Share

BAB 3

"Bosan? Kamu bosan sama aku, Mas?" tanyaku. Dadaku makin bergemuruh, amarah semakin memuncak mendengar perkataan laki-laki yang bergelar suamiku.

Usia pernikahan kami baru 2 tahun. Dikarunia seorang bayi laki-laki tampan menggemaskan, yang kami beri nama Ari Prayoga. Saat ini usianya, 3 bulan. Di usia pernikahan yang masih seumur jagung ini, Mas Dani mengatakan bosan. Apa ia bosan denganku? Bosan dengan pernikahan ini?

"Iya, bisa saja nanti aku bosan sama kamu, kalau sok ngatur-ngatur aku terus," Lantang sekali Mas Dani mengucapkan kalimat itu. Tidak pedulikah ia akan perasaanku? Oh Tuhan, nyeri sekali hati ini.

"Kalau memang kamu sudah bosan sama aku. Kembalikan aku kepada orang tuaku, Mas!" Aku terisak, tidak kuat menahan pilu.

"Aah … bosan bukan berarti aku mau cerai, ya. Ingat itu!" sentak Mas Dani. "Ari masih kecil, siapa yang mau kasih makan kalau bukan aku? Kamu, kan gak ada gaji!"

"Orang tuaku masih sanggup memberi aku dan Ari makan. Tidak perlu bantuan kamu!" Emosiku memuncak. Ingin rasanya berteriak sekuat tenaga, melepas sesak di dada. Namun, kasihan Ari kalau sampai terbangun dari tidurnya.

"Hh … kalau aku bilang tidak cerai, ya tidak cerai!" ketus Mas Dani. "Sudah … nanti sore kita cari kontrakan. Supaya orang tua kamu puas." Mas Dani langsung membalikkan badan, menuju kamar mandi.

Aku terdiam, tak percaya mendengar semua perkataan suamiku. Laki-laki yang dulu berjanji menjadi imamku, berjanji memperlakukanku dengan baik. Sekarang kemana semua janjinya? Sudah lupakah ia?

Apakah aku telah salah memilih suami? Dulu memang aku mengenal Mas Dani hanya sebentar. Kami memutuskan untuk langsung menikah, tanpa proses pacaran yang berlama-lama karena usia kami sudah sama-sama matang. Aku mengenal Mas Dani melalui temanku yang juga teman Mas Dani di pabrik. Saat itu, kulihat sikap Mas Dani baik, sopan dan santun kepada orang tuaku. Hanya dalam waktu 4 bulan setelah berkenalan, kami menikah. Pada masa awal pernikahan, kurasakan semua baik-baik saja. Kami masih berusaha mengenal pribadi masing-masing.

Entah mengapa sikapnya perlahan berubah. Apakah memang seperti ini sifat aslinya? Ya Allah, hamba tahu, penyesalan tiada berguna. Saat ini sudah ada Ari, buah pernikahan kami. Aku akan terus mencoba bertahan demi anak kesayangan.

**********

Selepas ashar kami berangkat mencari kontrakan. Ari kubawa serta, kalau kutinggal takutnya menangis minta asi. Mengendarai motor, kami bertiga menyusuri jalan di sore yang  

cerah ini.

Kami pun tiba di area kontrakan petakan. Terlihat pintu kontrakan berderet-deret. Wajah Mas Dani menunjukkan rasa tidak suka, tapi ia mau juga menghampiri rumah pemilik kontrakan-kontrakan tersebut.

"Assalamu'alaikum," ucap kami berbarengan.

"Wa'alaikumussalam," Terdengar suara jawaban dari arah dalam rumah.

Seorang ibu paruh baya keluar seraya tersenyum. "Mari … mari, silahkan masuk!" sapa Ibu tersebut. "Silahkan duduk!" Ibu tersebut berkata ramah.

"Begini, Bu. Perkenalkan, saya Mawar. Ini suami saya, Mas Dani," Aku memperkenalkan diri.

"Oh iya, Dik Mawar, Dik Dani. Perkenalkan saya Ibu Sumi. Ada keperluan apa?" tanya Bu Sumi ramah.

"Kami bermaksud mencari kontrakan yang kosong, Bu. Apakah ada?" tanyaku. Mas Dani hanya tersenyum canggung.

"Oh, saat ini yang kosong hanya kontrakan depan rumah Ibu. Tapi, maaf, harganya berbeda dengan kontrakan yang di belakang," Ibu Sumi menjelaskan.

"Memangnya, berapa harganya, Bu?" tanyaku.

"Yang di depan itu, harga per bulan 1 juta," jawab Bu Sumi.

"Mahal sekali, Bu," Tiba-tiba Mas Dani menimpali.

"Tidak mahal, Dik Dani. Sesuai pasaran, sama harganya dengan kontrakan lain yang setara fasilitasnya," jelas Bu Sumi, tetap dengan keramahannya.

"Kata teman saya, cuma 500 ribu," ujar Mas Dani.

"Oh, kalau itu harga kontrakan yang paling belakang, Dik," kata Bu Sumi. "Kontrakannya itu hanya terdiri dari 1 kamar. Untuk kamar mandinya di luar, pakai bersama dengan pengontrak yang lain. Itu pun sudah penuh dikontrak,"

"Kalau yang di depan ini, fasilitasnya apa saja, Bu?" tanyaku.

"Fasilitasnya, 1 ruang tamu, 1 kamar tidur, 1 dapur dan 1 kamar mandi. Sudah termasuk biaya air, tapi untuk listrik ditanggung sendiri. Cocok untuk keluarga kecil seperti Adik," terang Bu Sumi seraya tersenyum.

Aku mengangguk-angguk tersenyum. Tapi kulihat dahi Mas Dani berkerut. Apa yang ia

pikirkan? Apa gajinya tidak cukup untuk kontrakan seharga 1 juta per bulan? Selama ini aku memang tidak mengetahui pasti berapa jumlah gaji yang diterima Mas Dani tiap bulan. Aku hanya mendapat jatah 200 ribu seminggu, itu pun kadang lebih dari seminggu.

"Nanti saya pikirkan dulu, Bu," Mas Dani berucap sambil berdiri hendak beranjak keluar.

Aku buru-buru ikut berdiri. Kulihat Bu Sumi juga terburu-buru berdiri.

"Oh, baiklah. Tapi, kontrakannya sisa 1 pintu, ya. Saya gak bisa pastikan besok masih ada. Soalnya banyak yang cari kontrakan," ujar Bu Sumi.

"Begitu, ya, Bu. Baiklah, nanti akan kami bicarakan dahulu. Semoga masih rezeki kami,” ucapku. “kalau begitu kami pamit dulu, Bu. Terima kasih. Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam.” jawab Bu Sumi.

Sepanjang perjalanan pulang, Mas Dani hanya diam. Aku pun tidak berani untuk membicarakan soal kontrakan tadi. Kalau dibicarakan sekarang, hanya akan memancing emosinya saja.

Hampir magrib kami tiba di rumah. Mas Dani masuk begitu saja ke dalam rumah tanpa bicara sepatah kata pun. Aku hanya mampu menghela napas, melihat perilakunya.

“Assalamu’alaikum,” Kuucapkan salam begitu kaki ini menapaki teras rumah.

“Wa’alaikumussalam,” Terdengar suara Ibu dari arah dalam menjawab salamku.

“Kalian sudah pulang, Mawar. Bagaimana, Ari, tidak rewel?” tanya Ibu.

“Tidak, Bu. Ari tidur terus,” jawabku.

“Ya sudah, tidurkan Ari di kamar! Kamu siap-siap sholat magrib!” titah Ibu.

“Baik, Bu,” 

**********

Selepas sholat magrib, kami makan malam bersama. Tadi Ibu memasak sayur asem, ayam goreng, tidak ketinggalan sambal terasi. Hm … air liurku langsung terbit di ujung bibir.

“Bagaimana, War. Dapat kontrakannya?” tanya Bapak.

“Belum, Pak,” jawabku.

“Besok saya akan minta teman mencarikan, Pak. Barangkali ada yang kosong,” ucap Mas Dani.

Bapak hanya mengangguk dan melanjutkan makan dalam diam. Masakan Ibu terasa enak di lidah, namun suasana makan yang sunyi kurasakan sulit untuk menelan. Aku tahu, pasti Bapak dan Ibu kecewa dengan sikap Mas Dani. Aku pun kecewa, namun ia masih suamiku yang harus kuhormati.

**********

Waktu sudah hampir tengah malam, tapi mataku belum mau terpejam. Aku ingin bicara mengenai kontrakan tadi pada Mas Dani, tapi tidak ada keberanian mulut ini untuk bicara. Aku ingin menanyakan, sebenarnya berapa sih gaji Mas Dani? Supaya aku tahu kira-kira kontrakan harga berapa yang sanggup kami bayar tiap bulannya.

Kulihat Mas Dani belum tidur, jemarinya masih sibuk chat. Aku bangun, menyandarkan punggung ke tembok. Kuhela napas sekejap, mengumpulkan keberanian.

“Mas, belum tidur?” tanyaku pelan. 

“Hm …,” gumam Mas Dani.

“Mas, boleh aku tanya sesuatu?” tanyaku lagi.

“Tanya apa?” Mata Mas Dani menatapku.

“Maaf, ya kalau sekiranya pertanyaanku menyinggung,” ucapku. “Tidak ada maksudku untuk menyinggung atau tidak menghormati Mas.”

“Iya … iya, mau tanya apa?” ujar Mas Dani.

“Hm … sebenarnya jumlah gaji Mas berapa? Mas jangan salah paham, ya! Aku hanya ingin tahu seberapa besar kemampuan kita untuk membayar kontrakan per bulan,” Aku bertanya hati-hati.

“Kamu! Hh … makin kesini, makin berani, ya!” ujar Mas Dani. “Seberapa pun gajiku, kamu gak perlu tahu! Tugasmu cuma urus Ari dan keperluanku!”

“Iya, Mas. Aku paham tugasku sebagai istri, tapi aku juga punya hak untuk mengetahui gajimu, kan!?” ucapku. 

“Alah … nanti ujung-ujungnya kamu mau ngatur-ngatur gajiku. Bikin pusing aja!” ketus Mas Dani.

“Ya sudah, terserah Mas saja. Aku serahin aja semua urusan kontrakan ini ke Mas!” Kubaringkan tubuh menghadap Ari.

“Kamu ….” Masih kudengar suara Mas Dani menahan geram.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status