Share

Bab 05 || Merasa Bersalah

Penulis: ValiciaClarenda
last update Terakhir Diperbarui: 2024-04-13 22:27:52

Dinginnya udara terasa begitu menusuk. Waktu telah menunjukkan pukul 05 pagi, setelah shalat subuh, Ameera berniat keluar kamar. Namun, pandangannya berlabuh pada sosok Alvan yang tengah tertidur di kursi kerja di sudut kamar. Sepulang dari kantor dini hari tadi, ia tidak langsung beristirahat. Alvan kembali berkutaat dengan pekerjaan-nya dan berakhir ketiduran.

Menyadari hal tersebut, Ameera menghela napas panjang. Ia meraih selimut tebal yang terlipat rapi di sisi tempat tidur, lalu membawanya menuju tempat di mana suaminya berada. “Kasihan sekali Mas Alvan. Pasti kedinginan ketiduran di situ.” Dibentangkan-nya selimut yang tadi diambil, kemudian digunakan untuk menyelimuti tubuh suaminya, bertujuan menjaganya tetap hangat. “Sebaiknya sekarang aku turun dan membantu membuat sarapan pagi.” Ameera melirik sosok jangkung yang tengah terlelap itu sekilas, sebelum kemudian berjalan keluar kamar menuju dapur.

Bagaimanapun juga, ini adalah hari pertamanya menjadi seorang istri. Sebuah peran yang harusnya diisi dengan penuh kebahagiaan dan harapan. Namun, bagi Ameera, semua bagai pukulan telak. Ia harus mengambil peran dengan hati yang berat dan mata yang masih berkabung atas kepergian Alex, cinta pertamanya yang meninggal dalam sebuah kecelakaan tragis. Walau demikian, di sela-sela langkahnya, Ameera menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkan-nya secara perlahan, ia mencoba mengikhlaskan semuanya dan menerima garis takdir yang telah semesta tentukan untuk-nya.

.

.

“Enaknya masak apa, ya, pagi ini?” Di dapur, Ameera tengah memperhatikan isi kulkas, mencoba memilih apa yang harus dibuatnya sebagai menu sarapan pagi keluarga mereka. Sebenarnya, para pelayan telah melarang Ameera untuk masuk ke dalam dapur serta membiarkan mereka melakukan semua pekerjaan ini. Namun, perempuan itu terus memohon dan bersikeras melakukan-nya sendiri. Alasannya, tentu saja dia ingin mencoba kebolehan-nya dalam memasak dan memanjakan perut para penghuni mansion.

Usai mengamati, diambilnya beberapa bahan dan sayuran dari dalam lemarai es lalu mencucinya hingga bersih. Dengan lihai Ameera mulai memotong sayuran yang telah bersih dengan irisan super tipis yang kelak akan dicampurkan dengan 4 butir telur, sebagai omelet. Ia bahkan tersenyum penuh arti di sela-sela kegiatannya. Meskipun saat ini suaminya masih belum bisa menerima kehadiran-nya sebagai seorang istri, Ameera bertekad untuk membuata Alvan jatuh cinta kepadanya.

Dengan kelihaian penuh, Ameera memasukkan setiap bahan yang telah disiapkan ke dalam wajan dengan api sedang. Usai omelet jadi, dia menumis bawang putih yang telah cincang halus disusul irisan bawang bombay hingga harum. Ameera juga menambahkan sedikit daging sapi yang telah dimarinasi lalu memasukkan tofu ke dalam penggorengan. Selain membuat omelet, ia juga membuat tofu saus tiram sebagai menu sarapan.

Ameera memang pandai memasak. Bahkan, orang tua-nya sering memuji-nya setiap kali mencicipi masakan-nya. Beberapa kali, ayah-nya mencoba meminta Ameera untuk mengambil kelas memasak untuk mengasah bakat terpendamnya. Namun, ia menolak lantaran biaya yang mahal. Ameera tidak ingin membebani ayah-nya. Mengingat, cinta kasih orang tuanya yang tulus untuk-nya, membuat perempuan itu ingin membalas jasa mereka daripada menambah beban dengan karir masa depan-nya yang tidak pasti.

Setelah cukup lama berkutat di dapur, akhirnya masakan Ameera jadi juga. Ia segera memindahkan tofu saus tiram ke dalam mangkuk lalu membawanya ke meja makan. Walaupun sempat tidak diizinkan memasak oleh para pelayan, Ameera berhasil membuat mereka semua takjub dengan hasil masakan yang dibuat. Beberapa pelayan bahkan mengungkapkan kekaguman-nya kepada Ameera, dan menilai jika nyonya muda mereka penuh dengan telaten.

Ameera tersenyum simpul melihat hasil kerja kerasnya di dapur tadi, telah tertata rapi di atas meja. Dia tidak menyangka akan memasak selain untuk ayah dan ibunya di rumah. Ameera memang ingin menunjukkan kemampuan-nya dengan begitu, dia mungkin bisa mendapatkan sedikit pengakuan dari keluarga barunya.

Sementara itu, dari arah pintu, Brian berjalan memasuki ruang makan, diikuti oleh David dan Bianca. Kedua pria berbeda usia itu tersenyum lebar mencium aroma masakan Ameera yang begitu menggoda. “Wah, apa yang kamu masak, Ameera? Harum sekali, sangat menggugah selera,” kata Brian kemudian mendudukkan dirinya pada salah satu kursi kosong yang berada di sana.

“Kakek tidak menyangka, ternyata kamu pandai memasak, Ameera,” kekeh David menyahuti.

Tidak diam saja, Ameera segera menarik kursi yang berada di posisi terujung, dan mempersilakan David untuk duduk di sana. “Hati-hati, Kek,” ucap Ameera yang dibalas anggukkan oleh sang empu. Harus Ameera akui, kakek suami-nya itu, walaupun telah lanjut usia tetapi masih terlihat segar dan bijaksana.

“Boleh aku mencicipinya, Ameera?” tanya David tidak sabar.

“Boleh, Kek. Sebentar, biar Ameera ambilkan dulu, ya.” Ameera segera mengambil piring lalu mulai memasuk-kan nasi serta lauk yang telah dimasak dan menyuguhkan-nya untuk kakek David. “Silakan, Kek. Tapi, maaf kalau masakan Ameera enggak enak,” tuturnya cemas.

Sosok senja itu manggut-manggut. “Oh, kenapa kamu tidak percaya diri, Ameera. Baik-lah, biar Kakek coba, ya.” David mulai menyendok tofu di piring dan melahapnya dengan tenang.

“Melihat Papa memakan-nya, aku jadi tidak sabar untuk mencobanya,” ungkap Brian lalu segera mengambil piring bagian-nya yang juga disiapkan oleh Ameera, dan mulai mencicipinya.

Di tempatnya, Ameera nampak tegang. Sekalipun ayah dan ibunya sering memuji masakan-nya, tetapi Ameera menyadari setiap orang memiliki selera yang berbeda-beda. Namun, dengan David dan Brian yang tidak menunjukkan reaksi apa pun, membuat Ameera merasa cukup gugup.

“Apa kamu yakin, ini masakanmu, Ameera?” tanya David terdengar horor.

Eum.” Ameera mengangguk pelan. “Iya, Kek.”

“Menurutmu apa ada yang aneh dari masakan ini, Brian?”

Ameera menahan napas. “Maaf, Papa, Kakek. Tapi, apa ada yang salah dengan masakan Ameera?” Ia nampak cemas kalau-kalau masakan-nya tidak enak atau tidak sesuai dengan selera kakek dan papa mertuanya.

Kedua pria berbeda usia itu saling berpandangan dan melempar senyum penuh arti. Di mana, hal tersebut membuat Ameera semakin merasa bingung. Tunggu, apa maksud dari senyuman itu? Kenapa kakek dan papa mertuanya hanya diam saja? Ameera semakin dirundung keresahan.  

“Kamu salah, Ameera.” Brian menggeleng cepat. “Ini sangat enak! Bukan begitu, Pa?” pekik pria paruh baya itu dengan enskpresi terkejut sekaligus bebinar.

Ameera mengerjap polos. “Maaf?” beonya dengan perasaan bingung.

David tersenyum lalu mengangguk setuju. “Kau benar, Brian. Ini mengingatkanku pada masakan mama dulu.” Di tempatnya, pria senja itu tidak kalah bungah. Setelah sekian lamanya, akhirnya ia menemukan masakan yang mirip dengan mediang sang istri. “Bagaimana kamu bisa membuatnya dengan begitu mirip?”

“Benarkah? Ameera hanya membuatnya sesuai dengan bahan yang ada di dalam kulkas. Tidak ada resep khusus,” cicit Ameera apa adanya. Dia masih canggung dan tidak tahu harus bagaimana menghadapi keluarga barunya itu.

Di saat semua orang tengah larut dalam nostalgia, Bianca berjalan anggun memasuki ruangan. Namun begitu, dapat Ameera rasakan aura dingin secara perlahan menyelimuti afmosfer. Matanya segera menatap piring-piring yang penuh dengan hidangan buatan Ameera tanpa minat. “Oh, jadi kita tidak menggunakan layanan pelayan hari ini?” tanyanya dengan nada bicara ketus.

Ameera menelan ludah, mencoba untuk tidak terpengaruh oleh sikap Bianca. Dia tahu betul, kepergian Alex merupakan pukulan besar bagi mama mertuanya. Bukan hanya itu, Ameera dapat merasakan kebencian yang mendalam setiap kali Bianca menatapnya, dan tentunya dia memaklumi. “Ameera hanya mencoba memasak sedikit makanan untuk sarapan pagi ini, Ma,” jawab Ameera berusaha tetap tenang.

Tidak menghiraukan Ameera, Bianca segera mendudukkan dirinya di kursi sebelah Brian dan memeriksa setiap hidangan dengan tatapan kritis. “Makanan seperti ini saja, kenapa kalian memujinya berlebihan sekali?” cemoohnya telak.

“Ma, dicoba dulu. Masakan Ameera memang enak, benar begitu, Pa?” Brian yang tidak enakan dengan Ameera, menanggapi sang istri.

Wanita paruh baya itu mendengkus, dan mencicipi omelet yang dibuat Ameera. Sejenak ada kilatan kepuasan di wajahnya, sebelum kemudian kembali menutupinya dengan ekspresi datar. “Biasa saja. Seperti rasa telur pada umumnya, tidak ada yang istimewa,” ketus Bianca sembari meletakkan garpu ke atas tatakan meja.

Tak pelak, sikap Bianca tersebut membuat nyali Ameera menciut.  “Omelet memang telur kocok, mau dimasak seperti apapun rasanya tetap sama. Maksud Papa, tofu saus tiramnya, lezat sekali. Mama cobain, deh.” Seolah tidak ingin membuat menantunya sedih, Brian berseloroh sambil mengambil porsi kedua. “Kamu punya bakat, Ameera.”

David mengangguk setuju. “Ini sarapan terbaik yang pernah aku makan dalam waktu lama,” tambahnya, membuat hati Ameera menghangat.

Ck, kalian hanya membuatnya besar kepala!” keluh Bianca malas.

Di tengah-tengah kegiatan sarapan yang berlangsung, Alvan berjalan menuruni anak tangga dengan langkah tergesa-gesa. Tangannya sibuk mengenakan dasi, sementara matanya sesekali melirik jam di tangan yang berdetak dengan teratur. Pagi ini, dia memiliki rapat penting yang harus dia hadiri dan hampir terlambat karena ketiduran. Sebagai seorang pemimpin, Alvan merasa gagal. Bagaimana bisa, dia begitu teledor sementara masa depan perusahaan kini telah berada di bawah tanggung jawabnya.

Ameera yang melihat kehadiran suaminya segera bangkit dari tempat duduk dan berjalan menghampiru suaminya. Ia berniat menawarinya sarapan bersama. “Sarapan sudah siap, Mas. Siapa tahu Mas Alvan mau mencicipinya dulu sebelum berangkat kerja,” ajak Ameera, ada secebis harapan dari sorot mata indahnya.

Mendengar namanya disebut, Alvan menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah sumber suara. Tidak jauh dari tempat dirinya berada, semua orang telah berkumpul bersama mengelilingi meja makan, dengan hidangan makanan di tengah-tengah mereka. Alih-alih menerima ajakan Ameera, laki-laki dalam balutan jas yang gagah itu justru menggeleng singkat. “Aku tidak punya waktu. Ada rapat penting yang harus aku hadiri,” jawabnya singkat, dingin dan tegas.

Sontak, penolakan Alvan tersebut membuat Brian tidak terima. “Hey, Son. Kemarilah. Istrimu telah memasak banyak makanan. Kau sarapan-lan terlebih dahulu sebelum berangkat ke kantor!” serunya memerintah.

Menghela napas panjang, Alvan kembali melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Hal itu langsung membuat Ameera mengerti dengan suaminya yang tengah terburu-buru. “Tidak bisa, waktunya terlalu mepet. Aku sarapan di kantor saja,” tolak Alvan tidak berminat.

“Sedikit saja, Alvan. Hargai istrimu.” David ikut menambahi.

“Enggak apa-apa, Kek. Ameera tahu Mas Alvan lagi buru-buru.” Ameera mencoba berlapang dada dan memaklumi suaminya yang sibuk.  

Bergeming sejenak, Alvan mencoba menimbang-nimbang. Namun, pada akhirnya dia tetap menggeleng. “Maaf, Kek. Aku harus berangkat sekarang.” Melirik Ameera sekilas. Alvan segera mengambil tas kerjanya dari tangan Jay, kemudian bergegas pergi meninggalkan Ameera.

Di sela-sela langkahnya menuju pintu keluar, Alvan menghela napas berat. Kehidupan pribadinya cukup kompleks, dia terbelenggu oleh kebencian dan kewajiban. Di matanya, Ameera hanyalah bayangan dari adiknya yang telah meninggal, seseorang yang terpaksa harus dia nikahi. Ya, dia menikahi Ameera bukan karena cinta, melainkan karena tekanan dari kakek-nya yang telah menjanjikan perusahaan utama keluarga mereka sebagai imbalan atas pernikahan ini.

“Tidak apa-apa, Ameera. Mas Alvan sedang buru-buru. Mungkin lain kali, Mas Alvan akan sarapan bersama,” gumam Ameera, mencoba menenangkan diri.

Tak pelak, ada kecewa yang mendera relung hatinya. Sarapan yang telah ia siapkan dengan penuh semangat, perlahan luntur. Mengingat, ia sejak pagi-pagi sekali ia telah turun, hingga memastikan bahwa setiap hidangan dibuat dengan sempurna dan berharap suaminya itu mau sedikit menyisihkan waktu untuk menikmati hasil jerih payahnya, menjadi sia-sia.

Berjalan menghampiri meja makan, Ameera kembali duduk di tempatnya. Nafsu makannya mendadak hilang. Brian yang menyadari hal tersebut, menjadi tidak enakan. Berdeham beberapa kali, pria paruh baya itu mencoba membuka kembali topik pembicaraan yang sempat senyap. “Ayo, Ameera, kamu juga sarapan bersama kami. Lihat, keburu dingin nantinya.”

Sepasang mata indah Ameera menyipit bak bulan sabit. “Iya, Pa.” Ia mengangguk, berpura-pura menyembunyikan kesedihan-nya.

“Terima kasih untuk sarapannya, Ameera. Ini sangat lezat,” ucap David bersungguh-sungguh.

“Sama-sama, Kek,” balas Ameera dengan sopan.

“Entahlah apa yang istimewa. Masakan buatannya biasa saja, kalian terlalu berlebihan!” ketus Bianca menohok.

“Ma, berhentilah bersikap tidak ramah seperti itu. Ameera menantu kita,” tegur Brian.

Memutar bola matanya malas, Bianca melipat kedua tangannya ke depan. “Mustahil bagiku untuk bersikap ramah terhadap seseorang yang telah membunuh putra kita!” kelakarnya bersungut-sungut.  

Ucapan Bianca bak belati yang menyayat-nyayat jantung Ameera. Kebencian wanita paruh baya itu terlalu mendalam dan kental. Walaupun kecelakaan itu bukanlah sesuatu yang mereka inginkan. Namun, Ameera tetap merasakan rasa bersalah yang besar.

“M-maafkan Ameera, Ma,” ucap Ameera getir. Napasnya terasa sesak, dan nyaris tercekik.  

Deritan kursi terdengar mengiringi David yang bangkit dari duduk. “Berhentilah menyalahkan-nya, Bianca. Semua ini sudah kehendak Tuhan. Brian, sebaiknya kau bawa istrimu beristirahat, dan Ameera, kau lanjutkan sarapanmu. Aku hendak mencari udara segar di taman belakang,” ujar pria senja itu menengahi dengan bijak, sebelum kemudian melenggang pergi meninggalkan meja makan menuju taman belakang mansion.  

Tidak membantah, Brian segera mengangguk patuh. “Baik, Pa.” Menoleh ke samping, ia menatap sang istri prihatin. “Sebaiknya kita beristirahat, Ma,” katanya lalu mulai mengajak Bianca beranjak ke kamar untuk beristirahat.

Di tempatnya, Ameera yang tinggal sendiri termenung dalam diam. Ada banyak sekali hal berat yang dialaminya. Mulai dari patah hati, menikah dengan laki-laki yang bukan pilihan-nya, hingga harus menghadapi mertuanya yang sangat membencinya dan menyalahkan kematian Alex padanya. “Seberapa pun lamanya, aku harap bisa melwati semua ini,” gumam Ameera seraya menghela napas panjang.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SUAMI PENGGANTI Untuk Wanita Islami   Bab 73 || Kebenaran Yang Terungkap

    “Sayangnya,” ucap Abimana dengan suara datar, dingin. Namun, menghantam seperti belati yang menembus dada, “kami datang bukan sekadar untuk memenuhi undangan. Tetapi, untuk membawa pergi pengantin wanita.”Deg!Ruang pesta yang semula gemerlap seketika dicekam sunyi. Sorot lampu gantung berkilau, tetapi tak mampu mengusir bayang keterkejutan yang menyelimuti semua tamu. Bisik-bisik membuncah seperti gelombang kecil di lautan yang tenang. Para tetua saling berpandangan bingung. Sementara Ameera mengerjap dengan kening berkerut.Alvan menyipitkan mata. “Membawa pergi pengantin wanita? Maaf, maksud Anda?” tanyanya, mencoba tetap sopan.Tuan Abimana tergelak. Namun tawanya hanya sejenak, sebelum wajahnya berubah serius. “Anda ingin menikahi wanita itu? Tentu saja Anda harus mendapatkan izin dari kami terlebih dahulu.”Garis-garis halus di kening Alvan semakin dalam. Jantungnya berdegup tak menentu. “Bisa Anda jelaskan, Tuan Abimana? Jangan hanya membuat teka-teki seperti ini?” Seperti bia

  • SUAMI PENGGANTI Untuk Wanita Islami   Bab 72 || Hari Bahagia

    Dua bulan setelah kejutan lamaran, sebuah acara megah nan sarat makna digelar di ballroom hotel bintang lima. Ruangan itu disulap menjadi istana cahaya yang anggun, memadukan kemewahan modern dan sentuhan Islami yang menenangkan jiwa. Nuansa putih yang bersih, emas yang megah, dan hijau zamrud yang menyegarkan mendominasi tiap sudut ruangan, menciptakan atmosfer sakral nan agung. Kaligrafi ayat-ayat cinta dari Al-Qur’an menghiasi tirai-tirai tipis yang membingkai dinding, sementara bunga-bunga segar, seperti mawar putih, lili, dan anggrek bulan, ditata dalam balutan harmoni, wangi lembutnya menyatu dengan udara.Namun, ini bukan sekadar pesta pernikahan. Melainkan momen sakral, hari di mana Ameera, wanita bercadar itu, diperkenalkan secara resmi kepada dunia.Ketika pintu utama terbuka perlahan, seisi ruangan seolah berhenti bernapas. Denting musik lembut menyertai langkah seorang wanita yang muncul di ambang pintu, siluetnya memancar dalam temaram cahaya kristal. Gaun syar’i berwarna

  • SUAMI PENGGANTI Untuk Wanita Islami   Bab 71 || Kejutan Lamaran

    “Jay, Santi ... sebenarnya kita sedang menuju ke mana?” Suara Ameera terdengar lirih, nyaris larut dalam langkah-langkah yang menggema pelan di lantai. Sejak awal, dua orang kepercayaan suaminya itu membawanya pergi dalam diam tanpa petunjuk, tanpa alasan. Hanya sunyi yang menjawab, membuat dadanya penuh oleh rasa ingin tahu dan gelisah yang saling bertubrukan.“Tolong bersabar sedikit lagi, Nyonya Muda. Kita hampir sampai,” sahut Jay dari depan. Suaranya terdengar tidak begitu dekat, seolah sedang mengamati situasi.“Hati-hati, Nyonya Muda,” ucap Santi dengan lembut. “Pelan-pelan naik. Kita sudah sampai.”Dengan hati-hati, pelayan wanita itu membimbing Ameera menaiki anak tangga. Tangga itu nyaris tak terlihat, hanya bisa dirasakan oleh telapak kaki Ameera yang beralas sepatu pantofel berwarna abu-abu.Langkah Ameera melambat. Napasnya naik-turun dalam irama tertahan. Ada sesuatu yang tak bisa ia jelaskan, sebuah ketegangan samar yang merayap perlahan, menghadirkan aura misteri di set

  • SUAMI PENGGANTI Untuk Wanita Islami   Bab 71 || Rencana Kejutan

    Cahaya lampu kamar temaram, menciptakan bayangan lembut di dinding berwarna gading. Aroma melati dari diffuser berbaur dengan harum kain yang baru saja disetrika. Ameera berdiri di depan cermin, ujung jarinya dengan luwes merapikan kerudungnya yang menjuntai anggun."Santi, tolong ambilkan gamis navy di lemari."Santi yang sejak tadi sibuk menata selimut segera menghampiri lemari kayu jati di sudut kamar. Tangannya meraba lembut kain yang Ameera maksud, lalu mengeluarkannya dengan hati-hati. Gamis itu jatuh dengan anggun, warnanya pekat seperti langit malam tanpa bintang."Ini, Nyonya Muda."Ameera menerimanya dengan senyum tipis. Jari-jarinya meraba tekstur kain yang lembut dan sejuk di kulit. Sembari mengenakann-ya, ia mengikat tali kecil di bagian belakang, memastikan baju itu pas membingkai siluetnya tanpa berlebihan.Santi memperhatikan sejenak. "Anda ada janji, Nyonya Muda?" tanyanya sedikit penasaran."Eum." Ameera mengangguk. "Mas Alvan bilang ada undangan penting yang harus di

  • SUAMI PENGGANTI Untuk Wanita Islami   Bab 70 || Pembicaraan Serius

    Matahari senja menggantung rendah di ufuk barat, menaburkan cahaya keemasan yang menyelimuti taman rumah sakit dengan kilau lembut. Angin berembus sepoi, membawa serta aroma bunga yang tengah bermekaran. Ameera mendorong kursi roda Alvan dengan penuh kelembutan, membiarkan suaminya menikmati udara segar setelah sekian lama terkurung di dalam kamar perawatan.“Maa syaa Allah, pemandangan di sini indah sekali, ya, Mas,” ujar perempuan bercadar itu riang. Matanya bebinar penuh kekaguman, sementara suaranya terdengar seperti alunan angin yang membelai dedaunan.Alvan tak segera menanggapi. Tatapannya terarah padanya, bukan pada hamparan bunga atau pepohonan rindang di sekeliling mereka. Senyum tipis tersungging di bibirnya, seolah ada sesuatu yang tengah ia pikirkan.Ameera menghentikan langkah, lalu setengah berlutut di hadapan suaminya dengan dahi berkerut. Tubuhnya merendah seolah ingin menyatu dengan bayangan di tanah. “Kenapa Mas Alvan tersenyum seperti itu? Apa ada yang salah dengan

  • SUAMI PENGGANTI Untuk Wanita Islami   Bab 69 || Perasaan Yang Tertuang

    Ruangan ICU terasa sunyi, hanya suara monitor jantung yang berdetak pelan, menciptakan ritme monoton di antara keheningan. Aroma antiseptik memenuhi udara, bercampur dengan hawa dingin dari pendingin ruangan. Alvan terbaring di atas ranjang dengan berbagai kabel sensor menempel di dadanya. Wajahnya pucat, napasnya masih berat, dan kelopak matanya bergerak samar, seolah sedang berjuang di antara kesadaran dan ketidaksadaran.Di sisi ranjang, Ameera duduk dengan jemari menggenggam tangan Alvan yang terasa dingin. “Mas Alvan ….” Ia mengeratkan genggaman tangan-nya, seolah takut kehilangan. “Kapan Mas bangun?” Matanya berkaca-kaca mengamati wajah suaminya yang masih lemah. Setelah sempat mengalami guncangan hebat, akhirya kondisi suaminya kembali stabil. Meski begitu, tidak serta merta mengurangi perasaan khawatir dan cemas di dada Ameera.Sementara itu, di tempatnya, Alvan merasakan sensasi berat yang menekan sekujur tubuh, seolaah ada sesuatu yang menariknya ke dalam kegelapan. Perlahan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status