Pejabat Yuan, yang sudah kehilangan kesabarannya, mulai meledak . "Aku tak peduli dia cucu siapa!" bentaknya dengan nada arogan.
Matanya berkilat-kilat penuh nafsu dan kemarahan, "Bahkan seandainya dia cucu dewa langit pun, kalau aku menginginkannya, maka dia harus jadi milikku!" Tanpa menunggu diperintah dua kali, Bian Fu melompat ke arena pertarungan. Qing Ning yang baru saja berhasil memukul mundur empat penyerangnya, tiba-tiba merasakan bahaya yang jauh lebih besar mendekat. Ia berbalik tepat pada waktunya untuk melihat bayangan hitam melesat ke arahnya. "Nona Qing Ning, apa kabar?" sapa Bian Fu dengan senyuman licik yang membuat bulu kuduk Qing Ning meremang. Wajahnya yang dicat putih tampak menyeramkan di bawah cahaya bulan, seperti topeng iblis yang muncul dari kegelapan. Qing Ning merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak. Bukan hanya karena penampilan Bian Fu yang mengerikan, tetapi juga karena pria itu mengetahui namanya. Nama yang telah lama ia kubur bersama masa lalunya. "A-Anda salah orang!" sahut Qing Ning, berusaha terdengar dingin dan tak acuh. Bian Fu terkekeh pelan, suaranya sedingin es. "Jurus yang kau gunakan khas milik perguruan Hoa San, dan kau satu-satunya perempuan di sana. Jadi tidak mungkin salah lagi," balasnya dengan nada puas. "Yang kudengar kau sudah tewas bersama dengan putra Pendekar Iblis Qi Yun, tak disangka bersembunyi di sini." Tubuh Qing Ning semakin menegang. Ingatannya perlahan mulai terbuka, mengenali pria di hadapannya. Bian Fu, pria yang pernah hadir di Wisma Hoa San, mengikuti pertandingan mencari pendekar nomor satu. "Aku tidak mengerti apa yang kau katakan!" ujar Qing Ning bersikeras, meski ia tahu bahwa penyamarannya telah terbongkar. Bian Fu melangkah maju, bibir membentuk lekukan sinis. "Kalau kau masih sedikit pintar, lebih baik terima saja jadi istri keempat Pejabat Yuan daripada berakhir di Wisma Bunga!" "Aku tidak akan menikahi manusia rendah berpakaian halus!" jawab Qing Ning bersikeras, matanya melirik tajam ke arah Pejabat Yuan yang wajahnya merah padam mendengar ungkapan sinisnya. "Kurang ajar!" geram Pejabat Yuan, amarahnya meluap-luap. Ia berpaling ke arah Bian Fu, "jangan buang waktu lagi, tangkap pemberontak ini!" Pertarungan sengit pun tak terelakkan. Pedang Qing Ning beradu dengan senjata Bian Fu, menciptakan percikan api di kegelapan malam. Qing Ning mengerahkan seluruh kemampuannya, setiap jurus yang pernah ia pelajari kini dikeluarkan tanpa ragu. Namun, ia tahu bahwa ia menghadapi lawan yang tangguh. Bian Fu bukanlah pendekar sembarangan, dan Qing Ning merasakan tenaganya mulai terkuras. Sementara pertarungan berlangsung, di dalam pondok, Du Fei mulai terusik dari tidurnya. Suara pertarungan yang semakin sengit perlahan menembus kesadarannya. "Ibu!" Du Fei menggosok-gosok matanya yang masih berat oleh kantuk, kebingungan menyadari tempat di sampingnya kosong. Suara-suara aneh dari luar pondok perlahan menembus kesadarannya yang masih berkabut. Didorong oleh rasa penasaran, Du Fei turun dari tempat tidurnya. Kakinya yang kecil melangkah hati-hati di atas lantai yang dingin, menuju jendela. Dengan sedikit usaha, ia membuka daun jendela yang berat. Pemandangan yang menyambutnya membuat matanya terbelalak lebar. Di luar, di bawah cahaya bulan yang temaram, banyak orang berkerumun di halaman pondok mereka. Namun yang paling mengejutkan adalah menyaksikan Qing Ning bertarung. Selama ini, ia tak pernah tahu bahwa ibunya memiliki kemampuan bela diri. Bahkan, ia selalu dilarang untuk berlatih atau menyentuh senjata. Kini, melihat wanita yang membesarkannya bergerak dengan begitu anggun dan lincah, Du Fei merasa kagum sekaligus kebingungan. Namun, keasyikannya menyaksikan pertarungan itu membuat Du Fei lengah. Tiba-tiba, ia merasakan hawa dingin di belakangnya, seolah ada bayangan gelap yang menyelimuti. Jantungnya berdegup kencang saat ia perlahan berbalik. Di sana, tak jauh darinya, berdiri sosok tinggi besar yang menakutkan. Wajahnya tersembunyi dalam bayang-bayang, namun Du Fei bisa merasakan tatapan tajam yang menusuk dari sosok itu. "Si-siapa Paman ini?" tanya Du Fei terbata-bata, suaranya bergetar karena takut. Ia bisa merasakan aura jahat yang menguar dari sosok misterius itu, membuat bulu kuduknya meremang. Namun, alih-alih mendapat jawaban, sosok itu mengangkat sebuah obor yang menyala terang. Tanpa peringatan, ia menyentuhkan api dari obor ke dinding bambu di samping mereka. Dalam sekejap, api menjalar dengan ganas, melahap dinding bambu yang kering dengan kecepatan mengerikan. Panas dan asap mulai memenuhi ruangan, membuat Du Fei terbatuk-batuk dan matanya perih. "Ibu! Tolong!" teriak Du Fei panik, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Di luar, Qing Ning yang masih terlibat pertarungan sengit, mendengar teriakan putranya. Wajahnya seketika memucat, menyadari bahaya yang mengancam Du Fei. Dengan putus asa, ia berusaha melepaskan diri dari kepungan lawannya, berniat menyelamatkan buah hatinya. "Du Fei!" Teriakan Qing Ning membelah malam. Tanpa pikir panjang, ia segera berlari ke arah pondok yang mulai dilalap api, berniat menyelamatkan putranya. Namun, langkahnya terhenti ketika Bian Fu tiba-tiba muncul di hadapannya, menghadang dengan seringai jahat yang menghiasi wajahnya yang pucat. "Mau ke mana, Nona cantik?" ejek Bian Fu, matanya berkilat berbahaya di bawah sinar api yang menjilat-jilat. "Hadapi aku dulu!" "Minggir kau, iblis!" teriak Qing Ning, suaranya serak oleh emosi dan asap yang mulai memenuhi udara. Sementara itu, di dalam pondok yang terbakar, asap tebal memenuhi ruangan, membuat mata bocah berusia tujuh tahun itu perih dan dadanya sesak. Ia terbatuk-batuk, berusaha mencari udara segar di tengah kepulan asap yang semakin pekat. Sementara sosok misterius tadi telah menghilang. Dengan ngeri, Du Fei menyadari bahwa pintu keluar telah tertutup oleh balok kayu besar yang jatuh dari atap. Api semakin mendekat, panas yang menyengat membuat kulitnya terasa terbakar. Air mata mengalir di pipinya yang kotor oleh jelaga, campuran antara ketakutan dan putus asa. "Du Fei!" teriak Qing Ning lagi, "Ibu akan menyelamatkanmu! Bertahanlah!" Suara sang Ibu terdengar samar-samar, namun cukup untuk menggerakkan semangat Du Fei. Bocah itu memaksa matanya yang perih karena asap menyapu ruangan, mencari celah untuk melarikan diri. Tiba-tiba, ia melihat jendela samping yang masih terbuka. Dengan sisa-sisa tenaganya, Du Fei berusaha berlari ke arah jendela itu. Namun, takdir seolah mempermainkannya. Tepat saat ia hampir mencapai jendela, suara berderak keras terdengar dari atas. Du Fei mendongak, matanya melebar ngeri melihat atap rumbia yang terbakar mulai runtuh ke arahnya. Ia berusaha menghindar, namun kakinya yang lemah tak mampu membawanya cukup cepat. Atap itu jatuh menimpanya, menghancurkan harapan terakhirnya untuk selamat. "Ibu!" Jerit Du Fei menyayat hati, suaranya penuh kesakitan dan ketakutan. Di luar, Qing Ning yang mendengar jeritan putranya semakin histeris. Hatinya seolah tercabik-cabik, membayangkan penderitaan yang dialami Du Fei. Namun, kelengahannya ini dimanfaatkan oleh Bian Fu. Dengan gerakan cepat, ia melemparkan kunai yang disembunyikan di balik ikat pinggangnya ke arah Qing Ning. Senjata itu melesat di udara, menembus pertahanan Qing Ning yang lengah. Kunai itu menancap dalam di pundaknya, membuat wanita itu terjatuh dengan jeritan kesakitan. Darah segar mengalir dari lukanya, membasahi pakaiannya yang sudah kotor oleh debu dan keringat. Meski terluka parah, Qing Ning tak menyerah. Dengan sisa-sisa tenaganya, ia merayap ke arah pondok yang kini nyaris seluruhnya dilalap api. Air mata mengalir deras di pipinya, sepertinya semua sudah terlambat. Tak ada seorang pun yang bisa selamat dalam kebakaran sedahyat itu. "Du Fei!" ratapnya, suaranya parau dan penuh keputusasaan. Bian Fu berdiri menjulang di atas Qing Ning, wajahnya dihiasi seringai kejam. Matanya menatap wanita yang merayap itu dengan sorot mengejek. "Percuma saja kau menolong anakmu itu," ujarnya dingin. "Dia pasti sudah ...." "Anakku akan baik-baik saja ... tutup mulutmu!" bentak Qing Ning histeris. Namun, meski suaranya dipenuhi kemurkaan, tubuhnya tak mampu bangkit. Bian Fu tertawa kecil, suaranya dingin dan kejam. "Menyerah saja," ujarnya, menikmati penderitaan Qing Ning. "Kau sudah terkena bisa kelelawar ... semakin bergerak, energimu akan semakin habis!" Qing Ning merasakan kebenaran kata-kata Bian Fu. Tubuhnya semakin lemah, pandangannya mulai kabur. "Lepaskan perempuan itu dan hadapi aku!" Tiba-tiba terdengar suara parau namun penuh wibawa di belakang wanita itu.Bian Fu, yang tadinya menikmati penderitaan Qing Ning, seketika menegakkan tubuhnya. Dengan gerakan perlahan, ia menggerakkan dagu ke arah suara itu.Tak jauh dari tempat Qing Ning tertelungkup, berdiri dua sosok pria tua. Meski sudah tua, postur tubuh keduanya tetap tegap dan gagah. Sorot mata mereka tajam menantang, siap mengadu nyawa..Bian Fu merasakan darahnya seolah membeku. Ia mengenali kedua sosok itu, keringat dingin mengalir di punggungnya."Xun Huan!" Suara Bian Fu tercekat di tenggorokan saat menyebut nama pria pertama. Matanya kemudian beralih pada sosok di samping Xun Huan, dan ia kembali terkesiap. "Ru Chen!"Kedua nama itu adalah legenda dalam dunia persilatan. Xun Huan, ketua sekte Bu Tong Pai dan Ru Chen, ketua sekte Pedang Langit yang terkenal bukan hanya sebagai ketua sekte aliran putih tertinggi, tetapi juga pahlawan kerajaan Qi karena pernah berjuang bersama mempertahankan Perbatasan Timur."Bagus kalau kau masih ingat!" Ru Chen menyahut, senyum sinis menghiasi w
Sinar mentari pagi menembus melalui celah-celah dinding anyaman bambu sebuah pondok sederhana di lereng Gunung Tai Shan. Di dalam sebuah bilik kecil, di sudut ruangan, di atas sebuah dipan kayu sederhana yang dilapisi tikar rumput, terbaring sosok kecil Du Fei.Seluruh tubuh bocah itu, dari ujung kaki hingga kepala, terbungkus rapat oleh perban putih. Perban-perban ini telah dilumuri dengan ramuan ganggang laut, mutiara, dan ginseng seribu tahun, menghasilkan aroma yang tajam namun juga menenangkan.Empat belas hari telah berlalu sejak kejadian naas itu. Selama itu pula, Du Fei terbaring tak sadarkan diri, seolah tenggelam dalam tidur panjang yang tak berujung. Qing Ning, sang ibu, dengan setia merawat putranya tanpa kenal lelah tanpa mempedulikan lukanya sendiri. Ia mengganti perban, mengoleskan obat, dan membisikkan doa-doa pengharapan di telinga Du Fei setiap hari.Xun Huan dan Ru Chen juga sibuk mencari dan membawakan bahan ramuan, serta memberikan dukungan moral pada Qing Ning ya
Dengan hati-hati, Tabib Sakti Shen Yi mulai membuka perban yang membalut tubuh Du Fei. Jemari tuanya bergerak dengan hati-hati, seolah takut menyakiti kulit yang masih sensitif. Setiap lapisan kain yang terlepas membuat jantung Qing Ning berdebar semakin kencang.Ketika perban terakhir di bagian kepala dilepaskan, ruangan itu dipenuhi oleh tarikan napas tertahan. Wajah Du Fei yang dulunya mulus, kini terpampang bekas luka bakar yang menyerupai sisik ikan. Pola unik itu ada di area pipi kiri dan pipi kanannya, berwarna merah kehitaman.Qing Ning tanpa sadar melayangkan tangan ke mulutnya yang menganga, menutupi keterkejutan yang tak mampu ia sembunyikan. Matanya yang indah seketika berkaca-kaca, menyaksikan perubahan drastis pada wajah putra satu-satunya yang begitu ia kasihi.Tanpa mengucapkan sepatah kata pun
Qing Ning terdiam, matanya menekuri cahaya lilin di atas meja. Ia tak tahu bagaimana harus menjawab penawaran dari sahabat kakeknya yang baik hati ini. Di satu sisi, ia membutuhkan perlindungan, namun di sisi lain, kecemasannya akan masa depan Du Fei masih menghantuinya."Apakah kau tidak bersedia?" Xun Huan bertanya lagi, suaranya penuh pengertian.Qing Ning mengangkat wajahnya, menatap Xun Huan dengan mata berkaca-kaca. "Bukan begitu," jawabnya lirih, suaranya serak. "Aku sangat berterima kasih atas kebaikan Anda, tetapi …," ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak ingin Du Fei mengenal dan belajar ilmu bela diri."Xun Huan mengangguk paham, wajahnya serius namun penuh empati. "Aku berjanji," ujarnya tegas, "tidak akan mengajarkan ilmu apapun kepada putramu bila itu yang kau inginka
Dari dalam saku bajunya, Xun Huan mengeluarkan sebuah penutup wajah yang terbuat dari kain halus berwarna biru gelap. Dengan hati-hati, ia memasangkan penutup wajah itu pada Du Fei, menutupi pipinya yang bersisik."Nah, bagaimana? Lebih nyaman?" tanya Xun Huan dengan senyum kebapakan.Du Fei mengangguk, matanya yang polos memancarkan rasa terima kasih yang dalam. Meski penutup wajah itu sedikit mengganggu, ia merasa jauh lebih tenang, tahu bahwa kini ia bisa berbaur tanpa menarik perhatian berlebihan."Terima kasih, Kakek Xun," ucap Du Fei riang.Xun Huan menepuk pundak Du Fei dengan penuh kasih sayang. "Ingatlah, Nak. Apa yang ada di wajahmu tidak menentukan siapa dirimu. Yang penting adalah apa yang ada di dalam hatimu. Menanam kebaikan, kelak akan menuai kebahagiaan."
Du Fei terbangun oleh guncangan keras di bahunya. Lin Mo berdiri di samping tempat tidur, wajah ssang senior dipenuhi kebencian yang tidak ia pahami."Ikut aku!" perintah Lin Mo, menarik tangannya kasar.Du Fei, masih setengah mengantuk dan kebingungan, tersandung-sandung mengikuti Lin Mo. Mereka melewati lorong-lorong gelap hingga tiba di sebuah pintu kayu usang.Lin Mo mendorong pintu itu terbuka, menampakkan ruangan berdebu yang dipenuhi barang-barang usang. Bau apak menyeruak, membuat Du Fei terbatuk-batuk."Mulai hari ini kau tidur di gudang!" Lin Mo melemparkan selimut dan tikar tidur ke lantai berdebu.Du Fei menatap Lin Mo dengan mata berkaca-kaca. "Apakah aku melakukan kesalahan, Kakak Lin?" tanyanya lirih, menahan t
Nun jauh di Kerajaan Qi, saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat, suasana di dalam istana megah tampak tenang dan damai. Di bagian timur kompleks istana, terbentang sebuah taman yang sangat luas dan indah.Di tengah taman terdapat sebuah kolam ikan yang tak kalah luas dan indahnya, airnya yang jernih memantulkan cahaya keemasan dari langit senja.Di tengah kolam, berdiri sebuah gazebo berukir naga dan phoenix. Gazebo tersebut terhubung ke daratan oleh sebuah jembatan kayu yang panjang dan berliku, dicat dengan warna merah cerah khas kerajaan.Sepanjang tepian kolam dan jembatan, pohon-pohon persik berjajar rapi. Saat ini, di puncak musim semi, bunga-bunga persik bermekaran dengan indahnya.Di tengah keindahan taman istana, Ratu Sayana berdiri dengan
'Semua gara-gara wanita itu!' hati Sayana dipenuhi dendam. Bayangan wajah Qi Yue, sang madu, melintas di benaknya, memicu gelombang kebencian tak terbendung.Sejak hari pernikahannya dengan Yu Ping, Qi Yue terus berusaha mengambil hati sang Raja. Dengan kecantikan dan kelembutan yang memikat, perlahan tapi pasti berhasil meluluhkan hati Yu Ping, menggeser posisi Sayana sebagai istri utama.Emosi yang selama ini ditahan Sayana akhirnya meledak. "Aaahh!" teriaknya murka. Dengan satu gerakan kasar, ia menyapu semua hidangan di atas meja. Piring-piring keramik mahal dan cawan-cawan emas beterbangan, menghantam lantai marmer dengan suara pecahan yang memekakkan telinga.Makanan dan minuman berhamburan ke segala arah, menjadikan lantai gazebo yang tadinya bersih mengkilap, kotor dan berantakan. Aroma masakan yang tadinya
Di istana, Raja Yu Ping terbaring gelisah di pembaringannya. Mimpi-mimpi buruk terus menghantui tidurnya—bayangan wajah-wajah yang menderita, jeritan-jeritan yang tak terdengar, dan sosok naga hitam yang mengintai dari kegelapan."Zhen Yi…," sang Raja mengigau, keringat dingin membasahi dahi. "Di mana... kau?"Xiao Lan, yang duduk di samping tempat tidur, mengelap keringat raja dengan kain lembap. Ekspresinya kosong, matanya hampa seolah jiwanya tidak hadir di sana.Pintu kamar terbuka perlahan, dan Qi Lung melangkah masuk. Ia mengenakan jubah tidur mewah berwarna biru tua dengan sulaman emas, tapi wajahnya tampak segar seolah belum akan tidur dalam waktu dekat."Bagaimana kondisinya?" tanya Qi Lung lirih, mendekati tempat tidur ayahnya."Masih sama," jawab Xiao Lan datar. "Racunnya bekerja seperti yang direncanakan. Ia terus bermimpi buruk, membuatnya tidak bisa beristirahat dengan tenang."Qi Lung mengangguk puas, "Sempurna. Sekarang di mana Yun Hao? Aku tidak melihatnya sejak sore
Hujan rintik-rintik membasahi jalanan kotaraja saat Yun Hao memacu kudanya menyusuri lorong-lorong sempit yang menjauh dari istana. Matahari nyaris terbenam sepenuhnya, menyisakan semburat oranye keunguan di langit barat. Ia mengenakan jubah hitam sederhana dengan tudung menutupi kepalanya—bukan pakaian yang biasa dikenakan seorang pangeran, tetapi sempurna untuk seseorang yang ingin bergerak tanpa menarik perhatian.Di belakangnya, istana megah dengan atap-atap merahnya berdiri angkuh, semakin mengecil seiring jarak yang ia tempuh. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Yun Hao merasa istana bukan lagi rumahnya—bukan lagi tempat yang aman. Sejak Qi Lung mengambil alih kekuasaan, dinding-dinding istana seolah menyimpan mata-mata di setiap sudutnya.Yun Hao membimbing kudanya memasuki wilayah kota yang lebih tua, di mana bangunan-bangunan kayu berjejer rapat dan papan-papan nama toko bergoyang tertiup angin malam. Jalanan semakin sepi, hanya beberapa pedagang yang sedang membereskan dag
Matahari sudah mulai terbenam saat kereta tahanan berhenti di sebuah pos jaga di perbatasan antara wilayah hijau dan gurun pasir. Para pengawal menurunkan Zhen Yi, yang kakinya terasa kaku setelah seharian duduk di kereta yang sempit."Kita akan bermalam di sini," kata komandan pengawal. "Besok pagi-pagi sekali kita akan melanjutkan perjalanan ke Istana Pasir."Zhen Yi mengangguk. Ia tidak melihat gunanya melawan atau mencoba melarikan diri. Enam pengawal bersenjata lengkap mengawalnya, dan tidak ada tempat untuk bersembunyi di padang pasir yang terbentang luas di hadapannya.Komandan pengawal, seorang pria setengah baya, menatap Zhen Yi dengan ekspresi antara iba dan "Anda akan ditempatkan di kamar belakang, Pangeran," katanya, suaranya terdengar sedikit lebih lunak. "Tidak terlalu nyaman, tapi setidaknya lebih baik daripada sel tahanan.""Terima kasih," jawab Zhen Yi tulus. "Bolehkah tanganku dilepaskan? Sudah hampir sehari penuh terikat, dan aku tidak merasa nyaman."Komandan tamp
Kereta tahanan bergerak lambat meninggalkan gerbang kota, roda kayunya berderit membelah jalanan berbatu. Di dalam kereta, Zhen Yi duduk bersandar pada dinding kayu yang kasar, tangannya masih terikat di belakang punggung.Melalui celah kecil di jeruji jendela, ia melihat kotaraja yang semakin mengecil di kejauhan—istana megah dengan atap-atap merah dan dinding putih yang selama ini menjadi rumahnya. Semua kenangan, semua kehidupannya, kini hanya tinggal titik kecil di cakrawala. Ia memejamkan mata, berusaha menenangkan pikirannya yang berkecamuk."Kenapa, Qi Lung?" bisiknya pada diri sendiri. "Apa salahku padamu?"Kereta berguncang keras saat melewati lubang di jalan, membuat Zhen Yi terlempar ke depan. Pengawal yang duduk di ujung kereta menatapnya tanpa ekspresi, seolah membawa seorang pangeran ke pembuangan adalah tugas biasa."Bisakah tanganku dilepaskan?" tanya Zhen Yi dengan suara tenang. "Aku tidak akan kabur."Pengawal itu mendengus. "Maaf, Pangeran. Perintah langsung dari Pa
Di antara para pejabat, beberapa mulai berbisik-bisik. Beberapa menunjukkan ekspresi ragu, sementara yang lain tampak terkejut dan kecewa."Siapa yang menjebakmu, Pangeran Zhen Yi?" tanya Menteri Wei dengan sikap hati-hati. "Dan untuk tujuan apa?"Sebelum Zhen Yi bisa menjawab, terdengar keributan di luar aula. Suara teriakan dan hentakan langkah kaki saling bersahutan."Aku ingin masuk! Lepaskan aku!" Suara Yun Hao terdengar dari balik pintu. "Aku berhak menghadiri pengadilan saudaraku!""Lanjutkan sidang!" perintah Qi Lung dengan tenang. "Pengawal, pastikan tidak ada gangguan dari luar!"Suara keributan terus berlanjut beberapa saat sebelum akhirnya mereda—tanda bahwa Yun Hao telah berhasil disingkirkan dari area tersebut."Kau tidak bisa melakukan ini, Qi Lung," kata Zhen Yi, matanya menatap lurus ke arah saudaranya. "Ayah akan mengetahui kebenaran. Semua orang juga akan tahu bahwa aku tidak bersalah."Qi Lung tersenyum tipis. "Ayahanda sedang sakit parah, Adikku. Dan sulit dipasti
Qi Lung berdiri di depan cermin besar yang terbuat dari perunggu mengkilap. Jari-jarinya yang panjang merapikan jubah kebesaran kaisar berwarna emas dengan bordiran naga hitam—jubah yang seharusnya hanya dikenakan oleh Raja Yu Ping. Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati sensasi kain sutra berkualitas tertinggi yang menyentuh kulitnya, serta beban mahkota raja yang terasa pas di kepalanya."Apakah semuanya sudah siap?" tanya Qi Lung tanpa menoleh ke belakang, tatapannya masih terpaku pada refleksi dirinya di cermin.Kasim kepala membungkuk dalam-dalam. "Sudah, Yang Mulia. Aula Keadilan Langit telah disiapkan sesuai perintah. Para menteri dan pejabat tinggi telah dikumpulkan.""Dan tahanan kita?""Pangeran Zhen Yi sedang dibawa ke aula. Ia masih... belum sepenuhnya sadar, Yang Mulia."Senyum tipis tersungging di bibir Qi Lung. "Sempurna." Ia berbalik, merapikan sedikit lagi jubahnya. "Dan pastikan tidak ada yang menginterupsi sidang hari ini. Terutama Pangeran Yun Hao.""Hamba menger
Kabut tipis melayang di atas taman istana, menyelimuti paviliun-paviliun dan kolam teratai dalam kehampaan pagi yang sunyi. Tidak ada kicauan burung, tidak ada bisikan angin—seolah seluruh istana menahan napas, menunggu dalam kecemasan. Para dayang dan kasim berjalan hampir tanpa suara di sepanjang koridor yang mengarah ke paviliun tempat Raja Yu Ping terbaring sakit.Di dalam kamar utama yang luas, hawa dingin menyelinap melalui celah-celah jendela meskipun beberapa tungku pemanas telah dinyalakan. Tirai-tirai sutra merah keemasan menutupi jendela, membuat ruangan temaram meski matahari sudah merangkak naik di langit pagi. Di atas pembaringan megah berlapis sutra, Raja Yu Ping terbaring lemah. Wajahnya yang biasanya tegas dan berwibawa kini pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang tertutup. Napasnya berat dan tidak teratur, kadang tersengal seolah setiap tarikan udara membutuhkan usaha besar. Keringat dingin membasahi dahinya meskipun udara di ruangan terasa sejuk.Di sam
Paviliun Bulan Musim Gugur berdiri megah di sudut timur istana, dikelilingi oleh pohon-pohon maple yang daunnya mulai berubah kemerahan. Cahaya temaram dari lentera-lentera merah menyinari ruangan tengah paviliun dimana tiga sosok pangeran duduk mengelilingi meja bundar dari marmer."Sudah lama sekali kita tidak berkumpul seperti ini," ucap Qi Lung sambil menuangkan arak berwarna keemasan ke dalam tiga cawan porselen putih berukir naga. "Terakhir kali mungkin saat perayaan musim semi tahun lalu."Uap tipis mengepul dari cawan-cawan tersebut, membawa aroma manis arak berkualitas tinggi. Di atas meja tersaji berbagai hidangan mewah – daging angsa panggang dengan saus plum, ikan sungai dikukus dengan jahe, dan berbagai hidangan langka lainnya."Arak langka dari Wilayah Barat," Qi Lung mengangkat cawannya. "Hanya ada beberapa guci saja yang dikirim sebagai persembahan untuk Ayahanda."Zhen Yi menatap cairan di cawannya dengan ragu. Sebagai penghuni biara, ia sudah hampir tak pernah menyen
Zhen Yi kembali berlutut, kali ini lebih dekat dengan tempat tidur. "Ibu, jangan berkata seperti itu. Zhen Yi hanya memiliki satu orang Ibu. Meskipun... meskipun Ibu mungkin tidak selalu memperlihatkan kasih sayang, Zhen Yi tahu Ibu peduli."Air mata Qi Yue makin deras mengalir, musuh besarnya melahirkan sosok pangeran berhati emas. Sementara dirinya melahirkan sosok pangeran berhati iblis. Seandainya waktu dapat diputar kembali, ia ingin memperbaiki semuanya. Tetapi nasi sudah menjadi bubur.***Setelah keluar dari kamar Putri Qi Yue, Zhen Yi tampak merenung. Ia melangkah pelan menyusuri koridor panjang istana yang dihiasi lampion-lampion merah. Tatapannya kosong, seolah pikirannya berada di tempat yang jauh.Yun Hao menepuk pundak Zhen Yi, menyadarkannya dari lamunan. "Apa yang kau pikirkan, adikku? Sejak keluar dari kamar Ibu, kau seperti orang yang kehilangan arwah."Zhen Yi menghela napas panjang. "Aku merasa Ibu ingin menyampaikan sesuatu padaku, tapi tidak bisa mengatakannya de