Share

Part 4–Setop Membandingkan

Sudah lama mata ini terpejam, tapi bukan berarti sudah tidur. Kesadaranku masih full. Aku benar-benar tidak bisa tenang. Berkali-kali mengganti posisi tidur, miring kanan-kiri, terlentang, tapi tetap saja gelisah. Dugaan Mas Aldi membayangkan wajah mantannya ketika kami menyatu, membuat kepala ini rasanya mau meledak.

Semakin berusaha dienyahkan, malah semakin kuat mengganggu pikiran. Hingga membuatku kembali ke posisi duduk dan terisak. Kulempar figura foto kami dan gelas di atas nakas sampai pecah untuk meluapkan emosi ini. Aku menunduk, mengusap perutku di mana ada buah cinta kami di sana.

Tidak! Ini bukan buah cinta kami. Hanya aku yang mencinta dan mendamba, tapi dia tidak. Raganya di sini, tapi hatinya untuk wanita lain. Bisa saja saat melakukannya, Mas Aldi membayangkan wajah Lidya.

Aku menangis sesenggukan dan berteriak kesal tanpa peduli Mas Aldi akan terbangun dan mendengarnya. Ini terlalu sakit. Andai waktu bisa diputar ulang. Jangankan menikah, aku juga tak ingin mengenalnya sama sekali.

Hampir saja kupukuli perut sendiri saking kesalnya, tapi urung ketika tersadar anak yang sedang dikandung ini tidak berdosa. Mas Aldi memang tidak cinta dan mungkin membayangkan wanita lain setiap melakukannya, tapi aku tulus dan ikhlas saat menyerahkan diri ini sepenuhnya.

"Dek! Buka pintunya, Dek! Kamu kenapa?"

"Pergi!" teriakku penuh emosi.

"Buka pintunya dulu, Dek. Mas khawatir!"

"Enggak usah berlagak Mas khawatir dan peduli! Aku muak!"

"Buka atau mas dobrak!" ancamnya dengan suara keras, tapi aku tidak peduli.

Tak berselang lama, pintu kamar ini benar-benar dijebolnya dengan paksa. Mas Aldi masuk dengan tergesa. Menatap kaget pecahan gelas dan figura foto yang berserakan di lantai. Tak lama, pandangan matanya beralih padaku yang kubalas dengan tatapan datar.

"Boleh marah dan kecewa, tapi enggak usah sampai begini. Pecahan kacanya bisa melukai diri kamu sendiri." Dia berkata dingin, kemudian pergi keluar kamar.

Tak memakan waktu lama, Mas Aldi kembali dengan membawa kantong plastik dan peralatan rumah tangga untuk membersihkan pecahan kacanya.

"Jangan seperti anak kecil, Dek. Kamu itu sebentar lagi akan menjadi seorang Ibu. Coba belajar kendalikan emosi semarah apa pun kamu pada mas," komentarnya sembari membereskan kekacauan yang kubuat.

"Apa pernah aku marah sefatal ini? Enggak pernah! Bahkan meski berkali-kali Mas nyakitin, aku selalu berusaha untuk sabar. Terus, kenapa sekarang aku bisa sampai begini? Itu karena rasa sakit yang Mas berikan sudah mencapai batas! Mas sudah buat aku merasa enggak berharga dan enggak berguna!" kataku penuh penekanan.

Mas Aldi hanya melirik sekilas, lalu kembali fokus memunguti pecahan beling.

"Selama ini, Mas anggap aku apa?"

Mas Aldi masih diam.

"Oh, ya, aku tahu. Pasti selama ini Mas cuma anggap aku ini pembantu plus-plus, kan? Mas hanya butuh aku untuk beresin rumah dan layanin semua kebutuhan Mas termasuk di ranjang!" Aku tertawa hambar, lalu dengan cepat menyeka bulir bening di sudut mata.

"Kita bicarakan masalah ini lain kali. Jangan dibahas lagi!"

"Apa jangan-jangan, Mas juga enggak pernah berharap sama sekali dengan kehamilanku ini? Iya 'kan, Mas?"

Mas Aldi bungkam.

Aku tertawa miris. "Diam Mas itu sudah cukup sebagai jawaban." Bergetar aku saat mengatakan itu. "Benar dugaanku. Mas pasti bayangin wajah wanita lain kalau lagi bermesraan denganku. Iya, kan?"

"Bisa diam enggak?" tukasnya penuh penekanan. "Sudah cukup dari tadi kamu ngoceh enggak karuan! Berhenti bicarain hal-hal yang bisa buat kamu tambah marah dan kesal, Dek! Pikirkan kesehatanmu! Kalau ada apa sama kamu dan calon anak kita, mas juga yang akan disalahkan!"

"Tapi memang bener 'kan, Mas bayangin wajah Lidya kalau kita ngelakuin itu?"

"Kalau iya, kenapa?" bentaknya seraya menggebrak lemari dengan keras sampai membuat mataku spontan terpejam karena kaget. "Sudah puas kamu dengan jawaban itu, huh?"

Kedua tanganku meremas kuat selimut di pangkuan. Mengigit bibir bawah yang bergetar dengan mata yang terasa memanas.

"Harusnya kamu paham! Menghapus cinta yang lama bersemayam itu enggak gampang, Dek! Sepuluh tahun lamanya kami menjalin hubungan! Selama itu juga Lidya selalu setia menemaniku dalam keadaan apa pun! Kami merangkai mimpi indah bersama yang terpaksa hancur cuma karena terhalang restu orangtua! Bisa kamu bayangkan sakitnya seperti apa, huh?" hardiknya dengan masih setengah membentak.

"Jangan minta aku membayangkannya. Itu masa lalu kalian. Kenapa aku harus menanggungnya juga?" lirihku dengan napas tersendat-sendat karena isakan yang tertahan.

"Seenggaknya, kamu itu harus bisa bersabar sedikit, Nurma! Kamu tahu, apa yang dikatakan Lidya waktu dikabari kalau aku akan menikahimu? Lidya mendukung dan menyuruhku melupakan dirinya walau aku tahu hati dia juga sakit! Dia bahkan minta aku berusaha lebih keras lagi untuk mencintaimu, dan melupakan semua kenangan juga impian kami! Apa kamu bisa seperti dia? Sanggup kamu melakukan itu semua kalau jadi dia, huh?!"

Cukup!

Aku menggeleng lemah dengan bahu bergerak naik turun karena isakan. Ini sangat sakit dan akan membekas selamanya. Perkataan Mas Aldi akan terngiang-ngiang sampai kapan pun. Perlahan, kuangkat wajah ini, lalu menatapnya dengan derai air mata tak terbendung.

"Keluar," titahku dengan tatapan dingin.

Ketegangan yang terlihat di wajah Mas Aldi perlahan berkurang. Dia menyentak napas kasar seraya mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Tak berselang lama, tatapan tajamnya kembali beralih sendu.

"Dek, Mas tadi ...."

"Cepat keluar!" ulangku memotong ucapannya.

"Dek ...."

"Ke-lu-ar!" desisku. Pelan, tapi penuh penekanan.

"Aarrgh!" Mas Aldi kembali memukul lemari. Menyambar kantong plastik di lantai, lalu melangkah cepat keluar dari kamar ini.

🌺🌺🌺

Pertengkaran kami semalam dan kata-kata yang dilontarkan Mas Aldi membuatku tidak bisa tidur nyenyak. Alhasil, aku terbangun dengan kepala berdenyut sakit. Sambil menunggu azan subuh, kuputuskan pergi ke dapur untuk membuat susu hangat.

Sempat aku bertatap muka dengan Mas Aldi yang baru saja bangun. Mulutnya sedikit terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu. Namun sebelum itu terjadi, aku sudah lebih dulu meninggalkannya ke dapur.

Meskipun kepala sakit, tapi aku tetap memaksakan diri membuat sarapan dan menyiapkan pakaian kerja Mas Aldi.

"Dek." Mas Aldi yang baru pulang dari masjid berjalan menghampiriku.

Aku sempat menoleh sekilas, lalu kembali menunduk dan menuangkan nasi goreng kesukaan Mas Aldi ke piring.

"Mas minta maaf soal semalam, Dek."

Aku mengangguk. Tak bersuara, juga tak menatapnya.

"Mas enggak ada maksud muji-muji Lidya dan bandingin kalian. Mas cuma ingin kamu mengerti sedikit dengan perasaan dan posisi mas. Mas harap kamu bersabar sedikit lagi."

Aku menoleh dan tersenyum tipis, lalu berbalik membelakanginya untuk meletakkan kembali wajan di kompor.

"Dek ...."

"Ganti baju dulu, terus sarapan," kataku seraya mencuci tangan.

"Tapi kamu sudah maafin mas, kan?"

Aku menghela napas berat dengan mata terpejam, lalu mengangguk.

"Bicara, dong, Dek! Biar mas yakin," desaknya seraya mendekat dan berdiri di sampingku.

Aku menoleh, tersenyum. "Aku sudah maafin kamu, Mas. Sekarang, Mas cepat ganti baju dulu dan kita sarapan. Aku sudah lapar."

Mas Aldi tersenyum lega. "Kalau gini 'kan mas jadi tenang," ujarnya, lalu beranjak pergi sembari menyugar rambut tebalnya.

Kupandangi sosoknya yang menjauh seiring helaan napasku yang terasa berat. Sesak. Seolah ada bongkahan batu besar yang menghimpit dada.

"Kita bertemu dengan cara baik-baik, Mas. Maka dari itu, berpisah pun harus dengan cara baik pula. Aku enggak mau kita jadi musuh," gumamku seraya mengusap-usap perut.

🌺🌺🌺

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status