"Bosan? Kamu bosan sama aku, Mas?" tanyaku. Dadaku makin bergemuruh, amarah semakin memuncak mendengar perkataan laki-laki yang bergelar suamiku.
Usia pernikahan kami baru 2 tahun. Dikarunia seorang bayi laki-laki tampan menggemaskan, yang kami beri nama Ari Prayoga. Saat ini usianya, 3 bulan. Di usia pernikahan yang masih seumur jagung ini, Mas Dani mengatakan bosan. Apa ia bosan denganku? Bosan dengan pernikahan ini?"Iya, bisa saja nanti aku bosan sama kamu, kalau sok ngatur-ngatur aku terus," Lantang sekali Mas Dani mengucapkan kalimat itu. Tidak pedulikah ia akan perasaanku? Oh Tuhan, nyeri sekali hati ini."Kalau memang kamu sudah bosan sama aku. Kembalikan aku kepada orang tuaku, Mas!" Aku terisak, tidak kuat menahan pilu."Aah … bosan bukan berarti aku mau cerai, ya. Ingat itu!" sentak Mas Dani. "Ari masih kecil, siapa yang mau kasih makan kalau bukan aku? Kamu, kan gak ada gaji!""Orang tuaku masih sanggup memberi aku dan Ari makan. Tidak perlu bantuan kamu!" Emosiku memuncak. Ingin rasanya berteriak sekuat tenaga, melepas sesak di dada. Namun, kasihan Ari kalau sampai terbangun dari tidurnya."Hh … kalau aku bilang tidak cerai, ya tidak cerai!" ketus Mas Dani. "Sudah … nanti sore kita cari kontrakan. Supaya orang tua kamu puas." Mas Dani langsung membalikkan badan, menuju kamar mandi.Aku terdiam, tak percaya mendengar semua perkataan suamiku. Laki-laki yang dulu berjanji menjadi imamku, berjanji memperlakukanku dengan baik. Sekarang kemana semua janjinya? Sudah lupakah ia?Apakah aku telah salah memilih suami? Dulu memang aku mengenal Mas Dani hanya sebentar. Kami memutuskan untuk langsung menikah, tanpa proses pacaran yang berlama-lama karena usia kami sudah sama-sama matang. Aku mengenal Mas Dani melalui temanku yang juga teman Mas Dani di pabrik. Saat itu, kulihat sikap Mas Dani baik, sopan dan santun kepada orang tuaku. Hanya dalam waktu 4 bulan setelah berkenalan, kami menikah. Pada masa awal pernikahan, kurasakan semua baik-baik saja. Kami masih berusaha mengenal pribadi masing-masing.Entah mengapa sikapnya perlahan berubah. Apakah memang seperti ini sifat aslinya? Ya Allah, hamba tahu, penyesalan tiada berguna. Saat ini sudah ada Ari, buah pernikahan kami. Aku akan terus mencoba bertahan demi anak kesayangan.**********Selepas ashar kami berangkat mencari kontrakan. Ari kubawa serta, kalau kutinggal takutnya menangis minta asi. Mengendarai motor, kami bertiga menyusuri jalan di sore yang cerah ini.Kami pun tiba di area kontrakan petakan. Terlihat pintu kontrakan berderet-deret. Wajah Mas Dani menunjukkan rasa tidak suka, tapi ia mau juga menghampiri rumah pemilik kontrakan-kontrakan tersebut."Assalamu'alaikum," ucap kami berbarengan."Wa'alaikumussalam," Terdengar suara jawaban dari arah dalam rumah.Seorang ibu paruh baya keluar seraya tersenyum. "Mari … mari, silahkan masuk!" sapa Ibu tersebut. "Silahkan duduk!" Ibu tersebut berkata ramah."Begini, Bu. Perkenalkan, saya Mawar. Ini suami saya, Mas Dani," Aku memperkenalkan diri."Oh iya, Dik Mawar, Dik Dani. Perkenalkan saya Ibu Sumi. Ada keperluan apa?" tanya Bu Sumi ramah."Kami bermaksud mencari kontrakan yang kosong, Bu. Apakah ada?" tanyaku. Mas Dani hanya tersenyum canggung."Oh, saat ini yang kosong hanya kontrakan depan rumah Ibu. Tapi, maaf, harganya berbeda dengan kontrakan yang di belakang," Ibu Sumi menjelaskan."Memangnya, berapa harganya, Bu?" tanyaku."Yang di depan itu, harga per bulan 1 juta," jawab Bu Sumi."Mahal sekali, Bu," Tiba-tiba Mas Dani menimpali."Tidak mahal, Dik Dani. Sesuai pasaran, sama harganya dengan kontrakan lain yang setara fasilitasnya," jelas Bu Sumi, tetap dengan keramahannya."Kata teman saya, cuma 500 ribu," ujar Mas Dani."Oh, kalau itu harga kontrakan yang paling belakang, Dik," kata Bu Sumi. "Kontrakannya itu hanya terdiri dari 1 kamar. Untuk kamar mandinya di luar, pakai bersama dengan pengontrak yang lain. Itu pun sudah penuh dikontrak,""Kalau yang di depan ini, fasilitasnya apa saja, Bu?" tanyaku."Fasilitasnya, 1 ruang tamu, 1 kamar tidur, 1 dapur dan 1 kamar mandi. Sudah termasuk biaya air, tapi untuk listrik ditanggung sendiri. Cocok untuk keluarga kecil seperti Adik," terang Bu Sumi seraya tersenyum.Aku mengangguk-angguk tersenyum. Tapi kulihat dahi Mas Dani berkerut. Apa yang iapikirkan? Apa gajinya tidak cukup untuk kontrakan seharga 1 juta per bulan? Selama ini aku memang tidak mengetahui pasti berapa jumlah gaji yang diterima Mas Dani tiap bulan. Aku hanya mendapat jatah 200 ribu seminggu, itu pun kadang lebih dari seminggu."Nanti saya pikirkan dulu, Bu," Mas Dani berucap sambil berdiri hendak beranjak keluar.Aku buru-buru ikut berdiri. Kulihat Bu Sumi juga terburu-buru berdiri."Oh, baiklah. Tapi, kontrakannya sisa 1 pintu, ya. Saya gak bisa pastikan besok masih ada. Soalnya banyak yang cari kontrakan," ujar Bu Sumi."Begitu, ya, Bu. Baiklah, nanti akan kami bicarakan dahulu. Semoga masih rezeki kami,” ucapku. “kalau begitu kami pamit dulu, Bu. Terima kasih. Assalamu’alaikum.”“Wa’alaikumussalam.” jawab Bu Sumi.Sepanjang perjalanan pulang, Mas Dani hanya diam. Aku pun tidak berani untuk membicarakan soal kontrakan tadi. Kalau dibicarakan sekarang, hanya akan memancing emosinya saja.Hampir magrib kami tiba di rumah. Mas Dani masuk begitu saja ke dalam rumah tanpa bicara sepatah kata pun. Aku hanya mampu menghela napas, melihat perilakunya.“Assalamu’alaikum,” Kuucapkan salam begitu kaki ini menapaki teras rumah.“Wa’alaikumussalam,” Terdengar suara Ibu dari arah dalam menjawab salamku.“Kalian sudah pulang, Mawar. Bagaimana, Ari, tidak rewel?” tanya Ibu.“Tidak, Bu. Ari tidur terus,” jawabku.“Ya sudah, tidurkan Ari di kamar! Kamu siap-siap sholat magrib!” titah Ibu.“Baik, Bu,” **********Selepas sholat magrib, kami makan malam bersama. Tadi Ibu memasak sayur asem, ayam goreng, tidak ketinggalan sambal terasi. Hm … air liurku langsung terbit di ujung bibir.“Bagaimana, War. Dapat kontrakannya?” tanya Bapak.“Belum, Pak,” jawabku.“Besok saya akan minta teman mencarikan, Pak. Barangkali ada yang kosong,” ucap Mas Dani.Bapak hanya mengangguk dan melanjutkan makan dalam diam. Masakan Ibu terasa enak di lidah, namun suasana makan yang sunyi kurasakan sulit untuk menelan. Aku tahu, pasti Bapak dan Ibu kecewa dengan sikap Mas Dani. Aku pun kecewa, namun ia masih suamiku yang harus kuhormati.**********Waktu sudah hampir tengah malam, tapi mataku belum mau terpejam. Aku ingin bicara mengenai kontrakan tadi pada Mas Dani, tapi tidak ada keberanian mulut ini untuk bicara. Aku ingin menanyakan, sebenarnya berapa sih gaji Mas Dani? Supaya aku tahu kira-kira kontrakan harga berapa yang sanggup kami bayar tiap bulannya.Kulihat Mas Dani belum tidur, jemarinya masih sibuk chat. Aku bangun, menyandarkan punggung ke tembok. Kuhela napas sekejap, mengumpulkan keberanian.“Mas, belum tidur?” tanyaku pelan. “Hm …,” gumam Mas Dani.“Mas, boleh aku tanya sesuatu?” tanyaku lagi.“Tanya apa?” Mata Mas Dani menatapku.“Maaf, ya kalau sekiranya pertanyaanku menyinggung,” ucapku. “Tidak ada maksudku untuk menyinggung atau tidak menghormati Mas.”“Iya … iya, mau tanya apa?” ujar Mas Dani.“Hm … sebenarnya jumlah gaji Mas berapa? Mas jangan salah paham, ya! Aku hanya ingin tahu seberapa besar kemampuan kita untuk membayar kontrakan per bulan,” Aku bertanya hati-hati.“Kamu! Hh … makin kesini, makin berani, ya!” ujar Mas Dani. “Seberapa pun gajiku, kamu gak perlu tahu! Tugasmu cuma urus Ari dan keperluanku!”“Iya, Mas. Aku paham tugasku sebagai istri, tapi aku juga punya hak untuk mengetahui gajimu, kan!?” ucapku. “Alah … nanti ujung-ujungnya kamu mau ngatur-ngatur gajiku. Bikin pusing aja!” ketus Mas Dani.“Ya sudah, terserah Mas saja. Aku serahin aja semua urusan kontrakan ini ke Mas!” Kubaringkan tubuh menghadap Ari.“Kamu ….” Masih kudengar suara Mas Dani menahan geram.Taksi online yang kutumpangi telah sampai di depan rumah. Aku segera turun sambil menggendong Ari. Kulihat di halaman tidak ada mobil mas Zaki. Hmm, tadi katanya lagi ada di rumah.Aku bergegas masuk ke dalam rumah. Kuucapkan salam, tapi keadaan rumah sepi. Tidak ada yang menjawab salam. Kulihat baby shop juga sepi, hanya ada dua orang pekerja. Nisa tidak terlihat keberadaannya.“Ibu! Bapak! Assalamu’alaikum!”Tidak ada yang menjawab. Ke mana perginya ibu dan bapak?Kuputuskan untuk bertanya pada pekerja di baby shop. Tapi saat aku baru saja membalikkan badan, tiba-tiba ponselku berdering. Ada panggilan masuk dari ibu.“Assalamu’alaikum, Bu. Ibu sama bapak di mana ? Kok rumah sepi sekali? Tadi katanya mas Zaki ada di rumah, kok sekarang gak ada, sih Bu?” Aku langsung memberondong ibu dengan pertanyaan.“Wa’alaikumussalam. Justru itu, Mawar. Tadi tiba-tiba mas Zaki mengeluh sakit kepala hebat. Ibu sampai tidak tega melihatnya. Sekarang kami ada di rumah sakit, mas Zaki masuk ICU karena
Waktu ini telah lama kunantikan. Dua minggu yang lalu, hakim pengadilan agama telah mengetuk palu putusan cerai antara aku dan Mas Dani.Hari ini adalah hari pembacaan ikrar talak di muka sidang. Dengan suara bergetar dan mengeluarkan air mata, Mas Dani mengucapkan ikrar talak.Sah, aku kini resmi menyandang status seorang janda. Ada rasa lega, namun tidak kupungkiri sedih pun menghampiri. Sebuah status yang tidak pernah aku bayangkan ketika dulu memutuskan menikah.Mungkin ini memang sudah suratan takdirku. Aku harus ikhlas, harus kuat, ada Ari yang membutuhkanku.Semua proses hari ini berjalan lancar. Aku ditemani Bapak berjalan menuju tempat parkir motor.“Mawar! Mawar!” Terdengar suara Mas Dani memanggilku.Kuhentikan langkah dan menoleh ke belakang. Mas Dani nampak berlari kecil menghampiriku.Begitu dia tiba di hadapanku, tiba-tiba saja bersimpuh dan memeluk kedua kakiku. Aku refleks menghentakkan kaki hingga terlepas dan mundur tiga langkah ke belakang.“Maafkan aku, Mawar. Aku
Kami semua hendak masuk ke dalam mobil. Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang memanggil namaku. Siapa yang memanggilku?Aku menoleh ke arah suara. Lho, Mbak Mira? Mau apa dia memanggilku?Mbak Mira menggendong Dio, tergesa berjalan ke arahku. Apakah dia akan memanas-manasiku lagi seperti dulu?Aku bersiap menghadapi kedatangan Mbak Mira. Setelah apa yang terjadi pada dirinya dan juga Mas Dani, bukan tidak mungkin kalau dia akan melampiaskan kemarahannya padaku.Mbak Mira semakin dekat, napasnya memburu. Matanya lekat memandangku.“Mbak Mawar … maafkan aku! Huhuhuhu ….” Mbak Mira bersimpuh di hadapanku. Dia menangis tersedu, air matanya mengalir deras.Aku tidak percaya dengan apa yang terjadi saat ini. Aku hanya diam, terkejut dengan apa yang dilakukan Mbak Mira.“Mbak, tolong aku!” Mbak Mira menengadahkan wajahnya.“Mbak Mawar, tolong beritahu dimana Mas Dani! Aku mohon, Mbak! Huhuhuu ….”Tangisannya semakin kencang dan menarik perhatian orang yang lalu lalang.“Mbak. tolong
Bu Puspa selesai dengan teleponnya. Kami pun bersiap untuk pergi belanja. Salon sudah mulai ramai dengan pelanggannya, yang semuanya adalah kaum perempuan, karena memang ini salon khusus muslimah.Aku membukakan pintu untuk Bu Puspa keluar. Begitu aku melangkah keluar, ternyata ….“Assalamu’alaikum,” Mas Zaki mengucap salam dan tersenyum padaku.“Oh … wa’alaikumussalam,” jawabku sedikit kaget.“Kamu tidak praktek?” Bu Puspa bertanya pada Mas Zaki.“Tadi aku minta gantikan sama temanku, Ma,” jawab Mas Zaki mengulum senyum.“Ooh. Ada apa ke sini? Ada hal penting yang ingin kamu bicarakan sama mama?”“Eng … hmm … gak ada, Ma. Cuma mau titip ini untuk Ari,” Mas Zaki memberikan sebuah tas kertas padaku.“Oh … apa ini, Mas?” tanyaku.“Mainan untuk Ari,” jawab Mas Zaki.“Tidak perlu repot-repot, Mas.”“Tidak repot, kok. Semoga Ari suka, ya.”“Terima kasih,” ucapku.“Ehem!” Bu Puspa berdehem.“Eh … eng, Mama apa sih? Pakai berdehem segala,” Mas Zaki seperti anak kecil yang merajuk.“Duuh, ana
Tepat pukul delapan pagi aku sampai di depan salon milik bu Puspa. Tampak sepi, sepertinya memang belum buka. Hmm, pantas saja, ternyata jam buka mulai dari pukul 10 pagi hingga delapan malam. Begitu yang tertulis di papan berwarna putih yang tergantung di pintu masuk.[Assalamu’alaikum, Bu. Saya sudah sampai di depan salon,] Kukirim pesan pada bu Puspa.Tiba-tiba pintu salon terbuka.“Mbak Mawar, ya?” tanya seorang gadis berparas ayu.“Oh. Iya, Mbak,” jawabku.“Silahkan masuk, Mbak! Ibu sudah menunggu,” Gadis itu membuka pintu lebar-lebar, mempersilahkanku untuk masuk.“Iya, Mbak. Terima kasih,” Aku masuk mengikuti gadis itu.Gadis itu menunjuk sebuah ruangan dari kaca, terlihat di dalamnya ada bu Puspa. Aku mengucapkan terima kasih dan segera menuju ruangan tersebut.Langkah ini belum sampai ke sana, namun bu Puspa sudah menyadari kehadiranku. Beliau melambaikan tangannya, memberi tanda supaya aku segera masuk. Aku tersenyum dan mengangguk tanda mengerti.“Assalamu’alaikum, Bu,” Kuu
Hari ini benar-benar melelahkan. Banyak sekali pesanan yang masuk. Aku anggap semua ini adalah hikmah di balik cobaan yang aku alami.Aku belum bicara dengan ibu dan bapak mengenai video viral mas Dani. Tapi tadi sempat bertemu ibu, sepertinya banyak yang ingin ibu tanyakan tapi tidak enak karena melihat aku sibuk bekerja.Pasti nanti saat makan malam akan banyak pertanyaan dari mereka. Aku hanya berharap hal ini tidak menambah kesedihan mereka.Kugendong Ari keluar kamar, menuju meja makan. Tampaknya ibu dan bapak sudah menunggu kami. Makanan pun sudah terhidang di meja.“Wah, makan apa nih, Bu? Mawar sudah lapar sekali,” tanyaku.“Sayur lodeh dan ikan goreng. Ayo cepat duduk dan makan!” jawab Ibu.“Hari ini bapak lihat kamu sibuk sekali, War. Banyak pesanan?” tanya Bapak.“Iya, Pak. Alhamdulillah, banyak sekali pesanan yang masuk. Itu belum dikerjakan semua. Besok akan dilanjutkan lagi,” jawabku.“Alhamdulillah! Bapak senang melihat usaha kamu lancar. Semoga berkah untuk kehidupan k