Share

2. BERTEMU DENGAN MANTAN SUAMI

“Mas .... Arman?!’ tanyaku setengah tak percaya. Baru saja aku berpikir tentangnya. Dan kini dia benar-benar ada di hadapanku.

“Kamu sekarang berhijab? Sekarang, kau terlihat lebih cantik,” ucapnya sembari menatapku dari atas sampai bawah. Hal itu membuatku jijik dengan mata liarnya.

 “Terima kasih!” jawabku singkat dan berusaha menjauh darinya.

‘Tunggu! Bagaimana kabarnya Tiara? Aku merindukannya!” teriak Mas Arman.

Aku tak peduli dan terus berlari tanpa arah dan terhenti di sudut taman yang berada di rumah sakit. Aku sangat ketakutan dengan kehadirannya. Bagaimana kalau dia akan merebut Tiara dariku. Aku tidak mau hal itu terjadi.

Terduduk lesu di salah satu bangku. Tanganku gemetar dan dingin. Jujur saja, hingga detik ini, aku masih sangat mencintainya walau dia sudah menyakitiku. Hal itulah yang menyebabkan aku mudah luluh dan kembali ke pelukannya.

“Boleh aku duduk?”

Jantungku terasa berhenti mendadak. Suara itu lagi. Apa dia mengikuti aku.

Dan yang lebih membuat kesal, dia duduk di sampingku tanpa ijin.

Dari pada kekesalanku memuncak, lebih baik aku pergi saja.

‘Tunggu, Khanza! Apa bisa kita berdamai seperti dulu?”

Tawaran yang membuat amarahku mencapai ubun=ubun. Dengan mudahnya dia berkata seperti itu.

“Apa kamu bilang? Berdamai? Berdamai seperti apa?”

“Terserah kau mau mengartikan seperti apa. Tapi aku hanya rindu pada Tiara!”

“Kau rindu padanya? Kenapa baru sekarang! Dua tahun lalu, kamu ke mana saja! Apa kamu peduli saat Tiara sakit karena merindukanmu? Tidak’kan! kau malah asik dengan perempuan itu!”

“Oke, aku akui kalau aku salah! Tapi tetap saja aku papahnya. Jadi aku berhak untuk bertemu dengannya! Aku akan menjemputnya ke sekolah. Permisi!”

“Tunggu, Mas! Mas!”

Mas Arman pergi begitu saja. Dia benar-benar membuatku takut kalau sampai membawa Tiara pergi dariku. Aku tak bisa hidup tanpa anakku. Aku tak boleh mengalah lagi.

Segera mengambil sepeda motor dan menuju sekolah putriku.

***

Saat tiba di sekolah Tiara, jantungku nyaris berhenti mendadak saat melihat pemandangan yang membuat darahku mendidih.

“Astaghfirulloh hal’adzim!” aku melihat Tiara sedang memeluk Mas Arman.

Tubuhku gemetar. Yang aku takutkan menjadi kenyataan. Mungkinkah Mas Arman akan membawa Tiara bersamanya. Tidak, aku tak mau itu terjadi.

‘Tiara!” aku berlari dengan cepat menuju ke arah mereka.

“Mah! Ini Papah, Mah! Papah tidak meninggal dan sekarang datang untuk menjemputku!” gadis kecilku terlihat sangat bahagia. Dia bahkan tak melepas pelukannya. Tangan mungilnya begitu erat merangkul Mas Arman seolah tak mau terpisahkan. Wajahnya berbinar ceria. Senyum indah yang terukir di bibirnya sangat aku rindukan. Sudah lama tak ada senyum manis yang tercipta dari bibir mungilnya.

Aku tak tega untuk menggangunya. Lebih baik aku berdiam diri. Mataku terasa panas. Dan tanpa terasa air mata mengalir membasahi pipi. Tangis antara sedih dan bahagia.

Bahagia karena kerinduan putriku kepada papahnya sudah terobati. Sedih karena setelah ini pasti ada yang harus terpisah. Entah aku atau  Mas Arman.

Pasti putriku akan bertanya kenapa kami harus tinggal terpisah. Selama ini aku mengatakan kalau ayahnya telah tiada. Aku berdosa sudah membohonginya, karena aku tak tahu harus menjawab apa lagi saat Tiara bertanya tentang papahnya.

Dulu Mas Arman memang sangat menyayangi Tiara. Selalu memberikan hadiah dan juga meluangkan waktu untuk Tiara. Namun sejak kehadiran wanita itu, semua berubah. Mas Arman menjadi jarang pulang ke rumah.

“Sayang, boleh Papah bicara dengan Mamah sebentar?”

“Iya, Pah!” Tiara melepas pelukan papahnya. Dan kini Mas Arman melangkah menuju ke arahku.

“Kenapa kau berbohong kepada Tiara?” tanya Mas Arman dengan suara pelan..

‘Maksudmu?”

“Seharusnya kau tak bilang kalau aku sudah tiada! Tega sekali kamu!”

‘Lalu aku harus menjawab apa saat Tiara bertanya tentang kamu? kau sendiri tak pernah berusaha menemui Tiara. Jadi jangan hanya menyalahkan diriku! Kau juga salah!” jawabku tak mau kalah.

“Percuma bicara sama kamu!”

Kami terdiam sejenak. Aku sendiri tak bisa membaca jalan pikiran mantan suamiku. Yang jelas dia pasti sedang mencari cara untuk bisa membawa Tiara.

“Khanza! Aku mau mengajak Tiara jalan-jalan!”

“Hanya itu’kan?” tanyaku dengan cemas.

“Tidak! Setelah itu, aku akan mengajaknya menginap di rumahku!” jawab Mas Arman santai. Namun hal itu membuatku sangat terkejut.

“Tidak! kalau hanya sekedar jalan-jalan, silakan saja! Tapi aku tidak setuju kalau kau membawa Tiara tinggal bersama perempuan itu!”

“Lalu bagaimana supaya aku bisa besama Tiara? Apa kita harus rujuk lagi seperti dulu. Itu maumu?”

Wajahku memanas saat mendengar ucapannya. Dia sama saja sudah melecehkaku.

“Jaga bicaramu, Mas! Aku juga tidak sudi untuk hidup lagi bersamamu!”

“Ya sudah. Toh aku tidak akan lama membawanya. Besok sore sudah aku kembalikan kepadamu!”

‘Tapi .... “

“Diamlah! Aku juga punya hak terhadapnya, karena aku dulu yang bikin. Ngerti kamu!” jawab Mas Arman dan berlalu.

“Huuch!” aku mengepalkan tangan dengan kesal. Ingin rasanya meninju pria dihadapanku ini.

Tanpa kusadari, Mas Arman sudah bersama Tiara.

Mah! Ayo kita jalan-jalan!” ajak Tiara kepadaku.

“Ee.. Tidak. Mamah masih ada pekerjaan!”

“Tapi, Mah ....”

‘Tiara! Kita perginya berdua saja, ya. Mamahmu masih banyak yang harus diselesaikan,” bujuk Mas Arman kepada Tiara.

Gadis kecilku menatap ke arahku. Aku membalas dengan anggukan untung menghilangkan keraguan dalam hatinya. Bagaimanapun Mas Arman adalah papahnya. Dia tak mungkin menyakiti putrinya. Lagi pula Tiara juga sangat merindukan papahnya. Aku tak mau putriku menjadi korban dari keegoisanku.

Tiara tersenyum dan menggandeng tangan Mas Arman. Keduanya berjalan menuju ke arahku.

“Mah, Tiara pergi dulu, ya!” Tiara berpamitan sembari mengecup tanganku. Tak lupa aku juga memberikan kecupan pada kedua pipinya.

“Baik-baik, ya, Nak. Jangan nakal!”

“Iya, Mah!”

Fokusku kini kepada mantan suamiku. Aku mendekat ke arah telinganya untuk membisikkan sesuatu. “Ingat, kau harus menjaganya dengan baik dan kembalikan dia sesuai dengan yang sudah kau janjikan tadi tanpa lecet sedikitpun. Kalau ada sedikit saja lecet ada tubuhnya, aku tak segan-segan melaporkanmu kepada polisi!” aku sedikit mengancamnya untuk menimbulkan efek ketakutan.

Namun pria itu terlihat tak takut dengan ancamanku. Dia tersenyum dan membalas ucapanku. “Kamu tenang saja!”  jawabnya singkat.

Aku hanya bisa menatap punggung putriku hingga mobil yang mereka tumpangi meninggalkan area parkir sekolah. Sebagai seorang ibu aku hanya bisa berdo’a untuk keselamatannya.

 Jujur saja aku merasa sangat khawatir, karena ini kali pertama aku berpisah dengan Tiara walau hanya satu malam saja. Semoga saja semua sesuai harapan.

***

Aku berjalan mondar-mandir di teras rumah. Berkali-kali melihat jam pada ponsel. Sudah hampir magrib tapi Mas Arman belum juga mengembalikan Tiara. Apa mungkin dia mengingkai janjinya. Bagaimana kalau dia membawa kabur putriku.

‘Ya Alloh, apa yang harus aku lakukan. Aku tidak mau kehilangan putriku!”

“Apa Arman belum menghubungimu?” tanya ibuku yang juga terlihat cemas.

“Aku sudah berusaha menelponnya, tapi nomornya gak aktif. Mungkin sudah ganti dan aku lupa gak tanya kemarin. Aduh kalau terjadi apa-apa dengan Tiara bagaimana, Bu? Aku tak bisa memmaafkan diriku sendiri!”

“Kita tunggu saja. Kalau sampai habis isya Arman tidak juga mengantar Tiara, kita datang saja ke rumahnya!”

‘Tapi aku malas ke sana!”

‘Turuti kata-kata ibu. Sekarang kita masuk sudah mau magrib!”

Aku benar-benar tak tahu apa yang harus aku lakukan. Kalau tahu begini, aku takkan pernah mengijinkan Mas Arman membawa Tiara.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status