118“Apa kamu sudah tidak waras?” Emosi Mentari terpancing. Pagi-pagi, kebangun terpaksa dengan kondisi mata masih mengantuk, lalu tiba-tiba ingin diserang, dan setelahnya harus mendengar tuduhan-tuduhan yang membuat panas telinga. Siapa yang tidak kesal?“Datang pagi-pagi ke sini hanya untuk mengeluarkan kata-kata sampah seperti itu? Apa menjadi istri dari pria kaya idamanmu sudah membuat otakmu berpindah ke lutut?” tanya Mentari dengaan kata-kata yang cukup kasar.“Pagi-pagi datang ke rumah orang lain hanya untuk mengumpat dan menghamburkan tuduhan yag tidak berdasar. Kamu sudah tidak waras.”“Kenapa, kamu tersinggung?” Novita mengangkat dagunya. Rasa sakit di tangannya ia kesampingkan. Ia pun tersulut emosi.“Itu memang kenyataannya, kan? Kamu, ayah dan ibumu sama saja. Kalian orang-orang yang tidak punya perasaan. Tidak punya empati.”“Dan kamu serta ibumu orang-orang yang tidak punya hati dan otak! Kalian berjiwa miskin!” Telunjuk Mentari menuding wajah Novita.“Apa maksud kamu?”
119“Kenapa?” tanya Samudra saat mendapati wajah Mentari tak seperti biasanya. Wanita itu datang jam sembilan tiga puluh dengan menggunakan taxi. Padahal ia sudah mengingatkan jika sudah siap berangkat sopir akan menjemputnya.Wanita itu juga datang dengan wajah yang tidak biasa. Langsung duduk dengan tidak bersemangat. Padahal biasanya akan memeluk dan menciuminya penuh rindu walaupun mereka hanya terpisah sebentar saja.Samudra menghentikan aktivitasnya, kemudian duduk di samping istrinya. Tangannya terulur meraih kedua pipi Mentari yang dibawanya agar melihat padanya.“Ada apa? Apa ada yang terjadi?” tanya pria itu lagi karena pertanyaan pertamanya belum mendapat jawaban. Ditatapnya lekat sepasang mata yang sejak tadi seolah menghindari bertemu pandang dengannya.“Tidak ada apa-apa,” jawab Mentari lemah seraya mengalihkan pandangan ke arah lain. Namun gegas kedua tangan sang pria mengeratkan tangkupan di pipi itu agar wajah Mentari tetap menghadapnya.“Benar?” Samudra meminta peneg
120“Perasaan udah lama nggak ketemu ibu, ya,” ujar Samudra begitu mobil yang mereka tumpangi tiba dan terparkir di halaman rumah megah bak kastil. Pria itu melirik wanita di sampingnya yang ternyata sedang memejam. Ia tahu jika sebenarnya Mentari malas untuk datang ke sana. Bukan karena tidak mau bertemu ibu mertua, tetapi penghuni lain di rumah itu yang membuatnya malas ke sana.Sebenarnya, ia pun sama. Malas harus bertemu dengan keluarga Benny yang ke semuanya tidak pernah welcome padanya. Namun, tetap Bastian dan keluarganya harus tahu apa yang dilakukan Novita kepada Mentari.Samudra tidak mau apa yang dilakukan Novita tadi pagi terulang lagi.Pria itu mengulurkan tangan kepada istrinya setelah mereka turun bari mobil. Mengedarkan pandangan sebentar ke sekeliling kediaman mewah keluarga Hanggara yang sejak kecil tidak pernah memberikan kenyamanan padanya.Sungguh miris nasibnya, tinggal di rumah mewah pun tak pernah membuat hidupnya bahagia. Ia hanya seorang pecundang kecil yang
121Samudra menarik napas panjang seraya membuang muka. Sementara dua wanita yang bersamanya merengut tidak suka mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Benny. Rupanya anak sulung keluarga Hanggara itu masih tidak puas jika tidak mengatai Samudra.“Jaga bicaramu, Benny. Samudra bahkan tidak pernah meminta uang keluarga ini sepeser pun setelah keluar dari rumah ini.”“Itu karena ia tidak pantas, Bu.”“Pantas atau tidak, sebenarnya ilmu waris sudah mengaturnya. Kedudukan Samudra dalam keluarga ini sama denganmu. Kalian sama-sama anak lelaki keluarga ini. Kelak kalau pun menerima waris, hak kalian akan sama.” Walaupun terlihat kesal dan marah, wajah nenek Widya tetap terlihat tenang dan anggun.Benny membuka mulut untuk melontarkan kalimat keberatan, tetapi gegas tangan Nenek Widya terangkat tanda ia tidak suka dibantah.“Jika pun Samudra datang untuk meminta uangku, ia sangat pantas. Ia bagian dari keluarga ini. Sama sepertimu, ia juga anak laki-laki keluarga Hanggara. Jangan pernah
122Benny yang hampir keluar dari pintu, menghentikan langkahnya, kemudian berbalik menatap Samudra dengan raut heran. Samudra sendiri langsung mengulurkan tangan kepada sang ibu. Meraih tangannya dan menciumnya takzim.“Bu, aku tinggal dulu, ya. Aku mau bicara dengan Bastian dan Bang Benny sekalian.” Samudra pamit.“Ada apa lagi, Sam? Kenapa ada banyak hal yang Ibu tidak tahu? Apa kalian sengaja menyembunyikan dari Ibu?” Tatapan Nenek Widya membuat Samudra merasa bersalah karena memang ada banyak hal yang sengaja dirahasiakan, termasuk masalah yang ingin ia bicarakan dengan Bastian saat ini. Tidak mungkin menyampaikan hal tidak baik yang berpotensi akan berpengaruh terhadap kesehatan sang ibu.“Bukan masalah besar, Bu. Nanti kami kembali lagi setelah bicara dengan mereka.”“Kalian tidak akan ke sini jika bukan masalah serius. Kalian datang karena masalahnya serius, bukan?”Samudra tertegun. Tak menyangka jawaban sang ibu. Salahnya memang yang jarang berkunjung hingga datang jika ada
123“Maksud Om?” Bastian menatap heran. Terbukti dari beberapa kerutan yang menghiasi keningnya. Wajahnya yang semula penuh nyinyiran kini berubah serius. Dan di saat laki-laki dua puluh lima tahun itu masih menunggu jawaban Samudra, seseorang melewati ruangan di mana mereka tengah bicara.Semua orang di ruangan itu menoleh ke arah pintu di mana ternyata Novita lewat dan menghentikan langkahnya. Pun dengan Samudra yang merasa momen tepat datang di saat ia ingin menyampaikan tujuannya ke sana.“Istrimu tadi pagi datang ke apartemenku, Bas. Dia ingin menyerang Mentari.”Tiga kepala kembali menoleh ke arah Novita yang memucat setelah sebelunya mereka menatap Samudra. Raut sama tergambar di wajah ketiganya.“Maksud Om apa dengan menyerang?” Bastian yang beberapa saat lalu tampak terkejut, berhasil menguasai dirinya. “Jangan lebay, Om. Mungkin Om baru mengenal satu perempuan, jadi saat sedikit saja ada yang nyenggol, langsung mereog. Hah, membagongkan.” Bastian tertawa mengejek di akhir ka
124Samudra tertegun. Untuk beberapa lama ia hanya berdiam mencoba mencerna kalimat sang kakak yang jujur saja membuatnya terkejut. Benarkah apa yang dikatakan Benny barusan? Atau ….Samudra mengerjap seraya memperbaiki posisi berdirinya. Sungguh, Benny salah jika mengira ia masih Samudra yang dulu yang mudah terintimidasi olehnya. Jika pun yang disampaikannya barusan adalah fakta yang belum ia ketahui, ia harus tetap bersikap tenang. Jangan sampai wajah-wajah meremehkan yang barusan tersenyum karena ucapan Benny bertambah girang.Samudra mengembus napas, kemudian mengedarkan tatapan ke semua orang yang ada di sana.“Maaf, jika aku tidak bisa mempercayai ucapan Abang untuk saat ini. Mungkin aku akan bertanya pada ibu. Dan aku akan lebih mempercayai ibu daripada Abang yang jelas-jelas sejak dulu tak suka melihatku sedikit saja bernapas lega.”Wajah Benny pun serta-merta merengut. Semburat merah langsung menutupi wajah itu pertanda hatinya kesal.“Namun ….” Seolah tidak peduli perubahan
125Hari-hari berlalu. Berkat kerja keras Samudra, perusahaan ayah Mentari perlahan stabil meski masih jauh dari kata maju. Tidak nombok untuk membayar karyawan setiap bulan saja itu sudah suatu kemajuan untuk Samudra dan Mentari. Mereka sadar segala sesuatu butuh proses. Tidak ada kesuksesan yang dibangun dalam satu malam. Butuh kerja keras, keuletan dan kesabaran untuk bisa mencapai titik yang diinginkan.Hari-hari mereka semakin disibukkan dengan mengurus perusahaan. Mentari tidak pernah absen menemani sang suami meski kadang berangkat siang. Bukan sekadar menemani, tapi tentu saja sekaligus menimba ilmu darinya. Bahkan keinginan untuk kuliah ia tunda dulu demi fokus membantu Samudra mengembangkan perusahaan.Wanita itu berpikir toh ilmu bisa didapat dari mana saja. Tidak mesti dari bangku kuliah. Bahkan kini hari-harinya diisi dengan menimba ilmu dari sang suami. Bukan hanya teori di kelas, ia bahkan langsung mempraktekan di perusahaan.Ia yang dasarnya mudah menyerap apa pun yang