Share

Bab 04 || Sikap Dingin Alvan

Penulis: ValiciaClarenda
last update Terakhir Diperbarui: 2024-04-13 22:26:50

“Mas Alvan ke mana, ya? Kok jam segini belum pulang?” Sembari melipat sajadah, Ameera yang baru selesai melakukan ritual shalat malam, bergumam.

Sejak pertama kali datang di kediaman baru-nya ini, perempuan itu tidak bisa tenang lantaran terus menunggu kepulangan Alvan. Namun, sampai lewat tengah malam hingga masuk permulaan pagi, suaminya itu masih belum kunjung kembali. Karena tidak tidak juga bisa tidur, Ameera memutuskan untuk mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat dua raka’at dengan tujuan mencari ketenangan diri. Dan terbukti, sekarang dia sudah merasa jauh lebih tenang dari sebelum-nya.

“Seperti-nya, Mas Alvan beneran enggak pulang malam ini,” monolog Ameera begitu teringat dengan kata-kata Alvan sebelum pergi tadi.

“Sebaiknya, kamu tidak perlu menungguku kembali. Atau kamu akan berakhir kecewa.”

Diletakkan-nya sajadah yang telah dilipat ke atas nakas, pandangan Ameera kemudian teralih pada botol air kosong yang juga berada di atas sana. Tiba-tiba saja, sebuah ide melintas di kepala Ameera. “Siapa tahu sebentar lagi Mas Alvan pulang. Sebaiknya aku buatkan teh hangat untuk-nya.” Diraih-nya botol tabung berbahan kaca tersebut, lalu membawa-nya ke dapur yang berada di lantai bawah.

Ameera berjalan lambat menuruni anak tangga. Bangunan yang dihuni-nya saat ini begitu besar dan luas. Menurut kabar yang Ameera dengar, keluarga David Septihan memang sangat kaya raya. Tidak mengherankan, jika rumah tempat mereka tinggal bisa sebesar dan semegah ini.

Hembusan angin, membisiki keheningan. Berjalan mendekati sisi dinding, Ameera menekan saklar lampu. Dan, saat itu juga suasana di sekitar dapur menjadi terang-benderang. Tanpa berlama-lama lagi, ia kemudian segera memasuki pantry dan bergegas memanaskan air.

“Sepertinya aku harus mulai membiasakan diri dengan semua detail di sini. Rasa-nya, untuk menuju dapur saja memerlukan waktu yang cukup panjang,” monolog Ameera, seraya mencoba menghitunng-hitung berapa lama dirinya harus berjalan dari kamar ke sini.

Nampak-nya, Ameera benar-benar harus mengenal lingkungan tempat dia tingal dengan baik. Sebab, ada banyak hal yang tidak dia ketahui. Seperti, terdapat dapur lain di lantai atas yang juga dapat digunakan daripada harus jauh-jauh berjalan menuju dapur utama di lantai bawah.

***

Gesekan kertas serta seretan ujung boplen yang runcing terdengar nyaring mengisi heningan. Dentak jarum jam yang berputar perlahan, mengiringi lengan kokoh Alvan yang sedang membolak-balik kertas secara bertahap dan teratur. Dari tempat-nya, dapat terlihat bagaimana Sang dewi malam nampak bersinar terang di atas sana, menyapa bumantara dan seisi-nya. Kesyahduan usai hujan deras yang turun, menyelimuti atmosfer malam yang kian larut.

Setelah duduk lama dan berkutat dengan setumpuk pekerjaan, akhirnya, Alvan menghentikan kegiatan-nya. Diletakkan-nya, lembar dokumen terakhir yang baru saja ditanda tangani ke atas meja, sebelum kemudian menyandarkan tubuh tegap-nya pada sandaran kursi. “Sepertinya, semua pekerjaan ini tidak akan selesai malam ini,” gumam Alvan sembari memijat pangkal hidung-nya yang mancung.

Dipejamkan-nya sepasang mata tajam, sosok jangkung itu kembali teringat dengan serangkaian kejadian yang telah dilaluinya dalam satu hari ini. Yakni, saat di mana diri-nya memutuskan menghabiskan waktu-nya untuk mengurus pekerjaan di kantor dari pada bermalam di mansion atau tidur bersama dengan Ameera, wanita yang baru dinikahi-nya siang tadi. “Oh, kenapa keadaan-nya menjadi rumit seperti ini?”

Menghela napas berat, Alvan mencoba menghempaskan beban berat yang dirasakan. Tidak pernah terlintas di pikiran Alvan bahawa dia akan terjebak di dalam situasi rumit seperti ini. Berniat kembali untuk satu tujuan penting. Akan tetapi, semua rencana-nya menjadi hancur berantakan.

“Alex sialan! Sampai mati pun kau tetap saja menyusahkanku!” Alvan mengumpati almarhum adik-nya. Bahkan, tanah di pemakaman yang baru ditimbun beberapa saat lalu itu masih belum kering. Namun, rasa-rasanya Alvan terpancing untuk mengundang keributan di sana.

“Berhenti, Nona. Tuan Alvan sedang tidak ingin diganggu.”

“Apa yang kau lakukan, Jay? Aku ini kekasih Alvan. Sudah sepantasnya aku menemui-nya.”

“Maafkan saya, Nona. Tuan Alvan sendiri yang berpesan kalau tidak mengizinkan siapa pun mengganggu-nya. Anda dilarang masuk ....”

Kegaduhan di luar berhasil mengusik ketenangan Alvan. Mengernyitkan kening, ia nampak mengenali siapa pemilik suara nyaring familiar tersebut. Hanya saja, sebelum Alvan sempat beranjak untuk mengecek situasi di luar, seseorang telah lebih dahulu mendobrak pintu dan memaksa masuk ke dalam ruangan pribadi Alvan tanpa mempedulikan larangan yang diserukan padanya.

“Katrine?” Pria di meja kerja itu mengangkat sebelah tangannya ke atas, memberi isyarat agar Jay, sekretaris pribadinya membiarkan wanita berpakaian super sexy itu masuk ke dalam ruangan-nya. “Kau boleh pergi, Jay.”

Tidak membantah, sosok tegap itu mengangguk patuh. “Baik, Tuan.” Tanpa berlama-lama, Jay segera kembali ke luar dan menutup pintu ruangan rapat-rapat. Bos-nya itu terlalu mengerikan jika marah, dan Jay tidak ingin dirinya menjadi penyebab atas kemarahan tersebut.

“Ada apa, Katrine? Kenapa kau datang ke sini?” Tepat setelah pintu ditutup, Alvan yang masih di tempat duduk, bertanya kepada wanita sexy yang berdiri di antara meja dan sofa panjang.

Dengan perasaan kesal, sosok berparas cantik itu berjalan melenggok menghampiri sosok Alvan. “Habisnya, seharian ini kamu enggak ngangkat telpon aku. Di chat, juga enggak dibalas. Aku, ‘kan kangen sama, kamu, Alvan.” Tanpa sungkan, Katrine langsung memeluk tubuh tegap Alvan dengan manja.

Menghela napas panjang, Alvan kemudian melepas pelukan Katrine. Tak pelak, hal tersebut, membuat sang empu terkejut. Pasalnya, tidak biasanya kekasihnya itu bersikapa demikian. Bahkan, ungkapan i love you atau i miss you sebagaimana yang selalu laki-laki itu berikan setiap kali mereka bertemu, tidak Alvan ucapkan. Sehingga, Katrine merasa sikap kekasihnya kali ini terasa sedikit berbeda dari biasanya.

Mi Amor, kamu kenapa? Kok kamu jadi nyuekin aku kayak begini?” Katrine berpura-pura tersinggung.

Mengusap kasar wajahnya menggunakan sebelah telapak tangan, Alvan mencoba mengenyahkan rasa frustrasi. “Maafkan aku, Katrine. Aku tidak bermaksud menyinggung kamu,” sesalnya meminta maaf.

“Kamu tahu, Alvan. Butuh perjuangan buat aku untuk bisa sampai di sini. Aku sampai berantem sama Daddy karena memaksa ingin bertemu denganmu,” ungkap Katrine merajuk.

“Benarkah? Oh, padahal kamu tidak perlu sampai harus berantem dengan paman El. Aku hanya sebentar di sini dan akan segera kembali ke Amerika.” Alvan menanggapi sekedar-nya.

Sembari memasang wajah cemberut, Katrine mendudukkan dirinya di atas pangkuan Alvan. “Aku enggak bisa sabar, Alvan. Aku sangat merindukan kamu,” bisiknya seraya mengusap wajah Alvan dengan gerakan sensual.

Memejamkan matanya sejenak, Alvan menggeram tertahan. Ayolah, dia sedang tidak berminat untuk menanggapi Katrine yang berusaha keras merayu-nya. “Sayang, selama pacaran kita tidak pernah melakukan ‘itu’. Gimana kalau malam ini kita habiskan waktu bersama? Kamu tahu, memikirkannya saja sudah membuat aku panas-dingin.” Wanita berpenampilan super sexy itu semakin gencar menggoda Alvan dan berharap laki-laki itu akan terangsang oleh-nya.

Namun, alih-alih tergoda, Alvan yang tidak membiarkan wanita itu berbuat lebih jauh segera mencekal tangan Katrine dan menghentikan pergerakan-nya. “Maaf, Katrine aku harus pergi.” Sembari menghela napas berat, sosok jangkung itu bangkit dari tempat duduk, sehingga membuat Katrine terpaksa harus turun dari atas pangkuan-nya. “Ada banyak hal yang harus aku urus.”

“Sayang ....” Katrine menatap Alvan tidak percaya. Apa-apaan ini, baru saja pria itu mengacuhkan dirinya!

Berdeham beberapa kali, Alvan mencoba menetralkan perasaan-nya. “Aku akan meminta Jay mencarikan hotel untukmu. Besok pagi, kamu bisa kembali ke Amerika. Jay akan memesankan tiket pesawat,” tandas-nya dengan raut wajah tanpa ekspresi.

Rahang Katrine turun ke bawah, ia tercengang. “Tapi, Sayang. Aku baru sampai, masa iya kamu nyuruh aku kembali?”

Kedua tangan Alvan tergerak untuk mengancing jas yang dikenakan lalu berjalan keluar ruangan tanpa menghiraukan protesan sang kekasih. Menurut Alvan, bukan merupakan hal yang baik bagi Katrine mengetahui tentang pernikahan-nya dengan Ameera. Karena itu, ia berencana untuk memberitahu Katrine di saat dan waktu yang tepat.

“Sayang? Sayang ... kamu mau ke mana? Haish, Alvan kenapa sih? Main pergi gitu saja!” Katrine menatap punggung tegap Alvan yang kini telah lenyap dari balik pintu dengan sorot mata penuh kecewa.

‘Apa yang salah dengan Alvan? Tidak biasanya dia tidak peduli kepadaku.’

***

Cahaya rembulan menembus celah ventilasi. Di atas meja kayu mengkilap, terdapat dua buah cangkir dan ceret dengan uap mengepul dari cerobong kecil. Derap langkah yang terdengar, berhasil mengalihkan fokus perempuan pemilik manik mata coklat terang yang sedang berdiri di depan meja.

Menggeser sedikit nampan ke tengah meja, ia kemudian menoleh ke arah sumber suara. Benar saja, saat itu juga rungunya mendengar deritan daun pintu yang terbuka, sementara kedua mata-nya menangkap bayangan seseorang muncul dari balik sana. “Mas Alvan?” gumam Ameera dengan suara lirih.

Berjalan masuk ke dalam kamar, Alvan berhenti beberapa langkah di depan Ameera. “Masih belum tidur?” Suara berat nan dingin itu terdengar penuh intimidasi.

Sebelah tangan Ameera tergerak untuk membenarkan kain cadar yang dikenakan. Sebenarnya, dia berencana melepas-nya. Namun, Ameera takut kalau-kalau suami-nya itu tidak menyukai-nya. Karena itu, Ameera memilih untuk tetap mengenakan cadar di hadapan Alvan sampai laki-laki itu sendiri yang mengizinkan Ameera untuk membukanya.

“B-belum. Aku nunggu Mas Alvan ....” Ragu-ragu, Ameera membalas.

Ck, aku ‘kan sudah bilang kamu tidak perlu menungguku. Kenapa keras kepala sekali!” potong Alvan dengan ketus.

Ameera menundukkan kepala-nya dalam-dalam. “M-maaf, Mas.” Ia tidak tahu harus berbuat apa dan hanya bisa meminta maaf.

Siapa sangka, sikap Ameera tersebut justru membuat Alvan merasa muak. “Minggir! Kamu hanya membuatku merasa kesal,” tandas Alvan telak.

Sedikit menggeser tubuhnya ke samping, Ameera berusaha bersikap biasa saja. “O iya, aku baru saja membuat teh. Siapa tahu Mas Alvan mau,” tawar perempuan itu dengan lembut.

Mendengkus kasar, sosok jangkung itu memilih berlalu dan tidak menghiraukan Ameera. Namun, saat Alvan sedang melepas jas yang dikenakan, suara pecahan sesuatu terdengar nyaring di keheningan. Ameera yang hendak menuangkan teh, secara tidak sengaja menjatuhkan cangkir dan membuat benda itu terbelah menjadi beberapa bagian.

Pyarr!

Menoleh ke arah sumber suara, Alvan terbelalak tatkala mendapati cangkir keramik berukiran bunga Teratai yang sebelumnya berada di atas meja telah terlonggok tak berdaya di bawah. “Kamu ... apa yang kamu lakukan? Astaga, itu cangkir kesayanganku!” sentaknya bersungut-sungut, bak guntur yang menggelegar di kegelapan malam.

Meneguk salivanya sudah payah, Ameera segera memungut pecahan cangkir di lantai. Jujur saja, dia sangat takut saat melihat Alvan yang seperti tersulut api amarah. Sampai-sampai, saking gugupnya, Ameera tidak sengaja tergores pecahan runcing, hingga membuat pergelangan tangannya terluka.

Sshh ....” Reflek, Ameera meringis kecil. Dalam sekejap, darah segar mengalir dari ruang luka dan menetes melalui celah lengan, sedikit menodai gamis yang dikenakan. 

“Kalau kamu pikir cara seperti itu bisa menarik perhatianku, maka kamu salah. Aku tidak tertarik untuk menolongmu!” ketus Alvan kemudian berjalan meninggalkan Ameera.

Sembari memegangi lengannya yang berdarah, Ameera menatap punggung Alvan dengan nanar. Ia hanya berniat melayani suami-nya. Namun, karena kurang berhati-hati, cangkir itu terpleset dan jatuh dari cekalan tangannya. ‘Ini bukan sesuatu yang disengaja.’ Rasanya ingin sekali Ameera mengucapkan kalimat itu. Namun, ia memilih mengurungkannya.

Alih-alih benar-benar pergi, Alvan yang sudah sampai di depan pintu, menghentikan langkahnya. Sekeras apapun ia mencoba untuk tidak menghiraukan, sesuatu lain di dalam diri-nya justru menuntun-nya untuk peduli. “Astaga! Yang benar saja!” Mendengkus kasar, ia pun berbalik dan berjalan kembali menghampiri Ameera.

Alvan berhenti di depan Ameera. Lalu, secara tiba-tiba mengangkat Ameera, hingga membuat perempuan itu memekik terkejut. “Mas Alvan?!” Seolah tidak mempedulikan keterkejuran Ameera, Alvan segera memindahkan perempuan itu dan mendudukkan-nya di atas kasur. “Diam di sini, biar aku yang bersihkan.”

“Hah?” beo Ameera seraya mengerjap bingung.

Bukannya menjelaskan maksud dari ucapannya, Alvan segera beranjak pergi dan membereskan pecahan cangkir hingga bersih tak bersisa.

Ameera mengulum tipis bibir bawah-nya. “Terima kasih, Mas,” ucap perempuan itu seraya menunduk dalam.

Tidak menghiraukan, sosok jangkung itu kemudian mengambil kotak obat dan membawanya menghampiri Ameera, lalu mendudukkan diri-nya di dekat perempuan itu. “Kemarikan tangan kamu.” Dengan raut wajah tanpa ekspresi, Alvan berujar.

Ragu-ragu, Ameera mengulurkan lengan-nya. “Lelet sekali!” ketus Alvan seraya menarik cepat tangan Ameera dan membuka lengan baju yang dikenakan.

Deg!

Saat itu juga, Alvan dibuat terkesima melihat lengan Ameera yang putih mulus, seolah tidak pernah terjamah. Berdeham beberapa kali, ia mencoba mengenyahkan desiran hangat yang sempat mendera hatinya dan kembali fokus mengobati luka Ameera. Diambil-nya, kapas serta obat merah dari dalam kotak, Alvan kemudian mulai mengobati luka Ameera dengan telaten.

Selama proses itu, diam diam, Ameera memperhatikan Alvan. Tanpa bisa dicegah, perasaan kagum sekaligus terharu perlahan menyelimuti sanubari-nya. Ameera tahu, dibalik sikap dingin Alvan, sebenarnya, suaminya itu cukup peduli. Bahkan, tak segan-segan, ia memberikan tiupan lembut, seolah-olah khawatir kalau-kalau telah menyakiti-nya.

‘Maa syaa Allah, aku baru sadar. Tampan sekali suamiku,’ gumam Ameera dalam hati. Kedua sudut bibirnya terangkat, membentuk senyum simpul.

Merasa ada yang memperhatikan, Alvan menghentikan gerakan tangan-nya dan mendongakkan kepala-nya ke atas. Saat itu juga, kedua netra berbeda warna itu bertemu. Sampai pada beberapa saat kemudian, Alvan yang tersadar dengan apa yang tengah terjadi, buru-buru mengalihkan atensi-nya ke arah lain dan mencoba bersikap tenang seperti biasa.

“Jangan salah paham, aku melakukan ini hanya karena sebatas kemanusiaan,” tandas Alvan, mengklarifikasi.

“T-terima kasih, Mas. Sudah mengobati Lukaku.”

“Dasar ceroboh!” ketus Alvan berang.

Mengulum tipis bibir bawahnya, Ameera menatap Alvan ragu-ragu. “Maafin aku, Mas. Aku tahu, aku bersalah karena tidak hati-hati,” sesal-nya merasa bersalah.

“Diam-lah. Kamu berisik sekali!”

Ameera segera menutup mulutnya rapat-rapat, hanya diam dan memperhatikan suaminya tanpa berani mengeluarkan suara barang sepatah kata pun. Tentu saja, dia tidak ingin membuat suaminya semakin tersulut. Sementara Alvan, baru saja selesai mengobati dan menutup luka Ameera dengan jalinan perban.

“Sudah selesai. Jangan kena air sampai besok pagi, atau luka itu masih terasa perih.”

“Eum.” Ameera mengangguk pelan. “O iya, Mas Alvan ke mana saja? Kenapa jam segini baru pulang?” tanya perempuan itu begit teringat dengan Alvan yang baru saja kembali setelah semalaman keluar.

“Ke mana aku pergi itu tidak ada hubungannya denganmu!” ketus laki-laki itu tanpa menoleh.

Bersamaan dengan itu, Alvan merasakan ponsel miliknya bergetar. Dirogoh-nya, saku celana yang dikenakan lalu mengambil ponsel dari dalam sana. Sosok jangkung itu mendesah berat, begitu melirik siapa nama penelpon. “Cepat istirahat. Aku angkat telpon dulu,” tukas Alvan lalu beranjak pergi meninggalkan Ameera dengan perban yang belum selesai dipasang.

Di tempatnya, Ameera menatap kepergian Alvan dengan tatapan yang sulit diartikan. Entah kenapa, tiba-tiba saja dadanya terasa sesak begitu teringat dengan nama si penelpon yang tanpa sengaja sempat ia lihat tadi. “Katrine? Siapa dia?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SUAMI PENGGANTI Untuk Wanita Islami   Bab 73 || Kebenaran Yang Terungkap

    “Sayangnya,” ucap Abimana dengan suara datar, dingin. Namun, menghantam seperti belati yang menembus dada, “kami datang bukan sekadar untuk memenuhi undangan. Tetapi, untuk membawa pergi pengantin wanita.”Deg!Ruang pesta yang semula gemerlap seketika dicekam sunyi. Sorot lampu gantung berkilau, tetapi tak mampu mengusir bayang keterkejutan yang menyelimuti semua tamu. Bisik-bisik membuncah seperti gelombang kecil di lautan yang tenang. Para tetua saling berpandangan bingung. Sementara Ameera mengerjap dengan kening berkerut.Alvan menyipitkan mata. “Membawa pergi pengantin wanita? Maaf, maksud Anda?” tanyanya, mencoba tetap sopan.Tuan Abimana tergelak. Namun tawanya hanya sejenak, sebelum wajahnya berubah serius. “Anda ingin menikahi wanita itu? Tentu saja Anda harus mendapatkan izin dari kami terlebih dahulu.”Garis-garis halus di kening Alvan semakin dalam. Jantungnya berdegup tak menentu. “Bisa Anda jelaskan, Tuan Abimana? Jangan hanya membuat teka-teki seperti ini?” Seperti bia

  • SUAMI PENGGANTI Untuk Wanita Islami   Bab 72 || Hari Bahagia

    Dua bulan setelah kejutan lamaran, sebuah acara megah nan sarat makna digelar di ballroom hotel bintang lima. Ruangan itu disulap menjadi istana cahaya yang anggun, memadukan kemewahan modern dan sentuhan Islami yang menenangkan jiwa. Nuansa putih yang bersih, emas yang megah, dan hijau zamrud yang menyegarkan mendominasi tiap sudut ruangan, menciptakan atmosfer sakral nan agung. Kaligrafi ayat-ayat cinta dari Al-Qur’an menghiasi tirai-tirai tipis yang membingkai dinding, sementara bunga-bunga segar, seperti mawar putih, lili, dan anggrek bulan, ditata dalam balutan harmoni, wangi lembutnya menyatu dengan udara.Namun, ini bukan sekadar pesta pernikahan. Melainkan momen sakral, hari di mana Ameera, wanita bercadar itu, diperkenalkan secara resmi kepada dunia.Ketika pintu utama terbuka perlahan, seisi ruangan seolah berhenti bernapas. Denting musik lembut menyertai langkah seorang wanita yang muncul di ambang pintu, siluetnya memancar dalam temaram cahaya kristal. Gaun syar’i berwarna

  • SUAMI PENGGANTI Untuk Wanita Islami   Bab 71 || Kejutan Lamaran

    “Jay, Santi ... sebenarnya kita sedang menuju ke mana?” Suara Ameera terdengar lirih, nyaris larut dalam langkah-langkah yang menggema pelan di lantai. Sejak awal, dua orang kepercayaan suaminya itu membawanya pergi dalam diam tanpa petunjuk, tanpa alasan. Hanya sunyi yang menjawab, membuat dadanya penuh oleh rasa ingin tahu dan gelisah yang saling bertubrukan.“Tolong bersabar sedikit lagi, Nyonya Muda. Kita hampir sampai,” sahut Jay dari depan. Suaranya terdengar tidak begitu dekat, seolah sedang mengamati situasi.“Hati-hati, Nyonya Muda,” ucap Santi dengan lembut. “Pelan-pelan naik. Kita sudah sampai.”Dengan hati-hati, pelayan wanita itu membimbing Ameera menaiki anak tangga. Tangga itu nyaris tak terlihat, hanya bisa dirasakan oleh telapak kaki Ameera yang beralas sepatu pantofel berwarna abu-abu.Langkah Ameera melambat. Napasnya naik-turun dalam irama tertahan. Ada sesuatu yang tak bisa ia jelaskan, sebuah ketegangan samar yang merayap perlahan, menghadirkan aura misteri di set

  • SUAMI PENGGANTI Untuk Wanita Islami   Bab 71 || Rencana Kejutan

    Cahaya lampu kamar temaram, menciptakan bayangan lembut di dinding berwarna gading. Aroma melati dari diffuser berbaur dengan harum kain yang baru saja disetrika. Ameera berdiri di depan cermin, ujung jarinya dengan luwes merapikan kerudungnya yang menjuntai anggun."Santi, tolong ambilkan gamis navy di lemari."Santi yang sejak tadi sibuk menata selimut segera menghampiri lemari kayu jati di sudut kamar. Tangannya meraba lembut kain yang Ameera maksud, lalu mengeluarkannya dengan hati-hati. Gamis itu jatuh dengan anggun, warnanya pekat seperti langit malam tanpa bintang."Ini, Nyonya Muda."Ameera menerimanya dengan senyum tipis. Jari-jarinya meraba tekstur kain yang lembut dan sejuk di kulit. Sembari mengenakann-ya, ia mengikat tali kecil di bagian belakang, memastikan baju itu pas membingkai siluetnya tanpa berlebihan.Santi memperhatikan sejenak. "Anda ada janji, Nyonya Muda?" tanyanya sedikit penasaran."Eum." Ameera mengangguk. "Mas Alvan bilang ada undangan penting yang harus di

  • SUAMI PENGGANTI Untuk Wanita Islami   Bab 70 || Pembicaraan Serius

    Matahari senja menggantung rendah di ufuk barat, menaburkan cahaya keemasan yang menyelimuti taman rumah sakit dengan kilau lembut. Angin berembus sepoi, membawa serta aroma bunga yang tengah bermekaran. Ameera mendorong kursi roda Alvan dengan penuh kelembutan, membiarkan suaminya menikmati udara segar setelah sekian lama terkurung di dalam kamar perawatan.“Maa syaa Allah, pemandangan di sini indah sekali, ya, Mas,” ujar perempuan bercadar itu riang. Matanya bebinar penuh kekaguman, sementara suaranya terdengar seperti alunan angin yang membelai dedaunan.Alvan tak segera menanggapi. Tatapannya terarah padanya, bukan pada hamparan bunga atau pepohonan rindang di sekeliling mereka. Senyum tipis tersungging di bibirnya, seolah ada sesuatu yang tengah ia pikirkan.Ameera menghentikan langkah, lalu setengah berlutut di hadapan suaminya dengan dahi berkerut. Tubuhnya merendah seolah ingin menyatu dengan bayangan di tanah. “Kenapa Mas Alvan tersenyum seperti itu? Apa ada yang salah dengan

  • SUAMI PENGGANTI Untuk Wanita Islami   Bab 69 || Perasaan Yang Tertuang

    Ruangan ICU terasa sunyi, hanya suara monitor jantung yang berdetak pelan, menciptakan ritme monoton di antara keheningan. Aroma antiseptik memenuhi udara, bercampur dengan hawa dingin dari pendingin ruangan. Alvan terbaring di atas ranjang dengan berbagai kabel sensor menempel di dadanya. Wajahnya pucat, napasnya masih berat, dan kelopak matanya bergerak samar, seolah sedang berjuang di antara kesadaran dan ketidaksadaran.Di sisi ranjang, Ameera duduk dengan jemari menggenggam tangan Alvan yang terasa dingin. “Mas Alvan ….” Ia mengeratkan genggaman tangan-nya, seolah takut kehilangan. “Kapan Mas bangun?” Matanya berkaca-kaca mengamati wajah suaminya yang masih lemah. Setelah sempat mengalami guncangan hebat, akhirya kondisi suaminya kembali stabil. Meski begitu, tidak serta merta mengurangi perasaan khawatir dan cemas di dada Ameera.Sementara itu, di tempatnya, Alvan merasakan sensasi berat yang menekan sekujur tubuh, seolaah ada sesuatu yang menariknya ke dalam kegelapan. Perlahan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status