Share

BAB 2

Bapak, Ibu, aku dan Mas Dani sudah duduk bersama di ruang tengah. Ari sudah kutidurkan di kamar.

"Bapak dan Ibu tadi mendengar semua perkataan kalian saat bertengkar," Bapak memulai pembicaraan.

Aku hanya bisa menundukkan kepala sembari sekali-kali melihat ke arah Bapak. Mas Dani terlihat memainkan jemarinya, sepertinya ia gugup.

"Bapak sudah bicara dengan Ibu. Bapak memutuskan kalian sudah waktunya hidup mandiri!" ucap Bapak.

Aku dan Mas Dani bersamaan memandang Bapak. Aku merasa senang dengan keputusan Bapak, supaya kami tidak menyusahkan kedua orang tuaku terus. Aku juga ingin melihat, sejauh mana kemampuan Mas Dani yang sombong dengan gajinya itu.

Tapi, kulihat Mas Dani sepertinya kurang suka dengan keputusan Bapak. Wajahnya terlihat kaget, matanya membulat.

"Tapi, Pak. Kami mau tinggal dimana?" tanya Mas Dani.

"Itu urusan kamu, sebagai kepala rumah tangga!" ucap Bapak tegas.

"Iya, Pak. Tapi tidak bisa dalam waktu dekat ini. Kan, saya harus beli rumah dulu. Sementara ini uangnya belum ada kalau untuk beli rumah," ucap Mas Dani pelan. Mungkin saja dia bingung, uang tidak ada tapi harus hidup mandiri. Apalagi mendadak seperti ini.

"Iya, kan tidak perlu beli rumah. Kalian bisa mengontrak dulu. Dekat pabrik, tempat kamu kerja, kan banyak kontrakan petakan," ujar Bapak.

"Hah … masa saya disuruh tinggal di kontrakan petakan, Pak," Mas Dani berkata dengan gaya sombongnya.

Huh, gak punya uang saja masih banyak gaya. Ini nih hal yang paling aku gak suka dari Mas Dani. Gayanya melebihi isi dompetnya.

"Lho, memangnya kenapa tinggal di kontrakan petakan? Teman-teman kerjamu banyak yang tinggal di sana, kan?" tanya Bapak.

"I– iya, banyak sih, Pak. Tapi saya gak level tinggal di kontrakan petakan, Pak," jawab Mas Dani terbata.

"Gak level?" tanya Bapak heran. Memangnya level kamu seperti apa? Kamu punya apa, yang menunjukkan level kamu di atas teman-temanmu itu?" cecar Bapak.

Aduh, Mas Dani ini bikin malu diri sendiri saja. Aku sampai menatap tak percaya ke

arahnya.

"Hm … bukan begitu, Pak. Saya cuma tidak terbiasa tinggal di kontrakan, apalagi yang petakan," jawab Mas Dani.

Bapak menarik napas panjang lalu menghembuskannya keras. Bapak memandang gusar ke arah Mas Dani.

"Sudahlah! Masalah tempat tinggal kamu rundingkan berdua Mawar. Sesuaikan dengan gaji kamu!" pungkas Bapak. "Yang penting, kalian secepatnya harus hidup mandiri!"

"Ibu selama ini tidak pernah merasa keberatan kalian tinggal bersama kami di sini," Ibu membuka suara. "Ibu selama ini juga tidak merasa memberatkan keuangan kalian. Kami masih mampu membeli makan sendiri," Ibu mulai terisak. "Ibu hanya ingin kalian bisa merasakan kehidupan mandiri. Bersama-sama membangun rumah tangga dari nol. Jangan banyak bertengkar! Kasihan Ari!" ucap Ibu sendu.

Aku meneteskan air mata mendengar ucapan Ibu. Sedih sekali hatiku, Ibu sampai menangis karena tingkah suamiku yang sangat toxic. Mas Dani hanya diam menundukkan kepala, entah apa yang ada di pikirannya.

"Baiklah, Pak, Bu. Kami akan segera hidup mandiri. Soal tempat tinggal, nanti kami cari dulu," ucapku. "Kemungkinan besar kami cari kontrakan dekat pabrik, karena memang di sana yang sesuai dengan kemampuan kami."

"Lho, War. Kok, kamu ambil keputusan sendiri," ucap Mas Dani.

"Semua omongan Bapak dan Ibu sudah benar, Mas. Kita memang harus mandiri dan kontrakan yang terjangkau dengan gajimu, ya cuma kontrakan petakan dekat pabrik," ujarku.

"Aku ingin kalau kita pindah dari sini, ya kita pindahnya ke rumah baru. Rumah kita sendiri," ucap Mas Dani.

"Rumah kita? Yang mana, Mas?" tanyaku heran.

"Ya … belum ada, sih," jawab Mas Dani pelan.

"Kalau belum ada, berarti kita harus ngontrak dulu, Mas!" ucapku gemas.

"Ya … sebelum ada rumah, kita di sini dulu. Atau barangkali Bapak mau belikan kita rumah," Mas Dani bicara tanpa rasa malu.

"Apa?" Aku dan Bapak bertanya kaget.

"Kamu yang benar aja, Mas! Bukan kewajiban Bapak membelikan kita rumah!" kataku

emosi. "Kalau bicara jangan asal, Mas."

Bapak hanya geleng-geleng kepala dan menghela napas keras.

"Ya, kan biasanya orang tua itu kasihan sama anaknya. Gak bisa membiarkan anaknya gak punya tempat tinggal," ucap Mas Dani tanpa malu.

"Mas, cukup! Kalau kamu bicara seperti itu, berarti seharusnya kewajiban orang tua kamu membelikan kita rumah!" ucapku lantang.

"Lho, kenapa orang tuaku? Kan, selama ini kita tinggal di sini. Lagipula pabrik juga berada di desa ini. Sedangkan orang tuaku jauh tempat tinggalnya," ucap Mas Dani seperti orang yang tak paham.

"Kamu itu jangan pura-pura tidak mengerti, Mas– " ucapku.

"Sudah … sudah … jangan ribut terus!" hentak Bapak kesal. "Dani … kamu ini bicara ngalor ngidul. Bapak sudah membuat keputusan, kamu malah makin ngawur bicaranya."

"Sudah, Pak. Sabar … sabar," Ibu mengusap lembut bahu Bapak.

"Sudah, Mas! Jangan bicara lagi! Pokoknya kita harus ikut keputusan Bapak, secepatnya kita pindah dari sini!" Kutatap mata Mas Dani dalam.

"Hh … iya, iya!" kata Mas Dani.

"Ayo, ke kamar! Kita bicara di sana!" ujarku sambil menarik tangan Mas Dani. "Pak, Bu, kami ke kamar dulu, ya," pamitku.

"Iya, War," jawab Ibu. Bapak hanya mengangguk.

**********

"Mawar … kamu itu jangan selalu menurut, dong sama orang tua! Aku ini suami kamu, yang harus kamu patuhi!" ketus Mas Dani.

"Ya ampun, Mas. Kamu masih aja gak paham sih. Aku benar-benar heran," ucapku. "Kita ini memang harus mandiri, kan kamu sendiri yang bilang kalau gajimu ikut dimakan sama orang tuaku. Nah, kita buktikan benar gak, selama ini orang tuaku ikut makan gajimu!"

"Hh … ya paling nanti sisa gajiku banyak. Kan, kita cuma makan berdua!" ucap Mas Dani.

Aku mencebik. "Kamu pikir kebutuhan kita cuma makan doang, Mas?! Banyak, Mas. Ada listrik, gas, popok Ari, iuran lingkungan, sabun, odol, dan masih banyak lagi," jelasku panjang lebar.

"Aah … asal kamu bisa hemat, pasti gajiku sisa banyak," kilah Mas Dani.

"Terserahlah, Mas. Kita lihat saja nanti," ucapku kesal.

"Awas saja kamu, kalau nanti gajiku sampai habis! Berarti kamu yang tidak bisa hemat!" ancam Mas Dani.

"Iya, Mas. Nanti kita buktikan, gajimu yang tidak cukup atau aku yang boros!" tantangku.

"Gak usah sok nantang, ya kamu! Gajiku pasti cukup! Makanya, aku cuma kasih kamu dua ratus ribu seminggu itu supaya kamu hemat!" ujar Mas Dani.

"Haduh, Mas. Kamu atur saja sendiri semua urusan rumah! Supaya kamu tahu gimana susahnya ngatur uang dua ratus ribu seminggu untuk semua keperluan!" ucapku geram.

"Terus kerja kamu di rumah, apa? Masa urusan rumah saja, harus aku juga yang atur!?" sentak Mas Dani. "Kamu jadi istri itu harus berguna, paham?!"

Astaghfirullah, luruh juga air mataku mendengar perkataan Mas Dani. Air mata yang dari tadi kutahan sekuat tenaga. Kupukul dada pelan, berusaha mengurangi rasa sakit yang bersarang.

"Baiklah, Mas. Terserah kamu saja. Secepatnya, kamu cari kontrakan buat kita. Supaya kita segera pindah," kataku lirih.

"Iya, nanti kucari. Gak usah ngatur-ngatur terus, kamu!" ketus Mas Dani. "Kalau kamu begini terus, bosan aku lama-lama!"

"Bosan? Kamu bosan sama aku, Mas?"

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Ronggur Milae
wanita nya bodoh
goodnovel comment avatar
es teh manis
udah bubar aja punya laki model gt mah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status