Hari ini adalah hari libur. Hari ini juga waktunya untuk mengakhiri Darwin South. Dia tidak bisa dibiarkan terus menerus. Aku sangat yakin, kemarin malam dia memburu gadis lain.
Berita penculikan muncul pagi ini. Bukan tentang empat gadis lagi. Gadis ini bernama Olivia Paw.
Mengingat kapak berdarah itu membuatku semakin takut. Aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada Olivia.
"Maaf, aku terlambat. Adikku sangat menyebalkan." William datang sambil berlari. Napasnya tidak beraturan. "Siap?"
"Ya, siap." Sejujurnya aku tidak siap. Hati, mulut dan pikiran tidak bisa bekerja sama.
William sepertinya terlihat ... tidak siap juga. Senyumnya sangat kaku. Kantung matanya juga terlihat hitam. Sepertinya, dia tidak tidur.
Bau rumah Darwin tercium sangat amis. Rasanya aku ingin mual. "Tekan belnya," suruhku pada William.
Dia mengikuti apa yang kusuruh.
Warna merah dari rumah Darwin tidak seperti warna cat sungguhan. Jangan bilang, dia menggunakan darah. Memang gila pria itu.
Suara pintu terbuka juga terdengar sangat menyeramkan. Darwin juga terlihat sangat tidak baik.
"Nona Scott dan temannya yang terkena spray. Apa kabar?" tanya Darwin sambil menjulurkan tangannya. Ew, aku tidak akan menyentuh tanganmu lagi.
"Kami baik," balas William menjabat tangan Darwin. "Namaku George dan Elina menceritakanku tentang dirimu. Aku dengar, kamu sangat suka berburu. Aku juga suka berburu. Hari ini pasti kamu akan berburu. Ajak aku sekalian."
William sangat pintar bersandiwara. Pantas saja dia selalu dipaksa oleh ketua klub drama sekolah untuk bergabung.
Kulihat wajah Darwin terdiam tanpa senyum. Ayolah, terima tawarannya.
"Maaf, hari ini aku sedang tidak ingin berburu. Tubuhku sangat pegal."
Sial. Kita butuh rencana B. Kita tidak punya rencana B!
"Kalau begitu, boleh kami masuk?" ijin William terlihat bingung.
Ini yang kutakutkan. Rencana seperti ini terlihat sangat beresiko. Mungkin salah satu diantara kita bisa saja tidak selamat. Atau kita berdua yang tidak selamat.
Jika dilihat dari ruang tamu, semuanya bersih. Sepi dan sunyi. Sepertinya dia tinggal sendirian.
"Bantu kami ... Kamu harus berhati-hati ... Dia mengincarmu ... "
Dia ... maksudmu Darwin? Darwin mengincarku? Apa yang dia inginkan dariku? Tubuhku mulai gemetar hebat. Sekarang, William harus bisa membawa Darwin ke suatu tempat.
"Bisa kamu tunjukkan alat seperti apa untuk berburu? Aku ingin tahu semuanya darimu, karena aku yakin kamu hebat sekali," pinta William seakan bisa membaca pikiranku.
"Tentu, ikut aku," ajak Darwin.
Saat mereka ingin bergerak, aku bertanya pada Darwin. "Tuan South, di mana kamar mandi?" Itulah yang bisa kupikirkan sekarang.
"Akan kuantar."
"Tidak. Tidak perlu. Cukup bilang saja arahnya." Trik baru untuk menculik diam-diam? Kamu salah besar, Darwin.
"Di sebelah dapur, dekat tangga ruang bawah tanahku. Berhati-hatilah."
Berhati-hati? Apa dia memasang perangkap? Lupakan itu. Mereka berdua sekarang sudah menghilang dari hadapanku. Ini saatnya aku pergi ke ruang bawah tanah sambil membawa kamera.
Aku sudah menyiapkan kamera dari tadi. Waktunya merekam semuanya.
"Sekarang aku berada di rumah Darwin South. Dia adalah pria yang menculik gadis dan juga pembunuh. Aku bisa membuktikan semuanya. Yang kalian butuhkan hanyalah melihat ruang bawah tanahnya."
Saat aku memegang knop pintu, tanganku gemetar. Hawa dingin datang dan suara-suara pun terdengar.
Astaga, bau sekali. Bau darahnya menyengat. Aku ingin mual.
Ruang bawah tanahnya sangat gelap. Saat aku nyalakan lampu, alangkah terkejutnya aku. Mimpiku dengan kejadian asli hampir sama. Yang membedakannya adalah dimimpiku tidak begitu seram, sedangkan aslinya ... Aku tidak ingin mengatakan itu lagi. Kakiku rasanya lemas. Aku sungguh tidak berdaya.
"Nona Scott?"
Oh tidak. Darwin datang tanpa bersama William. Apa dia sudah melakukan sesuatu? Dan sekarang dia ingin menghabisiku? Kapak berdarah berada ditangannya dan aku tidak bisa apa-apa selain jalan mundur.
"Di mana William? Apa yang kamu lakukan padanya?"
"Seharus aku yang bertanya. Apa yang kamu lakukan di sini, Nona Scott? Merekam semuanya?"
Dia terlihat seperti Iblis.
"Bantu kami ... Bantu kami ... "
Aku tidak tahu harus bagaimana sekarang. Aku ketahuan. Matilah aku. Sial, pakai acara terjatuh. Jatuh di atas jasad yang sudah bau. Tubuhku penuh dengan darah sekarang.
"Aku tidak akan membiarkanmu pergi. Sebenarnya, aku sudah mengincarmu. Di saat pertama kali kita bertemu, kamu membuatku ingin menculikmu langsung. Tapi kamu terlihat jijik padaku," ujarnya mencoba memegang daguku.
"Jangan sentuh!" Aku pukul tangannya.
William, datanglah. Darwin sudah mulai mengangkat kapaknya. Aku minta maaf ibu.
Suara keras terdengar sangat jelas. Kapak yang dipegang Darwin terjatuh, begitu juga Darwin.
William memukul kepala Darwin menggunakan panci. Akhirnya aku bisa bernapas lega. Jika dia tidak datang, semuanya berakhir buruk.
"Bangun." Dia menarik tanganku menjauh dari jasad para gadis. "Rekam semuanya. Aku akan mengikat Darwin untuk jaga-jaga, jika dia terbangun. Setelah itu, telpon polisi."
***
Ini adalah kasus yang paling buruk. Ibu pasti akan marah padaku. Ucapan William kemarin malam, semoga tidak terjadi. Ibu bukan tipe orang yang mengurung anaknya sendiri.
"Permisi! Saya ingin bertemu anak saya."
Itu suara ibu, tapi ditahan oleh beberapa polisi. Tanpa basa basi, aku langsung memeluknya erat.
"Kamu baik-baik saja? Ada yang luka? Apa yang terjadi? Ibu melihatmu ada ditelevisi."
Tangan ibu sekarang berada di kedua pipiku. Aku tidak bisa berbicara, karena air mataku sudah turun sangat deras.
"Kamu melakukannya? Mencoba untuk mereka yang membutuhkan pertolongan?"
Aku hanya bisa mengangguk dan memeluknya lagi.
"Kamu sudah membaik, Zoe?"
Aku menoleh ke asal suara sambil melepas pelukan. "Lumayan," balasku pelan.
"Dia siapa?" tanya ibuku bingung. Wajah bingungnya membuatku ingin tertawa. Aku memang tidak pernah bercerita tentang murid kelas, yang selalu kuceritakan hanyalah hantu-hantu yang mengejar.
"Nama saya William Thunder. Teman kelas Zoe."
Teman kelas? Aku bahkan tidak ingat kapan kita jadi akrab.
"Kamu tidak pernah cerita, jika punya teman kelas." Ibu menatapku seperti menginginkan penjelasan.
"Itu tidak perlu dipikirkan. Yang harus dipikirkan sekarang aku ingin di rumah saja," balasku.
Setelah ini, aku tidak ingin ke mana-mana. Aku seperti trauma untuk mampir ke rumah tetangga.
Tempat tidur adalah tempat pertama yang kucari. Nyaman sekali rasanya merebahkan tubuh di atas tempat yang empuk. Pikiranku mulai reda saat ini. Ya, saat ini. Aku tidak tahu apa yang terjadi besok. Semoga tidak ada lagi yang datang.
Saat aku ingin menutup mata, tiba-tiba ibu datang ke kamar dan berjalan seperti orang yang panik. Aku yang melihat ibu juga menjadi panik.
"Temanmu, William, ada di depan rumah sekarang."
"Hah? Ada apa?"
"Dia mengajakmu makan malam," jawab ibu dengan senyuman miring. "Anak Ibu sudah mulai memiliki teman lelaki," godanya yang membuat wajahku memerah. "Datangi dia."
William tidak memberi kabar apa pun. Kenapa tiba-tiba sekali? Tidak di sekolah, tidak di rumah, sama saja. Dasar pengganggu.
"Ada apa?" tanyaku sambil menaruh kedua tangan dipinggul.
"Hanya ingin mengajak makan malam di rumah orang tuaku. Keberatan?" Wajahnya terlihat malu.
Ini bukan William yang kukenal. Entah kenapa aku merasa jijik melihatnya seperti ini. Tapi aku juga tidak bisa menolak, jika yang mengajak makan malam adalah orang tuanya. Dan makanan gratis.
"Kenapa tidak mengabariku?"
"Jika aku punya nomor ponselmu, aku akan menelponmu."
Oh ya, dia memang tidak memiliki nomor ponselku. Aku juga tidak punya. Itu juga karena dia selalu mengganggu, jadi aku selalu emosi padanya. Salah satu cara untuk hidup tenang hanyalah menjauh. Jangan bilang dia datang ingin menjadi pemburu gadis kedua. Dia bilang sendiri, jika suka berburu. Mengingat caranya sandiwara tadi pagi membuatku tertawa sambil menggeleng kepala.
Sampai di kamar, aku dikejutkan oleh lima arwah gadis. Tidak mungkin, jika mereka ingin meminta bantuanku lagi.
"Terima kasih telah menolong kami. Kami bisa hidup tenang sekarang."
Ternyata hanya berterima kasih. Aku sudah panik duluan.
"Sama-sama," balasku singkat sambil tersenyum.
Cahaya terang muncul di jendela kamarku. Mereka mulai pergi ke arah di mana mereka akan tinggali sekarang.
"Kamu dan teman lelakimu sangat cocok. Aku suka," ujar Olivia sambil tertawa pelan.
Maksudnya aku dan William? Tidak. Kami hanya cocok sebagai rekan. Jangan mengada-ngada kamu.
Walau pun aku- bukan, bukan aku tapi kami, mengalami situasi yang menegangkan tapi hasilnya membuat hati kami lega. Membantu hantu sama seperti membantu manusia. Melihat mereka tersenyum, aku juga tersenyum.
Setelah mengganti pakaian, aku menuruni tangga dan melihat William masih tersenyum dari tadi. Senyumannya bisa membunuh para gadis. Tunggu, aku juga gadis.
"Berangkat sekarang, Nona Elina Scott?" canda William sambil menjulurkan tangan kanan.
Aku tertawa teringat bagaimana sandiwara kami lagi. Sambil menggandeng tangannya, aku pun membalas.
"Ya, sekarang, Tuan George."
Seorang wanita berlari dari pria yang mengejar. Wanita itu terus berlari, walaupun pria itu sudah meneriaki nama."Sofia! Kenapa kamu lakukan ini padaku? Kenapa kita harus putus?"Wanita itu dengan berani membalikkan tubuh. "Kita tidak bisa melanjutkan hubungan ini lagi. Kita sudah selesai.""Apa maksud dari selesai ini adalah pria difoto ini?" Pria yang sudah dijadikan mantan pun mengeluarkan foto pria lain. "Apa benar dia tunanganmu?"Jika aku menjadi wanita itu, aku akan pindah planet. Berani sekali dia menipu pria kaya itu. Kaya iya, tampan iya, gagah iya, romantis juga iya."Iya, dia tunanganku. Dan sebentar lagi kita akan menikah," balas wanita itu dengan senyum licik.Tidak ada yang beres dengan wanita itu. Pasti ada sesuatu yang dia rencanakan."Kamu membohongiku? Kenapa? Hanya ingin hartaku?"
Aku membuka kedua mata dengan berat. Rasanya tidak ingin bangun, tapi sekolah harus tetap berlanjut.Tunggu, ini bukan kamarku. Aku di mana? Aku diculik? Aku melihat sekeliling kamar dan sungguh, ini bukan kamarku. Ini seperti kamar laki-laki.Terdapat foto di sana. Satu pria dan satu wanita. Aku baru sadar. Pria difoto ini adalah Nikki. Tampan, tapi mengingat dia pernah mencekik, membuatku tidak menyukainya.Biar kutebak, wanita ini pasti Anette. Tidak buruk juga. Pakaiannya sangat mewah dengan perhiasan serba berlian. Pasti dibelikan oleh Nikki."Kenapa begitu?"Eh? Suara orang? Kupikir hanya aku di sini. Kutaruh kembali foto itu dan keluar dari kamar.Aku bisa melihat ada tiga orang di bawah. Ya, aku di lantai dua. Salah satunya wanita dan aku yakin dia adalah Anette, lalu ada dua pria. Pasti salah satunya Nikki.
Saat turun dari taksi, aku terpukau dengan rumah Anette. Sangat bagus, tapi sayang, aura jahat terasa sekali. Nikki memang meneror Anette tanpa belas kasih."Kamu tinggal sendiri?" tanya William sambil menunggu Anette yang sedang membuka pintu."Orang tuaku tahu apa yang terjadi. Mereka lebih memilih meninggalkanku," jawab Anette dengan nada sedih."Tentu saja, mereka pasti kecewa berat- Aw!"Sekali lagi, kusikut perut William. Tidak peduli dia meringis kesakitan. Dia tidak mengerti perasaan wanita sama sekali."Kalian tunggu di sini saja. Kalau mau minum atau makan, ambil saja di dapur. Aku ingin mengumpulkan semua barang Nikki," pesan Anette langsung meninggalkan kami berdua.Aku mengikuti William ke dapur untuk melihat seisi rumah, sedangkan William dengan santai mengambil makanan di kulkas."Menurutmu, apa Nikki akan memaafkan Anette semudah itu, walaupun Ane
Hari baru, wajah baru. Karena kesulitan tidur, wajah ini terlihat buruk. Mata seperti mata panda. Rasanya ingin kupecahkan kaca di depan."Zoe, kalau kamu nanti pulang sekolah, tapi rumah masih dikunci, kabari Ibu ya.""Hm? Memangnya Ibu mau ke mana?" tanyaku sambil menoleh pada ibu."Tante Grace mengajak Ibu ke rumah temannya yang baru saja menjadi pengantin baru. Keluarga Thompson. Mereka bingung bagaimana cara menaruh barang-barang yang nyaman dilihat. Nanti Ibu akan dijemput Tante Grace."Ugh ... Tante Grace yang menyebalkan. "Salam untuk Keluarga Thompson.""Kamu tidak ingin memberi salam pada Tante Grace?" tanya Ibu sambil memberiku bekal makan."Tante Grace tidak akan berubah. Aku berangkat dulu ya, Bu."Aku lupa memberi tahu, jika ibu mempunyai ahli, yaitu mendekorasi ruangan. Makanya, Tante Grace memanggil ibu. Semua dekorasi di rumah juga ibu yang mengu
"Kakak?"Huh? Kakak? Aku menoleh ke belakang. Di sana ada anak perempuan dengan wajah pucat dan pakaian yang basah. Dia terlihat seperti berumur 6 tahun."Kakak sedang apa di sini?" tanyanya dengan wajah polos.Aku mendekatinya, lalu jongkok supaya tinggi kami sama."Dan siapa mereka semua?""Ada ibuku, tanteku dan kedua orang tuamu," jawabku dengan santai.Dia memiringkan kepala seperti orang bigung. Lucu sekali. Aku jadi menginginkan seorang adik."Orang tuaku? Orang tuaku sudah pergi dan mereka tidak kembali. Mereka bukan orang tuaku. Aku tidak kenal mereka."Lantas, aku langsung bingung. Jika Keluarga Thompson bukan orang tuanya, lalu anak ini siapa? Kenapa bisa ada di sini?"Namaku Isabelle Brooks. Aku sudah berada di sini sebelum mereka datang."Brooks? Entah kenapa, aku seperti pernah dengar marga itu. Aku te
Saat turun dari taksi, aku terpukau dengan rumah Anette. Sangat bagus, tapi sayang, aura jahat terasa sekali. Nikki memang meneror Anette tanpa belas kasih."Kamu tinggal sendiri?" tanya William sambil menunggu Anette yang sedang membuka pintu."Orang tuaku tahu apa yang terjadi. Mereka lebih memilih meninggalkanku," jawab Anette dengan nada sedih."Tentu saja, mereka pasti kecewa berat- Aw!"Sekali lagi, kusikut perut William. Tidak peduli dia meringis kesakitan. Dia tidak mengerti perasaan wanita sama sekali."Kalian tunggu di sini saja. Kalau mau minum atau makan, ambil saja di dapur. Aku ingin mengumpulkan semua barang Nikki," pesan Anette langsung meninggalkan kami berdua.Aku mengikuti William ke dapur untuk melihat seisi rumah, sedangkan William dengan santai mengambil makanan di kulkas."Menurutmu, apa Nikki akan memaafkan Anette semudah itu, walaupun Ane
Setelah kejadian kemarin, David sudah merasa tenang dan ceria. Beban akan rasa bersalahnya sudah menghilang. Dia selalu pergi dan pulang sekolah bersama teman sekelas."Mendengar ceritamu kemarin, aku jadi tidak ingin membiarkan adikku sendirian." William membuka suara, ketika aku sudah tidak memperhatikan David lagi."Itu sudah pasti. Aku jadi ingin memiliki adik," ujarku sambil tersenyum."Wildan bisa menjadi adikmu," balas William membuatku menoleh dan bersorak bahagia.Kelas yang biasa kami tempati sekarang harus ditutup untuk sementara. Guru bilang, kelas kami sedang dipakai untuk urusan penting. Entahlah, aku tidak terlalu memikirkan itu. Jadi, kami harus pindah ke lantai tiga untuk bergabung dengan kelas lain. Untung pelajarannya sama."Rasanya seperti menjadi murid baru, ya?" tanya William sambil terkekeh. "Aku tidak pernah ke lantai tiga sebelumnya. Untuk apa ke sana? Pemandangannya ju
"Kamu pegang ponselku, biar aku yang pegang kameramu."Aku sengaja memberikan ponsel pada Karen. Kalau William memberi kabar, dia yang membaca."Entah kenapa aku tidak yakin, Zoe." William menggelengkan kepala berkali-kali. Dia memang tidak mengatakan setuju tadi, tapi dia tidak bisa meninggalkanku sendirian. Ma-maksudku, aku juga butuh lelaki untuk pelindung."Ini tidak berbahaya. Kamu cukup menjadi pengawas saja," balasku mulai masuk bersama Karen. "Kami tidak akan lama."Aku mulai mengatur napas untuk menenangkan diri. Di sebalah, ada Karen yang menggandeng lengan kiriku. Kamera berada ditangan kananku, supaya dia bisa melihat juga."Dingin, ya?" tanya Karen sambil melihat ke arah lampu."Kamu juga merasakannya?" tanyaku balik, tanpa menjawab karena sudah terbiasa."Kadang-kadang," jawabnya singkat.Aku dan Karen sudah berdiri di depan kamar ma