"Ada sesuatu di dalam perutmu. Lihat itu! perutmu bergerak, Dek!" pekik Aldo. Tangannya menunjuk ke arah perut Sinta yang nampak bergerak."Kamu kenapa sih, Mas? Orang tidak ada apa-apa." Sinta meraba perutnya dan merasa tak ada yang aneh. Wanita itu lantas menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Sinta begitu kesal karena suaminya yang berhenti secara tiba-tiba dan semua omongannya itu."Apa kamu hamil, Dek? Mas melihat seperti ada siku yang menonjol, persis seperti saat dahulu kamu hamil Rafa dan Sheila. Tetapi, seingat Mas bayi bergerak di usia 5 bulanan." Aldo begitu heran dengan apa yang ia lihat barusan."Kalau hamil pastinya perutku besar." Sinta kembali memperlihatkan perut rampingnya. "Lihat ini. Perutku masih seksi. Dan satu lagi, aku masih lancar datang bulan, Mas," pungkas Sinta dengan raut wajah yang begitu masam.Aldo menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Tetapi ... Mas benar-benar melihatnya. Apa kamu tak merasakan apa-apa?" tanya Aldo."Tidak!" sahut Sinta dengan ketu
"Jangan buka pintunya, percayalah dia bukan Mas!" teriak Aldo dari seberang telepon.Gedoran di pintu semakin kencang, membuat wanita yang tengah berdiri mematung dengan ponsel yang masih menempel di daun telinganya itu semakin gemetaran."Tolong Mas, Dek! Buka pintunya!" Suara di luar sana terdengar ketakutan. "Jangan percaya jika ada yang menelepon! Itu bukan, Mas!" sambungnya lagi dengan tangan yang terus berusaha mendobrak pintu.Sinta dilanda ketakutan dan juga kebingungan. Mana yang harus dia percaya? Sementara dua-duanya memiliki suara yang sama persis seperti sang suami."Kamu masih di sana, Dek?" Terdengar suara dari balik telepon."I-iya Mas. Sinta harus bagaima-" ucapan Sinta terhenti tatkala sambungan telepon itu mati.Tut ... Tut ... Tut ..."Halo Mas! Halo!" Sinta melihat layar ponsel yang ia genggam berubah gelap karena kehabisan baterai. Tubuh wanita itu langsung beringsut mundur ketika pintu di dorong dengan keras."Cepat buka pintunya, Dek!" teriaknya dari luar sana.
"Bukannya semalam kamu kesakitan? Mengapa sekarang menjulang tinggi lagi? Bahkan lebih dan lebih dari biasanya!" Sinta terkesima dengan apa yang ia lihat dan terpampang nyata di depan sana."Kamu hanya perlu diam dan menikmatinya. Aku tahu, kamu suka dan selalu menantikan momen ini bukan?" Lelaki itu bersuara lembut.Sinta hanya mengangguk pasrah, ia tak perduli jika saat ini ia berada di belakang rumah. Tepatnya di bawah pohon nangka yang bersebelahan dengan kandang ayam miliknya. Sinta pun tak menghiraukan bau yang bercampur aduk antara kotoran ayam serta bau menyengat lainnya. Ia sudah mabuk kepayang dengan semua perlakuan suami palsunya itu."Aku sangat mencintaimu," ucap Aldo palsu di tengah aktivitasnya. Kedua pasang mata itu saling bertatap-tatapan di tengah gelapnya malam.Angin pun turut berhembus kencang serta suara gaduh ayam yang seolah ikut ketakutan. Namun, tak menyurutkan Sinta untuk berhenti dan semakin terbuai dengan lelaki yang ia anggap suaminya itu."Aku tak akan m
"Aku tidak apa-apa, Mas." Sinta menyunggingkan senyum hingga menampilkan deretan gigi-gigi putihnya."Mas sangat khawatir, takut terjadi sesuatu padamu. Untung saja kamu menuruti perkataan Mas," Aldo berucap lirih. Matanya liar meniti tubuh istrinya dari atas sampai bawah. "Kamu beneran tidak apa-apa? Wajah mu benar-benar putih pucat lho. Tak seperti biasanya." Aldo kembali memastikan karena ia tak ingin istrinya kenapa-kenapa.Sinta hanya menggelengkan kepalanya pelan. Tanpa berucap sepatah kata pun, wanita itu melangkah menuju kamar dan diikuti Aldo dari belakang."Tadi kamu bersembunyi ya, Dek? Mas cari tidak ketemu dan tiba-tiba nongol di belakangku." Aldo masih mempertanyakan perihal tadi, sebab wanita itu tak kunjung menjawab.Langkah kaki Sinta terhenti dan berdiri tepat di depan lemari kaca. Perlahan tangannya meraih sisir dan mengayunkannya dengan pelan. Satu tangannya pun membelai rambut yang menjuntai panjang itu dengan lembut.Aldo mengernyitkan dahi dan ikut mendekat hin
"Kayaknya Mas tidak ikut berangkat kerja, Di."Kedua saudara itu tengah duduk di depan ruang rawat sang bapak. Sedangkan Sheila dan Rafa berada di dalam kamar tengah bercerita bersama Pak Wito. Keadaan pria tua itu sudah mulai membaik, hanya tangan kirinya saja yang belum sepenuhnya bisa digerakkan dengan sempurna."Memangnya kenapa, Mas?" Ardi menatap sang kakak yang mulai tertunduk dengan memijit keningnya pelan."Kalau soal bapak, Mas tidak perlu khawatir. Ardi bisa merawat bapak dengan baik. Lagi pula, sore nanti bapak sudah diperbolehkan pulang dan bisa rawat jalan. Mas fokus bekerja saja," sambung lelaki bertubuh tinggi itu.Aldo menggelengkan kepala dengan pelan. "Bukan itu. Semalam Mas merasakan kejadian aneh lagi. Mas takut jika tak ada Mas di rumah, gangguan-gangguan itu akan terjadi terus-menerus. Mas tak ingin keluargaku kenapa-kenapa." Aldo menghela napas dalam, lalu menghembuskan secara perlahan."Tetapi, hutangku juga sudah menumpuk di tempat juragan. Mas takut sewaktu-
"Mungkin musang yang memakan ayam-ayam ini, Bu." Rafa berjalan mendekat dan hendak membantu sang ibu yang sibuk membersihkan semua kekacauan itu."Biarkan ibu yang membereskan semuanya. Kamu mandi sana," usir Sinta. Rafa pun menurut dan pergi meninggalkan Sinta sendirian.Wanita itu melepas ayam betina yang masih tersisa, setelahnya mengumpulkan bangkai ayam yang nampak masih segar. Bau amis dan anyir sangat menyengat, tangan dan kaki Sinta pun penuh dengan lelehan darah.Ia memasukkan tulang belulang serta bulu-bulu yang masih menempel pada kulit ayam itu ke dalam karung. Saat ia mencoba meraih dan menarik ayam yang terjepit di antara kandang. Pegangannya terlepas sehingga membuat ayam yang telah koyak itu terpental mengenai wajahnya.Sinta terdiam merasakan darah ayam yang terciprat mengenai area mulutnya. Amis, akan tetapi, mengapa baunya membuat Sinta menjadi tergoda? Wanita itu melirik sekitar, tak ada siapa pun di sini. Otaknya tiba-tiba memikirkan hal gila."Kenapa bangkai ayam
Mata yang tadinya menghitam, wajah yang penuh dengan darah ayam serta mulut dan sela-sela gigi dipenuhi dengan tulang itu, berubah bersih tanpa noda. Gaun malam yang Sinta kenakan pun sudah bersih tanpa noda sedikitpun. Sebelum menoleh ke belakang, wanita itu terlebih dahulu menetralkan detak jantung yang berdegup kencang. Mencoba menarik sudut bibirnya untuk tersenyum."Rafa sendiri ngapain malam-malam ke dapur?" Sinta tak menjawab pertanyaan anak lelakinya itu dan justru dirinya balik bertanya.Anak itu berjalan mendekati sang ibu. "Rafa kebelet," ucap bocah lelaki itu dan melewati Sinta begitu saja. Rafa dengan cepat masuk ke dalam bilik kamar mandi dan segera menuntaskan hajatnya.Sementara Sinta, wanita itu buru-buru membersihkan sisa bulu-bulu ayam sebelum Rafa menyadari semuanya. Dengan gerakan cepat, Sinta memasukan ke dalam kantong plastik hitam dan segera melemparnya ke dalam tong sampah yang berada di sudut dapur.Wanita itu berjalan menuju wastafel dan mencuci mukanya hin
Mata Sinta membulat sempurna dengan mulut menganga. Lelaki yang ada di hadapannya itu merubah wujud.Bak seorang bidadara yang turun dari kayangan. Lelaki itu memiliki rahang tegas, mata yang indah, bulu halus nan tipis yang memenuhi area dagu dan senyum terukir yang membuat siapa saja akan betah berlama-lama memandangnya."Siapa kamu?" Sinta memiringkan wajahnya, memperhatikan setiap detail keindahan yang terpampang nyata di wajah itu. "Kamu dari mana? Wajah aslimu jauh lebih tampan," sambungnya. Sinta tertipu, itu bukanlah wujud asli melainkan hanyalah bayangan semu untuk memikat dirinya."Tenangkan dulu anakmu, lalu balik lagi ke sini. Aku tak akan ke mana-mana dan tetap menunggumu," ucapnya dengan pelan namun tegas. Suara baritonnya mampu menyihir otak wanita itu.Sinta mengangguk lalu bangkit dari atas ranjang. Meraih apapun yang ada di dekatnya untuk menutupi tubuh polosnya.Kreekkk ...Sinta sedikit membuka pintu dan hanya kepalanya saja yang melongok keluar. Rafa yang sedari