Share

Chapter 3 : Joy Eira Aster

“Luc, kau seharusnya tahu apa yang aku inginkan untuk pertukaran besar ini.”

Lucas membuka kancing ketiga dari kerah atas kemejanya. Rasanya panas sekali, kalau saja keluarganya tidak menjadi tawanan Abner ... mungkin sekarang tangan gatalnya sudah memukul keras wajah tua mengesalkan itu.

Mengangkat tangan kanan, Lucas mengintip jam tangan yang melingkar di lengannya. Sudah pukul satu siang. Artinya, barang yang ia kirimkan sudah sampai. “Apa anak buahmu belum memberitahu? Aku sudah mengirimkan kepala dari musuhmu.”

Abner menyeringai licik. Mana mungkin Abner tidak tahu? Beberapa menit lalu, Abner sudah menerima kabar bahwa musuhnya telah mati tanpa kepala.

“Istirahatlah, kau juga pasti merindukan tempat ini,” ujar Abner mengalihkan pembicaraan.

Lucas menarik kecil sudut bibirnya. Merindukan? Ini bahkan tempat pertama yang sama sekali tidak ingin ia kunjungi. Tempat indah yang hanya merekam pahit hidupnya.

“Luc, kau tahu ... aku sangat berharap besar denganmu daripada sepupu-sepupumu,” celoteh Abner kembali. Entah ingin menungkapkan isi hati atau hanya sekedar mengulur waktu.

“Dan aku tidak akan pernah mau memenuhi harapanmu apalagi alat perbudakanmu,” tukas Lucas.

“Tidak apa-apa, karena pada akhirnya kau hanya akan menjadi anjingku.”

“Sebaiknya kau gunakan waktu luangmu untuk membayar janjimu.” Lucas menelusuri pandang ke setiap sudut rumah. Inginnya membuka satu persatu pintu-pintu di rumah ini. Namun, hal itu tidak akan bisa. Abner adalah orang yang licik. Kakek tua itu tidak mungkin menyembunyikan Erica di tempat ini.

“Aku tunggu dua puluh empat jam dari sekarang. Jika kau tidak mengembalikan Erica kepadaku ... akan kuanggap kau ingin aku menjadi musuhmu!” lanjut Lucas tegas, kemudian pergi meninggalkan Abner yang tertawa puas.

Keluar dari rumah bergaya jepang, Alex mengerutkan kening. Mengikuti sang majikan dengan hati yang bertanya-tanya.

“Hubungi G. Katakan kepadanya untuk bersiap meretas semua keamanan kakek tua sialan itu,” ujar Lucas memberi titah.

Firasatnya mengatakan, Abner tidak akan memberikan ibu dan adiknya semudah itu. Seharusnya ia sudah tahu akan berakhir seperti ini. Namun, kerinduan akan keluarga membuat instingnya buta. Abner selalu membuat Lucas menaruh harapan pada permainan si kakek tua itu.

“Apa tuan besar lagi-lagi tidak mau memberikan nona?” tanya Alex. Ini sudah kesekian kali bosnya itu ditipu Abner.

“Ini yang terakhir. Aku juga sudah menyatakan perang jika dalam dua puluh empat jam ini, orang itu tidak menyerahkan Erica,” balas Lucas, jemarinya mengepal erat.

Ini sungguh membuatnya murka. Jujur saja, cara ini adalah cara yang paling tidak ia sukai. Sebab bagaimanapun, Lucas akan kalah dari Abner yang memiliki kekuasaan dan kekuatan lebih besar darinya.

Namun itu dulu, karena sekarang Lucas sudah memiliki tim dan partner yang cukup kuat untuk melawan Fredell Abner Barioz.

“Saya akan mempersiapkan semuanya, bos,” ujar Alex. Kini bukan lagi balas membalas seperti permainan anak kecil. Namun, perang besar.

“Cari orang kompeten yang ahli dalam misi senyap. Orang baru tidak akan dikenali musuh.”

“Baik, bos.”

Mereka sudah sampai pada kapal pribadi yang baru beberapa menit beristirahat di tepi pelabuhan. Lucas pun menaiki anak tangga besi, sesampainya di atas badan kapal... Lucas langsung berbalik memandang dendam pada rumah yang sudah terhalang beberapa pohon tinggi dan besar. Tidak ketinggalan, Alex yang selalu berada dekat dengannya.

Memandang punggung sang ketua. Alex merasa kasihan dengan Lucas. Bahkan tidak ada yang akan mengira, pria dengan penampakan punggung kesepian itu rela melumuri tangan dengan darah hanya demi keselamatan keluarganya.

“Tu--”

Dering ponsel membuat Alex harus menghentikan ucapannya. Mengambil ponsel dari saku celana, Alex pun memandang layar benda pipih tersebut, sebuah panggilan dari anak buahnya. Alex pun langsung menerima panggilan itu.

"Ada apa?" ucap Alex menyapa. Mendengarkan dengan mata yang tak pernah terlepas dari punggung Lucas. "Baiklah, kerja bagus. Kirimkan padaku dan terus kumpulkan informasi sebanyak apapun," ujarnya memberikan perintah, kemudian menutup teleponnya.

Alex tidak menyangka, pencarian wanita itu sangat mudah. Padahal, baru beberapa menit tadi Alex memberikan perintah pada anak buahnya. Mungkin, wanita yang Lucas maksud hanyalah orang biasa. Sehingga mereka bisa dengan cepat mendapatkan informasi wanita itu.

"Bos, mereka sudah menemukan informasi dari wanita yang anda cari." Kembali Alex berbicara, melaporkan apa yang baru saja mereka dapatkan.

Cepat juga, pikir Lucas. Bibir tebalnya pun tersenyum miring, penasaran pada wanita yang begitu berani melukainya.

Malam itu, Lucas mengira wanita itu dikirim oleh musuh. Sebab, sulit sekali membuatnya pergi. Namun, semua pikirannya berubah saat masa depan Lucas dinodai oleh wanita itu.

"Lanjutkan," titah Lucas, menginginkan informasi lebih.

"Wanita itu bernama Joy Eira Aster. Usia dua puluh sembilan tahun. Sudah sepuluh tahun bekerja di sebuah restoran Lison Park sebagai pelayan dan--”

“Seorang pelayan?” sambar Lucas. Cukup terdengar ganjil, warga sipil yang bekerja sebagai seorang pelayan. Namun bisa mendatangi acara privat malam itu? “Apa dia juga bekerja sebagai pelayan di kapal pesiar?”

Alex terdiam. Perasaannya sama seperti Lucas. Dengan cepat, ia membaca semua informasi yang dikirimkan anak buah mereka.

“Ah, maaf bos. Informasi seperti itu belum mereka dapatkan. Saya akan secepatnya mencari tahu hal itu.”

“Aku tunggu dalam lima jam. Cari tahu juga, apakah wanita itu memiliki hubungan dengan Harry atau benar-benar murni hanya seorang tamu di sana,” titah Lucas.

Niat hati hanya ingin mengetahui siapa wanita itu. Namun, merasakan keganjilan ... Lucas pun mengurungkan pikiran naifnya. Sejak kecil, ia selalu memegang prinsip bahwa, tidak akan ada orang bersih yang mendatanginya.   

Joy Eira Aster, ucap Lucas dalam hati seraya memandangi gulungan-gulungan ombak di bawah sana. 

Jika wanita itu bekerja sebagai pelayan, tentu tidaklah mungkin. Meski mereka bersentuhan dalam gelap, Lucas yakin yang dipakai wanita itu bukanlah pakaian seorang pelayan, melainkan gaun pesta.

Di sisi lain, wanita yang sedang dicari jejak kehidupannya sedang mengunyah permen karet sambil mendengarkan pidato dari ketua tim.

“Queen, jadi maksudmu mereka berdua adalah bagian dari mafia Eagle,” tanya Aster, sudah satu jam mendengarkan hasil dari investigasi tersangka yang mereka culik dari pesta semalam. “Apa itu masuk akal?” lanjutnya.

“Aku tahu mengapa kau berpikir seperti itu,” sambung pria bertubuh tegap dengan pakaian hitam berlogo bola dunia di dada kiri. Dia adalah Edbert Ansell dengan kode nama Queen, pemimpin tim Beta. “Kita hanya bisa mempercayai apa yang keluar dari mulut mereka.”

“Dari pemantauan yang kita lakukan, sudah jelas bisa dipastikan tidak ada mata-mata atau anak buah Eagle di sana.” Natalie angkat suara. Wanita itu duduk di samping Durwin Ziggy, code name Zi yang sedang sibuk di depan laptop. “Dan riwayat dari dua orang itu pun selalu bekerja di bawah suruhan direktur PepCos!” lanjut Natalie kesal.

“Bukankah ini bagus?” Suara Ziggy menarik atensi tiga kepala di ruangan rapat itu. Ruangan yang sama sekali tidak menarik, bahkan terkesan seperti gudang daripada sebuah kantor. “Kita sangat dendam dengan mafia itu, bukan? Kali ini kita bisa menggunakan pengakuan dari pengedar obat terlarang untuk mengambil penyelidikan tentang mereka kembali.”

“Harga dirimu sangat rendah,” sindir Aster, memandang sinis pada Ziggy yang membalas ucapannya dengan tawa renyah.

“Winter, ini hanya jalan pintas,” jawab Ziggy akhirnya.

“Cih, ke mana hati nuranimu, Zi?!” sarkas Walker. Dua wanita di sana cukup menunjukkan ketidaksukaan mereka pada ide Ziggy, si peretas.

“Cukup. Aku tahu dendam kalian pada kelompok mafia itu. Namun, kita harus bergerak sesuai perintah agar kematian rekan kita tidak akan sia-sia.” Semua terdiam lesu mendengar Edbert membahas kematian rekan tercinta mereka. Kematian tidak adil yang bahkan tidak bisa mereka investigasi langsung.

“Untuk saat ini kita hanya bisa menyerahkan semua yang kita dapatkan pada atasan. Keluhan dan--”

“Queen, maaf memotong.” Ziggy mengangkat tangan, wajahnya serius memandang layar laptop.”

“Lanjutkan,” izin Edbert.

“Ada jejak peretasan menggunakan koneksi privat. Mereka mengambil informasi tentang Joy Eira Aster.”

Apa? Aster pun langsung beranjak dari kursinya dan ikut memantau layar kecil di sana. “Siapa yang berani mengintip informasiku?” ujar Aster, mulutnya masih setia mengunyah permen karet yang sudah tidak lagi berwarna.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status