Share

Dark Through

Suasana dingin menyelimuti sekitar. Ruangan itu berisikan tiga belas orang; Ramsey Adolph, Paula Rinehart, Jeremy Rinehart, Aleen Rinehart, Nane Adolph, Roger Rinehart, Ronald Adolph, Diana Adolph, James Taylor, Darla Taylor, Lapa Brown, Elane Barnez, dan Simon Barnez.

Meja yang melingkar tak berujung membuat mereka saling berhadapan. Sinar matahari yang tertutup tirai dan hanya menyisakan sedikit cahaya masuk, membuat pencahayaan ruangan itu remang.

Ramsey berdeham, “Aku harap kau bisa bijak dalam persidangan besok.”

“Aku tidak bersalah.” gumam Paula.

Aleen angkat bicara, “Aku mohon, permudah urusan besok, Paula. Jangan terus mengelak.” 

Dada Paula terasa sesak, “Aku mohon, percaya padaku.”

“Seharusnya kami memusnahkanmu, itu lebih baik daripada membesarkan monster sepertimu.”

“Dan seharusnya kalian membela-ku tadi!”

Ramsey tertawa remeh, “Ya, dan seharusnya kami membiarkanmu mati bukan Rosserta!”

Deg. Nama yang pria tua itu sebutkan membuat semuanya lebih hening dari sebelumnya. Paula melirik ke arah James, pria itu terdiam.

James menunduk ketika nama mendiang ibunya disebut. Itu bukan kesalahan Paula, untuk apa yang terjadi bukan sepenuhnya salah gadis itu.

“Terlepas dari kejadian itu, kali ini kau tetap bersalah.” tutur Nane.

“Sudah kubilang, aku tidak bersalah!” suaranya mulai bergetar.

Ramsey menggebrak meja, “Lalu siapa yang bersalah?! semuanya sudah jelas! bukti-bukti itu, saksi mata, rekaman, semua itu menunjuk padamu!” suara Ramsey meninggi.

Nane berusaha menenangkan Ramsey, yang lain hanya saling menatap. Entah bingung pada situasi yang terjadi atau mengapa mereka melewati semua ini. Mereka tidak pernah dihadapkan situasi seperti ini sebelumnya.

Paula merasakan gemetarnya, titik rasa sakitnya sudah menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia kesal dan ingin menahan genangan pada matanya, namun pertahanannya runtuh, ia menangis.

“Aku-lah korban sesungguhnya!” ucapnya bersungguh-sungguh.

“Cukup! kau memalukan.” kini Jeremy angkat bicara. 

Paula menghapus air matanya yang sempat mengalir, gadis itu tertawa remeh. Lagi-lagi semuanya saling menatap, kali ini kebingungan.

Entah apa yang merasukinya, namun bayangan hitam muncul. Pikirannya kacau, seakan ada hal lain yang mengontrol dirinya.

“Hahaha baiklah. Terima kasih, mungkin kalian hanya takut karena ada ramalan mengenai diriku yang akan mengetahui siapa kalian sebenarnya kan?” Paula tertawa kencang, seakan ia meremehkan semua yang terjadi.

Ramsey membulatkan mata, “Cepat bawakan air!” perintahnya.

Lapa memberikan sebuah air, dengan pergerakan yang cepat Ramsey menyiramkan segelas air itu pada Paula. 

Entah mantera apa yang Ramsey berikan, Paula merasa panas, mata birunya berubah menjadi hitam penuh dan wajahnya berubah gelap; ia mengeluarkan sosok mengerikan dari mulutnya.

Paula menjerit, ia melihat sosok dirinya pada jiwa lain; jiwa hitam dengan perawakan yang buruk – sangat buruk dan kemudian sosok itu terbakar, meninggalkan asap hangus. 

Setelahnya gadis itu yang terbakar dan mengeluarkan api. 

Hitam.

Segalanya hitam.

Jantungnya yang berdegup cepat, terhenti.

.

.

.

.

.

Mimpi buruk.

Paula terbangun dari tidurnya. Ia mengatur napasnya, seakan dia terbangun di dunia lain. 

Ia memeriksa jantungnya; tidak berhenti, ada hal yang berdetak sangat cepat. Paula meregangkan badannya dan merelaksasikan pikirannya.

Ia mengerang, “Kenapa akhir-akhir ini seperti ini?” Ia memijat kepalanya. Paula berjalan sempoyongan dengan bau alkohol semalam yang masih menyengat. 

Wanita itu berjalan keluar. Terdapat dua penjaga di depan kamarnya, ia tidak peduli. Paula membuka lemari makanan – mencari penawar alkohol.

Dia tidak gila, hanya saja akhir-akhir ini pikiran lama-nya terbuka kembali. Bayangan gelap yang selama ini lenyap datang lagi.

Paula memilih air kelapa sebagai penawar rasa mual dari efek minuman-nya semalam. Sempat berhenti meneguk, ia kembali menghabiskannya. 

Kembali ke kamarnya, beberapa kali berpapasan dengan pekerja-nya. Mereka menunduk dan menyapa, walau wanita itu tak menghiraukannya.

Tidak heran kamarnya yang tadi berantakan dan menyisakan botol serta puntung rokok yang berserakan dimana-mana, kini terlihat bersih dan rapih. 

Paula memiliki banyak uang dari penghasilannya untuk menyewa cukup banyak pekerja di rumahnya. Ada sekitar tujuh belas pekerja rumah dan tujuh penjaga yang bergantian untuk berada disekitarnya.

Bukan karena rumahnya luas, sebenarnya untuk satu atau dua saja sudah cukup; karena tidak semua ruangan terpakai atau karena ada hal yang membuatnya terancam. Paula hanya kesepian.

Paula menarik kabel telepon kamarnya; menghubungi penyetir-nya, “Lima belas menit. De Flore.” Ia menutup cepat telepon itu.

Berjalan diantara pakaian-pakaiannya setelah merendam diri di air hangat membuat pikirannya sedikit lebih baik.

Mungkin jika dikatakan trauma itu terlalu berlebihan, tapi rasanya seperti sesuatu gelap membuatnya buta akan dunia yang harus ia jalani.

Rasanya sesak mengingat apa yang mereka lakukan, atas hal yang bahkan tidak ia perbuat. Kehilangan kepercayaan dari orang sekitarnya membuat Paula tidak ingin memiliki ikatan pada siapapun.

De Flore. Ia sudah sampai pada tujuannya, nampaknya Paula datang terlalu cepat. 

Wanita itu menarik kursi, seorang pelayan menghampirinya. “Ada yang mau kau pesan, Nona?”

Paula menggeleng, “Nanti saja.” 

Dengan susah payah ia meyakinkan diri untuk pergi. Dalam hatinya seakan mengatakan untuk membuka diri kembali ke dalam hal kelam yang pernah ia ketahui.

“Maaf aku sempat tersesat.” gadis itu menaruh diri-nya pada kursi di depan Paula.

Paula mendengus, “Tak apa, aku juga baru sampai.”

“Pasti susah untuk pergi sembunyi-sembunyi, bukan, El?”

Gadis itu mengangguk, “Ya begitu. Terima kasih mau menemuiku lagi.”

“Apa reaksi mereka?” tanya Paula tanpa basa-basi. Tentu saja dia ingin tahu bagaimana reaksi mantan keluarga-nya ketika ia kembali muncul di halaman surat kabar setelah mereka membuang dirinya.

“Sepertinya mereka sudah mendapatkan surat kabar pagi ini, sebelum sempat bertemu denganku.” Paula mengernyit. “Aku tidak pulang, aku menginap di rumah Nyonya Chris. Terlalu takut, entah malas menjawab pertanyaan mereka nantinya. Dan aku yakin mereka akan melarangku menemuimu.” El menjelaskan.

Paula mengangguk, “Giliranku. Aku hanya ingin kau memahami keluarga-mu lebih dari yang kau tahu.” Ia mengeluarkan sebuah buku usang dari tas-nya. 

Buku berwarna kelabu yang cukup tebal kira-kira tiga inci. El menerimanya dengan hati-hati, buku itu cukup berat. Ia menimbang beratnya, mengira-ngira itu seberat 4 pon.

“Mungkin terlihat membosankan, tapi jika kau baca dengan pikiran kosong itu akan menjadi sangat menarik. Tapi percayalah jangan terlalu terlena, kau akan menyesal.”

El kebingungan, “Sebenarnya ini apa? kau bilang akan menceritakannya semua padaku.”

“Memang. Semua pertanyaanmu akan terjawab disitu.” Paula menunjuk buku itu. “Dan kau akan tahu seperti apa keluarga-mu itu, rahasia mereka tercantum pada buku itu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status