“Assalamu’alaikum,”
Aku mendengar suara salam, sepertinya Tiara yang datang. Segera kumatikan kompor, oseng tahu dan kacang menjadi menu sarapan kami pagi ini.
“Mau apa ke sini pagi-pagi,” gumamku kesal. Saat melewati ruang keluarga, aku melihat Ibu sedang bermain dengan Mehra, sepertinya beliau enggan menyambut Tiara.
“Oh, Mbak Tiara,” sapaku dengan ramah, pura-pura ramah lebih tepatnya.
Tiara menatapku sinis, lebih tepatnya saat ia melihat rambutku yang basah. Mungkinkah ia tidak suka aku basah pagi hari? Ah, bodo amat. Aku tidak mau memikirkan perasaan Tiara, untuk apa? Dia saja tega memelet Mertuaku.
“Ada perlu apa ya, Mbak?” Aku bertanya dengan ramah dan tersenyum lebar, seolah tidak memedulikan tatapannya yang sinis.
Pertanyaanku sepertinya membuyarkan lamunan Tiara, terbukti dia sedikit terkejut mendengar suaraku. Ah, Tiara, kenapa kamu datang lagi ke sini?
“Enggak, aku nyari Ibu. Beliau ada?” jawab Tiara mengulas senyum. Pura-pura lebih tepatnya, aku bisa membaca pikiranmu sekarang!
“Ada perlu apa ya, Mbak?” Biar saja dia tidak aku persilakan masuk rumah, masih ada Mas Adnan di rumah. Aku tidak ingin mereka bertemu. Cemburu? Jelas aku sebagai istrinya cemburu, walaupun mas Adnan membenci Tiara, tapi aku tetap tidak suka Tiara menyapa Mas Adnan.
“Ah... Itu, aku bawain sarapan buat Ibu.” Tiara terlihat salah tingkah, ia memperlihatkan tas kresek yang berisi beberapa toples tupperware. Sepertinya berisi beberapa makanan rumahan. Ini mencurigakan!
“Tumben, Mbak. Ada acara apa?” tanyaku sedikit kepo, biarlah dia menganggap aku cerewet.
Tiara kembali salah tingkah, ia menggaruk tengkuknya yang tertutup pasmina berwarna peach, aku tahu itu tidak gatal.
“Gak ada apa-apa sih, Mbak. Cuma pengen berbagi aja,” jawab Tiara sedikit memaksakan senyum.
“Oh, terimakasih ya, Mbak. Maaf nih, yang nerima aku.” Aku menyahut tas kresek yang dibawa Tiara.
“Eh, anu... Itu buat Ibu, Mbak,” sahut Tiara, seolah tidak terima makanan itu aku yang menerima, bukan Ibu.
“Iya aku tahu, Mbak. Tenang saja. Ibu masih repot di dalam, jadi ini aku yang terima, yang penting sama-sama nyampek ke tangan Ibu, kan?” Aku menyunggingkan senyum termanis, seperti penulisnya. Eh....
“Tapi, Mbak.... “
“Udah gapapa, kamu langsung pulang aja, Mbak. InsyaAllah bakal nyampek ke tangan Ibu kok. Tenang saja!” usirku pada Tiara.
Wajahnya nampak sedikit kecewa, tapi biarlah. Lebih baik Tiara tidak bertemu dengan Ibu terlebih dahulu. Ibu bilang, sejak bangun tidur tadi seluruh badannya terasa sakit semua. Fix, itu efek dari pelet semalam. Tubuh Ibu menjadi lemas.
Jahat sekali Tiara, sudah pasti dia tahu efek peletnya pada Ibu, tapi mengapa masih nekat? Kasihan sekali mertuaku, beliau sangat baik kepada kami semua, tidak membedakan mana menantu, mana mantan menantu. Karena terlalu baik, akhirnya Tiara memanfaatkannya.
“Yaudah, Mbak. Aku titip makanannya buat Ibu. Terimakasih, assalamu’alaikum,”
Setelah aku menjawab salam, segera pintu depan kututup. Bukan apa-apa, Mas Adnan selalu. Mewanti-wanti untuk selalu menutup pintu, agar sesuatu yang tidak kasat mata, tidak seenaknya masuk ke dalam rumah.
“Siapa, Dek?” Suara Mas Adnan mengagetkanku, dia terkekeh seneng melihatku terkejut. Ah, kesel deh, untung cinta, untung sayang, kalau enggak, udah kubuang jauh dia.
“Ih, ngagetin aja sih, Mas.” Kucubit pinggang Mas Adnan, lalu kami tertawa bersama.
“Nih, dari mantan istri kamu.” Aku menyodorkan kresek itu kepada Mas Adnan dengan wajah cemberut yang aku buat-buat. Bukannya menerima, Mas Adnan malah menarikku dalam pelukan. Diciumnya pucuk kepalaku. Mau tak mau hilang sudah cemberutku, berganti dengan perasaan haru.
Duh, aku jadi meleleh. Padahal masih pagi, kenapa dia sudah bikin hatiku berbunga-bunga sih? Kan bikin aku makin cinta. Uuhhh...
Kubalas pelukan Mas Adnan erat, seolah tak ingin lepas.
“Apaan sih, pagi-pagi dah so sweet aja.”
Mas Adnan menoel hidungku mesra, “Kamu kalau cemburu lucu, Dek,” Mas Adnan terkekeh seolah nada yang lucu, padahal sama sekali tidak lucu.
“Gak lucu tau,” jawabku kesal. Mas Adnan melepaskan pelukannya, lalu meraih tas kresek itu.
Matanya terpejam sejenak, mulutnya komat-kamit entah membaca apa, aku tidak tahu dan tidak ingin tahu.
Kutinggalkan Mas Adnan ke dapur, aku harus menyiapkan bekal makan siang Mas Adnan. Setiap hari, ia harus membawa bekal sendiri, ia lebih menyukai masakan rumahan tanpa micin, lebih hemat tentunya.
Ada-ada saja Tiara itu, dulu saat masih menjadi istri Mas Adnan kenapa menyia-nyiakan, sekarang seperti mengemis cinta Mas Adnan lagi, dengan cara curang pula.
Aku menggeleng pelan, lucu sekali kamu, Tiara.
“Ini, udah bisa dimakan kalau mau. Kalau enggak buang aja gapapa,” ucap Mas Adnan, meletakkan makanan pemberian Tiara.
Aku menghela nafas,” Tanya Ibu aja nanti, kalau aku gak mau, Mas,”
Mas Adnan mengendikkan bahu, tidak peduli. Ia berlalu ke kamar untuk ganti baju, karena sudah waktunya dia berangkat bekerja. Seperti itulah Mas Adnan, dia sama sekali tidak mau berhubungan dengan Tiara lagi. Bertemu saja, dia tidak mau apalagi berbincang.
“Nduk, tadi Tiara ada perlu apa ke sini?” tanya Ibu sambil menggendong Mehra.
Tentang kejadian semalam aku dan Mas Adnan sepakat untuk tidak memberitahu Ibu, kasihan. Beliau belum tahu apa yang dilakukan Tiara padanya. Yang beliau sadari, tubuhnya sudah lemas sebelum tidur.
“Nganterin ini, Bu.” Aku mengangkat toples, menunjukkannya pada Ibu.
Beliau terlihat mengeluarkan nafas dengan berat,” Buang saja, Mil. Ibu ndak selera makan makanan dari Tiara.”
Aneh sekali! Tumben Ibu berkata seperti itu, biasanya beliau akan menerima apapun pemberian Tiara. Beliau tidak ingin dipandang sebagai mantan mertua yang jahat.
“Kenapa memangnya, Bu?” tanyaku ingin tahu.
“Hah... Ibu merasa Tiara belum berubah, kebaikannya selama ini tidak tulus.” Ibu menghela nafas berat, sepertinya beliau menyadari rencana terselubung Tiara.
“Jangan lupa buang itu semua!” lanjut Ibu, sebelum beliau meninggalkanku sendirian di dapur.
Aku mengendikkan bahu, bodo amat. Segera kubuang semua makanan yang dibawa Tiara, makanannya saja. Toplesnya bisa kugunakan lagi di lain hari, toples mahal, sayang kalau dibuang, cerdik kan aku?
.
.
Pov author
“S*alan, Mila kurang ajar banget. Sengaja nyindir aku.” Tiara melempar jilbabnya, hingga terlihat rambutnya yang mengembang sempurna. Ia menghentakkan kakinya dengan kesal.
Prang!
Tiara melempar pigura yang berisi foto pernikahannya dengan Adnan. Ia marah pada Adnan, Mila apalagi.
Tiara menyesal menggugat cerai Adnan, saat tahu Adnan menghamili Mila. Ya, Adnan dan Mila menikah karena Mila sudah hamil sebelum menikah. Saat itu Tiara tidak bisa berpikir jernih, begitu cepat mengambil keputusan untuk menggugat cerai Adnan.
Setelah beberapa minggu, barulah Tiara menyadari perasaannya yang masih mencintai Adnan. B*doh memang, sebucin itulah Tiara pada Adnan.
“Argh... “ Tiara berteriak kencang, ia membuang semua alat make up di meja riasnya.
Ceklek
“Ya Allah, Nduk. Kamu kenapa seperti ini?” tanya Mbok Mina pada Tiara. Ia terkejut mendapati kamar Tiara yang berantakan.
“Keluar Mbok! Jangan ganggu aku!” teriak Tiara histeris.
“Istighfar, Nduk. Istighfar!” ucap Mbok Mina sembari mengelus lengan Tiara.
Tiara menampik tangan Mbok Mina kasar, membuat Mbok Mina sedikit terjerembab.
“Ach... “ Mbok Mina meringis, tangannya berdarah terkena lemari. Segera Mbok Mina keluar dari kamar Tiara, ia mencari obat untuk lukanya.
Sepeninggal Mbok Mina, Tiara terduduk di lantai.
“Aku harus membuat rencana baru, ya, aku harus membuat rencana lain.” Tiara menyeringai mengerikan. “Awas kalian, aku akan membuat perhitungan dengan kalian!” sungut Tiara.
Pukul 8 pagi, Jo sudah berada di kantornya, beberapa menit lagi ia harus meeting dengan klien penting. Ia berjalan cepat dari tempat parkir menuju ruangannya. Sesekali ia mengangguk saat berpapasan dengan karyawannya.CeklekJo mengernyitkan dahi saat melihat ada sebuah kotak yang berukuran sedang di atas mejanya. Ia menatap sekeliling sebelum masuk ke dalam ruangannya, tidak ada siapa pun yang bisa ditanyai.Setelah menutup pintu, ia berjalan menuju meja kerjanya. Ia menatap kotak yang berwarna merah muda itu dengan teliti, mencari nama pengirim atau semacamnya. Sayangnya, tidak ada.“Siapa pengirimnya? Salah kirim atau bukan?” tanya Jo, berbicara sendiri.Jo membuka kotak itu perlahan, matanya melebar saat melihat isinya. Ia mengangkat dengan ujung jarinya, seolah jijik. Sebuah celana dalam dan bra dengan renda di setiap tepi.‘Siapa orang g*la yang mengirimkan benda menjijikkan ini?’ batin Jo kesal.Tanpa sengaja ekor matanya melihat sebuah kertas yang terselip di antara bra berwar
[Mbak, ini foto yang mbak Tiara minta.]Pesan masuk dari bu Keke, tetangga Adnan yang rumahnya persis di depan. Beliau mengirimkan setidaknya ada 10 foto Nando, saat ia bermain di halaman, bahkan foto saat makan di suapi Bu Rini, ibu Adnan.“Ya Allah, cerdas sekali bu Keke, bisa mendapatkan foto di dalam rumah.”Mata Tiara terbelalak saat melihat salah satu foto Nando yang makan hanya dengan nasi putih, Tiara yakin itu hanya nasi yang ditaburi garam. Tiara ingat sekali, saat Adnan tidak punya uang, ia lebih memilih makan dengan garam saja.“Aku harus kirim foto ini agar segera di proses di pengadilan.” Tiara segera mengirimkan semua foto itu pada Jo yang saat ini masih berada di kantor.Tiara yakin, kemarin Jo sudah menghubungi pak Dewa untuk menggugat hak asuh Nando ke pengadilan.Memang salah Tiara, dulu mengizinkan Nando di asuh oleh Adnan, saat itu Tiara belum bisa berpikir jernih, belum berkomitmen dengan Jo. Jadi ia masih bingung dengan keadaan dirinya sendiri.Tok tok tok“Ma,
“Pa, tolong buatkan susu untuk Reihan.” Tiara sedang memandikan Reihan, buah cintanya bersama Jo.“Kan masih mandi?” protes Jo.“Iya, setelah mandi biar langsung minum susu, Pa. Udah gih, cepetan bikinin.”“Iya iya,” jawab Jo sambil beranjak keluar dari kamar mandi. Karena Tiara sudah menyiapkan air, botol, dan susu di atas meja, mudah saja Jo meraciknya.Tiara mengangkat Reihan ke atas ranjang, lalu mengeringkan tubuhnya menggunakan handuk. Lalu mengoleskan minyak telon, bedak, dan memakaikan baju. Bayi berumur 7 bulan itu terus menggerakkan kaki dan tangannya senang, sesekali menyunggingkan senyum.“Lucu sekali anak mama, udah ganteng sekarang.” Tiara menyemprotkan sedikit parfum pada baju Reihan setelah mengoleskan minyak rambut.Tiara bersyukur, Allah memberikan banyak berkah di dalam hidupnya. Menghadirkan Jo sebelum terlambat, memberikan kenikmatan hidup selama ini.Reihan hadir membawa suasana baru di rumah Jo, setelah ada Reihan, Jo lebih sering menghabiskan waktunya di rumah
“Kamu jahat, Mas. Kamu apakan dia?” teriak Mila sambil terisak.Mila segera berlari menghampiri Erga yang sudah terkapar tidak berdaya di teras. Ia menyangga kepala Erga dengan tangannya.“Kamu jahat sekali, apa salah dia? Kenapa kamu hajar sampai seperti ini?” teriak Mila histeris. Bukan seperti ini keinginan Mila, ia tidak suka Adnan berbuat kasar dan main hakim sendiri.“Bela terus selingkuhanmu itu! Kalau perlu sekalian saja kamu keluar dari rumah ini. Perempuan sepertimu tidak pantas diperjuangkan,” hardik Adnan, matanya memerah menahan emosi.Hati dan pikiran Adnan sudah dibutakan oleh nafsu dan gelap karena iri dan benci. Ia sudah pernah dikhianati, sekarang seseorang yang dulu ia perjuangkan mati-matian juga mengkhianati cintanya.“Jaga ucapanmu, Mas. Secara tidak langsung kamu sudah menalakku.”“Lebih baik berpisah saja, aku lelah terus dikhianati.”“Baiklah! Aku akan pergi dari sini.”Mila membantu Erga bangun, bibir dan hidungnya mengeluarkan darah segar bekas pukulan Adnan
“Mama... “ teriak Nando berlari dan menghamburkan peluk ke arah Tiara.Jo mengernyit melihat Nando begitu dekat dengan Tiara, dan memanggilnya mama.“Siapa anak ini?” Tanya Jo pada Tiara.Nando sudah berada di gendongan Tiara, sambil mencium dan memeluk leher mamanya erat.Tiara tersenyum pada Jo, lalu berkata,” Ini anakku yang pernah aku ceritakan.”“Jadi, kamu... “ Jo menunjuk Tiara dan Adnan bergantian.“Iya, Mas. Dia mantan suamiku.” Mendengar itu, Jo mengangguk paham. Lalu mengambil alih gendongan Nando, ia tidak mau Tiara kelelahan karena saat ini sedang hamil.“Halo, jagoan. Nama kamu siapa?” Jo bertanya pada Nando dengan riang, seolah sudah pernah bertemu.“Nando,” jawab Nando singkat.“Aku gak nyangka, ternyata istri lo bekas gue,” celetuk Adnan sambil menyunggingkan sebelah bibirnya.Seketika Jo merasa panas, emosi sudah berada di ubun-ubun. Segera Tiara mengelus lengan suaminya, dan mencoba menenangkannya.Sang tuan rumah belum terlihat, sepertinya masih sibuk di belakang.
“Ah, kenalkan, ini Mila. Dia pacarku,” ucap Erga jumawa.Tiara mengernyitkan dahinya tidak percaya dengan ucapan Erga.‘Dasar perempuan gila, sudah mengambil suamiku, masih mencari laki-laki lain’ batin Tiara kesal.“Pacar kamu?” tanya Tiara tak percaya.Erga menganggukkan kepala mantap, sedangkan Mila melotot menatap Tiara.“Kamu udah cek status dia?” Tanya Tiara tak peduli Mila yang terus melotot padanya. Ia harus menyelamatkan Erga dari jerat Mila, seingat Tiara Erga sekarang sedang berada di puncak kejayaannya. Bisa jadi Mila hanya memanfaatkan Erga. Setidaknya itu yang ada di pikiran Tiara sekarang.“Maksud kamu?” tanya Erga bingung mendengar pertanyaan Tiara.“Iya, coba tanya dia yang lebih paham. Dan juga, sekedar saran, jangan gampang percaya dengan ucapan orang, coba kamu cek siapa perempuan itu sebenarnya.” Setelah mengucapkan itu, Tiara menerima uang kembalian dadi kasir. “Aku duluan ya,” pamit Tiara cuek.Entah setelah ini Mila tetap berhubungan dengan Erga atau tidak buka