Share

Chapter 2 : Joe Lucas Barioz

Sinar menyilaukan membuat bola mata yang terbungkus kelopak itu bergerak. Suara samar debur ombak juga ayunan pelan, mulai bisa pria itu rasakan kembali setelah beberapa jam lalu tubuhnya dikuasai oleh obat perangsang.

Perlahan, mata dalam itu terbuka dan berkedip untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam manik aswadnya.

“Ugh!” erang Joe Lucas Barios.

Denyut nyeri menyerang kepala. Jemari tangannya pun langsung menyentuh kening yang terasa berat, perlahan meraba rambut depan dan menarik kencang helaian rambut di sana. 

Kepalanya benar-benar sangat sakit, terlebih bagian bawah di antara kedua paha. “Damn!” runtuk Lucas, saat ingatan samar semalam terulang.

“Alex!” seru Lucas berteriak kencang, kemudian berusaha mendudukkan tubuhnya.

Pintu yang berada di atas tangga pun terbuka. Seseorang masuk dan menuruni anak tangga dengan cepat. Seorang pria dengan tato elang di tengkuk leher masuk ke dalam. Pakaian kasual hitam membuat lekuk dari tubuh kekarnya nampak jelas.

"Ya bos," jawab Alex tegas. Pria yang lebih tua dua tahun dari Lucas itu langsung menghampiri dan berdiri siaga di samping ranjang.

"Lokasi?" tanya Lucas, singkat. Si tampan tiga puluh empat tahun itu tersadar kalau kamar ini bukanlah kamar yang ia masuki semalam.

"Sepuluh menit lagi kita akan sampai di pulau Maine, bos."

Maine? Ah ... Lucas baru teringat semuanya. Ia memang memerintahkan semua anak buahnya untuk pergi ke pulau ini. Saat sedang menunggu Alex dan bawahannya yang lain, Lucas dijebak hingga ia menelan obat sialan itu.

"Si tua?" Lagi, Lucas bertanya seraya beranjak dari ranjang kayu di sana.

"Dari informasi Jay satu jam lalu, tuan besar masih berada di sana."

Lucas yang sudah berada di dapur mungil kapal pun menyalakan keran wastafel untuk sekedar membasuh wajah. Mengeringkannya dengan handuk kecil lalu mengambil gelas dan mengisinya dengan air.

Lucas berpikir, kado apa yang cocok untuk membalas mereka? Orang-orang yang berani menjebak dirinya. Harus diberikan kado paling indah sampai tidak terlupakan.

"Bagaimana pesta semalam?" tanya Lucas setelah menaruh kembali handuk kecil hitam itu ke sembarang tempat, kemudian meneguk air segarnya. Berharap sisa rasa mabuk dan lelah menahan napsu seksualnya menghilang.

"Saat kami kembali dari tugas. Pesta masih berjalan dengan baik. Namun saat kami menemukan bos yang hampir kehilangan kesadaran, kami mendengar informasi bahwa ada dua orang dari kelompok yang ditargetkan menghilang.”

“Menghilang?” heran Lucas. Ia pun berjalan menaiki enam anak tangga, membuat Alex juga ikut mengikutinya.

“Ya bos, satu orang hanya bawahan tidak penting dan satu orang lagi merupakan ketua kelompok.”

Sinar terang serta udara khas lautan pun menyambut penciuman Lucas. “Kau sudah mendapatkan informasi soal itu?” tanyanya. Cukup senang mendengar bahwa ada pihak lain yang ingin menghancurkan musuhnya itu.

Alex menunduk. Pria itu tidak bisa memberikan apa yang bosnya inginkan. “Maaf bos. Kami belum menemukan informasi apapun atas kejadian ini.”

Sejak semalam, kaki tangan Lucas itu sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mencari tahu siapa yang memiliki misi yang sama dengan mereka. Namun, sampai terik matahari memanas pun mereka belum juga mendapatkan informasi tentang itu.

Lucas berdiri dan memegang pagar pembatas kapal yacht. Mata dalamnya menatap jauh hamparan laut dan beberapa pulau kecil tak berpenghuni di sana.

Pikirannya menerka-nerka, siapa yang memiliki kemampuan sebagus itu selain kelompoknya? Bekerja seperti hantu dan membereskan semua tanpa meninggalkan jejak sedikit pun.

Lucas sangat tahu kemampuan Alex dan anak buahnya yang lain. Terlebih, sekutunya adalah mafia Eagle. Kelompok yang cukup dikenal dan ditakuti dunia malam.

Lucas pun bergerak menjauh dari pagar dan bersiap untuk turun. Kapal mereka sudah sampai di tempat tujuan. “Tiga hari. Aku berikan waktu tiga hari untuk mencari tahu siapa mereka.”

“Baik, bos,” jawab Alex, kemudian mengikuti Lucas yang langsung memilih turun saat kapal pribadinya baru saja menepi.

Pulau Maine. Pulau indah dengan keasrian yang masih terjaga. Pulau pribadi milik si tua--Fredell Abner Barioz--pemilik perusahaan ritel yang hampir menguasai semua negara di dunia.

Lucas mengedarkan pandangan saat sudah menjejakkan kaki ke daratan. Menatap acuh pada beberapa orang yang berjaga di sana.

Hm? Lucas baru menyadari ada wangi berbeda dari tubuhnya. Mungkin gulat semalam membuat bau harum wanita itu menempel padanya. Sekedar informasi, Lucas masih memakai pakaian yang sama dengan semalam.

“Apa kau sudah menemukan informasi tentang wanita yang bersamaku, semalam?” tanya Lucas, hampir saja melupakan wanita yang telah berani menendang masa depannya.

“Wanita?” Kening Alex mengerut bingung. “Maaf bos, apa maksud anda nona Scarlett?”

“Bukan dia, tetapi wanita asing yang menerobos masuk kamarku,” ralat Lucas. "Apa kau lupa, Scarlett bahkan tidak ikut dalam operasi misi semalam.”

“Saya akan segera mencari tahu wanita yang anda maksud, bos,” balas Alex cepat. Pria itu berada dua langkah di belakang Lucas.

"Ya, lakukan itu."

Sejauh yang Alex ingat, tidak ada orang lain saat dirinya menemukan Lucas tergeletak di lantai.

Menelusuri jalan setapak, Lucas menyeringai mengingat kejadian semalam. Untung saja mereka tidak berakhir tidur bersama. Meski ia sendiri harus menanggung rasa sakit berkali lipat dari tendangan wanita itu.

Kejadian semalam mungkin membuat ia terlihat seperti pria naif yang sedang mempertahankan keperjakaannya atau seorang pria gentle yang enggan menyentuh wanita tanpa rasa cinta.

Sayangnya bukan seperti itu, Lucas--pria itu--sudah berkali-kali tidur dengan wanita. Tentu dengan prinsip, ia tidak akan tidur dengan wanita yang sama. Pun hanya meniduri wanita yang ia inginkan.

“Kau tunggu saja di sini,” titah Lucas.

Ia pun masuk ke dalam rumah luas dengan gaya khas jepang. Sudah lama Lucas tidak ke rumah ini. Mungkin, sudah sepuluh tahun yang lalu.

“Ternyata kau bisa datang secepat angin,” ujar dari seorang kakek tua, Fredell Abner barioz yang baru muncul dari ruang tengah. Wajah tua penuh ambisi itu menatap remeh Lucas.

Lucas menoleh ke kiri dan memberikan senyum tipis. Tatapan mata aswad yang jelas sama sekali tidak menunjukkan kerinduan ataupun ketakutan. Padahal semua keluarga besar Barioz tahu, Abner adalah pemimpin kejam yang tak kenal belas kasihan. Bahkan kehancuran keluarga Lucas pun tidak luput dari sentuhan kejam Abner.

“Jika anda menginginkan kematian, aku dengan suka rela akan melakukannya lebih cepat dari angin,” tawar Lucas sarkas.

“Hahaha.” Abner tertawa puas. Pria yang sudah melewati angka delapan puluh tahun itu masih nampak terlihat sehat dan kuat. Meski keriput dan rambut putih sudah hadir menghiasi tubuh Abner. 

“Aku akan mempertimbangkan itu nanti,” lanjut Abner.

“Jadi, di mana Erica?” tegas Lucas, kebencian menyelimuti mata aswadnya. Obrolan basa-basinya cukup sampai di situ saja.

“Hmm, adikmu baik-baik saja.”

“Anda sudah berjanji untuk menyerahkan dia padaku,” tagih Lucas.

“Luc, kau seharusnya tahu apa yang aku inginkan untuk pertukaran besar ini.”

Sialan! Orang tua itu benar-benar mengikat lehernya. Adik dan ibunya telah dijadikan tawanan Abner hanya agar ia tunduk kepadanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status