Mobil ambulans dari Rumah Sakit akhirnya berhenti di depan rumah. Dewi langsung bergegas keluar bersama Aksara.
Dua petugas membantu menurunkan tandu. Di atasnya, seorang lelaki tua terbaring lemah. Wajahnya pucat, satu sisi mulutnya agak mencong, dan sorot matanya kosong sesekali berkedip pelan.“Bapak …” bisik Dewi pelan, suaranya tercekat.Bapak hanya memutar kepalanya perlahan ke arah suara Dewi. Mulutnya terbuka sedikit, mengeluarkan suara pelan, “Heh … ha … ho …”Dewi menutup mulutnya dengan tangan, menahan isak.“Bapak pulang ya … Maaf ya, Pak, kami nggak bisa nyembuhin Bapak sepenuhnya,” ujarnya dengan suara bergetar.Aksara menguatkan pundaknya. Ia ikut membantu mengangkat tubuh sang Bapak dari tandu ke tempat tidur yang telah disiapkan.Di sudut ruangan, Ibu Dewi menyeka air mata dengan ujung kerudungnya. Ia duduk diam, menatap suaminya yang dulu penuh semangat mengurus ladang, kini hanya bisa terbaring.<Dewi menoleh, lalu mengangguk pelan. “Kalau bukan aku, siapa lagi yang bisa jagain Bapak?”Aksara muncul dari dapur, membawa handuk kecil dan air hangat di baskom. Ia tak banyak bicara, langsung duduk di lantai dan mulai membersihkan tangan Bapak dengan lembut. Gerakannya penuh kasih, penuh perhatian.“Biar aku bantu mandiin nanti,” ucapnya lirih.Ibu tak bisa menahan air matanya. Ia hanya bisa menatap menantunya dengan rasa syukur yang sulit diucapkan.Setelah semua beres, Dewi dan Aksara duduk di teras, menyeruput teh hangat. Angin pagi mengelus wajah mereka.“Mas … kamu pernah nyesel nikah sama aku?” tanya Dewi tiba-tiba, suaranya lirih.Aksara menoleh cepat. “Kenapa kamu tanya gitu?”“Soalnya aku kayak beban. Mas harus urus aku, keluarga aku, sampai kerjaan Mas juga mungkin terganggu …”Aksara menatap Dewi dalam-dalam, lalu tersenyum kecil.“Kalau harus balik ke masa lalu dan pilih lagi, aku tetap a
Mobil ambulans dari Rumah Sakit akhirnya berhenti di depan rumah. Dewi langsung bergegas keluar bersama Aksara.Dua petugas membantu menurunkan tandu. Di atasnya, seorang lelaki tua terbaring lemah. Wajahnya pucat, satu sisi mulutnya agak mencong, dan sorot matanya kosong sesekali berkedip pelan.“Bapak …” bisik Dewi pelan, suaranya tercekat.Bapak hanya memutar kepalanya perlahan ke arah suara Dewi. Mulutnya terbuka sedikit, mengeluarkan suara pelan, “Heh … ha … ho …”Dewi menutup mulutnya dengan tangan, menahan isak.“Bapak pulang ya … Maaf ya, Pak, kami nggak bisa nyembuhin Bapak sepenuhnya,” ujarnya dengan suara bergetar.Aksara menguatkan pundaknya. Ia ikut membantu mengangkat tubuh sang Bapak dari tandu ke tempat tidur yang telah disiapkan. Di sudut ruangan, Ibu Dewi menyeka air mata dengan ujung kerudungnya. Ia duduk diam, menatap suaminya yang dulu penuh semangat mengurus ladang, kini hanya bisa terbaring.
“Nikahi aku,” ucap Geni, tanpa tedeng aling-aling.“Kamu tunjukkan ke semua orang kalau aku masih pemenangnya. Biar Dewi lihat. Biar semua orang lihat … kalau aku nggak kalah.”Gala memejamkan mata, lalu berdiri.“Lo gila. Ini bukan solusi, Gen! Lo bener-bener udah kelewat batas …”Geni ikut berdiri, wajahnya dingin tapi penuh tekanan.“Aku yang akan nutupin masalah kecelakaan ini, Mas. Aku yang bakal jaga rahasia itu rapat-rapat. Tapi sebagai gantinya, kamu harus balikin harga diriku. Mas Gala harus nikahin aku. Biar semua orang berhenti ngomongin tentang aku yang gagal nikah, dan ngomongin Dewi yang lebih beruntung."Gala masih menatapnya tajam“Kamu mau bebas kan, Mas Gala? Mau hidup tenang? Mau nggak dipenjara? Yaudah, tinggal nikahin aku. Aku bakal urus semuanya. Nama kamu bersih, rahasia aman. Dan aku dapat hidupku kembali.”Gala tertawa kecil, getir. “Hidup lo atau ego lo?”Geni mengangkat dagunya. “Sama a
Suara knalpot berisik, musik keras, dan aroma kopi instan bercampur dengan asap rokok memenuhi tempat tongkrongan di pojok jalan itu. Anak-anak muda tertawa seenaknya, tapi di salah satu sudut, Gala duduk sendiri. Kepalanya tertunduk, mata menatap kosong ke gelas yang tak disentuh. Tangan kirinya gemetar pelan. Nafasnya berat, dadanya seperti ditekan batu besar.Raka datang membawa dua gelas plastik berisi minuman. Ia mendekat dengan santai, tapi begitu melihat wajah Gala yang muram, langkahnya melambat."Bro, lu kenapa? Dari tadi kayak zombie. Nggak nyaut, nggak ngelirik. Lu abis berantem?”Gala nggak langsung jawab. Ia menarik napas panjang, tangannya mengepal.“Raka, gue nabrak orang.”Suaranya nyaris tak terdengar lirih, nyaris seperti bisikan.Raka terkejut. “Hah? Maksud lu? Lu serius?”“Gue... gue ikutin bapaknya Dewi. Gue cuma mau nakut-nakutin, sumpah. Tapi dia malah jatuh, kepalanya kebentur keras. Terus dia nggak ge
Dewi menggenggam tangan Aksara kuat-kuat. “Dok, jadi Bapak saya belum sadar?”“Belum. Sejak dibawa ke sini, beliau dalam kondisi tidak sadar. Tapi kami akan lakukan yang terbaik. Mohon doanya.”Tak lama, pintu ruang UGD terbuka. Beberapa petugas mendorong ranjang menuju ruang operasi. Dewi dan ibunya menahan napas saat melihat tubuh Pak Basuki terbujur lemah di atas ranjang, kepala berbalut perban, wajahnya dipenuhi luka dan darah yang mulai mengering.“Pak …” bisik Dewi nyaris tak terdengar.Tanpa pikir panjang, Dewi dan ibunya langsung mengikuti di belakang brankar yang didorong petugas medis. Aksara menggandeng tangan Dewi erat, menyamakan langkah dengan keduanya.Suasana lorong rumah sakit terasa sunyi. Hanya bunyi roda ranjang yang berderit pelan dan desau napas tergesa yang terdengar. Beberapa perawat menyingkir cepat memberi jalan.Setibanya di depan ruang operasi, petugas berhenti. Seorang dokter bedah dan suster menyambu
“A-apa, Bu? Bapak... kecelakaan?” Suara Dewi mulai gemetar. “Tabrak lari?” Aksara langsung mendekat, menggenggam tangan Dewi yang mulai gemetar hebat. “Sayang, tenang. Gimana kondisi Bapak?” Dewi menahan napas, mendengarkan ibu di seberang sana yang menangis. “Bapak dibawa ke rumah sakit, katanya masih belum sadar ...” Air mata mulai mengalir dari mata Dewi. “Mas, kita harus ke sana sekarang.” Aksara mengangguk cepat tanpa banyak bicara. Ia langsung melepas apron, meraih kunci mobil dan jaket. “Kita berangkat sekarang. Kamu nggak sendiri, Sayang. Aku di sini.” Mata Dewi berkaca-kaca, menggenggam erat tangan suaminya. “Jangan lepasin aku ya, Mas, aku takut.” Aksara menariknya ke dalam pelukan. “Enggak akan. Aku janji.” Aksara menyalakan mesin mobil dengan cepat. Dalam hitungan detik, mobil melaju keluar dari tempat prkir, menembus gerimis yang mulai turun. Di kursi sebelah, Dewi m