Mas Aldi terdiam. Tatapannya masih tak beranjak dariku, tapi genggamannya mulai mengendur.
"Aku juga sudah berusaha, Dek. Aku sudah berusaha. Tapi enggak semudah itu melupakan cintaku sama dia. Susah," lirihnya dengan kening berkerut dalam.
Aku tertawa miris sambil menggeleng. Dengan tidak tahu malunya dia mengakui perasaan untuk sang mantan.
"Gimana bisa lupa, kalau Mas sendiri masih aja terus mengingat-ngingat dia? Bahkan Mas sampai berkali-kali ganti akun hanya supaya bisa mantau mantan Mas itu! Mas juga enggak malu kirim pesan-pesan puitis. Itu namanya apa, Mas? Apa?"
"Itu bukan Mas yang enggak bisa lupa, tapi emang Mas yang enggak niat buat lupain!" geramku, tapi masih berusaha menekan suara agar tak lagi membentaknya. Meskipun, dada ini bergemuruh hebat sampai tangan gemetar menahan emosi.
"Kenapa Mas mau nikahin aku kalau masih enggak bisa move on, hm? Pernikahan bukan untuk main-main, Mas. Jawab jujur! Kenapa dulu Mas datang melamarku, hm? Kenapa?"
Mas Aldi terdiam menunduk. Kedua tangannya mengepal kuat di samping badan. Akan tetapi, perlahan dia kembali menatapku sendu.
"Mas akan jujur, tapi kamu jangan marah."
Aku bungkam.
"Dulu, mas nikahi kamu memang bukan karena cinta. Tapi mas berharap keberadaan kamu bisa menggantikan posisi Lidya. Bisa bantu mas untuk melupakan semuanya, tapi ternyata susah. Enggak gampang, Dek!"
"Oh, pelampiasan ternyata." Aku tertawa miris. "Mas jahat! Enggak seharusnya Mas menyeretku ke dalam pernikahan semu ini. Enggak seharusnya aku ikut merasakan sakit karena masa lalu kalian itu. Kalau memang Mas belum bisa move on, harusnya seumur hidup Mas enggak usah nikah! Jangan jadikan orang lain sebagai korban atas keegoisan Mas itu!"
"Dek!" Mas Aldi dengan cepat mencekal pergelangan tanganku yang hendak beranjak pergi. "Mas sedang berusaha, tapi butuh waktu lama. Tolong ... bersabarlah," lirihnya memohon.
"Sabar katamu, Mas? Kurang sabar apa aku selama ini, hm? Sudah beberapa kali aku kasih Mas kesempatan. Tapi Mas enggak bisa menjaga kepercayaan itu. Mas selalu ingkar!"
"Coba dipikir dengan kepala dingin, Dek. Di sini, bukan hanya kamu yang terluka, tapi mas juga! Kamu pikir mas mau terus-terusan terikat dengan masa lalu? Enggak! Tapi mas bisa apa? Bayangan masa lalu itu selalu hadir gitu aja mengganggu pikiran dan ketenangan mas, Dek. Tolong pahami itu!"
"Mas terluka karena ulah Mas sendiri. Berusaha melupakan itu enggak gini caranya. Lebih baik, Mas kejar lagi mantan Mas itu dan ceraikan aku!"
"Dek!" bentak Mas Aldi, kemudian berdiri. "Semudah itu kamu bilang cerai?" Sorot matanya menatapku tajam.
"Ya! Semudah Mas menyakitiku berulang kali!" tegasku dengan tatapan berani.
Kami saling beradu tatap dalam diam. Sama-sama dikuasai emosi. Namun pada akhirnya, Mas Aldi mengalah. Dia menghela napas berat seraya menengadahkan wajah.
"Jangan bersikap seolah-olah Mas yang paling tersakiti!" sindirku melihat raut wajahnya itu. "Akulah yang paling tersakiti di sini, Mas, bukan kamu! Aku yang enggak tahu menahu masa lalu kalian, tapi harus terseret dan ikut merasakan sakitnya. Itu enggak adil!"
"Mas mohon ... satu kali kesempatan lagi, Dek. Kali ini mas enggak akan ingkar. Bantu mas lupain Lidya."
"Enggak!" Aku menggeleng yakin. "Harusnya, Mas buktiin itu dari awal Mas ngelakuin kesalahan, bukan setelah berulang kali seperti ini! Aku tetap mau bercerai!"
"Tapi kamu lagi hamil, Dek," lirihnya mengiba.
"Kenapa memangnya kalau aku hamil? Mas pikir cerai dalam keadan hamil itu enggak sah? Mas pikir aku enggak bisa hidup berdua dengan anak ini? Lagipula, aku masih punya Ibu dan Bapak!"
"Apa kata orangtua kita nanti kalau kita bercerai, Dek? Apa kata tetangga? Apa kata teman-teman mas?"
"Peduli amat apa kata orang." Aku tertawa sinis. "Memangnya mereka ngerasain sakit yang aku rasain?"
"Mama Papa pasti marah sama mas, Dek. Mas harus jelasinnya gimana?"
Aku tersenyum sinis. "Kenapa harus bingung? Bilang aja terus terang kalau Mas itu masih betah hidup dengan masa lalu!" pungkasku yang membuatnya terdiam menunduk.
"Mas sadar enggak, sih, dengan kalimat terakhir yang Mas tulis di status, hm? Secara enggak langsung, Mas itu berharap kita bercerai dan bisa kembali dengan Lidya! Terus, kenapa sekarang Mas menentang usulku ini?"
"Justru, aku udah berbaik hati bantuin supaya doa dan harapan Mas lebih cepat terkabul. Setelah itu, silakan Mas kejar Lidya sepuasnya!" cecarku penuh penekanan. Menyentak tangan hingga cekalannya terlepas, kemudian melangkah cepat menuju kamar.
Namun, sesaat sebelum pintu kamar ini ditutup, aku kembali berbalik menghadapnya.
"Mas Aldi!" Mendengar panggilanku ini, Mas Aldi mengangkat wajahnya dan menatapku lesu.
"Dengar ini, Mas! Pernikahan bukan sekadar untuk pelarian. Apalagi cuma jadi ajang berkembang biak dan pelampiasan nafsu saja! Mas pikir aku kambing?" hardikku, lalu menutup pintunya dengan kasar dan menguncinya.
Aku bersandar di daun pintu dengan napas memburu. Menengadahkan wajah seraya berusaha mengendalikan emosi yang masih meletup-letup di dada. Ternyata, aku gagal mengendalikan diri walau sudah mencobanya.
"Astaghfirullah, astaghfirullah," gumamku seraya mengusap wajah ketika teringat perkataan kasar terakhir yang diucapkan padanya. "Maaf, Ya Allah."
Aku berjalan perlahan, lalu duduk di tepi ranjang. Merogoh ponsel untuk menghubungi orangtuaku.
"Assalamu'alaikum, Bu."
"Wa'alaikumsalam. Gimana kabar kamu, Nak?"
"Alhamdulillah sehat, Bu. Ibu dan Bapak gimana?"
"Alhamdulillah, kami juga sehat. Gimana dengan Aldi?"
"Mas Aldi sehat. Oh, ya, Bu. Besok bisa enggak, kalau Ibu dan Bapak datang ke sini?"
"Bisa. Kenapa? Sudah kangen, ya?"
"Iya. Aku kangen banget sama Ibu dan Bapak. Sekalian ada hal penting yang mau kami bicarakan."
"Hal penting. Soal apa?"
"Nanti aku jelaskan di sini, ya, Bu."
"Ya sudah. Besok Ibu dan Bapak berangkat dari sini pagi-pagi. Kamu istirahat, ya. Jaga kesehatan."
"Iya, Ibu juga. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam," jawabnya, lalu sambungan pun terputus.
Tak hanya menghubungi Ibu dan Bapak, aku juga menghubungi kedua orangtua Mas Aldi dan meminta mereka datang. Mama sempat bertanya juga ada masalah apa, tapi tidak kujelaskan.
"Dek." Mas Aldi mengetuk-ngetuk pintu kamar ini. "Buka pintunya dulu, Dek! Kita bicarakan masalah ini dengan kepala dingin. Semua masih bisa diselesaikan secara baik-baik, Dek."
Aku naik ke ranjang, membaringkan tubuh, lalu menarik selimut sebatas kepala.
"Dek!" Mas Aldi masih saja mengetuk pintunya, tapi aku menulikan telinga.
"Mas sadar mas salah, Dek. Ayo kita perbaiki lagi semuanya! Mas janji untuk yang terakhir kalinya, Dek. Lagipula, Lidya 'kan enggak pernah merespon, Dek. Kamu enggak perlu takut."
"Siapa yang takut? Mas mau kembali pada wanita itu pun silakan! Aku enggak akan melarang!" sahutku tak terima.
"Ya sudah, maaf Dek. Mas akan berusaha lebih keras lagi untuk menghapus semua tentang Lidya."
Baru akan berusaha menghapus? Jangan-jangan, dari dulu Mas Aldi menggauliku sambil membayangkan wajah mantannya itu? Ya Allah!
Aku yang sangat geram karena membayangkan hal itu, seketika meremas kuat-kuat seprei, lalu mengigitnya.
Istighfar, Nurma, istighfar. Jangan terbawa hasutan setan terus! Kendalikan emosi!
"Astaghfirullah, astaghfirullah," gumamku seraya berusaha mengatur pernapasan dan detak jantung yang masih cepat.
"Dek, buka pintunya dulu, Dek. Sebentar!"
Aku diam.
"Dek, mas juga mau tidur!"
"Tidur aja di kamar sebelah atau di sofa!" sahutku, lalu mematikan lampu tidurnya.
"Kamar sebelah 'kan AC-nya rusak, Dek. Masa mas tidur di sofa sendirian?"
"Sana! Mas numpang tidur aja di rumah mantan! Itu juga kalau Mas enggak dihajar suaminya!" sahutku kesal, lalu memejamkan mata. Merapatkan selimut dan berusaha tak acuh dengan Mas Aldi yang masih terus mengetuk-ngetuk pintu.
🌺🌺🌺
Aku dan Mas Widi sontak terdiam. Saling melempar pandang, lalu cekikikan bersama saat mendengar Mama berseru dari luar kamar. Memang selama tiga hari ke depan, Mama Papa akan menginap di sini. Baru siang tadi keduanya datang."Mas, sih!" Aku melepaskan diri, lalu mencubit pinggangnya dengan gemas hingga gantian dia yang menggeliat geli."Kamu duluan yang mulai," balasnya tak mau kalah. "Pokoknya kamu masih utang ciuman plus bonusnya. Ayo sini!" Dia menarikku menuju ranjang."Aduh-aduh ... aku kebelet, Mas. Mau ke kamar mandi dulu.""Kamu pikir mas percaya?" Dia malah tertawa dan terus menarikku. Hingga akhirnya, tubuh ini sudah berada dalam kendalinya tanpa bisa aku melawan.🌺🌺🌺Hari yang ditunggu pun tiba. Sebenarnya meminta jalan-jalan hanyalah alasan semata. Ada kejutan yang ingin kuberikan biarpun ini lebih cepat satu minggu dari hari ulan
"Eungh." Aku bergumam pelan, menggeliat malas saat merasakan sentuhan lembut beberapa kali di pipi.Tanpa mengindahkan sentuhan itu, aku malah semakin merapatkan selimut dan memeluk guling erat. Cukup lama menghabiskan waktu bersama Mas Widi tadi, membuat mata ini enggan untuk terbuka.Namun, lagi-lagi tidurku terganggu dan bergidik geli ketika merasakan tiupan di dekat telinga."Bangun, Sayang," bisiknya lembut.Aku berbalik, mengucek mata yang masih terasa lengket dan mendapati Mas Widi sedang duduk di tepi ranjang sambil tersenyum. Senyum manis dengan kedua tangannya memegang kue ulang tahun berukuran kecil tanpa lilin."Mas ...." Aku beranjak bangun, lalu duduk bersandar kepala ranjang."Memilikimu adalah hal terbaik yang enggak akan rela mas tukar dengan apa pun. Terima kasih sudah menjadi duniaku, Istriku Sayang. Selamat ulang tahun."
"Rumah ini 'kan kosong. Kok, rapi dan bersih, Mas?" tanyaku seraya duduk di tepi ranjang. Sementara, Mas Widi tengah berbaring miring sembari menepuk-nepuk pantat Alan yang sempat terbangun dari tidurnya."Kan, seminggu sekali ada yang bersihin, Sayang. Aku udah bayar orang untuk merawat rumah ini. Kalau enggak begitu, nanti lama-lama rumahnya bisa hancur dan rusak.""Ooh." Aku mengangguk paham."Kamu kalau mau buat sesuatu bisa langsung ke dapur, Sayang. Mas udah minta tolong sama yang merawat rumah ini supaya siapin kebutuhan dari dua hari yang lalu.""Iyakah?"
"Papa, janais.""Apa katanya, Nur?" tanya Mama."Papa jangan nangis katanya, Ma," jelasku."Enggak. Papa ... papa enggak nangis, kok." Mas Aldi tersenyum, tapi air matanya masih belum bisa berhenti menetes di pipi."Alan sayang Papa?" tanya Mama seraya mengusap kepalanya."Cayang," jawabnya dengan riang. "Papa uwa," imbuhnya sembari mengangkat jari-jari mungilnya, lalu menatap Mas Widi yang berdiri di samping Mas Aldi."Iya, papa Alan ada dua," kataku seraya
"Masuklah," ucap Mama pelan.Aku mengangguk, lalu membuka pintu kamar Mas Aldi dengan hati-hati. Melihatnya duduk termenung di dekat jendela membuat tubuh ini meremang. Aku sungguh tak tega hingga harus berhenti melangkah lagi saat air mata ini tak mampu ditahan."Ma," panggil Mas Aldi. "Aku lupa simpan foto Alan di mana. Bisa Mama bantu aku cariin fotonya?"Ya Allah ....Aku membekap mulut, lalu kembali melangkah dengan Mas Widi yang merangkul bahu ini. Seolah paham, Alan pun hanya diam saja ketika kuisyaratkan agar tidak bersuara."Ma," panggilnya lagi.Aku mengangguk. Memberi isyarat pada Mas Widi agar mendekatkan Alan padanya."Ma, foto Al ...." Mas Aldi seketika membeku saat tangan mungil Alan menyentuh pipinya yang sudah ditumbuhi jambang. Begitu pun ketika Alan sudah didudukkan di pangkuan. Mas Aldi masih terpaku, tapi matanya berembun."Papa?" panggil Alan dengan suara khas anak kecil.Air mata Mas Aldi seketika bercucuran dengan tangannya yang bergerak perlahan menyusuri tubu
Aku kembali terisak di pelukan Mas Widi ketika pintu kamar itu sudah tertutup rapat."Aku ... aku berdosa, Mas," lirihku dengan hati yang berdenyut nyeri. "Aku berdosa karena sudah berburuk sangka sama Mas Aldi. Aku ... aku ....""Ssstt." Mas Widi mengusap kepalaku dan mengeratkan dekapannya. "Kamu enggak sepenuhnya salah. Kalau saja Aldi jujur, kamu atau siapa pun juga pasti enggak akan berpikir negatif.""Aku harus tanya Mama. Aku mau tahu kenapa Mas Aldi bisa seperti itu," lirihku seraya mengurai pelukan.Mas Widi mengusap lembut air mataku dengan kedua ibu jarinya. "Kita akan tanyakan