Embun Kinanti adalah seorang perempuan muda dewasa yang tengah sibuk dengan persiapan sidang. Sebagai mahasiswa tingkat akhir, tidak ada lagi waktu bermain-main. Ia bahkan harus menginap di rumah teman dan begadang demi skripsi. Sudah tiga hari gadis itu tidak pulang ke rumah, tidak mandi dan tidak ganti baju. Semua penderitaan dilalui demi lembaran-lembaran kertas sialan, penentu kelulusan. Sungguh muak rasanya harus menghabiskan hari dengan ribuan kata ditemani sebungkus roti warung dan kopi sasetan.
Jika dulu Embun kerap kali pergi makan di luar. Maka saat ini, gadis berumur dua puluh satu tahun itu merindukan masakan sang bunda.
Saat akhirnya ia bisa pulang ke rumah. Langit sudah berada di ujung cakrawala, menarik diri bersama lembayung senja. Embun turun dari ojek motor di depan salah satu rumah yang ada di perumahan cluster. Ia memberikan helm pada abang ojek, lalu menyeret kakinya menuju rumah bercat putih kemudian membuka pintu lebar-lebar.
“Mama, Pah! Embun pulang!” Suaranya nyaring sekali saat memberitahukan kedatangannya. “Mah! Pah!” sekali lagi ia berseru.
“Aduh, berisik Nak! Tidak enak sama tetangga!” dari ruang tengah muncul wanita paruh baya dengan kening terlipat. “Pulang tinggal masuk, samperin Mama di dapur daripada teriak-teriak begitu. Ugh! Astaga, badanmu bau sekali. Sudah berapa hari tidak mandi?”
“Anak sudah lama tidak pulang bukannya dipeluk, malah diomelin.” Embun menyahut dengan bibir mengerucut lucu.
Wanita yang telah melahirkannya malah tertawa. Mungkin sudah menjadi kebiasaan seorang ibu untuk mengomel lebih dulu. “Baru juga 3 hari, sudah sana mandi dulu! Mama mana mau peluk, nanti ketularan lagi baunya.” dan tentunya sedikit ledekan yang membuat anak gadis semata wayangnya merengek manja.
Selagi menunggu putrinya selesai membersihkan diri. Linda kembali ke dapur untuk masak makan malam nanti. Ia sudah diberitahu kepulangan anaknya, sehingga bisa membeli bahan makanan tadi pagi. Untuk menyemangati dan meningkatkan suasana hati Embun. Wanita cantik itu sudah membuatkan makanan kesukaan putrinya. Gurame asam manis dan sapo tahu seafood.
Aroma masakan tercium memenuhi ruang makan yang berada di antara area ruang keluarga dan dapur. Desainnya memang dibuat tanpa sekat, katanya sih tipe rumah LDK. Begitu jawaban dari Embun ketika gadis itu ngotot saat waktu renovasi. Setelah setengah jam berlalu, masakan telah siap di meja dan bertepatan pula Embun keluar kamar.
“Eh, Putri papa sudah pulang, sudah mandi juga.” sambut pria paruh baya yang sudah duduk di salah satu kursi meja makan. “Sudah tidak bau lagi seperti yang mama katakan tadi.”
“Papa! Jangan ikutan jahil kayak mama, deh!” Embun segera menarik kursi di depan ayahnya. “Embun tidak mandi juga tetap wangi dan cantik!”
Linda dan Ahmad terkekeh pelan mendengar gurauan putri mereka. Sambil menyendok nasi ke piring suami dan putrinya, Linda ikut nimbrung ke obrolan. “Skripsi kamu sudah selesai?”
“Sudah dong, mah! Kalau belum, Embun mana mungkin duduk di sini sambil menikmati makanan enak buatan mama.” jawabnya sambil melempar senyum pada sang ibu.
Linda tersenyum manis, pipinya agak bersemu merah. Selalu tidak biasa jika mendapatkan pujian dari anak dan suaminya. Sebelum lakinya juga ikut-ikutan memuji, wanita paruh baya itu kembali bicara.
“Jadi tinggal nunggu sidangnya saja?”
Embun mengangguk-angguk sebagai jawaban. Matanya sudah fokus pada ikan gurame di depan mata. “Selama tidak ada masalah, harusnya Embun bisa wisuda sesuai tanggal.” katanya menambahkan.
“Semoga saja. Supaya kejutan papa buat kamu tidak perlu dipending.” perkataan Ahmad tentu mengejutkan dan menarik di telinga Embun.
Gadis itu bahkan menaruh kembali ikan gurame dan memilih menatap ayahnya. “Papa punya kejutan buat Embun?”
“Hadiah kelulusan buat kamu,” jawab Ahmad santai sambil menyendok nasi. Ia menjeda kata-katanya, sibuk mengunyah lalu menegak air agar cepat tertelan. “Papa sama mama mau menjodohkan kamu dengan anak teman papa. Rencananya kalian nikah selesai kamu wisuda.”
Sendok berisi daging ikan gurame dan nasi tidak jadi masuk ke mulut. Embun hampir menjatuhkan rahang begitu mendengar kata-kata ayahnya. Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba mengumumkan perjodohan dan pernikahan sekaligus. Embun menjilat bibir atasnya, menaruh kembali sendok dan menatap serius kedua orang tuanya.
“Mama sama papa lagi bercanda, ya?”
Gelengan kepala kompak dari orang tuanya membuat Embun kesulitan menelan ludah sendiri. Sel-sel kepalanya seakan mogok, berhenti mendadak. Gadis itu menyalakan layar ponsel pintar demi mengecek tanggal. Hari ini bukan ulang tahunnya, pun seingatnya tidak ada hari menjahili anak sedunia. Jadi perkataan ayah dan ibunya memanglah benar dan serius.
“Mah, Pah! Embun boleh menolak?” dengan hati-hati ia bertanya pelan.
.
.
.
Continue…
Setiap melihat kalender, semakin Adzriel gugup. Sampai saat ini dia belum juga mendekati Embun. Melihatnya saat di kantin dan di taman selalu lebih dari cukup baginya. Sungguh, pemuda itu baru sadar betapa pengecutnya dia. “Tidak bisa! Aku harus dapat nomornya sebelum wisuda.” Adzriel memantapkan diri saat duduk sendiri di taman. Percobaan pertama dia lakukan di kantin. Meski banyaknya orang disana sedikit membuat ragu. Adzriel mencoba menguatkan diri. Sudah sepuluh menit sebelum bel istirahat dia menunggu. Ketika melihat kantin mulai ramai, mata sehitam jelaga menyisir sekitar. “Embun, mau makan siang apa?”Adzriel sontak mencari suara yang menyapa Embun. Ia menemukannya tidak jauh darinya. Sekitar tiga meja. Adzriel sontak berdiri, membuat kaget beberapa orang di sekitarnya. Ia menunduk pelan, meminta maaf.“Hei, kita bertemu lagi.” Adzriel bergumam pelan, mengulang kata seperti mantra.Langkah semakin dekat, degup jantung kian menderu. Adzriel merasa keringat dingin turun di pel
Ini sudah yang kedua kalinya, mata sehitam jelaga mengunci sosok seorang gadis.Embun Kinanti, nama penolongnya.Entah ini disebut beruntung atau apes. Adzriel baru mengetahui keberadaan Embun sangat terlambat. Tidak lama lagi dia akan wisuda. Belum lagi perbedaan tingkatan mereka. Tidak banyak waktu untuk mendekatinya. “Ini yang kamu minta, Riel.”Seorang pemuda bertindak mencurigakan. Memakai pakaian tertutup sambil celingak-celinguk. Sudah mirip pengedar narkoba. Bedanya barang yang sedang dia selundupkan berupa secarik kertas kecil. Adzriel menerimanya dengan kening berkerut. Agak heran dengan tingkah ajaib temannya. Padahal dia hanya meminta tolong sesuatu. Tapi tingkahnya sudah seperti informan paling berbahaya dan dicari.“Lepaskan topimu!” kata Adzriel jengkel. Ia menyambar topi yang menutupi kepala temannya. Pria bermata sipit itu kaget, sontak mengambil kembali topinya. “Eh! Jangan! Nanti ketahuan lagi kalau aku yang bocorin jadwal adik tingkat. Mau ditaruh dimana wajah
“Selamat datang di Toko Florist, jenis buket seperti apa yang diinginkan, Kak?”Mata sehitam jelaga melirik sekeliling. Aroma lembut dan wangi bunga memenuhi indra penciumannya. Adzriel mengerutkan kening, tidak tahu harus memilih apa.“Bisa rekomendasikan buket untuk permintaan maaf? Padukan dengan warna ungu dan putih.” Ucap Adzriel setelah terdiam.“Baik, mohon ditunggu Kak.”Adzriel mengangguk singkat, lantas duduk di kursi tunggu yang sudah disediakan. Semburat merah terlihat samar di telinga akibat menahan malu.Ia agak malu pada dirinya sendiri. Berbekal pengetahuan selama mengamati Embun setahun pernikahan. Hanya informasi kecil inilah yang dia ketahui.Tiga puluh menit kemudian.“Terima kasih telah menunggu. Ini buket pesanannya, Kak.”Sebuah buket berukuran sedang dengan paduan ungu dan putih sesuai permintaan siap dibawa. Adzriel menatap sejenak, ia tidak tahu banyak soal bunga.Seharusnya ini indah, bukan? Batinnya meragu. “Terima kasih, simpan saja kembaliannya.” Usai me
Keadaan Universitas saat malam hari cukup sepi. Mengingat jam memang sudah menunjukan pukul dua belas malam. Lampu-lampu taman sebagian dibiarkan padam. Begitu pula dengan pencahayaan di lorong kampus. Penjaga kampus hari ini ada dua orang yang berjaga. Satu duduk memantau CCTV di ruang kendali. Satu lagi melakukan patroli setiap beberapa jam. Memutari tiap sudut bangunan luas berlantai tiga. Satpam di ruang kendali mengawasi tiap layar komputer ditemani secangkir kopi hitam. Setiap beberapa menit sekali, layar akan berkedip. Memperlihatkan kondisi sekitar kampus secara bergantian. Sementara itu koleganya sudah sejak tadi berpatroli di lantai dua bagian barat.Pada kamera pengawas bernomor tiga yang menunjukan area taman kampus bagian belakang. Terdapat pergerakan cepat tepat ketika layar berkedip cepat. Sehingga luput dari mata pengawas penjaga malam itu. Embun menyelinap masuk ke dalam kampus. Melompati pagar setinggi satu meter dengan mudah. Saat ini ia memakai pakaian serba hit
Embun dan Merry sibuk mengatur strategi demi menjebak pelaku perundungan bersama teman-temannya. Matahari sudah tumbang ke sisi barat ketika selesai dan mereka keluar dari cafe.Sebelum mereka menjalankan rencana. Selama beberapa hari ini Embun sibuk berkeliling kampus. Berpura-pura mengerjakan tugas, membawa laptopnya ke setiap sudut kampus. Terkadang hanya duduk, menikmati makan siang sementara matanya mengawasi. Mencari titik-titik CCTV terpasang dan di mana yang tidak. Embun datang ke rumah Merry. Mengeluarkan sebuah kertas berisi denah kampus. Saking detailnya sudah seperti cetak biru asli milik kampus. Ini tentunya mengundang rasa penasaran Merry. “Kamu tidak perlu tahu, Mer. Fokus saja pada rencana kita,” itulah jawaban Embun ketika ditanya. Embun menunjuk salah satu titik, letaknya berada di belakang kampus. Tempatnya tidak ramai, Embun sudah memastikannya. Di sanalah mereka akan memasang perangkap. ***“Kau siap, Mer?” suara Embun terdengar pada earphone yang Merry kenaka
Saat itu Embun baru saja menjadi mahasiswa baru di Universitas yang ada di Jakarta. Tidak jauh dari rumah, sehingga cukup pulang pergi dengan transportasi umum. Tidak perlu nge-kost ataupun cari kontrakan tiga petak. Dengan begitu ia bisa sedikit menurunkan kekhawatiran orang tuanya.Selain itu, Embun sudah berjanji pada sang ibu.“Tidak ada party, tidak ada trik sulap, dan tidak ada segala jenis, macam, bentuk aksi hobimu itu.”Embun sontak buka mulut, hendak protes tidak terima. Sayangnya kalah cepat dari Linda. Wanita paruh baya itu segera menambahkan lagi, setengah mengancam. “Kalau kamu masih bandel juga, biar Mama buang semua peralatan hobimu itu!”“Eh, jangan atuh, Mah! Bun belinya penuh perjuangan itu, mana harus nabung setengah tahun…”Mama melengos tidak peduli, sambil bersedekap dada. Matanya mendelik tajam, “janji dulu!” katanya menuntut. “Iya Bun janji. Embun janji tidak banyak tingkah selama kuliah. Embun hiatus dari segala jenis kegiatan hobi dan fokus belajar. Sudah,