Share

Bab 4

Aku bersujud di malam yang dingin, menggelar sajadah, saat semua orang masih berada di alam mimpi. Memohon ampunan kepada Allah atas dosa di masa lalu yang sudah kuperbuat. Aku tahu dosaku sangat besar, dosa yang hina, dan semua orang membenci itu. Namun, aku yakin Allah akan memberi ampunan pada hambanya yang bertaubat, betul?

Aku berdoa, semoga Allah mengampuni semua dosaku, dosa semua orang yang mengenalku, tak lupa memohon agar Allah menjauhkan kami dari pelet yang digunakan Tiara.

Mungkin semua orang akan berkomentar bahwa aku dan Tiara jahat! Benar, kami sama-sama jahat. Akibat ulah kami banyak dari mereka yang sakit hati.

Keluarga Tiara dan semua orang yang menganggap dia sempurna akan menghujatku tiada ampun. Menyebarkan aibku melalui media sosial, bahkan ada dari mereka yang memalingkan wajah saat bertemu denganku.

Beda lagi dengan Tiara, mertuaku lah saksi hidup berapa kejamnya Tiara saat masih menjadi menantu. Ibu pernah bercerita, Tiara tidak pernah membantunya mengerjakan rumah. Bahkan Tiara lebih sering makan di luar, daripada makan masakan Ibu.

Ah, aku selalu ingat cerita Mas Adnan, selama menjadi suami Tiara tidak pernah sekalipun ia membuatkan kopi untuk Mas Adnan. Pernah sekali ia membuatkan kopi, tetapi dengan kejamnya Tiara memasukkan (maaf) darah haid ke dalam kopi. Untung saja Mas Adnan tahu, jadi ia segera membuangnya.

“Aku cariin, ternyata di sini.” Ucapan Mas Adnan mengagetkanku, karena terlalu menghayati, sampai tidak menyadari kedatangan Mas Adnan.

Kuulas senyuman, ah lelakiku... Terlihat gagah dengan baju koko berwarna maroon, dan sarung berwarna hitam. Biasanya Mas Adnan yang menjadi imam sholat malamku.

“Sudah sholat?” tanya Mas Adnan mengecup pucuk kepalaku yang tertutup mukena.

“Sudah, maaf aku duluan. Abisnya Mas tidurnya nyenyak, gak enak mau bangunin. Kasihan.” Kutangkupkan kedua tanganku, dan memasang wajah memelas.

Mas Adnan tersenyum,” Gapapa, setelah sholat langsung tidur aja. Bisa ada waktu tidur sebelum subuh,” ucap Mas Adnan.

Kuanggukkan kepala dan tersenyum, Mas Adnan berlalu. Dia sholat di pojok kamar, agak jauh dari tempatku sholat tadi.

Ya, kami taubat bersama, masa lalu buruk kami, biarlah menjadi kenangan terburuk. Masa depan masih panjang, bertaubat sebelum kematian datang.

Aku melepaskan mukena lalu melipatnya, kulihat jam masih menunjukkan pukul 2 pagi, masih ada waktu untukku melanjutkan mimpi yang tertunda.

Sebelum tidur, aku mengecek pesan masuk dari ponselku. Beberapa dari teman-teman kuliahku dulu yang mengajak reuni, sayangnya aku tidak ingin bertemu mereka dulu sebelum sukses. Aku malu, kuliahku tidak lulus, dan sampai sekarang aku tidak mempunyai pencapaian apapun. Tidak seperti mereka yang bisa dibilang sudah sukses semua dengan karirnya masing-masing. Sungguh membuat iri, andaikan waktu dapat diputar lagi, pasti aku akan berpikir dua kali sebelum melakukan dosa.

Kuabaikan grup teman kuliah, setelah aku scroll ke bawah, ternyata ada pesan dari Tiara.. Ada apa gerangan mengirimkan pesan padaku?

[ Mbak, tolong beritahu ibu, besok aku akan mengajak Ibu jalan-jalan bersama Nando]

Oh iya, aku belum bercerita, Nando adalah anak Mas Adnan dan Tiara, karena Mas Adnan dianggap bermasalah, hak asuh Nando dimenangkan Tiara. Jarak umur Nando dan Mehra 1 tahun, dan sekarang Nando masih berumur 2,5 tahun.

Beberapa dari kalian pasti bertanya, mengapa Mas Adnan dan Tiara bisa menikah? Karena cinta? Jawabannya bukan! Mas Adnan terpaksa menikah karena diancam Tiara, bila Mas Adnan tidak mau menikahinya, ia akan bunuh diri. Memalukan bukan?

Kuabaikan pesan dari Tiara, akan kusampaikan nanti setelah Ibu bangun, apalagi yang akan ia lakukan pada Ibu kali ini? Nanti akan kuberitahu Mas Adnan, aku takut Ibu akan terkena pelet lagi. Kasihan jantung Ibu, kata Mas Adnan, semakin sering Ibu kena pelet, kinerja jantung Ibu akan melemah, mudah lelah, mudah terkejut.

Kubuka aplikasi membaca novel, mencari lanjutan cerita favoritku. Beberapa waktu yang lalu aku menemukan cerita menarik dari seorang author, yang berjudul ‘Suamiku Main Gila', beberapa waktu yang lalu aku menemukan cerita itu karena bosan. Awalnya kupikir cerita ini membosankan, ternyata tidak. Kalau tidak percaya, silakan cari dan baca. Pasti ketagihan menanti bab selanjutnya seperti aku. Hihi...

Ceklek

“Belum tidur, Dek?” Mas Adnan datang, dia mengganti baju koko nya dengan kaos berwarna putih, lalu merebahkan diri di sampingku. Wangi shampo menguar dari rambut Mas Adnan, segar sekali.

“Ini lagi baca cerbung favoritku.” Kutunjukkan ponsel pada Mas Adnan.

Mas Adnan mengangguk lalu memejamkan mata.

“Eh, Mas, tadi Tiara mengirim pesan mau ajak Ibu jalan-jalan sama Nando, gimana?” tanyaku dengan harap-harap cemas.

Mas Adnan membuka mata, lalu menatapku. “Beneran dia bilang gitu?” tanya Mas Adnan seolah tidak percaya. Ya, selama menjadi istri Mas Adnan, Tiara tidak pernah sekalipun bersikap baik pada Ibu, apalagi mengajaknya jalan-jalan. Mustahil! Tumben sekali Tiara melakukan itu. Pasti ada udang di balik batu.

“Iya benerlah, ini chat dari Tiara.” Kusodorkan ponselku pada Mas Adnan. Kulihat ia mengernyitkan dahinya.

Mas Adnan membuang nafas kasar, lalu berkata,” Biarin Ibu jalan-jalan bareng dia, kita lihat nanti apa yang terjadi.”

“Bener gapapa? Nanti kalau kena lagi gimana?” tanyaku was-was. Aku hanya kasihan dengan Ibu, itu saja.

“Iya. Udah aku mau tidur,” ucap Mas Adnan sambil mengembalikan ponselku, lalu ia kembali memejamkan mata.

Tak lama kemudian sudah terdengar suara nafas Mas Adnan yang teratur, tanda ia sudah tidur. Kuletakkan ponsel di nakas dan ikut memejamkan mata di pelukan Mas Adnan.

---

Masih pukul 10 pagi Tiara sudah datang bersama Nando. Penampilan Tiara sungguh anggun, ia memakai gamis berwarna peach dipadukan jilbab berwarna biru dongker, tidak ketinggalan tas jellymate berwarna biru. Make up yang ia pakai kali ini natural, sangat cantik. Sayang, hati Tiara tidak secantik wajahnya.

“Wah, cucuku sudah datang,” seru Ibu menyambut kedatangan Nando, beliau menciumi Nando seolah lama tidak bertemu.

Setelah menyalamiku dan Ibu, Tiara duduk di kursi tamu.

Pagi tadi, Ibu sudah kuberitahu bahwa Tiara mengajak beliau jalan-jalan bersama Nando. Walaupun berat, Ibu mengiyakan ajakan Tiara.

“Mau jalan-jalan kemana, Mbak?” tanyaku ramah, pura-pura tidak tahu apapun tentang pelet yang ia gunakan.

“Mau ke simpang empat, Mbak,” jawab Tiara tersenyum lebar.

Mencurigakan sekali dia, tapi aku bisa apa. Tidak mungkin aku melarangnya mengajak Ibu jalan-jalan, Tiara bisa curiga.

“Bentar ya, Sayang. Nenek mau siap-siap dulu,” ucap Ibu pada Nando yang sedang bermain bersama Mehra.

Tiara terlihat memainkan ponselnya sambil sesekali tersenyum, entah apa yang membuatnya terlihat bahagia. Sedangkan aku? Aku menunggui Nando dan Mehra bermain bersama. Aku takut Nando bermain kasar, karena mereka sama-sama masih kecil.

“Sudah punya pacar, Mbak?” tanyaku iseng ingin tahu.

Tiara berhenti tersenyum, matanya melirikku dengan tatapan yang menyeramkan. Sedikit takut aku dibuatnya.

“Mbak gak usah tanya, suamiku sudah Mbak ambil, masak sekarang mau ambil oacarku. Eh... “ Tiara menutup mulutnya, sepertinya ia keceplosan.

“Aku kan cuma tanya, kok senyum-senyum sendiri. Gak minat juga ambil pacarmu Mbak.” Jawabku cuek.

“Diem kamu!” teriaknya marah.

Segera kugendong Mehra pergi ke belakang, malas meladeni Tiara yang mudah emosi.

“Bu, nanti hati-hati,” pesanku pada Ibu saat melihat beliau sudah siap.

“Iya, Nduk. Kalau bukan karena Nando, Ibu juga gak akan mau,” Jawab Ibu membenarkan jilbab yang beliau pakai.

“Ibu, pakai parfum ini dulu ya?” Dari belakang aku mendengar suara Tiara berbicara dengan Ibu. Karena khawatir aku kembali ke depan.

Kulihat pandangan Ibu sedikit kosong. Tiara menatapku sinis, sambil memasukkan parfum ke dalam tas kecilnya.

Tiba-tiba... 

apa yang terjadi? 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status