Kami berempat telah berkumpul di meja makan, kecuali Maddie. Sudah hampir dua jam Maddie tidak keluar dari kamar.
"Maddie belum bangun?" tanya ibu yang mulai khawatir. "Apa sakitnya semakin parah? Kita bawa saja ke rumah sakit," ajaknya ingin sekali pergi ke kamar.
Andrew berdeham, lalu menjawab, "Sebenarnya ... dia sudah pergi ke rumah orang tuanya kemarin malam. Ayahnya tiba-tiba sakit, jadi tengah malam dia membangunkanku untuk minta diantar."
Sedari tadi, aku melihat wajah Andrew dan Vinny yang ketakutan, seperti menyimpan suatu rahasia.
"Kenapa tiba-tiba sekali? Lalu bagaimana dengan dekorasinya?" tanya ibu yang terkejut.
"Aku ... juga sudah bilang itu, tapi dia bilang itu bisa diurus nanti," jawab Andrew lagi.
Ini sungguh tidak beres. Tidak masuk akal. "Oh ya, dia meninggalkan pesan." Dia pergi ke kamar untuk mengambil uang tebal. Uang itu dia taruh di depan ibu.
Bagus sekali. Kedua makhluk itu masih tidur di pagi hari, jadi ibu bisa pergi ke kantor polisi tanpa sepengetahuan mereka.Sedangkan aku, di sini sedang menonton televisi sambil menahan hawa dingin yang datang."Aku minta maaf atas apa yang kulakukan di kamar mandi saat itu." Maddie terduduk di sebelahku sambil ikut menonton televisi."Karena saat itu Andrew menginginkanmu pergi, aku tidak ingin hal itu terjadi. Tapi di sisi lain, aku juga marah karena tidak diberitahu.""Aku juga minta maaf, karena tidak memberitahumu. Saat itu, aku ingin mencari bukti terlebih dahulu. Jika aku langsung mengatakannya padamu tanpa bukti, sama saja dianggap penuduh. Aku tidak tahu, jika kondisimu sampai seperti ini ...,' balasku sambil menoleh padanya. "Tapi tenang saja, ibuku sedang pergi ke kantor polisi. Semua rahasia di rumahmu ini akan terbongkar," lanjutku meyakinkan."Aku akan membantu, jika kamu membutuhkanku," balasnya singkat. Dia menoleh padaku sambil tersenyu
"Oh, begitukah? Wah, pasti asik sekali menjadi Kakak.""Tidak begitu asik. Aku bukan orang yang suka diberi pujian, apalagi berlebihan."Aku sedang berbincang dengan Vinny tentang bagaimana aku di sekolah. Dari masih diganggu, sampai banyak murid bahkan guru dan staff memberi pujian setelah aku masuk televisi.Sambil membawa keranjang baju yang baru kusterika ke kamar, aku menjawab pertanyaan banyak Vinny yang sedari tadi tertarik dengan kehidupanku.Bukan ingin tertawa, tapi mengingat sikapnya kemarin ... sudahlah. Lupakan masa lalu."Lalu, lalu, apa Kak William itu tampan?"Aku terkekeh saat menaruh keranjang baju. "Dimata seluruh gadis begitu. Tapi bagiku, biasa saja," jawabku sambil mengambil sebagian baju untuk dimasukkan dalam lemari."Aku jadi ingin bertemu dengannya," tukas Vinny. Entah kenapa, aku merasa tidak ingin membiarkannya bertemu pada William.
Sesuai dengan ucapanku kemarin malam, aku sudah berada di depan Ussy Delrey yang menatapku bingung."Maaf, apa kita pernah bertemu sebelumnya?"Aku melihatnya ... seperti bukan pembunuh. Johan memberiku petunjuk, yaitu wanita rambut pendek warna hitam, sedangkan Ussy rambut panjang warna cokelat.Tidak bisa mendekat padanya karena ada lapisan kaca dengan beberapa lubang, jadi aku memintanya untuk ikut mendekat."Aku tahu kamu tidak bersalah. Kamu bukanlah pembunuh."Mendengar ucapanku, dia terlihat sangat senang. "Akhirnya! Akhirnya ada yang percaya! Sungguh, bukan aku yang melakukannya. Aku dijebak!""Aku tahu itu. Sekarang, aku butuh beberapa jawaban." Aku mengeluarkan secarik kertas dengan beberapa pertanyaan yang sudah kubuat kemarin malam."Aku membaca artikel tentang dirimu. Kamu tinggal bersama tiga teman perempuan. Apa di antara mereka, kamu pernah membua
Aku memang menerima ajakan Jordan dengan berani, tapi melihat ada tiga polisi di depan rumah TKP, membuat nyali menciut. Tidak yakin, jika ini akan berhasil."Apa kita tetap melanjutkan ini?" tanyaku pada Jordan yang masih mengemudi."Sudah sejauh ini kamu ingin mundur?" tanyanya balik."Kamu tidak lihat? Ada tiga polisi di depan rumah yang masih terjaga. Dan kamu ingin membawaku ke mana? Rumahnya sudah terlewat jauh." Aku mengeluarkan ponsel untuk bersiap menelpon polisi, jika dia macam-macam."Kamu pikir, kita masuk melalui pintu depan?" tanyanya lagi dengan senyuman miring.Tetap saja. Mau lewat depan atau belakang, jika ketahuan bisa gawat. Lihat saja nanti, jika sungguh kita tertangkap, aku orang pertama yang akan menunjuknya. Tentu saja, hanya ada aku seorang.Dia menghentikan mobil tepat di belakang rumah.Ada jendela yang terbuka sedikit di balkon. Bisa k
Kemarin malam, Jordan merasa bersalah. Hari ini, aku juga ikut merasa bersalah.Dari setiap kasus yang kujalani, aku selalu mendapat pelaku dengan keadaan hidup. Pelaku kali ini sudah ditemukan tewas, rasanya ... dari semua yang kulakukan itu sia-sia. Aku tidak tahu, jika pernyataanku ini bisa membebaskan Ussy atau tidak.Ussy sudah percaya, jika aku akan membebaskannya.Seperti apa yang kukatakan kemarin, menyerahkan diri untuk diintrogasi. Syukurlah, polisi yang kutemui adalah polisi yang pernah bertemu denganku.Namanya Opsir Justin Clark. Sudah berkali-kali aku bertemu dengannya, baru kali ini aku tahu namanya."Senang bertemu lagi denganmu. Aku yakin, kedatanganmu hanya ingin memberi informasi," ujarnya sambil tersenyum. Dia duduk di depanku dengan santai.Dari apa yang kulihat dan kulalui, kuceritakan semua padanya secara langsung dan lengkap.Dia hanya ber
Ada satu kelemahan yang dimiliki oleh beberapa anak indigo. Salah satunya adalah rumah sakit, tempat di mana ada beberapa juta manusia yang sudah berubah menjadi mayat.Dan hari ini, aku diajak paksa oleh Willam untuk menjenguk teman kelas yang sedang dirawat."Titip saja salamku, ya? Aku bukannya sombong dan bersikap pilih kasih, tapi kamu tahu bagaimana rumah sakit itu."Aku sedang berusaha untuk menolak ajakan William melalui ponsel.Vinny yang hanya membaca buku di ranjang, hanya melihatku bingung."Sebentar saja. Datang, memberi parsel, berbicara sedikit, lalu pulang.""Tapi, nanti tidak akan sesuai apa yang kamu katakan.""Zoe, satu kelas kita datang semua, hanya kamu yang tidak. Sekarang kita sedang mendiskusikan siapa saja yang ikut dan di hari apa saja mereka akan ikut. Periksalah grup kelas."Aku tidak tahu harus membalas apa lagi, langs
Kembali lagi di rumah sakit, bersama William. Bukan untuk menjenguk, tapi untuk mencari petunjuk."Jadi, kita mulai dari mana? Apa kamu ingin meraba-raba tubuh mayat lagi?"Kusenggol langsung perutnya, biarkan dia kesakitan. "Kemarin aku baru menyentuhnya untuk melihat petunjuk, lalu kamu datang tiba-tiba.""Habisnya, kamu sentuh dibagian perut. Aku jadi pikir, kamu sudah tidak menyukai manusia lagi. Kalau benar begitu, kamu bawa saja tubuhnya pul- Aw! Baiklah, ampun!"Kuakhiri ucapannya dengan cubitan diperut. Terlalu banyak bicara.Tadi, aku ingin berencana untuk masuk lagi ke ruang mayat, tapi tidak mungkin bisa lagi. Seseorang bisa curiga. Tidak ada rencana lain juga."Kasihan, Patricia. Pacarnya meninggal karena tidak bisa bernapas tiba-tiba. Apalagi, di hari Brian meninggal, hari itu adalah hari jadi mereka."Telingaku sangat tajam ketika seseorang mengatak
Pria bertubuh buncit, rambut beruban, pendek dan memiliki senyum seperti pria berhidung belang. Terdapat juga nama dipinn, Dokter Thomas.Aku melihatnya sedang menerima bungkusan cokelat yang entah isinya apa. Bungkusan itu dia dapat dari wanita yang duduk di depannya.Sampai sekarang, aku belum melihat wajah dari wanita tersebut. Jadi, aku tidak bisa memastikan, ibu Patricia yang mana yang bersalah."Kebakaran!""Hah?! Di mana?!"Aku melihat William yang sudah berada di kamarku tertawa dengan keras. Dia membangunkan dengan cara yang menyebalkan. Kulempar saja bantal."Hey, kita impas. Kemarin kamu membangunkanku lewat ponsel, sekarang aku membangunkanmu dengan caraku sendiri," candanya masih tertawa.Sialan. Ibu pasti membiarkan William masuk ke kamar, tidak ada Vinny pula."Aku belum ada rencana. Menurutmu, kita harus