Setelah berganti pakaian, Alvan berjalan menuju sofa panjang. Setelan kaos hitam polos dengan celana pendek selutut dia pilih sebagai pakaian bersantai, nampak pas membalut tubuh jangkungnya. Sampai di dekat sofa, Alvan hendak berbaring di sana guna merenggangkan otot-otot tubuhnya yang kaku dan pegal. Namun, niatnya tersebut menjadi urung tatkala ia teringat dengan Ameera.
Melirik sekilas ke arah tempat tidur, Alvan mendapati Ameera yang masih terpejam, padahal sudah cukup lama baginya tidak sadarkan diri. Alih-alih memanggilkan doker, ia memilih untuk tidak peduli dan segera berbaring. Namun, sangat disayangkan. Sekeras apapun Alvan mencoba untuk tidak menghiraukan, tetap tidak bisa. Akhirnya, dengan perasaan berat ia berjalan menghampiri tempat tidur untuk mengecek kondisi Ameera.
“Masih belum bangun juga.” Kening Alvan berkerut, saat menyadari siklus napas Ameera yang berat. “Sepertinya, penutup wajah itu membuatnya kesulitan bernapas. Haruskah aku melepasnya?” Alvan nampak ragu untuk melepas kain cadar yang dikenakan Ameera.
“Sudahlah. Anggap saja demi kemanusiaan.” Setelah cukup lama bergelut dengan perasaan-nya, akhirnya Alvan memberanikan diri untuk melepaskan kain cadar yang di kenakan Ameera.
Deg!
Seketika itu juga, Alvan merasakan tubuhnya menegang. Kedua mata tajamnya bahkan membulat sempurna, terkejut dengan pemandangan yang tersuguh di hadapan-nya. Alvan tidak pernah menyangka bahwa akan ada masa di mana tubunya tergugah hanya karena seorang wanita yang tengah tidak sadarkan diri. Ayolah, selama ini dia telah banyak sekali menemui wanita cantik dan sexy di luar sana. Namun, untuk pertama kalinya, Alvan merasa gugup dan itu karena Ameera, wanita yang telah dinikahinya beberapa waktu terakhir ini.
“Astaga, apa yang kau pikirkan, Alvan! Berhentilah menatap perempuan itu!” tegur Alvan pada dirinya sendiri.
Alih-alih kembali hanyut dalam pesona Ameera, sosok jangkung itu dibuat tercenung saat menyadari wajah Ameera yang pucat pasi. Perlahan, sebelah tangan Alvan terulur untuk menyentuh permukaan kening Ameera dan terperanjat. “Ternyata dia demam,” monolog laki-laki itu bagitu merasakan panas yang tidak wajar di kening Ameera.
Alvan bergegas pergi dan tidak lama kembali dengan sebuah baskom dan handuk kecil di tangan-nya. Ia membilas handuk kecil tersebut kemudian meletakkan-nya di kening Ameera sebagai kompres. “Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa dia tiba-tiba pingsan seperti ini?” Sosok jangkung itu bergumam dengan suara rendah. Melihat kondisi Ameera seperti ini, membuat Alvan yang super-duper dingin dan cuek diam-diam didera rasa cemas sekaligus khawatir.
Malam itu, Alvan tidak tidur. Dia duduk di sisi tempat tidur, menjaga Ameera yang terbaring lemah tanpa kata. Sesekali, dia akan membilas handuk kecil kemudian kembali mengompres Ameera, dan memastikan jika suhu tubuh perempuan itu kembali normal seperti sediakala.
Menghela napas panjang, Alvan terus memperhatikan Ameera di pembaringan. Wajah perempuan itu terlihat begitu teduh dan menenangkan untuk dipandang. Tak pelak, Alvan nyaris terpesona olehnya. Namun, sepersekian detik kemudian, laki-laki itu segera mengenyahkan pikiran bodoh-nya begitu teringat dengan status pernikahan mereka. Satu hal yang harus Alvan ingat, bahwa ia menikahi Ameera hanya untuk menggantikan mediang adiknya dan demi perusahaan yang dijanjikan untuknya. Di mana, perasaan tidak boleh tumbuh di tengah-tengah mereka.
Selagi larut dalam pikiran-nya sendiri, Alvan dikejutkan oleh getaran di saku celananya. Sebelah tangan-nya tergerak untuk mengambil ponsel dari dalam sana. “Paman?” gumam Alvan begitu membaca nama di penelpon di layar ponsel. Tanpa berlama-lama, ia segera mengangkat panggilan masuk tersebut dan bangkit dari tempat duduk.
“Halo, Paman.”
“Kau melanggar janjimu, Alvan.”
“Melanggar janji? Apa maksudmu, Paman?”
“….”
Beberapa detik kemudian, ekspresi wajah Alvan seketika berubah menjadi lebih serius. Mata tajamnya terbuka lebar, sementara kedua garis rahangnya mengetat kencang. Bahkan, otot-otot lehernya sampai menyembul ke luar, seolah terkejut denga napa yang baru saja dia dengar dari seberang telpon.
“Baiklah. Aku mengerti, Paman. Aku akan mengurus sisanya,” tandas Alvan sebelum kemudian mematikan sambungan panggilan.
Semilir angin berhembus kencang, membisiki malam yang semakin larut. Sedikit memiringkan tubuhnya, Alvan menatap sosok Ameera yang tengah terlelap dengan pandangan yang sulit diartikan. “Jangan salahkan aku, karena bertindak terlalu jauh. Salahkan dirimu sendiri karena telah menjebak-ku ke dalam situasi rumit ini, Ameera,” gumam Alvan sarat akan makna tersirat.
***
Dinginnya malam, terasa begitu menusuk hingga sampai ke tulang-belulang. Di atas kasur, Ameera terjaga dari tidurnya. Perlahan, ia mengerjapkan mata tatkala rungunya menangkap deru napas lembut seseorang.
“Sshhh.” Perempuan itu meringis merasakan pening yang teramat sangat di kepalanya. Masih dengan mata berat yang terbuka, Ameera dibuat terkejut saat netranya menangkap sosok Alvan yang tengah tertidur dengan posisi terduduk di samping pembaringan. “Mas Alvan? Kenapa Mas Alvan tidur di sini? Sambil duduk lagi.”
Sembari sedikit membenarkan kain cadar yang dikenakan, ruang di antara kedua alis Ameera berkerut saat merasakan sesuatu di atas keningnya. Sebelah tangannya tergerak untuk mengambil sesuatu yang mengganjal tersebut. “Handuk kecil?” Ia memandangi handuk di tangannya dengan perasaan bingung.
Mengerjapkan matanya beberapa kali, Ameera kembali menatap sosok jangkung yang masih terlelap itu dengan tatapan penuh tanda tanya. “Apa yang terjadi? Semalam ….” Ameera mencoba mengingat-ingat kembali apa yang terjadi tadi malam.
Beberapa detik kemudian, perempuan itu terbelalak tatkala potongan-potongan dari kejadian semalam berputar di kepalanya bak gulungan memori. Saat di mana, dirinya yang baru saja kembali ke dalam kamar dalam kondisi tubuh berat karena kelelahan, tiba-tiba tumbang dan pingsan. “Tunggu, kalau enggak salah, tadi malam aku mendengar suara mobil mas Alvan. Setelah merapikan dapur, mencuci piring, aku ke kamar dan … semuanya jadi gelap.” Ameera menangkupkan sebelah telapak tangannya, menutupi mulutnya yang ternganga. Baru saja, dia menyadari sesuatu yang salah di sini.
“Jangan-jangan, semalaman ini Mas Alvan menjagaku?” pekik Ameera dengan suara tertahan. Takut kalau-kalau suaminya itu akan terbangun. Tentu saja, Ameera tidak ingin terlalu percaya diri dan salah paham. Namun, melihat kondisinya saat ini, membuat Ameera menyadari bahwa suaminya itu memang telah menjaganya.
Pada saat yang sama, Alvan yang sedikit terusik oleh pergerakan Ameera terbangun. Menegakkan tubuhnya, ia menatap Ameera dengan pandangan kabur karena kantuk yang masih mendera. “Kamu sudah bangun rupanya.”
“M-mas Alvan?” panggil Ameera seraya menatap cemas ke arah suaminya.
Seketika itu juga, Alvan terbelalak tatkala menyadari di mana dirinya berada sekarang. Rasa kantuk yang semula masih menyelimuti pun seketika lenyap. Dengan cepat, Alvan mengubah ekspresi wajahnya dan memasangnya sedatar mungkin. Tentu saja, dia tidak ingin membuat Ameera salah paham dan mengira bahwa dirinya peduli padanya.
“Kamu mengganggu tidurku!” ucap Alvan dengan nada dingin.
“Kenapa Mas Alvan tidur di sini? Apa Mas Alvan yang menjagaku semalaman?” terka Ameera ragu-ragu.
Sosok jangkung itu langsung melayangkan tatapan menghunus. Seolah, tidak terima dengan tudingan yang diberikan oleh Ameera. “Siapa yang menjagamu? Aku hanya tidak sengaja ketiduran di sini!” elak Alvan dengan ketus.
Ameera mengerjap polos. “Tapi, aku melihat ada baskom dan handuk kompres. Aku rasa, Mas Alvan telah menolongku semalam.” Ameera menyebutkan baskom di atas nakas serta handuk kecil yang sebelumnya terlampir di keningnya.
Garis rahang Alvan mengetat. Dia paling membenci seseorang yang berlagak sok tahu tentang dirinya. “Sudah aku bilang, kalau aku tidak menolongmu atau menjagamu. Kenapa kamu berisik sekali!” kelakar laki-laki itu, berang. Bahkan, orang bodoh sekalipun akan tahu apa yang terjadi di sana justru sebaliknya. Namun, Alvan terlalu gengsi untuk mengakui.
Di tempatnya, Ameera hanya bisa menatap kemarahan Alvan dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, dia merasa bersalah karena telah menjadi beban bagi laki-laki itu. Namun, di sisi lain, ada rasa hangat yang tumbuh di hatinya, saat mengetahui fakta bahwa Alvan telah menolong dan menjaganya semalaman.
“Terima kasih, Mas.” Alvan yang sempat tersulut, mendadak terdiam. “Meski Mas Alvan enggak bermaksud begitu, tapi nyatanya Mas sudah menjaga dan merawat aku.”
Kata-kata Ameera yang lembut dan tulus, berhasil mengetuk sesuatu di dalam dada Alvan. Belum lagi, ditambah dengan bayangan wajah Ameera yang samar-samar kembali melintas di dalam ingatan-nya, membuat hati Alvan bergetar, seolah ada emosional yang tidak bisa dia jelaskan. Beruntung, sebelum ketiduran tadi dia telah memasangkan kembali kain cadar itu, sehingga Ameera tidak mungkin curiga padanya.
Berdeham beberapa kali, Alvan kemudian mengalihkan pandangan-nya ke arah lain. “Kau terlalu banyak bicara. Kepalaku menjadi pening mendengarnya!” ketus sosok jangkung itu lalu bangkit dari duduk dan pergi meninggalkan kamar dengan perasaan yang rumit.
Sementara itu di tempatnya, Ameera hanya diam menatap kepergian Alvan. Dia tahu, suaminya itu masih belum bisa menerimanya. Bagaimanapun juga, pernikaham mereka terlalu tiba-tiba, sehingga butuh waktu bagi dua hati yang berbeda untuk bisa bersatu. “Mas Alvan masih bersikap dingin. Sepertinya, butuh banyak usaha bagiku untuk bisa mencairkannya,” gumam Ameera sendu.
“Sayangnya,” ucap Abimana dengan suara datar, dingin. Namun, menghantam seperti belati yang menembus dada, “kami datang bukan sekadar untuk memenuhi undangan. Tetapi, untuk membawa pergi pengantin wanita.”Deg!Ruang pesta yang semula gemerlap seketika dicekam sunyi. Sorot lampu gantung berkilau, tetapi tak mampu mengusir bayang keterkejutan yang menyelimuti semua tamu. Bisik-bisik membuncah seperti gelombang kecil di lautan yang tenang. Para tetua saling berpandangan bingung. Sementara Ameera mengerjap dengan kening berkerut.Alvan menyipitkan mata. “Membawa pergi pengantin wanita? Maaf, maksud Anda?” tanyanya, mencoba tetap sopan.Tuan Abimana tergelak. Namun tawanya hanya sejenak, sebelum wajahnya berubah serius. “Anda ingin menikahi wanita itu? Tentu saja Anda harus mendapatkan izin dari kami terlebih dahulu.”Garis-garis halus di kening Alvan semakin dalam. Jantungnya berdegup tak menentu. “Bisa Anda jelaskan, Tuan Abimana? Jangan hanya membuat teka-teki seperti ini?” Seperti bia
Dua bulan setelah kejutan lamaran, sebuah acara megah nan sarat makna digelar di ballroom hotel bintang lima. Ruangan itu disulap menjadi istana cahaya yang anggun, memadukan kemewahan modern dan sentuhan Islami yang menenangkan jiwa. Nuansa putih yang bersih, emas yang megah, dan hijau zamrud yang menyegarkan mendominasi tiap sudut ruangan, menciptakan atmosfer sakral nan agung. Kaligrafi ayat-ayat cinta dari Al-Qur’an menghiasi tirai-tirai tipis yang membingkai dinding, sementara bunga-bunga segar, seperti mawar putih, lili, dan anggrek bulan, ditata dalam balutan harmoni, wangi lembutnya menyatu dengan udara.Namun, ini bukan sekadar pesta pernikahan. Melainkan momen sakral, hari di mana Ameera, wanita bercadar itu, diperkenalkan secara resmi kepada dunia.Ketika pintu utama terbuka perlahan, seisi ruangan seolah berhenti bernapas. Denting musik lembut menyertai langkah seorang wanita yang muncul di ambang pintu, siluetnya memancar dalam temaram cahaya kristal. Gaun syar’i berwarna
“Jay, Santi ... sebenarnya kita sedang menuju ke mana?” Suara Ameera terdengar lirih, nyaris larut dalam langkah-langkah yang menggema pelan di lantai. Sejak awal, dua orang kepercayaan suaminya itu membawanya pergi dalam diam tanpa petunjuk, tanpa alasan. Hanya sunyi yang menjawab, membuat dadanya penuh oleh rasa ingin tahu dan gelisah yang saling bertubrukan.“Tolong bersabar sedikit lagi, Nyonya Muda. Kita hampir sampai,” sahut Jay dari depan. Suaranya terdengar tidak begitu dekat, seolah sedang mengamati situasi.“Hati-hati, Nyonya Muda,” ucap Santi dengan lembut. “Pelan-pelan naik. Kita sudah sampai.”Dengan hati-hati, pelayan wanita itu membimbing Ameera menaiki anak tangga. Tangga itu nyaris tak terlihat, hanya bisa dirasakan oleh telapak kaki Ameera yang beralas sepatu pantofel berwarna abu-abu.Langkah Ameera melambat. Napasnya naik-turun dalam irama tertahan. Ada sesuatu yang tak bisa ia jelaskan, sebuah ketegangan samar yang merayap perlahan, menghadirkan aura misteri di set
Cahaya lampu kamar temaram, menciptakan bayangan lembut di dinding berwarna gading. Aroma melati dari diffuser berbaur dengan harum kain yang baru saja disetrika. Ameera berdiri di depan cermin, ujung jarinya dengan luwes merapikan kerudungnya yang menjuntai anggun."Santi, tolong ambilkan gamis navy di lemari."Santi yang sejak tadi sibuk menata selimut segera menghampiri lemari kayu jati di sudut kamar. Tangannya meraba lembut kain yang Ameera maksud, lalu mengeluarkannya dengan hati-hati. Gamis itu jatuh dengan anggun, warnanya pekat seperti langit malam tanpa bintang."Ini, Nyonya Muda."Ameera menerimanya dengan senyum tipis. Jari-jarinya meraba tekstur kain yang lembut dan sejuk di kulit. Sembari mengenakann-ya, ia mengikat tali kecil di bagian belakang, memastikan baju itu pas membingkai siluetnya tanpa berlebihan.Santi memperhatikan sejenak. "Anda ada janji, Nyonya Muda?" tanyanya sedikit penasaran."Eum." Ameera mengangguk. "Mas Alvan bilang ada undangan penting yang harus di
Matahari senja menggantung rendah di ufuk barat, menaburkan cahaya keemasan yang menyelimuti taman rumah sakit dengan kilau lembut. Angin berembus sepoi, membawa serta aroma bunga yang tengah bermekaran. Ameera mendorong kursi roda Alvan dengan penuh kelembutan, membiarkan suaminya menikmati udara segar setelah sekian lama terkurung di dalam kamar perawatan.“Maa syaa Allah, pemandangan di sini indah sekali, ya, Mas,” ujar perempuan bercadar itu riang. Matanya bebinar penuh kekaguman, sementara suaranya terdengar seperti alunan angin yang membelai dedaunan.Alvan tak segera menanggapi. Tatapannya terarah padanya, bukan pada hamparan bunga atau pepohonan rindang di sekeliling mereka. Senyum tipis tersungging di bibirnya, seolah ada sesuatu yang tengah ia pikirkan.Ameera menghentikan langkah, lalu setengah berlutut di hadapan suaminya dengan dahi berkerut. Tubuhnya merendah seolah ingin menyatu dengan bayangan di tanah. “Kenapa Mas Alvan tersenyum seperti itu? Apa ada yang salah dengan
Ruangan ICU terasa sunyi, hanya suara monitor jantung yang berdetak pelan, menciptakan ritme monoton di antara keheningan. Aroma antiseptik memenuhi udara, bercampur dengan hawa dingin dari pendingin ruangan. Alvan terbaring di atas ranjang dengan berbagai kabel sensor menempel di dadanya. Wajahnya pucat, napasnya masih berat, dan kelopak matanya bergerak samar, seolah sedang berjuang di antara kesadaran dan ketidaksadaran.Di sisi ranjang, Ameera duduk dengan jemari menggenggam tangan Alvan yang terasa dingin. “Mas Alvan ….” Ia mengeratkan genggaman tangan-nya, seolah takut kehilangan. “Kapan Mas bangun?” Matanya berkaca-kaca mengamati wajah suaminya yang masih lemah. Setelah sempat mengalami guncangan hebat, akhirya kondisi suaminya kembali stabil. Meski begitu, tidak serta merta mengurangi perasaan khawatir dan cemas di dada Ameera.Sementara itu, di tempatnya, Alvan merasakan sensasi berat yang menekan sekujur tubuh, seolaah ada sesuatu yang menariknya ke dalam kegelapan. Perlahan