49“Jangan takut, aku hanya ingin bicara sebentar denganmu.”Mentari meletakkan lagi bokongnya di atas kursi yang muat untuk dua orang itu, saat terdengar kalimat barusan. Bukan hanya karena kalimat itu sebenarnya, tetapi karena sikap dan gestur tubuh Bastian memang tidak terkesan berbahaya.Pandangan laki-laki itu tetap lurus ke depan. Entah menatap apa karena hanya kosong yang membalut pandangan itu.“Kamu benar baik-baik saja, Tari?” tanya Bastian dengan pandangan tetap ke depan. Melirik sebenarnya tetapi hanya sebentar saja.Mentari belum mau menjawab. Ia yang duduknya saja mengambil sisi paling jauh dari kursi itu hanya menatap laki-laki itu dari samping.Untuk apa sebenarnya laki-laki itu seperhatian ini padanya? Apa pun yang terjadi padanya, apa ada urusan dengan Bastian? Bukankah laki-laki itu yang membuatnya ada di posisi ini? Untuk apa perhatian jika luka yang pernah ia torehkan lebih besar dari apa pun.“Tari, maaf sekali lagi. Untuk kesalahan dulu. Sungguh aku sangat menye
50Samudra melepaskan tangan Mentari begitu mereka tiba di dalam kamar. Menutup dan mengunci pintu, setelahnya pria itu langsung menyudutkan istrinya di salah satu dinding.Mentari yang yakin jika Samudra tengah marah, mundur dengan takut. Dadanya berdebar keras dan wajahnya pucat. Kaki-kakinya bergeser mundur seiring langkah sang pria yang semakin rapat.“Om …,” gumamnya dengan bibir bergetar. Kedua telapak tangan yang basah ia kepalkan. Belum pernah ia melihat Samudra dalam keadaan seperti ini. Wajahnya merah dengan kedua mata sangat kelam. Ia yakin jika pria itu marah melibatnya bersama Bastian.Tubuh Mentari sudah tersudut di salah satu dinding. Punggungnya bahkan menempel dengan dinding yang semakin menambah dingin tubuhnya.“Om, maaf aku ….”Tidak selesai kalimatnya, Samudra sudah benar-benar menyudutkannya. Tubuh mereka bahkan kini saling menempel tanpa jarak. Mentari memejamkan mata dan menggigit bibirnya saat wajah sang pria juga mengikis jarak di antara mereka hingga embusan
51“Bu Widya mengalami kelebihan cairan di sekitar jantungnya. Karenanya tadi bisa begitu sesak dan bahkan sampai pingsan. Faktor usia juga mempengaruhi, kinerja jantung tentu tidak akan sama seperti saat muda dulu. Sebaiknya emosinya dijaga. Jangan sampai terlalu mendapat tekanan, karena dikhawatirkan drop lagi bahkan bisa jadi lebih dari ini.”Samudra mengangguk mendengar penjelasan dokter rekomendasi dokter Rena itu. Dokter Rena sendiri sedang tidak bertugas. Tapi ia datang mendampingi, bahkan langsung menganjurkan agar segera dibawa ke rumah sakit saat keluarga menghubungi tadi.Samudra keluar ruangan dokter setelah dokter senior itu memberikan penjelasan di depan dirinya dan Benny. Syukurlah kondisi sang ibu kini tidak lagu terlalu mengkhawatirkan. Bahkan setelah diberi Tindakan, dikabarkan sudah sadar.Samudra keluar dengan menahan dongkol yang bercokol di dadanya. Sungguh amarahnya sudah di ubun-ubun.Bagaimana tidak? Ibunya sampai drop seperti ini, karena ulah kakaknya sendiri
52Samudra tersenyum, lalu membetulkan letak selimut agar menutupi tubuh wanita itu sampai dadanya.“Om, jagain Nenek dulu, ya. Aku mau tidur dulu mumpung Nenek juga tidur,” pamit wanita itu beberapa saat lalu setelah menyuapi ibunya dan membantu ke kamar mandi.“Kalau Nenek butuh bantuan, bangunkan saja aku.”Samudra duduk di tepi ranjang khusus penunggu pasien. Membelai sebentar wajah yang sudah terlelap itu lembut. Raut lelah kentara. Jelas saja, semalamam Mentari tidak tidur karena menunggui ibunya. Katanya takut ibunya tiba-tiba sesak lagi.Kini sang ibu sudah lebih baik kondisinya. Karenanya wanita itu sudah berani meninggalkan tidur.Samudra masih menatap lekat wajah muda yang baru disadarinya sejak ia nikahi semakin bersinar. Jauh berbeda dengan saat pertama bertemu sebelum menikah dulu. Mungkin karena dulu hidup di bawah banyak tekanan.Sekali lagi dibelainya pipi merona itu sebelum mereabhkan diri disampingnya. Terbayang bagaimana telaten dan sabarnya Mentari mengurus ibunya
53Mentari mematung. Menatap wanita dewasa yang usianya hanya terpaut beberapa tahun saja dari Samudra. Tubuhnya tinggi dan langsing. Hanya terpaut beberapa cm juga dari Samudra. Terbukti tinggi mereka yang tidak terpaut jauh saat berhadapan. Yang jika saja mereka berdiri berdampingan, tidak akan menciptakan ketimpangan.Berbeda dengan dirinya yang berpostur mungil dan terlihat sangat jomplang bila berdiri di sisi Samudra. Tingginya hanya sekitar dada Samudra saja.Lalu, siapa wanita yang terus tersenyum seraya tak lepas menatap suaminya ini? Bahkan tak mempedulikan tangannya yang masih mengait tangan Samudra, wanita itu seolah tidak peduli. Dengan percaya dirinya berjalan lebih mendekati Samudra.Lucy-mu telah kembali?Apa maksdunya?Dalam keheranan, Mentari masih berusaha mencerna kalimat yang dilontarkan wanita dewasa itu, saat tiba-tiba Samudra melepaskan tangannya yang sejak tadi terus bertaut. Bahkan tanpa meliriknya sama sekali.Mentari memperhatikan gerakan Samudra itu dengan
54“Sarapan, Mas,” tawar Mentari saat Samudra melewati ruang makan pagi ini. Tadi ia sudah membuat dua tangkup roti bakar. Sengaja membuat dua walaupun tidak yakin pria itu akan pulang. “Hmm.” Hanya itu jawaban Samudra. Kemudian berlalu menuju kamar pribadinya. Mentari menggigit bibirnya. Sesuatu yang ia takutkan pun akhirnya terjadi. Sikap pria itu benar-benar berubah. Tak lagi sama seperti saat sebelum wanita itu datang. Mentari memejam, saat mendengar pintu kamar Samudra tertutup. Ia menggigit roti dengan tidak ada selera sama sekali. Tapi harus tetap ia makan. Jangan sampai karena kejadian ini membuatnya lemah. Mungkin sekarang Samudra masih lelah. Mungkin nanti setelah beristirahat akan menjelaskan semuanyaSekitar satu jam Mentari menunggu Samudra keluar dari kamarnya, tetapi pria itu tak kunjung juga muncul. Entah apa yang dilakukannya di dalam sana. Tak terhitung berapa kali ia menoleh ke arah pintu itu hanya untuk menunggu penghuninya muncul. Namun, semua masih sama. Ia m
55Mentari memejam setelah tiba di dalam benda metalik yang kini melaju turun membawa dirinya seorang diri ke bawah. Punggungnya bersandar di salah satu dindingnya. Bahkan tidak ada kata-kata lagi yang keluar dari mulut Samudra sebelum ia benar-benar pergi. Padahal ia berharap Samudra menahannya dengan sikap lembutnya, sambil meyakinkan jika dirinya akan menjelaskan kesalahpahaman di antara mereka. Namun, kenyataannya itu hanya khayalannya sendiri. Digigit bibirnya kuat-kuat untuk menahan segala sebah yang bercampur di dada. Apa arti semua ini? Pria itu benar-benar tidak menginginkan dirinya lagi? Keyakinan jika Samudra selama ini belum menikah karena menunggu seseorang, ternyata benar adanya. Karena Setelah orang yang ditunggunya itu datang, sikapnya benar-benar berubah. Sayatan terasa semakin menambah luka di hatinya. Namun, tidak lama. Wanita itu segera menegakkan tubuhnya. Lalu menarik nafas panjang berulang-ulang. Sebanyak yang ia bisa. Mensugesti diri adalah hal yang dil
56“Jadi, fix ya Kak ini sudah bisa dicetak?”“Tentu saja. Karya sebagus ini sayang sekali jika tidak sampai naik cetak. Saya yakin bukumu akan booming. Akan banyak menghasilkan pundi-pundi rupiah. Semoga kelak ada PH juga yang tertarik dan meminangnya untuk menjadi sebuah karya layar lebar.”“Amin.” Mentari menjawab singkat seraya menengadahkan kedua tangan. Sejenak lupa dengan masalahnya di rumah. “Terima kasih banyak, Kak. Terima kasih, ya,” ujarya dengan keharuan memenuhi dada. “Terima kasih untuk apa, Dek Violet? Semua ini karena kerja kerasmu, kok. Di sini saya hanya pembuka jalan saja. Kamu memang sudah hebat dan berbakat, hanya belum ditemukan untuk bisa lebih hebat lagi. Beruntungnya saya menjadi orang pertama yang bisa menemukan kamu.” Kembali Bima tersenyum.“Sebenarnya kamu belajar menulis di mana, Dek?”“Aku ikut banyak kelas menulis online, Kak. Setelah sebelumnya belajar otodidak hanya dengan membaca karya-karya orang lain.” Mentari menjawab seadanya. “Bagus, kamu ad