Share

Bab 3

“Assalamu’alaikum,”

Aku mendengar suara salam, sepertinya Tiara yang datang. Segera kumatikan kompor, oseng tahu dan kacang menjadi menu sarapan kami pagi ini.

“Mau apa ke sini pagi-pagi,” gumamku kesal. Saat melewati ruang keluarga, aku melihat Ibu sedang bermain dengan Mehra, sepertinya beliau enggan menyambut Tiara.

“Oh, Mbak Tiara,” sapaku dengan ramah, pura-pura ramah lebih tepatnya.

Tiara menatapku sinis, lebih tepatnya saat ia melihat rambutku yang basah. Mungkinkah ia tidak suka aku basah pagi hari? Ah, bodo amat. Aku tidak mau memikirkan perasaan Tiara, untuk apa? Dia saja tega memelet Mertuaku.

“Ada perlu apa ya, Mbak?” Aku bertanya dengan ramah dan tersenyum lebar, seolah tidak memedulikan tatapannya yang sinis.

Pertanyaanku sepertinya membuyarkan lamunan Tiara, terbukti dia sedikit terkejut mendengar suaraku. Ah, Tiara, kenapa kamu datang lagi ke sini?

“Enggak, aku nyari Ibu. Beliau ada?” jawab Tiara mengulas senyum. Pura-pura lebih tepatnya, aku bisa membaca pikiranmu sekarang!

“Ada perlu apa ya, Mbak?” Biar saja dia tidak aku persilakan masuk rumah, masih ada Mas Adnan di rumah. Aku tidak ingin mereka bertemu. Cemburu? Jelas aku sebagai istrinya cemburu, walaupun mas Adnan membenci Tiara, tapi aku tetap tidak suka Tiara menyapa Mas Adnan.

“Ah... Itu, aku bawain sarapan buat Ibu.” Tiara terlihat salah tingkah, ia memperlihatkan tas kresek yang berisi beberapa toples tupperware. Sepertinya berisi beberapa makanan rumahan. Ini mencurigakan!

“Tumben, Mbak. Ada acara apa?” tanyaku sedikit kepo, biarlah dia menganggap aku cerewet.

Tiara kembali salah tingkah, ia menggaruk tengkuknya yang tertutup pasmina berwarna peach, aku tahu itu tidak gatal.

“Gak ada apa-apa sih, Mbak. Cuma pengen berbagi aja,” jawab Tiara sedikit memaksakan senyum.

“Oh, terimakasih ya, Mbak. Maaf nih, yang nerima aku.” Aku menyahut tas kresek yang dibawa Tiara.

“Eh, anu... Itu buat Ibu, Mbak,” sahut Tiara, seolah tidak terima makanan itu aku yang menerima, bukan Ibu.

“Iya aku tahu, Mbak. Tenang saja. Ibu masih repot di dalam, jadi ini aku yang terima, yang penting sama-sama nyampek ke tangan Ibu, kan?” Aku menyunggingkan senyum termanis, seperti penulisnya. Eh....

“Tapi, Mbak.... “

“Udah gapapa, kamu langsung pulang aja, Mbak. InsyaAllah bakal nyampek ke tangan Ibu kok. Tenang saja!” usirku pada Tiara.

Wajahnya nampak sedikit kecewa, tapi biarlah. Lebih baik Tiara tidak bertemu dengan Ibu terlebih dahulu. Ibu bilang, sejak bangun tidur tadi seluruh badannya terasa sakit semua. Fix, itu efek dari pelet semalam. Tubuh Ibu menjadi lemas.

Jahat sekali Tiara, sudah pasti dia tahu efek peletnya pada Ibu, tapi mengapa masih nekat? Kasihan sekali mertuaku, beliau sangat baik kepada kami semua, tidak membedakan mana menantu, mana mantan menantu. Karena terlalu baik, akhirnya Tiara memanfaatkannya.

“Yaudah, Mbak. Aku titip makanannya buat Ibu. Terimakasih, assalamu’alaikum,”

Setelah aku menjawab salam, segera pintu depan kututup. Bukan apa-apa, Mas Adnan selalu. Mewanti-wanti untuk selalu menutup pintu, agar sesuatu yang tidak kasat mata, tidak seenaknya masuk ke dalam rumah.

“Siapa, Dek?” Suara Mas Adnan mengagetkanku, dia terkekeh seneng melihatku terkejut. Ah, kesel deh, untung cinta, untung sayang, kalau enggak, udah kubuang jauh dia.

“Ih, ngagetin aja sih, Mas.” Kucubit pinggang Mas Adnan, lalu kami tertawa bersama.

“Nih, dari mantan istri kamu.” Aku menyodorkan kresek itu kepada Mas Adnan dengan wajah cemberut yang aku buat-buat. Bukannya menerima, Mas Adnan malah menarikku dalam pelukan. Diciumnya pucuk kepalaku. Mau tak mau hilang sudah cemberutku, berganti dengan perasaan haru.

Duh, aku jadi meleleh. Padahal masih pagi, kenapa dia sudah bikin hatiku berbunga-bunga sih? Kan bikin aku makin cinta. Uuhhh...

Kubalas pelukan Mas Adnan erat, seolah tak ingin lepas.

“Apaan sih, pagi-pagi dah so sweet aja.”

Mas Adnan menoel hidungku mesra, “Kamu kalau cemburu lucu, Dek,” Mas Adnan terkekeh seolah nada yang lucu, padahal sama sekali tidak lucu.

“Gak lucu tau,” jawabku kesal. Mas Adnan melepaskan pelukannya, lalu meraih tas kresek itu.

Matanya terpejam sejenak, mulutnya komat-kamit entah membaca apa, aku tidak tahu dan tidak ingin tahu.

Kutinggalkan Mas Adnan ke dapur, aku harus menyiapkan bekal makan siang Mas Adnan. Setiap hari, ia harus membawa bekal sendiri, ia lebih menyukai masakan rumahan tanpa micin, lebih hemat tentunya.

Ada-ada saja Tiara itu, dulu saat masih menjadi istri Mas Adnan kenapa menyia-nyiakan, sekarang seperti mengemis cinta Mas Adnan lagi, dengan cara curang pula.

Aku menggeleng pelan, lucu sekali kamu, Tiara.

“Ini, udah bisa dimakan kalau mau. Kalau enggak buang aja gapapa,” ucap Mas Adnan, meletakkan makanan pemberian Tiara.

Aku menghela nafas,” Tanya Ibu aja nanti, kalau aku gak mau, Mas,”

Mas Adnan mengendikkan bahu, tidak peduli. Ia berlalu ke kamar untuk ganti baju, karena sudah waktunya dia berangkat bekerja. Seperti itulah Mas Adnan, dia sama sekali tidak mau berhubungan dengan Tiara lagi. Bertemu saja, dia tidak mau apalagi berbincang.

“Nduk, tadi Tiara ada perlu apa ke sini?” tanya Ibu sambil menggendong Mehra.

Tentang kejadian semalam aku dan Mas Adnan sepakat untuk tidak memberitahu Ibu, kasihan. Beliau belum tahu apa yang dilakukan Tiara padanya. Yang beliau sadari, tubuhnya sudah lemas sebelum tidur.

“Nganterin ini, Bu.” Aku mengangkat toples, menunjukkannya pada Ibu.

Beliau terlihat mengeluarkan nafas dengan berat,” Buang saja, Mil. Ibu ndak selera makan makanan dari Tiara.”

Aneh sekali! Tumben Ibu berkata seperti itu, biasanya beliau akan menerima apapun pemberian Tiara. Beliau tidak ingin dipandang sebagai mantan mertua yang jahat.

“Kenapa memangnya, Bu?” tanyaku ingin tahu.

“Hah... Ibu merasa Tiara belum berubah, kebaikannya selama ini tidak tulus.” Ibu menghela nafas berat, sepertinya beliau menyadari rencana terselubung Tiara.

“Jangan lupa buang itu semua!” lanjut Ibu, sebelum beliau meninggalkanku sendirian di dapur.

Aku mengendikkan bahu, bodo amat. Segera kubuang semua makanan yang dibawa Tiara, makanannya saja. Toplesnya bisa kugunakan lagi di lain hari, toples mahal, sayang kalau dibuang, cerdik kan aku?

.

.

Pov author

“S*alan, Mila kurang ajar banget. Sengaja nyindir aku.” Tiara melempar jilbabnya, hingga terlihat rambutnya yang mengembang sempurna. Ia menghentakkan kakinya dengan kesal.

Prang!

Tiara melempar pigura yang berisi foto pernikahannya dengan Adnan. Ia marah pada Adnan, Mila apalagi.

Tiara menyesal menggugat cerai Adnan, saat tahu Adnan menghamili Mila. Ya, Adnan dan Mila menikah karena Mila sudah hamil sebelum menikah. Saat itu Tiara tidak bisa berpikir jernih, begitu cepat mengambil keputusan untuk menggugat cerai Adnan.

Setelah beberapa minggu, barulah Tiara menyadari perasaannya yang masih mencintai Adnan. B*doh memang, sebucin itulah Tiara pada Adnan.

“Argh... “ Tiara berteriak kencang, ia membuang semua alat make up di meja riasnya.

Ceklek

“Ya Allah, Nduk. Kamu kenapa seperti ini?” tanya Mbok Mina pada Tiara. Ia terkejut mendapati kamar Tiara yang berantakan.

“Keluar Mbok! Jangan ganggu aku!” teriak Tiara histeris.

“Istighfar, Nduk. Istighfar!” ucap Mbok Mina sembari mengelus lengan Tiara.

Tiara menampik tangan Mbok Mina kasar, membuat Mbok Mina sedikit terjerembab.

“Ach... “ Mbok Mina meringis, tangannya berdarah terkena lemari. Segera Mbok Mina keluar dari kamar Tiara, ia mencari obat untuk lukanya.

Sepeninggal Mbok Mina, Tiara terduduk di lantai.

“Aku harus membuat rencana baru, ya, aku harus membuat rencana lain.” Tiara menyeringai mengerikan. “Awas kalian, aku akan membuat perhitungan dengan kalian!” sungut Tiara.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status