Kepanikan di sepertiga malam terjadi di rumah kayu itu. Aldo terus memanjatkan doa, sedangkan Sinta turut menenangkan putrinya yang tak hentinya meracau dan kejang-kejang.
Setelah beberapa menit berlalu, akhirnya Sheila berhasil di tenangkan. Namun, suhu badannya meningkat drastis. "Dek, ambilkan kompres sama air." titah Aldo kepada Sinta.Sheila segera di kompres karena badannya begitu panas sampai membuat dirinya menggigil. Aldo dibantu sang istri segera membuka baju yang dikenakan bocah perempuan itu dan diganti dengan pakaian tipis.Aldo perlahan berdiri dengan Sheila yang masih berada digendongannya. Aldo berniat menidurkan sang anak di ranjang miliknya. Baru beberapa langkah masuk, Sheila memejamkan mata dan kembali memekik histeris."Sheila tidak mau tidur di sini!" Bocah perempuan itu kembali mengeratkan pelukan.Aldo mencoba membujuk. "Di kamar Sheila kan ranjangnya kecil, tidur di sini sama Bapak, ya?"Sheila terus saja menggelengkan kepala dengan kuat. Aldo menghembuskan napas dengan perlahan dan berbalik menuju kamar sang anak."Rafa tidur di atas ya? Biar adik di ranjang bawah."Rafa menguap dengan lebar seraya menganggukkan kepala. Ia segera naik ke ranjang atas."Duduk, Mas." Sinta membawakan kursi plastik untuk suaminya.Aldo mengusap kening putrinya yang penuh dengan keringat dingin. "Sekarang, Sheila bobok lagi ya? Besok kita puskesmas agar Sheila cepat sembuh." Mata yang tadinya terbuka, perlahan mulai mengatup.Hoaahh ...Sinta yang berdiri di dekat sang suami, menguap dengan lebar. "Kamu tidur saja, Dek. Biar Sheila aku yang jaga," ucap Aldo.Sinta akhirnya melenggang pergi menuju kamar meninggalkan sang suami.******"Aku ngantuk, Mas. Jangan pancing-pancing, nanti aku kepengen."Di sela tidurnya, Sinta terus meracau di sebabkan rasa geli di sekitar pahanya. Bukannya berhenti, rasa geli itu semakin menjalar.Sinta pun bangun dan terduduk, mengucek matanya dengan pelan. "Kenapa ke sini, Mas. Kalau Sheila terbangun bagaimana?"Hening, tak ada jawaban. Sinta segera membuka mata dan memandang sekitar. "Mas? Mas Aldo?" Sinta heran karena tidak ada siapa pun di kamarnya."Aneh sekali, perasaan ada yang menggerayangi tubuhku. Atau aku hanya mimpi ya?" gumamnya pelan.Karena sudah terlanjur meningkat libidonya, Sinta menanggalkan semua pakaiannya dan bersiap menuntaskannya sendiri. Duduk di depan jendela agar tidak kegerahan karena kipas angin kecil berada di sana.Beberapa menit kemudian, Sinta lemas dengan napas yang masih memburu. Keringat pun bercucuran di tubuh polosnya.Sinta tersentak saat ada tangan yang terasa dingin menyentuh pundaknya. "Mas Aldo? Kamu ngagetin saja sih?" Sinta berbalik, ternyata sang suami sudah berdiri di belakangnya."Jangan sekarang, Mas." Sinta berusaha mencegah saat suaminya itu tiba-tiba menyerang dan mengangkat tubuhnya. Namun, tenaga Sinta tak cukup kuat."Kalau Sheila bangun bagaimana, Mas?" Aldo tak menghiraukan perkataan Sinta.Lama kelamaan Sinta jadi terbuai, di tambah lagi badan suaminya yang terasa dingin membuat dirinya tidak merasa kepanasan.Lagi-lagi Sinta heran kenapa suaminya tiba-tiba bisa berubah liar dan kuat seperti itu. Sinta lemas dan tertidur pulas dengan hanya mengenakan selimut untuk menutupi tubuhnya.******Goncangan di tubuhnya membuat Sinta terbangun dari tidurmya. "Hmmm ...""Bangun,.Dek."Aldo sudah rapi dengan sarung dan juga peci hitam yang bertengger di atas kepala. Sajadah pun sudah ia gelar di dekat lemari. Kali ini, dia tidak pergi ke masjid karena tak ingin meninggalkan putrinya yang sejak semalam terus mengigau dan tidak tidur dengan nyenyak."Mau barengan atau sendiri, Dek?"Sinta yang masih mengantuk, memaksakan diri untuk bangun. "Kamu duluan saja, Mas. Nanti aku sembahyang sendiri." Sinta segera keluar dan menuju kamar mandi.Bryuurrr ... Byuuurr ... Byuurrr ... Byuuurrr...Sinta terus mengguyur rambut hingga pangkal kaki. Setelah itu, dirinya ganti baju dan segera menunaikan kewajibannya.Saat dirinya melaksanakan kewajibannya, dirinya terus menerus menguap tanpa henti. Tubuhnya terasa malas sekali dan melakukannya dengan tergesa-gesa agar cepat selesai.Sinta kembali merebahkan tubuhnya di ranjang. Wanita yang memiliki paras cantik itu, biasanya akan mengaji dan segera beberes rumah. Namun, kali ini berbeda, rasa malas berhasil menguasai dirinya.Berbeda dengan Sinta, Aldo tengah mengurus Sheila dan mengganti pakaiannya yang basah akan keringat. "Rafa, tolong bilangin ke ibu untuk membuat bubur ya?" Rafa segera keluar mencari sang ibu.Rafa kembali masuk kamar setelah menemui ibunya. "Ibu masih tidur, Pak. Rafa bangunin tidak bangun-bangun."Aldo menautkan alisnya, tak biasanya istrinya tidur kembali selesai subuh. 'Apa Sinta sakit ya?' ucapnya dalam hati. Ia segera berdiri. "Jagain adek dulu ya?"Aldo segera menghampiri istrinya di dalam kamar. "Dek, kamu sakit?"Sinta menggeliat dan bergumam pelan. "Aku masih capek, Mas." jawabnya dengan suara parau.Aldo kira istrinya benar-benar tak enak badan. "Ya sudah, kamu istirahat saja." Aldo menarik selimut dan kembali menutupi tubuh istrinya.******Selesai membuat sarapan dan menyuapi Sheila, Aldo lantas menghubungi nomor adiknya menggunakan ponsel jadulnya.Tadi, sebelum anak sulungnya berangkat sekolah, Aldo lupa memberitahunya agar mampir di rumah kakeknya."Halo Ardi, kamu sudah berangkat kerja belum?" tanya Aldo setelah panggilan terhubung."Lagi libur, Mas." Adiknya itu bekerja di sebuah konter hp yang ada di dekat jalan raya dan membutuhkan waktu 15 menit untuk sampai di sana."Tolong anterin Mas ke puskesmas ya? Sheila demam." Ardi pun lantas meng-iyakan dan akan segera berangkat menuju rumah Aldo.Setelah ponsel dimatikan, Aldo kembali melihat keadaan istrinya di dalam kamar. Ia hanya melonggok dari daun pintu dan ternyata Sinta masih terbaring di atas ranjang."Assalamualaikum..." Terdengar sapaan Ardi dari luar."Wa'alakumsalam, sebentar Di!" Aldo pun segera menuju kamar Sheila dan menggendongnya. Mereka bertiga segera melaju menuju puskesmas yang lokasinya tak jauh dari sini.Sesampainya di Puskesmas, tak ada antrian sama sekali karena masih terlalu pagi dan Sheila bisa langsung diperiksa serta diberi obat penurun panas.******"Kamu belum tidur ya, Mas?" Ardi bertanya sebab melihat raut wajah kakaknya yang sayu dan kantung mata yang menghitam."Semalam Sheila mengigau terus. Jadi, Mas tidur di kursi dekat ranjangnya.""Mas Aldo tidur saja, biar aku yang menjaga Sheila. Lagian aku sudah masak untuk abah, jadi gak ngapa-ngapain.""Beneran? Ya udah, Mas tidur di karpet sini saja." Aldo segera merebahkan tubuh nya di atas karpet yang berada di depan televisi. Sedangkan Ardi beranjak ke kamar Sheila untuk menemani gadis kecil itu."Bapak mana, Om?" tanya Sheila saat Ardi tiba di kamarnya."Bapak kecapean. Jadi, Om mennyuruh bapak istirahat dan tidur."Sheila mengangguk pelan. "Aku semalam melihat ibu kakinya mengangkang dan ada orang tubuhnya besar dan menyeramkan. Sedangkan bapak tidur di sampingnya."Ardi kaget bukan main mendengar penuturan gadis kecil itu."Aku takut," ucap Sheila sangat lirih.Ardi mencoba mencerna kembali ucapan gadis kecil di hadapannya ini. "Mungkin Sheila mengigau. Sudah jangan dipikirkan. Sekarang istirahat dan tidur ya? Om temani di sini."Sheila mengangguk dan memejamkan mata. Usapan lembut Ardi berikan agar Sheila cepat terlelap. Ardi memilih tak menanggapi ucapan Sheila, dia pikir semua itu hanya halusinasinya saja.******Beberapa minggu pun berlalu, Aldo bingung karena tak ada uang sama sekali. Sedangkan kebutuhan rumah tangga harus dipenuhi. Tidak ada pekerjaan di ladang sebab tengah musim kemarau. Mencari ikan untuk lauk makan pun hanya dapat sedikit karena air sungai mulai surut.Kalau hanya untuk makan sehari-hari, mereka bisa mengambil sayur mayur di kebun. Hanya saja, untuk membeli beras, kebutuhan sekolah anak, kebutuhan istri, listrik dan kebutuhan lainnya membutuhkan uang.Aldo masih termenung memikirkan tawaran suaminya Mak Siti beberapa hari yang lalu. Kata suami Mak Siti, kerja kuli bangunan di
Sinta mencium bau hangus, seperti bau ubi yang di masukan ke dalam arang dan dibiarkan menghitam. Kira-kira seperti itulah bau tubuh suami Sinta saat ini.Sinta yang tadinya bergelayut manja di lengan kekar Aldo, seketika menjauhkan kepalanya. Mengendus bau tak sedap yang keluar dari tubuh sang suami.Braaakkk !!!Sinta tersentak dan memegangi dadanya. Ia pun segera menoleh ke samping, tatkala pintu yang terbuat dari kayu jati putih itu tiba-tiba tertutup sendiri dan menimbulkan suara yang cukup nyaring."Astaghfirullah. Apa itu, Mas?" pekik Sinta. Wanita itu pun beranjak dari duduknya dan segera berjalan menuju pintu yang memang belum sempat ia tutup. Dirinya lantas segera mengunci pintu tersebut."Hanya angin." Aldo bangkit, berjalan gontai menuju kamar.Wanita itu segera menyusul sang suami ke dalam kamar. Saat dirinya tiba di ambang pintu, ia melihat Aldo yang sudah terbaring terlentang. Baju kemeja kotak-kotak yang Aldo kenakan pun sudah terlepas dari tubuhnya.Sinta berjalan men
Pukul 19.00"Bu, kata para tetangga, rumah kita ada hantunya ya?" tanya Rafa, mimik wajah bocah itu nampak bergidik ngeri.Saat ini Sinta tengah berada di teras rumah mertuanya untuk membujuk kedua anaknya yang tidak mau pulang ke rumah."Sheila mau menginap di rumah kakek, tidak mau tidur di rumah sebelum ayah pulang dari kota," sahut bocah perempuan berusia 7 tahun itu.Sinta menghela napas mendengar penuturan anak-anaknya tersebut. "Sssttt ... tidak boleh bicara seperti itu. Walau bagaimana pun, itu rumah kita, tempat tinggal kita. Rafa dan Sheila tidak usah mendengarkan apa kata orang. Apa selama ini ada yang aneh di rumah?" tanya Sinta.Kedua bocah itu sama-sama menggelengkan kepala seraya menatap ibunya."Nah, tidak ada bukan? Buktinya selama ini rumah kita adem ayem dan tidak terjadi apa-apa. Dan satu lagi, ayah semalam pulang loh! Tetapi, pagi tadi sudah berangkat lagi." Sontak ucapan Sinta berhasil membuat kedua anaknya tercengang."Benarkah, Bu? Padahal kemaren sore kami dan
"Lepas! TOLONG!" Teriakan Sinta hanya tertahan di tenggorokan. Sekuat apapun perempuan itu berteriak, yang keluar hanyalah angin dan mulutnya yang nampak bergerak-gerak."Tolooonnggg ...!" Lagi-lagi suara itu tak dapat keluar. Teriakan dan jeritan Sinta tertahan, seperti ada sesuatu yang menghalangi. Ia terus berusaha, akan tetapi tak mampu mendobrak penghalang tersebut.Tangan Aldo yang kekar berubah menjadi lebih besar, hitam dan berbulu. Kukunya panjang dan berserabut seperti akar pohon. Lidah panjangnya masih menjulur dan menjilati darah yang berserakan di atas selimut.Aldo mendongak dan melihat Sinta dengan tatapan tajam. Sontak hal tersebut membuat wanita itu kembali merasakan ketakutan yang luar biasa. Sinta terus bergerak mundur saat tangan besar itu sudah melepaskan kakinya dan beralih meraih kain yang penuh dengan darah.Saat Sinta berhasil menjauh, tangan itu kembali terulur dan berhasil mencengkeram pergelangan kakinya. Bahkan semakin erat karena ada kuku-kuku yang berser
Tangan lelaki itu mulai kelelahan karena lamanya menarik pedal gas. "Perasaan matahari hendak terbit. Kenapa sekarang menjadi gelap lagi? Apa mungkin mau turun hujan?" Ardi bergumam pelan. Motornya pun masih melaju dengan kecepatan sedang.Tiba-tiba saja angin berhembus dengan kencang membuat rambutnya yang sedikit panjang di bagian depan ikut berkibar. Lelaki itu sampai menggigil karena kencangnya angin, sekujur tubuhnya pun mulai merasakan ada titik-titik air yang berjatuhan dari langit. Awalnya hanya rintik-rintik, lama kelamaan hujan turun semakin lebat sehingga membuat sekujur tubuh lelaki itu basah. Ardi memutuskan menepi dan berhenti di bawah pohon mahoni karena hujan tak kunjung reda. Ardi melirik pohon yang berada di belakangnya ini. Ia nampak heran sebab pepohonan yang berada di sekitarnya sudah gersang serta daunnya pun banyak yang berguguran. Hanya pohon besar ini satu-satunya yang masih rimbun dan daunnya pun masih hijau.Ardi meraih ponsel yang berada di dalam saku cela
Pak Sholeh memutuskan menyuruh anak lelakinya untuk mendatangi seorang Ustadz yang tinggal di kampung ujung."Sepertinya Pak Ustadz di kampung sebelah tidak ada. Maka dari itu Ardi lama, Pak Wito," ujar Pak Sholeh."Mungkin saja Ardi mencari orang ahli agama yang lainnya." Sambung salah seorang bapak-bapak yang tengah memegang tangan Sinta.Wanita itu kini sudah jauh lebih tenang, tidak berteriak-teriak seperti sebelumnya. Hanya saja, Sinta sesekali masih menendang dan jika di lepas akan melukai dirinya sendiri."Seharusnya Ardi akan langsung ke Ustadz yang di kampung ujung. Anak itu juga kenal dengannya," sahut Pak Wito, yang tak lain adalah bapaknya Ardi dan juga Aldo."Lalu ke mana perginya Ardi? Hampir satu jam dia belum tiba juga," pungkas lelaki paruh baya itu, suaranya pun terdengar khawatir."Kita berpikir positif saja Pak. Bisa jadi Ardi kehabisan bensin atau bannya bocor."Beberapa menit kemudian terdengar suara deru motor. Anak lelaki Pak Sholeh sudah tiba bersama seorang U
"Kamu jangan ikut, jaga Sheila dan Rafa. Biar bapak yang ke hutan." Lelaki yang berumur lebih dari 50 tahun itu mencegah saat Sinta ingin ikut ke hutan."Hati-hati, Pak."Pak Wito berjalan dengan tergesa, tak memperdulikan tubuhnya yang mulai kelelahan karena tak terbiasa jalan terlalu jauh. Sudah beberapa ratus meter lelaki itu berjalan. Hingga ada suara deru motor dan seseorang yang memanggil namanya dari arah belakang dan membuat langkah kaki Pak Wito terhenti. Ia pun menoleh dan mendapati beberapa warga yang menyusul dirinya. "Ayo naik, Pak Wito," ajak salah seorang bapak-bapak yang berkendara sendirian. Sedangkan yang lainnya tetap melajukan kendaraanya menuju hutan.Lelaki paruh baya itu lantas naik dan motor kembali melaju. Tak hanya khawatir, mereka pun di buru oleh waktu karena hari mulai senja. Semburat merah mewarnai langit, cahaya matahari perlahan mulai meredup karena sang Surya sedikit demi sedikit mulai tenggelam."Pegangan Pak Wito," seru bapak yang mengendarai motor
"Selamat pagi Mas Ardi," sapa Syahril, pemuda yang tinggal di seberang rumah Sinta. Pemuda itu tengah berdiri seraya memanaskan sepeda motornya."Mau berangkat sekolah?" Ardi yang tadinya menunduk memandangi ponselnya, kini menoleh ke arah pemuda tersebut seraya menarik sudut bibirnya menciptakan lengkungan tipis."Iya, Mas," jawab pemuda itu singkat.Ardi meraih tongkat kayu yang berada di sampingnya. Lelaki itu segera bangkit dan berjalan dengan tertatih menghampiri Syahril."Mau ke mana, Mas? Hati-hati." Pemuda itu nampak panik, melepaskan setang motor dan berlari menghampiri Ardi yang berjalan dengan bantuan tongkat kayu."Mau nitip ini." Ardi meraih ponselnya yang mati dan menyerahkan kepada pemuda itu."Simpan di konter depan sana ya. Bilang saja punyaku," pungkas Ardi."Baik, Mas."Setelah memastikan pemuda itu pergi, Ardi kembali masuk ke dalam rumah. Usai kejadian tempo hari, salah satu kaki lelaki itu masih terasa kaku dan terkadang dadanya masih berdenyut nyeri. Baru saja i