Share

Part 5–Aku Lelah, Bu

"Kamu sakit, Dek? Wajahmu pucat," komentar Mas Aldi ketika kami tengah sarapan.

"Hanya pusing sedikit," jawabku tanpa menatapnya, lalu kembali menyuapkan makanan dan mengunyah pelan.

"Ayo! Biar mas antar ke dokter dulu sebelum berangkat kerja."

"Enggak usah. Nanti dibawa tidur juga sembuh. Hanya kurang tidur saja, kok." Aku tersenyum tipis.

"Dek."

"Hm?"

"Maaf tentang semuanya. Kamu mau kasih mas satu kesempatan lagi, kan?"

Aku menghela napas pelan, lalu kembali menatapnya. "Kita bicarakan ini nanti sepulang Mas kerja, ya. Sekarang, beri aku waktu dulu untuk berpikir dengan tenang."

Mas Aldi terdiam sejenak, tapi tak lama dia mengangguk. "Baiklah. Kita bicarakan ini lagi nanti. Mas juga enggak mau kamu tambah sakit. Bisa habis nanti mas diomelin Papa dan Mama kalau kamu kenapa-napa."

Aku hanya tersenyum, lalu kembali menunduk menatap piring.

Usai sarapan, seperti biasa kuantar Mas Aldi ke depan rumah di mana motornya sudah terparkir setelah sempat dipanaskan mesinnya tadi. Aku mencium punggung tangannya takzim yang dibalas Mas Aldi dengan kecupan di kening. Dulu, aku selalu membalas kembali dengan sebuah pelukan, tapi sekarang tidak.

"Mas berangkat dulu, ya. Kamu istirahat. Kabari mas langsung kalau ada apa-apa," pesannya seraya mengusap kepalaku lembut.

Aku mengangguk.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam. Hati-hati," sahutku pelan.

Usai kepergian Mas Aldi, aku kembali ke kamar. Mengambil koper besar disamping lemari dan mulai menata barang pribadi ke dalamnya. Akan tetapi, kepala yang berdenyut sakit memaksa kegiatan ini terhenti, dan memilih berbaring sebentar walau akhirnya tanpa terasa malah terlelap.

🌺🌺🌺

Dering ponsel di atas nakas memaksa mata ini terbuka. Aku mengucek mata dan terkejut melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas siang. Itu artinya, aku sudah terlelap beberapa jam.

"Assalamu'alaikum, Bu," sapaku setelah sambungan telepon terhubung.

"Wa'alaikumsalam. Ini ibu sama Bapak sudah di depan gerbang, Nak. Ibu pencet belnya berkali-kali, tapi kamu enggak keluar juga. Kamu lagi pergi, ya?"

"Ya Allah ... maaf, Bu. Aku ada di rumah, kok. Tunggu sebentar, ya, Bu. Aku ke sana sekarang."

"Ya sudah. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Aku bergegas pergi keluar kamar tanpa membawa ponselnya. Sesampainya di luar, benar saja Ibu dan Bapak sudah terlihat melongokkan kepalanya dari atas gerbang hitam ini.

"Ya Allah, Bu, Pak. Maafin aku. Tadi aku ketiduran," sesalku seraya membukakan kunci gerbang.

"Enggak apa-apa, Nak," ucap Ibu seraya mengusap kepalaku. Membiarkan aku mencium punggung tangannya dan Bapak bergantian.

"Sehat?" Bapak tersenyum.

"Alhamdulillah, Pak. Cuma sedikit pusing aja tadi, makanya dibawa tidur. Eh, malah kebablasan." Aku tertawa kecil.

"Sekarang masih pusing?" Ibu menatapku khawatir.

Aku menggeleng. "Udah enggak. Cuma kurang tidur aja, Bu. Ayo, Pak, Bu, masuk!"

Bapak tersenyum, lalu berjalan mendahului kami. Sementara, Ibu masih belum beranjak sedikit pun dari tempatnya. Membuatku merasa kikuk dipandangi Ibu dalam diam tanpa senyum.

"Kenapa ngeliatin aku begitu, Bu?" Aku terkekeh.

"Kamu habis nangis, ya?"

"Ng-nggak, Bu. Ini bengkak karena kebanyakan tidur." Aku tertawa hambar. "Udah, ah, Bu. Ibu pasti capek. Ayo masuk!" Aku langsung menggandeng lengannya dan membawa Ibu masuk agar tak bertanya lebih banyak lagi.

Aku hendak membuatkan minum, tapi Ibu melarang. Pada akhirnya, aku dan Bapak mengobrol di depan, sedangkan Ibu pergi ke dapur untuk mengambil minum. Kami berbincang hangat dan sesekali tertawa bersama. Baru sebulanan yang lalu kami bertemu, tapi rasanya sudah sangat rindu.

Kumanfaatkan waktu ini untuk bermanja-manja. Berbaring di pangkuan Ibu dengan tangannya yang mengusap-usap lembut rambutku.

"Katanya ada yang mau dibicarakan, Nur?" tanya Bapak yang tengah memakan buah jeruk.

"Iya, Pak. Tapi nanti, ya. Tunggu Mas Aldi pulang kerja dulu. Sekalian tunggu Mama papanya datang.

"Lho, memangnya mereka mau datang juga?" tanya Bapak lagi.

"Iya, Pak. Nurma yang minta mereka untuk datang." Aku tersenyum pahit.

"Wah, kebetulan sudah lama enggak ketemu besan. Bapak bisa main catur bareng sama Pak Ari." Bapak berujar riang 

"Ada apa sebenarnya, Nak? Ibu yakin ini bukan masalah kecil kalau sampai kamu minta kami datang. Iya, kan?"

"Nanti Ibu akan tahu. Sabar, ya, Bu. Kita makan siang saja dulu. Ibu sama Bapak mau makan apa? Biar aku pesankan."

"Enggak usah, Nak. Biar ibu yang masak saja. Kamu ada bahan-bahannya enggak?"

"Ada, sih. Tapi enggak boleh! Kita pesan makan dari luar aja. Ibu 'kan capek," larangku.

"Ibu enggak capek, kok. Masak hanya sebentar."

"Pokoknya enggak boleh. Titik." Aku bersikeras seraya berpura-pura memasang wajah cemberut.

"Ya sudah, ya sudah. Terserah kamu saja." Ibu tersenyum dengan tangannya yang kembali bergerak mengusap rambut ini.

🌺🌺🌺

Bapak tengah beristirahat di kamar lain. Rumah Mas Aldi ini memiliki dua kamar tidur, ruang tamu, dapur, ruang keluarga dan ruang makan yang menjadi satu, juga dua kamar mandi. Satu kamar mandi untuk bersama, satu lagi di kamarku.

Ketika aku tengah melipat sajadah dan mukena setelah menunaikan salat zuhur, Ibu memanggil dari ambang pintu kamar yang sudah rusak.

"Masuk, Bu." Aku tersenyum.

"Pintunya kenapa jadi rusak miring begini, Nak? Awas nanti jatuh nimpa kamu atau Aldi."

"Iya, Bu. Memang rusak."

"Rusak apa dirusakin?" Ibu menatapku penuh selidik.

Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Ibu itu.

"Sini, Bu. Duduk!" Aku menepuk-nepuk tepi ranjang.

Ibu berjalan mendekat, lalu duduk di samping seraya meraih satu tangan ini dan mengusap punggung tanganku lembut.

"Jujur sama Ibu, Nak. Kamu dan Aldi lagi ada masalah, kan? Enggak mungkin kamu sampai minta dua keluarga bertemu kalau ini bukan masalah serius."

Aku menunduk, lalu mengangguk pelan.

"Cerita sama ibu, Nak. Jangan dipendam sendiri. Enggak baik untuk kesehatan mental dan fisik kamu."

Aku menatap Ibu dengan pandangan yang mulai buram karena terhalang air mata. Mengigit bibir bawah yang gemetar, lalu menghambur memeluknya.

"Ibu ...." Aku terisak di pelukannya. "Aku capek, Bu. Aku capek dengan Mas Aldi yang enggak pernah menghargai perasaanku sebagai istrinya."

"Enggak menghargai gimana maksudmu, Nak?" tanya Ibu seraya mengusap-usap punggungku dengan lembut.

"Mas Aldi, Bu. Mas Aldi masih sering mengingat tentang mantannya."

"Maksud kamu?" Ibu mengurai pelukan. Menatap cemas dengan tangannya yang bergerak menghapus air mataku.

"Bukan hanya mengingat, Bu. Memang Mas Aldi sengaja ngejar-ngejar dia. Bukan hanya sering mengirim pesan, tapi selalu buat status tentang perasaannya untuk Lidya di sosial media, Bu. Mas Aldi enggak pernah cinta sama aku. Selama ini, aku hanya jadi pelariannya saja. Bahkan, Mas Aldi masih berdoa dan berharap bisa kembali dipersatukan dengan mantannya. Lalu, aku ini apa, Bu? Aku istrinya, tapi dianggap patung. Sakit, Bu. Sakit."

Ibu kembali membawaku yang menangis tersedu-sedu ini ke dalam pelukannya, lalu mengusap kepala ini dengan lembut.

"Apa sudah coba dibicarakan baik-baik, Nak? Tegur langsung suamimu kalau dia salah karena pria itu memang seringnya enggak peka."

"Sudah, Bu. Ibu tahu? Ini bukan yang pertama kalinya Mas Aldi menyakitiku."

"Maksud kamu?"

Aku kembali mengurai pelukan. Menceritakan semua masalah yang terjadi dengan jelas. Tentang Mas Aldi yang selalu mencoba mencari cara agar bisa berkomunikasi dengan mantannya. Ibu mendengarkan dengan baik tanpa menyela sedikit pun pernjelasanku.

"Ibu bisa lihat ini, Bu. Bacalah! Ini semua foto dari pesan-pesan puitis Mas Aldi untuk Lidya." Aku menggeser satu per satu foto di galeri ponsel. "Dan ini ... ini status terbaru Mas Aldi kemarin pagi, Bu. Ibu baca baik-baik. Bukankah kata-kata terakhir Mas Aldi itu sama aja doa agar kami bercerai dan dia kembali dengan mantannya?"

Ibu terdiam memandangi layar ponsel.

"Aku sudah lelah menegur Mas Aldi, Bu, karena selalu terulang lagi. Semua kata-kataku hanya dianggap angin lalu. Aku enggak dihargai, Bu. Aku enggak dianggap. Bahkan ...." Aku menjeda ucapanku ketika tak kuasa menahan sakit di dada. Hingga rasanya, napasku jadi sedikit tersengal.

"Tenang, Nak. Istighfar. Tarik napas dalam, terus buang pelan-pelan," ujar Ibu seraya mengusap-usap punggungku.

Aku mengikuti apa yang disarankan Ibu beberapa kali. Hingga akhirnya, aku bisa sedikit lebih tenang.

"Bu ... bahkan Mas Aldi mengaku dia membayangkan wajah mantannya kalau sedang bersamaku, Bu. Aku merasa terhina! Aku enggak kuat. Aku mau bercerai saja, Bu."

"Nurma ... istighfar, Nak. Enggak boleh sembarangan bicara. Memangnya kamu sudah memikirkan semua ini dengan kepala dingin, hm? Jangan mengambil keputusan dalam keadaan emosi karena setan akan berperan besar menghasut kita!"

"Aku sudah yakin, Bu. Sudah dua kali aku maafin dan kasih Mas Aldi kesempatan, tapi buktinya apa? Mas Aldi tetap mengulangi kesalahannya itu, Bu. Mas Aldi enggak pernah berubah! Aku menyerah, Bu. Aku mau pisah saja. Aku enggak kuat terus tertekan seperti ini."

"Apa benar yang kamu katakan barusan, Nurma?"

Aku dan Ibu serempak menoleh kaget ketika mendengar suara tegas Bapak.

"Bapak ...."

🌺🌺🌺

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status