Pria itu berhenti beberapa saat lamanya sebelum kemudian berbalik arah dan kembali ke tempat ia tadi datang.
Setelah memastikan Pejabat Yuan telah pergi, Qing Ning keluar dari persembunyian di balik pohon besar, tangan masih menggenggam erat Du Fei. Napasnya terengah-engah karena panik dan tegang. Tanpa mereka sadari, pria yang menguntit tadi telah menebarkan serbuk jejak yang halus dan tak terlihat di atas tanah. "Ibu, siapa orang itu?" tanya Du Fei, matanya yang besar penuh dengan keingintahuan dan sedikit ketakutan. Qing Ning menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sebelum menjawab, "Sepertinya bukan orang baik, Du Fei. Kita harus lebih berhati-hati mulai sekarang." Tiba-tiba, wajah Du Fei berubah serius. "Ibu, aku ingin belajar ilmu bela diri dan menjadi pendekar terkuat di dunia agar bisa melindungi Ibu!" serunya dengan semangat kekanak-kanakan yang menggemaskan. Namun, reaksi Qing Ning sungguh di luar dugaan. "Tidak boleh!" bentaknya tiba-tiba, suaranya bergetar penuh emosi. Wajahnya berubah merah padam, "selamanya kau tidak boleh menyentuh senjata!" Du Fei tersentak kaget, matanya seketika berkaca-kaca. Ia belum pernah melihat ibunya semarah ini. "Ibu," bisiknya lirih, suaranya bergetar menahan tangis. Melihat ketakutan di mata putranya, Qing Ning tersadar akan reaksinya yang berlebihan. Rasa bersalah seketika menyelimuti hatinya. Ia segera berlutut, memeluk Du Fei erat-erat. "Maafkan Ibu, Du Fei," bisiknya lembut, suaranya kini penuh penyesalan. "Ibu hanya menginginkan dirimu selamat. Pedang dan senjata sejenisnya ... mereka hanya akan mencelakakan dirimu." Du Fei hanya bisa mengangguk pelan, masih terisak dalam pelukan Qing Ning. Ia tak mengerti, namun percaya sepenuhnya pada sang Ibu. Qing Ning mengelus rambut Du Fei, berusaha menenangkan putranya sekaligus dirinya sendiri. Dalam hati, ia berdoa agar masa lalu yang telah ia tinggalkan tidak akan pernah menyusul dan menghancurkan kehidupan damai yang telah dibangun bersama Du Fei. Tanpa disadari oleh Qing Ning, setiap langkahnya meninggalkan jejak samar dari serbuk yang telah ditaburkan oleh Pejabat Yuan sebelumnya. Jejak-jejak ini, nyaris tak terlihat oleh mata telanjang, membentang seperti benang tak kasat mata menuju pondok mereka yang sederhana. Malam menyelimuti pondok kecil di tengah hutan, kegelapan merayap masuk melalui celah-celah jendela. Cahaya remang dari lilin yang bergoyang lembut menciptakan bayangan-bayangan yang menari di dinding kayu. Qing Ning, dengan perasaan gelisah menuntun Du Fei ke pembaringan. "Tidurlah, Du Fei!" Ia berbisik sambil menyelimuti tubuh mungil putranya. "Besok kita akan bangun pagi-pagi." Du Fei mengangguk patuh, matanya yang berat perlahan terpejam. Dalam hitungan detik, napasnya menjadi teratur, menandakan ia telah terlelap. Qing Ning, alih-alih segera tidur, terduduk di tepi ranjang. Firasat buruk, seperti awan gelap, menyelimuti hatinya. Wanita itu menoleh ke arah jendela, menatap rembulan yang bersinar terang di langit malam. Cahaya yang keperakan menerangi wajahnya yang cantik namun diliputi kekhawatiran. 'Kami tidak bisa tinggal di sini lebih lama,' batinnya dengan tekad yang kuat. 'Besok pagi-pagi sekali, aku harus mengajak Du Fei pergi dari sini. Kami harus mencari tempat tinggal baru, tempat yang lebih aman.' Meski hatinya berat memikirkan harus meninggalkan pondok yang telah menjadi rumah mereka selama bertahun-tahun, Qing Ning tahu ini adalah keputusan yang tepat. Keselamatan Du Fei adalah prioritas utamanya. Perlahan, rasa kantuk mulai menyergap. Qing Ning akhirnya menyerah pada kelelahan, berbaring di ranjangnya. Tak lama kemudian, ia pun terlelap. Keheningan malam tiba-tiba terpecah oleh suara langkah-langkah kaki yang mengendap-endap mendekati pekarangan pondok. Qing Ning, yang tidurnya selalu waspada, terbangun seketika. Jantungnya berdegup kencang, firasat buruk yang menghantuinya sejak sore kini terasa semakin nyata. Dengan gerakan cepat namun hati-hati agar tidak membangunkan Du Fei, Qing Ning bergegas keluar dari pondok. Udara malam yang dingin menyergap kulitnya, namun bukan itu yang membuatnya gemetar. Di hadapannya, berdiri Pejabat Yuan, kini ditemani oleh seorang pria berbaju serba hitam dengan wajah dicat putih seperti hantu, dan beberapa yang lain bersenjata pedang. "Nona, sungguh kita berjodoh hingga bisa bertemu kembali!" Pejabat Yuan menyeringai, matanya menjelajahi tubuh Qing Ning dengan tatapan yang membuat wanita itu ingin muntah. Menahan rasa jijik, Qing Ning berusaha tetap tenang. "Pejabat Yuan," ujarnya dengan nada sopan, "ada keperluan apakah malam-malam berkunjung ke pondok hamba yang reot ini?" Pejabat Yuan melangkah maju, senyumnya melebar. "Aku kasihan melihat wanita secantik dirimu hidup menderita seperti ini," ujarnya dengan nada yang dibuat-buat prihatin. "Terima kasih, tetapi saya sudah terbiasa seperti ini, Tuan Yuan," balas Qing Ning singkat, berusaha mengakhiri percakapan. Namun Pejabat Yuan tak menyerah. "Tidak bisa begitu, bunga mawar nan indah harusnya berada di kediamanku yang megah, tidak tinggal di hutan seperti ini!" sergahnya cepat. "Aku kemari berbaik hati ingin menjadikanmu istri keempatku, bagaimana?" Qing Ning merasakan amarah mulai membakar dadanya, namun ia berusaha mengendalikan diri. "Maaf, Tuan Yuan. Saya telah bersuami, dia sedang pergi berdagang. Sebentar lagi akan pulang. Sebaiknya Tuan segera kembali agar tak terjadi salah paham bila dia datang!" "Kau kira bisa membohongiku?" Pejabat Yuan mendesis, matanya menyipit berbahaya. "Aku tahu kau tidak bersuami, kalaupun ada, pasti suamimu pria tak berguna menyia-nyiakan istrinya yang cantik di hutan begini." "Dia mungkin bukan pria kaya raya, tetapi setidaknya dia suami yang setia," balas Qing Ning tajam, membuat telinga Pejabat Yuan memerah karena marah. "Nona, jangan membuat kesabaranku habis!" ancam Pejabat Yuan. "Aku melamarmu baik-baik, dan tidak mengharapkan penolakan. Jangan sampai membuatku kecewa!" Qing Ning berdiri tegap, matanya menatap Pejabat Yuan tanpa rasa takut. "Kalau aku menolak?" "Aku tetap akan membawamu ke kota untuk kujadikan pelacur di Wisma Bunga!" ancam Pejabat Yuan, nada suaranya mengintimidasi. Kali ini, Qing Ning tak lagi bisa menahan amarahnya. "Aku sama sekali tidak tertarik dengan pria mata keranjang sepertimu, menyalahgunakan jabatan dengan melecehkan kaum perempuan!" serunya lantang. "Enyahlah dari hadapanku!" "Kurang ajar!" Pejabat Yuan memaki, wajahnya merah padam karena murka. Ia mengibaskan tangan kanannya ke udara, memberi komando pada empat anak buahnya untuk mengepung Qing Ning. Qing Ning memasang kuda-kuda, matanya awas mengawasi setiap gerakan para penyerangnya. Meski sudah lama tak menggunakan ilmu silatnya, namun instingnya sebagai pendekar masih tajam. Dalam hati, ia berdoa agar Du Fei tetap tertidur dan tak menyaksikan pertarungan ini. Empat orang anak buah Pejabat Yuan melompat maju, berusaha menyergap Qing Ning dari dua sisi. Mereka mengira menangkap seorang perempuan yang tampak lemah lembut akan menjadi tugas yang sangat mudah. Namun, mereka sama sekali tak menduga apa yang akan terjadi selanjutnya. Dengan lincah, Qing Ning berkelit mundur. Gerakannya begitu cepat dan luwes, seolah ia menari di atas angin. Keempat penyerangnya terkesiap, terkejut oleh reaksi yang tak mereka duga. Namun, mereka segera pulih dari keterkejutan dan mengayunkan tangan masing-masing, berusaha menangkap Qing Ning dari depan. Qing Ning, dengan gesit, melekukkan punggungnya ke samping dan memutar ke belakang dalam satu gerakan mulus. Tangannya yang lincah bergerak cepat, menarik pedang dari sarung yang disandang salah satu penyerangnya. Bilah baja itu berkilau tertimpa cahaya bulan, seolah menyambut sentuhan tangan Qing Ning. Dengan gerakan yang indah, Qing Ning mengayunkan pedang itu. Ia menangkis, mengelak, dan membalas serangan dengan kecepatan yang sulit diikuti mata biasa. Hal ini membuat para penyerangnya kewalahan menghadapi kemampuannya yang jauh di atas mereka. Pejabat Yuan, dengan wajah merah padam karena amarah dan malu, menoleh kepada pria berbaju hitam yang sejak tadi hanya menyaksikan pertarungan di depan mereka. "Tuan Bian Fu," panggil Yuan dengan nada tak sabar, suaranya bergetar menahan murka. "Apakah Anda hanya akan diam saja? Anak buahku sepertinya kewalahan dan butuh bantuan." Bian Fu, sang Ketua Sekte Kelelawar, seolah tak mendengar pertanyaan Yuan. Matanya yang tajam terfokus pada setiap gerakan Qing Ning, mengamati dengan seksama setiap jurus yang dilancarkan wanita itu. "Jurus yang ia gunakan milik Perguruan Hoa San," gumam Bian Fu, lebih kepada dirinya sendiri. Matanya menyipit, seolah mencoba mengingat sesuatu dari masa lalu. "Tak salah lagi ... dia cucu Wu Xian!"Sementara itu, di satu sudut kota yang kumuh, jalanan berbatu menjadi arena bermain bagi sekelompok anak-anak. Tawa riang mereka memenuhi udara sore yang mulai mendingin. Mereka berlarian, memainkan permainan tangkap-tangkapan dan petak umpet di antara bangunan-bangunan tua.Kegembiraan mereka terhenti ketika mata mereka menangkap sosok seorang wanita berbaju lusuh yang duduk meringkuk di pojok jalan. Rambutnya acak-acakan, wajahnya kotor oleh debu jalanan. Tatapannya kosong menatap jauh ke depan, sesekali bibirnya bergerak-gerak seperti sedang berbicara dengan seseorang yang tak terlihat.Seorang anak laki-laki berbisik pada temannya, cukup keras untuk didengar. "Itu si orang gila. Ibuku bilang dia selalu mengaku-ngaku sebagai ratu.""Orang gila! Orang gila!" teriak anak-anak itu, mendekati wanita tersebut dengan rasa ingin tahu yang kejam khas anak-anak. "Hei, Nyonya Ratu, kenapa istanamu sekarang di pinggir jalan?"Mendengar ejekan itu, wanita tersebut—yang tak lain adalah Mei Ling
Di sana, bersandar pada tiang kayu kuil dengan gaya santai, berdiri seorang pria tampan dengan pakaian pejabat tinggi berwarna biru gelap. Wajahnya yang tampan dihiasi senyum jahil, matanya berbinar jenaka."Du Fei!" seru Da Ye tak percaya.Du Fei tertawa lagi, melangkah mendekat. "Masih rakus seperti biasa, Guru Da Ye. Dan Guru Chang Su, masih galak dan cerewet seperti dulu.""KAU!" Da Ye menunjuk Du Fei dengan jari berlumuran minyak ayam. "Jadi kau yang menaruh bulu ayam di hidungku! Dan kau juga yang menyiapkan semua ini?"Du Fei membungkuk hormat, meski matanya masih berbinar jahil. "Murid yang durhaka ini mohon ampun atas kelancangan mengerjai guru tercinta. Ya, akulah yang menyiapkan semua ini untuk kedua guruku yang telah berjasa membesarkanku."Tanpa peringatan, Da Ye melompat ke arah Du Fei dan memeluknya erat-erat. Tubuh kurusnya bergetar hebat, dan tanpa malu-malu, air mata mengalir di pipinya yang berdebu."Anak bodoh! Kupikir kau sudah lupa pada guru-guru tuamu ini!" isak
Di sebuah kuil tua yang terbengkalai, jauh dari keramaian kota, waktu seolah berjalan lebih lambat. Atap kuil yang sebagian telah runtuh membiarkan sinar matahari senja menerobos masuk, menciptakan berkas-berkas cahaya keemasan yang menyinari ruangan utama..Di atas meja altar yang sudah usang, seorang lelaki setengah baya dengan pakaian compang-camping tertidur pulas. Tubuhnya yang kurus namun berotot terbaring dengan posisi unik—kaki kanan menopang di atas paha kiri, sementara kedua tangannya dilipat di belakang kepala sebagai bantal. Jenggot tipisnya yang panjang dan tak terurus bergerak naik turun mengikuti ritme napasnya.Ia adalah Da Ye, ketua sekte pengemis Kaipang yang legendaris, pendekar yang namanya pernah ditakuti di seluruh dunia persilatan."Mmm... ayam goreng... kulitnya renyah... dagingnya empuk…." gumamnya dalam tidur, air liur menetes dari sudut bibirnya. "Tambah lagi... tambah..."Dengkurannya menggelegar memenuhi ruangan, kadang terdengar seperti gemuruh guruh di k
Setelah upacara penobatan selesai, Zhen Yi dengan jubah kebesarannya yang masih melekat di tubuh, berjalan menyusuri koridor istana menuju paviliun timur. Di depan sebuah pintu, dua dayang membungkuk dalam dan membuka pintu untuknya. Zhen Yi masuk ke dalam ruangan yang hanya diterangi beberapa lilin. Di atas ranjang besar dengan tirai sutra, seorang wanita terbaring lemah—Putri Qi Yue, wanita yang selama ini ia anggap sebagai ibunya.Zhen Yi melangkah mendekati ranjang. Qi Yue tampak jauh lebih kurus dari terakhir kali ia melihatnya. Kulitnya pucat, dan tatapan matanya kosong menatap langit-langit.Zhen Yi berlutut di samping ranjang dan dengan lembut menggenggam tangan Qi Yue."Ibu," bisiknya pelan.Qi Yue perlahan menoleh, matanya yang redup menatap Zhen Yi. Sebuah senyum lemah terbentuk di bibirnya yang pucat."Zhen... Yi…," suaranya tak keluar hanya bibir yang bergerak-gerak."Ibu, aku sudah mengetahui semuanya," ujar Zhen Yi dengan suara lembut. "Tentang kelahiranku, tentang ibu
Genderang perang ditabuh bertalu-talu. Raja Yu Ping mengangkat seruling saktinya tinggi-tinggi, memberikan sinyal. Seketika itu, pasukan Qi bergerak maju seperti gelombang tsunami. Di barisan terdepan, Du Fei melesat bagaikan kilat, Pedang Naga di tangannya memancarkan cahaya merah yang menerangi medan perang."SERANG!" teriak Yu Ping, suaranya menggelegar di atas teriakan ribuan prajurit.Di atas benteng, Ratu Mei Ling mulai merasakan getaran ketakutan. Pasukan Qi bergerak dengan formasi yang belum pernah ia lihat sebelumnya—sangat kuat dan mematikan."TAHAN MEREKA!" perintahnya pada Jenderal Wu Kang.Hujan panah kembali dilepaskan, namun kali ini Du Fei telah siap. Dengan satu ayunan Pedang Naga, ia menciptakan perisai energi raksasa yang melindungi sebagian besar pasukan Qi. Anak-anak panah berjatuhan tak berdaya sebelum mencapai target.Perang berkecamuk dengan dahsyat. Dinding benteng yang kokoh mulai retak di bawah gempuran pasukan Qi. Para pemanah Wu jatuh satu per satu, terken
Di istana negeri Wu, Ratu Mei Ling duduk dengan angkuh di singgasananya. Jubah kerajaan berwarna merah dan emas membalut tubuhnya, mahkota dengan ornamen burung phoenix bertengger di kepalanya. Aura kekuasaan menguar dari setiap gestur tubuhnya.Tiba-tiba, pintu aula utama terbuka lebar. Seorang prajurit dengan baju zirah rusak dan berlumuran darah tertatih-tatih masuk. Wajahnya pucat, matanya menampakkan ketakutan yang luar biasa."Yang Mulia!" serunya sambil menjatuhkan lututnya di depan Ratu. "Hamba membawa kabar dari medan perang."Ratu Mei Ling menegakkan tubuhnya. "Bicaralah cepat!""Kita... kita kalah telak, Yang Mulia," ucap prajurit itu dengan suara bergetar. "Panglima Lin, Jenderal Ya Ci, dan Komandan Cheng Zhuo telah gugur. Seluruh pasukan yang masih hidup ditawan. Hanya... hanya hamba yang berhasil meloloskan diri untuk membawa kabar ini."Wajah Ratu Mei Ling berubah merah padam. Tangannya mencengkeram lengan singgasana kuat-kuat."APA?!" Suaranya menggema di seluruh ruang