"Hahaha. Aku juga nggak sudi mempunyai menantu seperti anak kamu. Tidak bermoral. Makanya jadi cewek jangan terlalu murah. Sekarang bisa merasakan akibatnya kan? Perempuan masih sekolah saja kok mainan burung. Ya hamil lah! Makanya jadi perempuan jangan terlalu bodoh," kata Tamara memanas-manasi."Hei, apa kamu bilang? Keterlaluan kamu ya!" seru Dewi meringsek ke hadapan Tamara lalu mengacungkan tangannya tinggi-tinggi dan langsung mengayunkannya ke pipi Tamara.Tamara yang sudah siap dan sudah memprediksi serangan yang akan ditujukan padanya segera menangkis dan menangkap tangan Dewi. "Hei ngaca kalau mau menyerang orang. Di masa lalu kamu dan ibumu membuat ibu dan adikku mati dan hidupku sangat menderita seperti di neraka. Ini adalah hukuman kamu! Paham?!" seru Tamara sambil menghempaskan tangan Dewi. Begitu tangannya terlepas, Dewi menghambur ke arah Tamara dan dengan cepat menjambak rambut dokter itu. Tamara yang tidak siapa, tidak memprediksi serangan kedua merasa kesakitan ka
Dewi mengangguk dengan takut-takut. "Astaga, aku harus meminta pertanggungjawaban padanya. Walaupun aku miskin dan tidak sekaya dokter itu, aku nggak akan sanggup melihat anakku terbaring lemah tidak berdaya."Ayah dari Nita segera menuju ke arah pintu masuk UGD. "Tunggu Yah. Apa yang akan kamu lakukan?! Dokter Tamara sedang berusaha menyelamatkan anak kita. Jangan ganggu fokusnya!""Aarrgh!"Ayah Tamara meninju tembok di luar UGD lalu duduk di kursi penunggu. Kedua tangannya menangkup wajah diiringi helaan nafas panjang bernada frustasi."Kita tidak bisa hanya diam saja dan menunggu Wi. Paling tidak, kita harus memaksa anak itu bertanggung jawab. Kenapa kamu tidak bilang dari awal kalau Nita hamil?"Dewi menunduk. "Maafkan aku Mas. Aku juga baru tahu kalau Nita hamil setelah kemarin Nita memberi tahu bahwa pacarnya akan datang untuk membahas kehamilannya. Tapi aku terkejut karena ternyata yang datang adalah anak dari ayah tiriku.""Astaga!! Kenapa jadi seperti ini? Jadi Tamara itu s
Dewi dan suaminya menoleh. "Bagus deh. Kalau begitu ayo ikut kami ke PMI," ujar suami Dewi sambil berjalan mendahului Dewi dan Doni. "Tunggu. Ini surat pengantar untuk pengambilan darah." Suster itu memberikan selembar amplop putih kepada Doni. Doni menerima amplop tersebut dan mengejar suami Dewi."Om. Naik mobil saya saja. Saya bawa mobil."Suami Dewi menghentikan langkah dan membalikkan badan lalu menatap Doni. "Kamu sepertinya belum genap berusia 17 tahun. Bagaimana mungkin kamu sudah boleh membawa mobil oleh orang tua kamu di jalan raya? Kamu juga pasti belum punya SIM.""Ya, saya mengendarai mobil di jalan yang sepi Om. Agar tidak ketahuan oleh polisi.""Kalau begitu, mana mobil kamu. Biar Om saja yang menyetir. Mobil Om baru saja dijual untuk modal usaha baru Om.""Kalau saya boleh tahu, usaha baru Om apa ya?" tanya Doni sambil menyerahkan kunci mobil milik ayahnya. "Kafe dan resto," sahut suami Dewi.Doni terdiam tanpa menanggapi. Dewi dan suaminya pun juga malas untuk basa
Teman-teman Doni terpaku mendengarkan penjelasan dokter sampai selesai tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun. "Jadi itu saja informasi yang perlu saya sampaikan. Kalau ada pertanyaan, bisa bertanya pada para suster. Saya permisi dulu karena masih harus visite dengan beberapa pasien lain.""Terimakasih Dokter."Dokter keluar dari ruangan konsultasi dan disusul oleh Doni dan kedua orang tua Nita."Loh, kalian kok di sini?" tanya Doni panik. Begitu pula ekspresi wajah Dewi dan suaminya. Teman-teman Doni hanya terpaku tanpa bisa menanggapi. "Kami ...,""Om mau bicara dengan kalian berlima. Bisa kita bicara sebentar?" tanya suami Dewi. Teman-teman Doni mengangguk. Lalu mengikuti langkah ayah Nita tersebut hingga sampai di depan ruang bersalin. Ayah Nita lalu duduk di kursi keluarga pasien dan memandang semua teman-teman Nita."Kalian sudah mendengar apa kata dokter sewaktu ada di ruangan tadi kan?" tanya ayah Nita. Kelima orang teman Nita hanya bisa terdiam."Saya tahu kalian sudah
"Akhirnya kamu besok wisuda, Mas," ucap Rengganis sambil melingkarkan tangan ke pinggang sang suami. Reyhan tersenyum. "Alhamdulillah semua proses PPDS berlangsung lancar. Walaupun pada awalnya ada kendala.""Hm, iya Sayang. Sebenarnya kemarin aku sudah hopeless tentang kelancaran PPDS kamu.""Aku tahu. Pasti karena Tamara. Iya kan?"Rengganis mengangguk. "Dan atas perantara kita, Tamara bisa berbaikan kembali dengan Bapaknya.""Iya. Aku juga tidak menyangka.""Apa rencana kamu kedepannya Mas?""Rencana jangka panjang atau jangka pendek?" tanya Reyhan sambil mulai memegangi bibir Rengganis."Jangka panjang dong."Reyhan berpikir sejenak. "Tidak ada rencana."Rengganis tergelak. "Kok bisa tidak ada rencana?""Aku hanya perlu kembali ke RSUD dan bekerja dengan rajin di sana. Terus mau apalagi?" tanya Reyhan balik. "Kali aja mau bikin tempat praktek di rumah."Reyhan menggeleng. "Enggak. Aku kerja di luar rumah saja. Kalau di rumah, waktunya happy happy dengan istri," jawab Reyhan menc
Ada tiga hal yang tidak bisa dihitung di dunia ini. 1. Ikan-ikan di laut. 2. Bintang-bintang di langit. 3. Rasa cintaku padamu**[Cincin yang cantik untuk kesayangan]Aku mendelik membaca status di aplikasi hijau milik mas Erick, calon suamiku."Cie Rengganis. Romantis sekali ya calon suamimu!" ledek dokter Reyhan tersenyum-senyum sambil memandangiku yang gemetar memegangi ponselnya."Dokter, bukan seperti itu."Aku tercekat sambil mengembalikan ponsel dokter Reyhan. Jemariku saling bertaut dan terasa dingin. Tiga hari lagi aku akan menikah dengan mas Erick, seorang arsitek yang sedang naik daun.Bangunan yang sedang digarapnya ada di beberapa daerah sekaligus.Tampan, kaya dan mapan. Aku sangat beruntung memilikinya.Tapi sore ini saat aku mengajukan cuti selama 3 hari ke depan dan bertemu dengan dokter Reyhan, jantungku seolah berhenti berdetak.Sebenarnya aku sudah memilih cincin dengan mas Erick beberapa hari yang lalu. Cincin emas putih bermata biru yang sangat indah. Jela
1,3,4,5,6,7,8,9,10. Sudah benar belum menghitungnya?* Kok nggak ada dua-nya?*Sama kayak kamu dong! Enggak ada duanya ... ***Hatiku terasa teremas mendengar percakapan mereka. "Awas saja kamu, Mas!" seruku lirih sambil menggeretakkan gigi menahan kesal dan amarah. "Dan Ayah ternyata menyembunyikan rahasia besar selama ini. Apa sekarang lebih baik aku tiba-tiba muncul saja dan mengagetkan mereka?" gumamku lirih. "Ah, jangan! Nanti malah aku yang dikeroyok oleh mereka. Lagipula, kalau ketahuan sekarang kan jadinya tidak seru. Mereka harus malu bahkan harus menderita lebih parah dibandingkan rasa sakit hatiku ini!"Aku masih berjongkok di luar pintu rumah mas Erick dengan menimbang apa langkah yang seharusnya aku ambil saat ini seraya tetap merekam kelakuan dan segala ucapan mereka.Aku mencoba menahan rasa kram dan kesemutan yang mulai menyerang kedua kaki demi mendapatkan bukti untuk mempermalukan mereka."Sudah cukup nih rekamannya. Sudah cukup bukti untuk membalas rencana mereka
*Dari sekian menu yang ada di hadapanku, yang paling aku sukai adalah menu-a bersama mu.***Aku masih berdiri dengan terbengong karena bingung apa yang harus kulakukan saat ini, ketika sebuah suara yang tidak asing terdengar."Siapa yang datang, Nis?"Ayah muncul dari ruang makan."Loh, Nak Erick, kok mendadak kesini? Apa ada hal yang ingin dibicarakan? Kenapa tidak telepon saja?" tanya ayah sambil duduk di hadapan mas Erick."Bund, ini loh ada anak kita datang. Calon manten ini terlihat semakin ngganteng saja," sambung ayah tertawa.Mas Erick langsung menyalami dan mencium tangan ayah dengan takzim."Kata Mama juga harus datang sendiri karena ada hal yang penting yang berkaitan dengan sedikit perubahan dalam pernikahan nanti.""Ada perubahan apa?" tanya ayah mencondongkan tubuhnya semakin dekat ke arah mas Erick. "Eemm, begini. Keluarga kami yang datang rupanya lebih banyak dari perkiraan dan tidak jadi menginap saat H-1, tapi besok sudah mulai berdatangan ke penginapan yang dipers