Segar rasanya setelah mandi, sikat gigi, cuci wajah, dan sekarang waktunya tidur. Wajah pantulanku di cermin ternyata cantik juga. Halo, namaku Zoe Veronica. Lama-lama aku gila ketika tertawa sendiri.
Tawaku seketika terhenti saat melihat uap di cermin. Aku sudah mematikan air panas dari tadi. Anehnya, uap di cermin itu menunjukkan sesuatu.
'DS adalah Darwin South'
Bagus. Jadi huruf yang kutulis di kertas tadi adalah inisial si pembunuh.
Bagaimana uap itu bisa memberikku petunjuk, jika aku tidak merasakan hawa dingin? Lupakan itu, setidaknya sudah dapat tambahan informasi.
Saat aku ingin membuka pintu kamar mandi, terdengar ada suara langkah kaki berat. Ibu? Tidak mungkin. Ibu tidak mengijinkan orang memakai sepatu di dalam rumah. Sepatu itu terdengar seperti sepatu boots.
Rasa takut pun muncul, setelah tidak mendengar suara langkah kaki. Aku lari saja ke kamar, tapi kalau ketahuan bisa gawat. Tidak peduli.
Aku mulai membuka pintu. Alangkah terkejutku, ternyata si pembunuh, Darwin South, di depanku sambil mengayun kapak berdarah ditangannya.
"Astaga!" Aku terbangun dengan napas tidak beraturan.
Itu mimpi terburuk. Mati di tangan pembunuh bukanlah yang kuinginkan. Untung saja aku bangun dengan cepat. Aku tidak tahu, jika aku mati dimimpi, apa aku masih bisa hidup di dunia nyata?
Jam menunjukkan jam 22:28. Sudah tengah Malam. Ingin tidur lagi, tidak bisa. Pikiranku kacau sekarang. Aku ingin kembali ke rumah merah itu.
Ibu pasti sudah tertidur. Kuambil jaket dan syal. Hanya sebentar saja, tidak lama. Maaf ibu, jika aku keluar diam-diam.
Suasana malam sangat sepi, tapi masih ada beberapa orang yang sedang mampir untuk makan atau membeli sesuatu. Padahal, jalanan sudah dipasang lampu, tapi masih terlihat menyeramkan.
Entah kenapa rasanya risih, seperti ada yang mengikutiku di belakang. Jangan bilang itu Darwin.
Berani mengikuti? Dikira aku tidak membawa sesuatu ditas kecil. Aku memang tidak membawa senjata, tapi spray kecil ini mampu melukai mata.
Sekarang saatnya berbalik dan menyemprot spray ini. "Ha!"
Pria itu berteriak kepedihan. Bagus, Zoe! Tepat sasaran.
"Apa yang kamu lakukan, bodoh?!"
"Bodoh? Siapa kamu? Kamu penculik, ya? Kamu tadi mengikutiku dari belakang." Kamu melawan, aku bertindak. Spray ini tidak akan lepas dari tangan.
"Arah jalan pulangku memang lewat sini." Dia membela diri sambil mengelap kedua mata.
"Alasan klasik! Aku tidak percaya!"
"Baiklah, sebutkan namamu. Mungkin saja aku mengenalimu."
"Setelah kamu mengikuti, kamu ingin tahu namaku? Trik penculikan macam apa ini?"
"Aku bukan penculik! Namaku William Thunder!"
William? William si pengganggu di kelas? Ups, sepertinya salah sasaran.
Aku tadinya ingin minta maaf, tapi seorang pria keluar dari rumahnya dengan kapak berdarah. Ternyata yang keluar adalah Darwin. Uh oh, dia dan kapaknya sangat mirip seperti dimimpi.
"Nona Scott? Anda tidak apa-apa? Lelaki itu ingin menculikmu? Biar kubunuh saja dia."
"Tidak! Tunggu!" Aku menghalanginya. Ini tidak bisa terjadi.
"Dia ingin melakukan apa? Aku tidak bisa melihat." Kasihan William. Kali ini aku merasa kasihan, karena kesalahanku sendiri. Padahal, dia tidak pernah minta maaf sekali pun.
"Tadi anda berteriak." Darwin mulai berbicara.
"Ya, tadi aku teriak karena salah paham. Dia temanku. Jadi, santai saja, Tuan South," pintaku sedikit gemetar. Aku melihat wajahnya, lalu kapak tidak berhenti. "Kapak itu ... berdarah?"
"Apa? Dia memegang kapak?" tanya William mulai panik.
"Saya sedang memotong daging. Saat kita bertemu tadi, saya baru saja pulang dari berburu. Berburu adalah hal yang saya sukai."
Berburu para gadis maksudmu?
"Kalau begitu masuk saja dulu. Kasihan teman anda. Matanya akan rusak, jika dibiarkan."
Trik pertama yang terulang. Berpura-pura menawarkan diri, huh?
"Sepertinya, pria itu benar. Kamu tidak akan membiarkan mataku ini buta, 'kan?"
Oh, tidak. Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi. Bagaimana jika kita berdua terperangkap? Tidak, aku bahkan belum minta ijin pada ibu tadi.
"Kami ingin pulang sekarang dan rumahnya juga tidak jauh dari sini. Kami permisi." Aku membawa William kabur dari Darwin.
Entah Darwin merasa curiga atau tidak, tapi tampangnya terlihat biasa saja.
Dan sekarang, aku sedang menunggu William keluar dari kamar mandi. Untung ada restoran yang masih buka.
Kueratkan jaket dan syal. Kali ini bukan karena hawa dingin, tapi aku masih ketakutan melihat kapak berdarah tadi.
Alasan berburu? Ya, pasti gadis yang dia buru. Aku teringat berita empat gadis menghilang secara misterius. Bisa jadi dia pelakunya. Tepat di Jalan Dandelion. Dia membunuh gadis itu dengan kapak. Astaga ...
Aku mengusap wajah berkali-kali sampai meniup kedua tangan.
Aku butuh informasi lagi, harus tahu siapa saja gadis yang menghilang. Aku juga harus melihat wajah para hantu gadis itu. Sayangnya, mereka muncul hanya sebentar.
"Spray-mu membuat mataku merah. Jika besok aku buta, ganti mataku dengan matamu." William baru saja sampai di hadapanku.
Biasanya, aku merasa kesal jika bersamanya, kali ini rasa kasihanku lebih besar. Spray yang kupegang tadi, kuberikan padanya.
"Maaf, pikiranku sedang kacau tadi. Jika kamu tidak terima dengan perilakuku, kamu bisa balas seperti tadi."
Dia menatap dengan salah satu alisnya yang terangkat. "Serius? Kamu berpikir sangat dangkal."
Balasan macam apa itu? Kenapa dia jadi menghinaku?
"Lain kali jangan diulang. Memangnya ada apa dengan isi kepalamu itu? Biasanya juga kosong."
Aku tarik permintaan maaf. Sudah kubantu, masih saja gaya menyebalkannya muncul.
"Bukan urusanmu."
"Malam hari seperti ini kamu keluar sendirian? Sudah tahu ada berita penculikan. Jika ibumu tahu, mungkin dia akan mengurungmu selamanya."
"Tidak sampai seperti itu. Kamu juga pulang larut."
"Aku pulang dari rumah teman. Lagipula, penculik itu tidak akan menculik lelaki, 'kan? Garis bawahi. Penculik hanya menculik para gadis. Untung kita berdua bertemu. Kalau tidak-"
"Ya, ya, aku tahu." Cerewetnya tidak bisa diatur.
Saat aku minum pesanan, dia menatapku terus menerus. Serius? Sepertinya dia juga ingin menjadi pembunuh.
"Kamu tidak ingin beri tahu? Apa pikiran kacaumu sampai keluar malam, huh?"
Percuma. Jika aku jawab, dia pasti akan tertawa.
"Aku tidak akan tertawa," ujarnya seakan membaca pikiranku.
Aku menghela napas pasrah. Mau diam atau tidak, di kelas tetap saja dianggap gila. Lebih baik kuberi tahu saja. Aku menceritakan semua mimpi dan apa yang kulakukan. Dan itu berakhir dengan senyuman miringnya.
"Aku tahu senyuman itu. Wajahmu memang sulit dipercaya," kesalku.
"Jika itu permasalahannya, itu memang bukan urusanku." Kalimat itu rasanya ingin kuhilangkan dari dunia. "Sepertinya masalah duniamu itu sangat buruk sekali."
"Coba gunakan logika. Hari ini ada berita tentang penculikan empat gadis sekaligus, dan aku didatangi para hantu gadis dimimpi yang selalu meminta bantuan."
"Sudah tahu siapa si pembunuh?"
Aku memang tidak menceritakan semuanya. Masalahku itu tidak penting baginya.
"Pria yang memegang kapak itu adalah si pembunuh." Aku tidak bisa menahan lagi. Aku butuh seseorang yang bisa membantu. Mau atau tidak.
Setelah mendengar jawaban, William langsung menyemprotkan minuman yang baru dia sedot padaku. Baiklah, anggap ini sebagai balasan tadi.
"Pria yang memegang kapak itu adalah pembunuh?!" tanyanya sambil teriak.
Aku langsung menutup mulutnya. "Pelankan suaramu. Itu hanya tebakanku saja. Aku masih belum menemukan bukti kuat."
"Tadi aku mendengar dia memanggilmu Nona Scott. Kamu menyamar?"
"Tentu saja. Tidak mungkin aku berikan nama asli. Kamu ingin aku besok-"
"Kenapa tidak?"
Tawanya membuatku sungguh emosi. Aku serius. Biarkan saja dia tertawa, aku terdiam menatapnya.
"Baiklah, itu tidak lucu. Maaf."
Maaf? Wow, seorang William Thunder meminta maaf padaku.
"Jadi bukti kuat apa yang harus kita dapatkan?"
"Bukti kuat seperti foto atau video. Kita harus tahu apa yang dia lakukan, ketika berada di rumah."
"Berarti kita harus masuk ke rumahnya?"
"Itulah satu-satunya cara. Jika kamu ada cara lain, katakan saja."
Dia terdiam sambil menatap jalanan di luar yang sepi. Dahinya mengerut, seperti sedang berpikir keras.
"Kamu bilang dia suka berburu. Aku punya rencana hebat. Kamu kenalkan aku padanya, lalu aku akan meminta caranya berburu. Pasti kami pergi bersama, dan rumah dalam keadaan kosong. Kamu masuk ke rumahnya, dan ambilah bukti yang banyak."
Sekarang aku yang terdiam. Rencananya terdengar bagus, tapi aku tidak ingin mengambil resiko. Entah dia tinggal sendiri atau tidak. Entah dia menyediakan perangkap atau tidak. Entah aku akan selamat atau tidak. Aku sungguh takut.
"Kamu sepertinya tidak suka. Kalau begitu, kamu saja yang ajak dia berburu ... "
Ucapannya membuatku menoleh cepat.
" ... Aku yang akan mengambil bukti."
"Tidak, Will. Kamu bahkan tidak bisa melihat hantu. Aku yang akan masuk ke rumahnya. Semoga saja berhasil."
Keputusanku sudah bulat. Hantu itu yang meminta pertolongan. Kuharap semuanya berjalan dengan lancar.
Hari ini adalah hari libur. Hari ini juga waktunya untuk mengakhiri Darwin South. Dia tidak bisa dibiarkan terus menerus. Aku sangat yakin, kemarin malam dia memburu gadis lain.Berita penculikan muncul pagi ini. Bukan tentang empat gadis lagi. Gadis ini bernama Olivia Paw.Mengingat kapak berdarah itu membuatku semakin takut. Aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada Olivia."Maaf, aku terlambat. Adikku sangat menyebalkan." William datang sambil berlari. Napasnya tidak beraturan. "Siap?""Ya, siap." Sejujurnya aku tidak siap. Hati, mulut dan pikiran tidak bisa bekerja sama.William sepertinya terlihat ... tidak siap juga. Senyumnya sangat kaku. Kantung matanya juga terlihat hitam. Sepertinya, dia tidak tidur.Bau rumah Darwin tercium sangat amis. Rasanya aku ingin mual. "Tekan belnya," suruhku pada William.Dia mengikuti apa yang kusuruh.
Seorang wanita berlari dari pria yang mengejar. Wanita itu terus berlari, walaupun pria itu sudah meneriaki nama."Sofia! Kenapa kamu lakukan ini padaku? Kenapa kita harus putus?"Wanita itu dengan berani membalikkan tubuh. "Kita tidak bisa melanjutkan hubungan ini lagi. Kita sudah selesai.""Apa maksud dari selesai ini adalah pria difoto ini?" Pria yang sudah dijadikan mantan pun mengeluarkan foto pria lain. "Apa benar dia tunanganmu?"Jika aku menjadi wanita itu, aku akan pindah planet. Berani sekali dia menipu pria kaya itu. Kaya iya, tampan iya, gagah iya, romantis juga iya."Iya, dia tunanganku. Dan sebentar lagi kita akan menikah," balas wanita itu dengan senyum licik.Tidak ada yang beres dengan wanita itu. Pasti ada sesuatu yang dia rencanakan."Kamu membohongiku? Kenapa? Hanya ingin hartaku?"
Aku membuka kedua mata dengan berat. Rasanya tidak ingin bangun, tapi sekolah harus tetap berlanjut.Tunggu, ini bukan kamarku. Aku di mana? Aku diculik? Aku melihat sekeliling kamar dan sungguh, ini bukan kamarku. Ini seperti kamar laki-laki.Terdapat foto di sana. Satu pria dan satu wanita. Aku baru sadar. Pria difoto ini adalah Nikki. Tampan, tapi mengingat dia pernah mencekik, membuatku tidak menyukainya.Biar kutebak, wanita ini pasti Anette. Tidak buruk juga. Pakaiannya sangat mewah dengan perhiasan serba berlian. Pasti dibelikan oleh Nikki."Kenapa begitu?"Eh? Suara orang? Kupikir hanya aku di sini. Kutaruh kembali foto itu dan keluar dari kamar.Aku bisa melihat ada tiga orang di bawah. Ya, aku di lantai dua. Salah satunya wanita dan aku yakin dia adalah Anette, lalu ada dua pria. Pasti salah satunya Nikki.
Saat turun dari taksi, aku terpukau dengan rumah Anette. Sangat bagus, tapi sayang, aura jahat terasa sekali. Nikki memang meneror Anette tanpa belas kasih."Kamu tinggal sendiri?" tanya William sambil menunggu Anette yang sedang membuka pintu."Orang tuaku tahu apa yang terjadi. Mereka lebih memilih meninggalkanku," jawab Anette dengan nada sedih."Tentu saja, mereka pasti kecewa berat- Aw!"Sekali lagi, kusikut perut William. Tidak peduli dia meringis kesakitan. Dia tidak mengerti perasaan wanita sama sekali."Kalian tunggu di sini saja. Kalau mau minum atau makan, ambil saja di dapur. Aku ingin mengumpulkan semua barang Nikki," pesan Anette langsung meninggalkan kami berdua.Aku mengikuti William ke dapur untuk melihat seisi rumah, sedangkan William dengan santai mengambil makanan di kulkas."Menurutmu, apa Nikki akan memaafkan Anette semudah itu, walaupun Ane
Hari baru, wajah baru. Karena kesulitan tidur, wajah ini terlihat buruk. Mata seperti mata panda. Rasanya ingin kupecahkan kaca di depan."Zoe, kalau kamu nanti pulang sekolah, tapi rumah masih dikunci, kabari Ibu ya.""Hm? Memangnya Ibu mau ke mana?" tanyaku sambil menoleh pada ibu."Tante Grace mengajak Ibu ke rumah temannya yang baru saja menjadi pengantin baru. Keluarga Thompson. Mereka bingung bagaimana cara menaruh barang-barang yang nyaman dilihat. Nanti Ibu akan dijemput Tante Grace."Ugh ... Tante Grace yang menyebalkan. "Salam untuk Keluarga Thompson.""Kamu tidak ingin memberi salam pada Tante Grace?" tanya Ibu sambil memberiku bekal makan."Tante Grace tidak akan berubah. Aku berangkat dulu ya, Bu."Aku lupa memberi tahu, jika ibu mempunyai ahli, yaitu mendekorasi ruangan. Makanya, Tante Grace memanggil ibu. Semua dekorasi di rumah juga ibu yang mengu
"Kakak?"Huh? Kakak? Aku menoleh ke belakang. Di sana ada anak perempuan dengan wajah pucat dan pakaian yang basah. Dia terlihat seperti berumur 6 tahun."Kakak sedang apa di sini?" tanyanya dengan wajah polos.Aku mendekatinya, lalu jongkok supaya tinggi kami sama."Dan siapa mereka semua?""Ada ibuku, tanteku dan kedua orang tuamu," jawabku dengan santai.Dia memiringkan kepala seperti orang bigung. Lucu sekali. Aku jadi menginginkan seorang adik."Orang tuaku? Orang tuaku sudah pergi dan mereka tidak kembali. Mereka bukan orang tuaku. Aku tidak kenal mereka."Lantas, aku langsung bingung. Jika Keluarga Thompson bukan orang tuanya, lalu anak ini siapa? Kenapa bisa ada di sini?"Namaku Isabelle Brooks. Aku sudah berada di sini sebelum mereka datang."Brooks? Entah kenapa, aku seperti pernah dengar marga itu. Aku te
Saat turun dari taksi, aku terpukau dengan rumah Anette. Sangat bagus, tapi sayang, aura jahat terasa sekali. Nikki memang meneror Anette tanpa belas kasih."Kamu tinggal sendiri?" tanya William sambil menunggu Anette yang sedang membuka pintu."Orang tuaku tahu apa yang terjadi. Mereka lebih memilih meninggalkanku," jawab Anette dengan nada sedih."Tentu saja, mereka pasti kecewa berat- Aw!"Sekali lagi, kusikut perut William. Tidak peduli dia meringis kesakitan. Dia tidak mengerti perasaan wanita sama sekali."Kalian tunggu di sini saja. Kalau mau minum atau makan, ambil saja di dapur. Aku ingin mengumpulkan semua barang Nikki," pesan Anette langsung meninggalkan kami berdua.Aku mengikuti William ke dapur untuk melihat seisi rumah, sedangkan William dengan santai mengambil makanan di kulkas."Menurutmu, apa Nikki akan memaafkan Anette semudah itu, walaupun Ane
Setelah kejadian kemarin, David sudah merasa tenang dan ceria. Beban akan rasa bersalahnya sudah menghilang. Dia selalu pergi dan pulang sekolah bersama teman sekelas."Mendengar ceritamu kemarin, aku jadi tidak ingin membiarkan adikku sendirian." William membuka suara, ketika aku sudah tidak memperhatikan David lagi."Itu sudah pasti. Aku jadi ingin memiliki adik," ujarku sambil tersenyum."Wildan bisa menjadi adikmu," balas William membuatku menoleh dan bersorak bahagia.Kelas yang biasa kami tempati sekarang harus ditutup untuk sementara. Guru bilang, kelas kami sedang dipakai untuk urusan penting. Entahlah, aku tidak terlalu memikirkan itu. Jadi, kami harus pindah ke lantai tiga untuk bergabung dengan kelas lain. Untung pelajarannya sama."Rasanya seperti menjadi murid baru, ya?" tanya William sambil terkekeh. "Aku tidak pernah ke lantai tiga sebelumnya. Untuk apa ke sana? Pemandangannya ju