Bapak, Ibu, aku dan Mas Dani sudah duduk bersama di ruang tengah. Ari sudah kutidurkan di kamar.
"Bapak dan Ibu tadi mendengar semua perkataan kalian saat bertengkar," Bapak memulai pembicaraan.Aku hanya bisa menundukkan kepala sembari sekali-kali melihat ke arah Bapak. Mas Dani terlihat memainkan jemarinya, sepertinya ia gugup."Bapak sudah bicara dengan Ibu. Bapak memutuskan kalian sudah waktunya hidup mandiri!" ucap Bapak.Aku dan Mas Dani bersamaan memandang Bapak. Aku merasa senang dengan keputusan Bapak, supaya kami tidak menyusahkan kedua orang tuaku terus. Aku juga ingin melihat, sejauh mana kemampuan Mas Dani yang sombong dengan gajinya itu.Tapi, kulihat Mas Dani sepertinya kurang suka dengan keputusan Bapak. Wajahnya terlihat kaget, matanya membulat."Tapi, Pak. Kami mau tinggal dimana?" tanya Mas Dani."Itu urusan kamu, sebagai kepala rumah tangga!" ucap Bapak tegas."Iya, Pak. Tapi tidak bisa dalam waktu dekat ini. Kan, saya harus beli rumah dulu. Sementara ini uangnya belum ada kalau untuk beli rumah," ucap Mas Dani pelan. Mungkin saja dia bingung, uang tidak ada tapi harus hidup mandiri. Apalagi mendadak seperti ini."Iya, kan tidak perlu beli rumah. Kalian bisa mengontrak dulu. Dekat pabrik, tempat kamu kerja, kan banyak kontrakan petakan," ujar Bapak."Hah … masa saya disuruh tinggal di kontrakan petakan, Pak," Mas Dani berkata dengan gaya sombongnya.Huh, gak punya uang saja masih banyak gaya. Ini nih hal yang paling aku gak suka dari Mas Dani. Gayanya melebihi isi dompetnya."Lho, memangnya kenapa tinggal di kontrakan petakan? Teman-teman kerjamu banyak yang tinggal di sana, kan?" tanya Bapak."I– iya, banyak sih, Pak. Tapi saya gak level tinggal di kontrakan petakan, Pak," jawab Mas Dani terbata."Gak level?" tanya Bapak heran. Memangnya level kamu seperti apa? Kamu punya apa, yang menunjukkan level kamu di atas teman-temanmu itu?" cecar Bapak.Aduh, Mas Dani ini bikin malu diri sendiri saja. Aku sampai menatap tak percaya kearahnya."Hm … bukan begitu, Pak. Saya cuma tidak terbiasa tinggal di kontrakan, apalagi yang petakan," jawab Mas Dani.Bapak menarik napas panjang lalu menghembuskannya keras. Bapak memandang gusar ke arah Mas Dani."Sudahlah! Masalah tempat tinggal kamu rundingkan berdua Mawar. Sesuaikan dengan gaji kamu!" pungkas Bapak. "Yang penting, kalian secepatnya harus hidup mandiri!""Ibu selama ini tidak pernah merasa keberatan kalian tinggal bersama kami di sini," Ibu membuka suara. "Ibu selama ini juga tidak merasa memberatkan keuangan kalian. Kami masih mampu membeli makan sendiri," Ibu mulai terisak. "Ibu hanya ingin kalian bisa merasakan kehidupan mandiri. Bersama-sama membangun rumah tangga dari nol. Jangan banyak bertengkar! Kasihan Ari!" ucap Ibu sendu.Aku meneteskan air mata mendengar ucapan Ibu. Sedih sekali hatiku, Ibu sampai menangis karena tingkah suamiku yang sangat toxic. Mas Dani hanya diam menundukkan kepala, entah apa yang ada di pikirannya."Baiklah, Pak, Bu. Kami akan segera hidup mandiri. Soal tempat tinggal, nanti kami cari dulu," ucapku. "Kemungkinan besar kami cari kontrakan dekat pabrik, karena memang di sana yang sesuai dengan kemampuan kami.""Lho, War. Kok, kamu ambil keputusan sendiri," ucap Mas Dani."Semua omongan Bapak dan Ibu sudah benar, Mas. Kita memang harus mandiri dan kontrakan yang terjangkau dengan gajimu, ya cuma kontrakan petakan dekat pabrik," ujarku."Aku ingin kalau kita pindah dari sini, ya kita pindahnya ke rumah baru. Rumah kita sendiri," ucap Mas Dani."Rumah kita? Yang mana, Mas?" tanyaku heran."Ya … belum ada, sih," jawab Mas Dani pelan."Kalau belum ada, berarti kita harus ngontrak dulu, Mas!" ucapku gemas."Ya … sebelum ada rumah, kita di sini dulu. Atau barangkali Bapak mau belikan kita rumah," Mas Dani bicara tanpa rasa malu."Apa?" Aku dan Bapak bertanya kaget."Kamu yang benar aja, Mas! Bukan kewajiban Bapak membelikan kita rumah!" katakuemosi. "Kalau bicara jangan asal, Mas."Bapak hanya geleng-geleng kepala dan menghela napas keras."Ya, kan biasanya orang tua itu kasihan sama anaknya. Gak bisa membiarkan anaknya gak punya tempat tinggal," ucap Mas Dani tanpa malu."Mas, cukup! Kalau kamu bicara seperti itu, berarti seharusnya kewajiban orang tua kamu membelikan kita rumah!" ucapku lantang."Lho, kenapa orang tuaku? Kan, selama ini kita tinggal di sini. Lagipula pabrik juga berada di desa ini. Sedangkan orang tuaku jauh tempat tinggalnya," ucap Mas Dani seperti orang yang tak paham."Kamu itu jangan pura-pura tidak mengerti, Mas– " ucapku."Sudah … sudah … jangan ribut terus!" hentak Bapak kesal. "Dani … kamu ini bicara ngalor ngidul. Bapak sudah membuat keputusan, kamu malah makin ngawur bicaranya.""Sudah, Pak. Sabar … sabar," Ibu mengusap lembut bahu Bapak."Sudah, Mas! Jangan bicara lagi! Pokoknya kita harus ikut keputusan Bapak, secepatnya kita pindah dari sini!" Kutatap mata Mas Dani dalam."Hh … iya, iya!" kata Mas Dani."Ayo, ke kamar! Kita bicara di sana!" ujarku sambil menarik tangan Mas Dani. "Pak, Bu, kami ke kamar dulu, ya," pamitku."Iya, War," jawab Ibu. Bapak hanya mengangguk.**********"Mawar … kamu itu jangan selalu menurut, dong sama orang tua! Aku ini suami kamu, yang harus kamu patuhi!" ketus Mas Dani."Ya ampun, Mas. Kamu masih aja gak paham sih. Aku benar-benar heran," ucapku. "Kita ini memang harus mandiri, kan kamu sendiri yang bilang kalau gajimu ikut dimakan sama orang tuaku. Nah, kita buktikan benar gak, selama ini orang tuaku ikut makan gajimu!""Hh … ya paling nanti sisa gajiku banyak. Kan, kita cuma makan berdua!" ucap Mas Dani.Aku mencebik. "Kamu pikir kebutuhan kita cuma makan doang, Mas?! Banyak, Mas. Ada listrik, gas, popok Ari, iuran lingkungan, sabun, odol, dan masih banyak lagi," jelasku panjang lebar."Aah … asal kamu bisa hemat, pasti gajiku sisa banyak," kilah Mas Dani."Terserahlah, Mas. Kita lihat saja nanti," ucapku kesal."Awas saja kamu, kalau nanti gajiku sampai habis! Berarti kamu yang tidak bisa hemat!" ancam Mas Dani."Iya, Mas. Nanti kita buktikan, gajimu yang tidak cukup atau aku yang boros!" tantangku."Gak usah sok nantang, ya kamu! Gajiku pasti cukup! Makanya, aku cuma kasih kamu dua ratus ribu seminggu itu supaya kamu hemat!" ujar Mas Dani."Haduh, Mas. Kamu atur saja sendiri semua urusan rumah! Supaya kamu tahu gimana susahnya ngatur uang dua ratus ribu seminggu untuk semua keperluan!" ucapku geram."Terus kerja kamu di rumah, apa? Masa urusan rumah saja, harus aku juga yang atur!?" sentak Mas Dani. "Kamu jadi istri itu harus berguna, paham?!"Astaghfirullah, luruh juga air mataku mendengar perkataan Mas Dani. Air mata yang dari tadi kutahan sekuat tenaga. Kupukul dada pelan, berusaha mengurangi rasa sakit yang bersarang."Baiklah, Mas. Terserah kamu saja. Secepatnya, kamu cari kontrakan buat kita. Supaya kita segera pindah," kataku lirih."Iya, nanti kucari. Gak usah ngatur-ngatur terus, kamu!" ketus Mas Dani. "Kalau kamu begini terus, bosan aku lama-lama!""Bosan? Kamu bosan sama aku, Mas?"Taksi online yang kutumpangi telah sampai di depan rumah. Aku segera turun sambil menggendong Ari. Kulihat di halaman tidak ada mobil mas Zaki. Hmm, tadi katanya lagi ada di rumah.Aku bergegas masuk ke dalam rumah. Kuucapkan salam, tapi keadaan rumah sepi. Tidak ada yang menjawab salam. Kulihat baby shop juga sepi, hanya ada dua orang pekerja. Nisa tidak terlihat keberadaannya.“Ibu! Bapak! Assalamu’alaikum!”Tidak ada yang menjawab. Ke mana perginya ibu dan bapak?Kuputuskan untuk bertanya pada pekerja di baby shop. Tapi saat aku baru saja membalikkan badan, tiba-tiba ponselku berdering. Ada panggilan masuk dari ibu.“Assalamu’alaikum, Bu. Ibu sama bapak di mana ? Kok rumah sepi sekali? Tadi katanya mas Zaki ada di rumah, kok sekarang gak ada, sih Bu?” Aku langsung memberondong ibu dengan pertanyaan.“Wa’alaikumussalam. Justru itu, Mawar. Tadi tiba-tiba mas Zaki mengeluh sakit kepala hebat. Ibu sampai tidak tega melihatnya. Sekarang kami ada di rumah sakit, mas Zaki masuk ICU karena
Waktu ini telah lama kunantikan. Dua minggu yang lalu, hakim pengadilan agama telah mengetuk palu putusan cerai antara aku dan Mas Dani.Hari ini adalah hari pembacaan ikrar talak di muka sidang. Dengan suara bergetar dan mengeluarkan air mata, Mas Dani mengucapkan ikrar talak.Sah, aku kini resmi menyandang status seorang janda. Ada rasa lega, namun tidak kupungkiri sedih pun menghampiri. Sebuah status yang tidak pernah aku bayangkan ketika dulu memutuskan menikah.Mungkin ini memang sudah suratan takdirku. Aku harus ikhlas, harus kuat, ada Ari yang membutuhkanku.Semua proses hari ini berjalan lancar. Aku ditemani Bapak berjalan menuju tempat parkir motor.“Mawar! Mawar!” Terdengar suara Mas Dani memanggilku.Kuhentikan langkah dan menoleh ke belakang. Mas Dani nampak berlari kecil menghampiriku.Begitu dia tiba di hadapanku, tiba-tiba saja bersimpuh dan memeluk kedua kakiku. Aku refleks menghentakkan kaki hingga terlepas dan mundur tiga langkah ke belakang.“Maafkan aku, Mawar. Aku
Kami semua hendak masuk ke dalam mobil. Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang memanggil namaku. Siapa yang memanggilku?Aku menoleh ke arah suara. Lho, Mbak Mira? Mau apa dia memanggilku?Mbak Mira menggendong Dio, tergesa berjalan ke arahku. Apakah dia akan memanas-manasiku lagi seperti dulu?Aku bersiap menghadapi kedatangan Mbak Mira. Setelah apa yang terjadi pada dirinya dan juga Mas Dani, bukan tidak mungkin kalau dia akan melampiaskan kemarahannya padaku.Mbak Mira semakin dekat, napasnya memburu. Matanya lekat memandangku.“Mbak Mawar … maafkan aku! Huhuhuhu ….” Mbak Mira bersimpuh di hadapanku. Dia menangis tersedu, air matanya mengalir deras.Aku tidak percaya dengan apa yang terjadi saat ini. Aku hanya diam, terkejut dengan apa yang dilakukan Mbak Mira.“Mbak, tolong aku!” Mbak Mira menengadahkan wajahnya.“Mbak Mawar, tolong beritahu dimana Mas Dani! Aku mohon, Mbak! Huhuhuu ….”Tangisannya semakin kencang dan menarik perhatian orang yang lalu lalang.“Mbak. tolong
Bu Puspa selesai dengan teleponnya. Kami pun bersiap untuk pergi belanja. Salon sudah mulai ramai dengan pelanggannya, yang semuanya adalah kaum perempuan, karena memang ini salon khusus muslimah.Aku membukakan pintu untuk Bu Puspa keluar. Begitu aku melangkah keluar, ternyata ….“Assalamu’alaikum,” Mas Zaki mengucap salam dan tersenyum padaku.“Oh … wa’alaikumussalam,” jawabku sedikit kaget.“Kamu tidak praktek?” Bu Puspa bertanya pada Mas Zaki.“Tadi aku minta gantikan sama temanku, Ma,” jawab Mas Zaki mengulum senyum.“Ooh. Ada apa ke sini? Ada hal penting yang ingin kamu bicarakan sama mama?”“Eng … hmm … gak ada, Ma. Cuma mau titip ini untuk Ari,” Mas Zaki memberikan sebuah tas kertas padaku.“Oh … apa ini, Mas?” tanyaku.“Mainan untuk Ari,” jawab Mas Zaki.“Tidak perlu repot-repot, Mas.”“Tidak repot, kok. Semoga Ari suka, ya.”“Terima kasih,” ucapku.“Ehem!” Bu Puspa berdehem.“Eh … eng, Mama apa sih? Pakai berdehem segala,” Mas Zaki seperti anak kecil yang merajuk.“Duuh, ana
Tepat pukul delapan pagi aku sampai di depan salon milik bu Puspa. Tampak sepi, sepertinya memang belum buka. Hmm, pantas saja, ternyata jam buka mulai dari pukul 10 pagi hingga delapan malam. Begitu yang tertulis di papan berwarna putih yang tergantung di pintu masuk.[Assalamu’alaikum, Bu. Saya sudah sampai di depan salon,] Kukirim pesan pada bu Puspa.Tiba-tiba pintu salon terbuka.“Mbak Mawar, ya?” tanya seorang gadis berparas ayu.“Oh. Iya, Mbak,” jawabku.“Silahkan masuk, Mbak! Ibu sudah menunggu,” Gadis itu membuka pintu lebar-lebar, mempersilahkanku untuk masuk.“Iya, Mbak. Terima kasih,” Aku masuk mengikuti gadis itu.Gadis itu menunjuk sebuah ruangan dari kaca, terlihat di dalamnya ada bu Puspa. Aku mengucapkan terima kasih dan segera menuju ruangan tersebut.Langkah ini belum sampai ke sana, namun bu Puspa sudah menyadari kehadiranku. Beliau melambaikan tangannya, memberi tanda supaya aku segera masuk. Aku tersenyum dan mengangguk tanda mengerti.“Assalamu’alaikum, Bu,” Kuu
Hari ini benar-benar melelahkan. Banyak sekali pesanan yang masuk. Aku anggap semua ini adalah hikmah di balik cobaan yang aku alami.Aku belum bicara dengan ibu dan bapak mengenai video viral mas Dani. Tapi tadi sempat bertemu ibu, sepertinya banyak yang ingin ibu tanyakan tapi tidak enak karena melihat aku sibuk bekerja.Pasti nanti saat makan malam akan banyak pertanyaan dari mereka. Aku hanya berharap hal ini tidak menambah kesedihan mereka.Kugendong Ari keluar kamar, menuju meja makan. Tampaknya ibu dan bapak sudah menunggu kami. Makanan pun sudah terhidang di meja.“Wah, makan apa nih, Bu? Mawar sudah lapar sekali,” tanyaku.“Sayur lodeh dan ikan goreng. Ayo cepat duduk dan makan!” jawab Ibu.“Hari ini bapak lihat kamu sibuk sekali, War. Banyak pesanan?” tanya Bapak.“Iya, Pak. Alhamdulillah, banyak sekali pesanan yang masuk. Itu belum dikerjakan semua. Besok akan dilanjutkan lagi,” jawabku.“Alhamdulillah! Bapak senang melihat usaha kamu lancar. Semoga berkah untuk kehidupan k