzriel sontak menegang. Embun melipat dahi begitu merasakan ada yang mengganjal di bawah sana.

“Ka-Kak Adzriel… ini yang keras apa—Ngh!”

Enggan menjawab, ia lebih memilih membungkam mulut Embun. Sementara tangannya mulai nakal, menarik tali gaun tidur sampai bawah. Kecupan dari bibir pindah ke leher, meninggalkan banyak jejak merah di sana.

Tidak kuat lagi menahan diri. Adzriel mengangkat tubuh Embun. Mengejutkan sang gadis sampai-sampai ia sontak memeluk kepala suaminya. Kaki panjang itu berayun ke arah petiduran berukuran king size. Ia menidurkan Embun hati-hati lalu kembali melumat bibir tipis istrinya.

Ujung kepala petiduran bergoyang maju mundur.

"Ngh… ja-jangan terlalu… dalam, Kak —Ah!"

Ketika titik sensitifnya kembali disentuh untuk yang kesekian kalinya. Tubuh mungil itu melengkung semakin dalam, bersama deru napas memburu. Embun memeluk erat tubuh polos suaminya. Membiarkan dirinya kembali naik turun mengikuti irama dari hentakan pinggul Adzriel.

Malam panjang seperti mimpi itu sayangnya harus berakhir di hari berikutnya. Embun mendapati dirinya seorang diri tanpa sang suami disisinya.

.

.

.

Continue…

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status