Aku harus bertanya pada siapa tentang pria aneh yang kini bergelar suamiku ini? Bahkan aku juga tidak tahu keluarga dan saudara-saudaranya.
Malam ini aku mengendap keluar kamar. Di ruang tengah ada sebuah lemari. Mungkin di sana aku bisa menemukan riwayat hidup suamiku, karena lemari di kamar hanya berisi baju. Lama aku mencari, hampir isi dari setengah lemari telah aku keluarkan, tetapi aku belum menemukan apa yang aku cari. Setelah rasa menyerah menghampiri dan aku pasrah tentang kehidupan ke depannya, tanganku menyentuh sesuatu di pinggir lemari yang sepertinya sengaja disembunyikan: WISUDA SARJANA.
Penasaran, aku membukanya. Ijazah siapa di lemari ini? Atau jangan-jangan ijazah mantan istrinya? Apa Mas Yitno itu duda?
Daripada penasaran, aku buka saja dalamnya. Betapa aku tercengang. Nama yang tertera di ijazah itu: Suyitno, Sarjana Pertanian.
Ulah apalagi yang disembunyikan? Dia haji, juga sarjana, juragan. Belum selesai aku cemberut, serasa dibohongi, tiba-tiba dari balik lemari dia mengagetkanku.
“Cari apa, Dik?” tanya Bang Yitno, mengagetkanku. Aku kelabakan dibuatnya, tapi aku harus terlihat tenang.
“Cari kebenaran, Bang.”
“Cari kebenaran kok di lemari? Memang begitu ya cara orang kota?”
Aku mendengkus kesal.
“Kenapa harus ditutupin sih, Bang?”
“Malu atuh kalau nggak ditutupin, Dik,” jawabnya cengengesan.
“Baaanggg,” gertakku.
“Kenapa lagi sih, Dik?”
“Abang itu haji juga sarjana. Kenapa tidak bilang?”
“Adik juga tidak tanya, kok. Abang tidak suka dilebih-lebihkan, Dik. Kadang orang tulus itu kita dapat saat dia mengetahui kita rendah tetapi dia masih mau membersamai. Kalau Abang bilang ke semua orang, ke teman-teman, kalau Abang sudah haji, sarjana pula, mereka mendekati Abang bisa karena hanya modus. Adik paham?”
Aku mengangguk. Di saat yang lain berlomba-lomba memamerkan keberhasilan dan pencapaiannya, justru suamiku punya cara pandang tersendiri. Ada kehangatan menjalar dalam jiwa. Ayah, lelaki yang engkau hadirkan penuh misteri, tetapi dia baik hati.
“Dik, Abang ke sawah dulu, ya. Adik berani?”
“Gini-gini aku atlet pencak silat, Bang. Beranilah. Tumben sekali Abang ke sawah?”
“Iya. Sayur di samping pohon pete kemarin siap dipanen.”
“Sayur? Berarti lahan sebelah kebun pete kemarin juga punya Abang?”
Dia mengangguk.
Aku tak habis pikir, bahwa ayahku yang seorang pensiunan TNI berpangkat tinggi pun tidak memiliki lahan seluas milik Bang Yitno.
“Bang, Abang kok bisa lahannya banyak begitu?”
“Mau tahu ceritanya, Dik? Pahit, Dek.”
“Kok pahit? Bukannya enak ya punya lahan banyak itu?”
“Iya. Perjuangannya pahit, tetapi hasilnya manis. Sedari kecil, Abang itu menggembala sapi. Kalau sudah besar, Abang jual. Untungnya buat beli tanah. Kan tanah tidak mengalami penyusutan. Nilainya justru bertambah setiap tahun. Tanah ditanami, lalu menghasilkan. Untung juga kan? Dan itu terjadi hingga Abang dewasa.”
Aku semakin kagum saja dengan Bang Yitno. Dewasanya ia berpikir sudah tertanam sedari kecil.
“Ya sudah, sarapan dulu yuk, Bang.”
Bang Yitno menurut. Kami duduk di depan televisi. Dia tidak punya meja makan. Terlalu formal katanya. Lebih santai di depan TV.
“Kok roti, Dek?”
“Iya. Kemarin Bang Sayur bawa ini, aku beli. Sekali-kali nyoba sarapannya orang kota, Bang.”
“Abang bisa pingsan di sawah, Dek, kalau hanya sarapan roti. Lagipula orang kota yang sarapan roti tidak melakukan pekerjaan berat, jadi mereka kuat.”
“Lah, memang Abang juga melakukan pekerjaan berat? Abang kan cuma lihat. Ada yang memanen sendiri.”
“Abang tetap bantu, Dek. Rasanya kasihan gitu lihat orang lain kerja keras sementara Abang cuma lihat.”
Kadang aku geleng kepala dengan pikirannya yang luar biasa unik itu, tetapi tetap bersisi positif.
Setelah kubuatkan nasi goreng, Bang Yitno lalu berangkat ke sawah. Aku menyapu teras depan yang kotor terbawa angin.
Tiba-tiba sebuah motor berhenti di depan rumah. Seorang perempuan paruh baya dan perempuan yang kutaksir seumuran denganku turun dari motornya.
“Ini istrinya Yitno?” tanyanya sinis.
Aku mengangguk dan tersenyum.
“Suami kamu itu penipu dan pembohong.”
Malam itu langit gelap gulita. Bulan tertutup mendung, menyisakan suasana mencekam di kampung kecil itu. Lampu di teras rumah Yitno menyala redup. Di sudut halaman, Rijal duduk bersandar di kursi kayu pendek, pentungan di tangan kanannya, senter menggantung di pinggangnya. Matanya awas menatap ke segala arah, sesekali menghela napas panjang mencoba menepis kantuk.Di dalam rumah, Sella terlelap dengan gelisah. Berkali-kali tubuhnya menggeliat dalam tidur, keringat dingin membasahi pelipis meski angin malam menembus celah genting. Yitno yang duduk di kursi dekat tempat tidurnya terjaga, matanya sembab, tetapi tetap awas. Pikirannya penuh dengan was-was.Tiba-tiba...Tok… tok… tok…Suara ketukan pelan terdengar dari arah pagar depan. Rijal segera berdiri, menggenggam erat pentungannya.“Siapa itu?!” teriak Rijal lantang.Sunyi. Tak ada jawaban.Rijal melangkah cepat mendekat ke pintu pagar. Ia menyorotkan senter, tapi tak ada siapa pun. Hanya jalan setapak kosong, dan semak-semak di sis
Hari-hari berikutnya, suara pagar besi yang diketok dan mesin molen semen yang berdengung terus terdengar dari rumah Yitno. Di balik tembok tinggi itu, Sella beristirahat dalam diam. Yitno sibuk mengawasi pekerjaan tukang, memastikan setiap sudut aman, setiap celah tertutup rapat. Rijal mulai rutin berjaga malam, duduk di bawah lampu temaram depan rumah dengan pentungan di samping termos kopinya.Namun di luar pagar itu, gelombang omongan miring makin menggulung besar. Dan Pak Kardi menjadi pemandunya.“Sekarang giliran siapa yang mau dibatasi aksesnya? RT? RW? Keluarganya sendiri?” ujar Pak Kardi suatu sore saat berkumpul di pos ronda bersama beberapa bapak-bapak lain.Pak Darto masih berusaha netral. “Dia cuma pengin istri dan rumahnya aman, Pak.”Pak Kardi langsung menyambar, suaranya meninggi. “Lha, semua orang juga pengin aman, Dar! Tapi kita ini hidup di kampung, bukan kompleks pejabat! Apa setiap orang mau pasang pagar kayak begitu juga?”Beberapa warga mulai mengangguk. Ada ya
Sella memegang perutnya erat-erat, rasa nyeri makin menajam. Nafasnya pendek-pendek, keringat dingin mulai merembes di pelipisnya. Dengan tangan yang gemetar, ia meraih ponsel yang tergeletak di atas meja ruang tamu.Jari-jarinya bergetar saat menekan nama Yitno di layar. Sekali dering. Dua kali.“Ya Allah, angkat dong Mas…” gumamnya lemah.Akhirnya terdengar suara berat yang familier. “Halo, Dik? Ada apa?”Suara itu jadi pemicu tangis kecil yang akhirnya pecah juga. “Mas… pulang sekarang… aku nggak kuat…”“Astaghfirullah. Kamu kenapa?”“Sakit, Mas… perutku kenceng banget. Aku takut…”“Ya Allah…” terdengar suara Yitno berbalik arah dari sawah. “Tahan sebentar, aku pulang sekarang! Jangan panik ya, aku segera sampai!”Yitno datang sekitar sepuluh menit kemudian. Nafasnya masih tersengal saat membuka pintu dan langsung memeluk istrinya yang terduduk lemah di lantai dekat kamar.“Kita ke dokter sekarang,” ucapnya tegas.Tak butuh waktu lama, mereka meluncur ke klinik ibu dan anak di kota
Sella berdiri diam di ambang lorong, memandangi punggung Budhe Inem yang semakin menjauh lalu menghilang di balik pintu. Suara pintu ditutup pelan oleh Darto menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar di tengah rumah yang hening itu. Lalu hening. Tak ada yang berbicara. Bahkan istri Darto hanya menunduk, seperti ingin segera lenyap dari ruangan itu. Sella menarik napas pelan, lalu berbalik menghadap Yitno yang masih duduk memijat pelipis. Matanya tampak lelah, namun keteguhan wajahnya tak berubah sedikit pun.“Mas…” Sella akhirnya membuka suara. Yitno menoleh, mengangguk kecil.“Iya?” Sella ragu sejenak sebelum akhirnya melangkah mendekat dan duduk di sisi suaminya.“Kamu… pernah nyesel nggak?” suaranya nyaris tak terdengar. “Mengadopsi mereka berdua… Yumna, Yusna. Apa kamu pernah ngerasa ini semua terlalu berat? Terlalu… bukan bagian dari hidup kita?”Yitno menatap wajah istrinya lama. Mata Sella tampak berkabut, seperti menyimpan luka yang sulit dikatakan dengan kata-kata. Ia tahu
Yusna langsung berbalik badan, berjalan ke arah lemari kecilnya dengan langkah riang. Ia membuka pintu lemari sambil bersenandung pelan, benar-benar yakin bahwa kedatangan orang tuanya malam-malam seperti ini hanya berarti satu hal bahwa dia akan dibawa pulang. Entah karena kangen, atau karena merasa bersalah telah meninggalkannya jauh dari rumah.Sella dan Yitno hanya saling pandang. Yitno menahan napas panjang, sementara Sella menggenggam ujung bajunya erat.“Yusna…” panggil Sella pelan.“Iya, Bu?” jawab gadis itu riang, sambil melipat handuk kecil ke dalam tas.“Kami ke sini karena kami dapat telepon dari orang yang mengaku pihak asrama,” lanjut Sella, suaranya mulai mantap. “Katanya kamu hilang. Kami panik. Kami takut terjadi apa-apa dengan kamu.”Yusna langsung menoleh, wajahnya bingung. “Hah? Hilang? Aku? Siapa yang bilang? Aku dari tadi cuma di kamar. Terus makan, terus mandi, ya udah gitu aja.”Yitno melangkah maju, suaranya lebih tegas. “Ada orang yang pura-pura jadi petugas
Sella langsung berdiri dari kursi goyang. Segelas susu hangat tumpah ke lantai, tapi ia tak peduli. “Halo? Apa maksud Anda? Yusna kenapa?!”Suara di seberang terdengar tergesa. “Kami tidak bisa menjelaskan lewat telepon. Tapi Yusna… dia tidak ada di kamarnya sejak sore. Kami sudah mencarinya di sekitar asrama, tapi tidak ditemukan. Kami butuh Bapak dan Ibu datang secepatnya. Ini serius, Bu.”Jantung Sella berdetak tak karuan. Wajahnya pucat. Ia menatap Yitno yang baru saja bangkit dari kasur.“Ada apa?” tanya Yitno cepat, melihat kegelisahan istrinya.“Yusna hilang… dari tadi sore,” jawab Sella nyaris tak terdengar.Yitno langsung mengambil ponsel dari tangan istrinya. “Halo? Ini ayahnya. Siapa Anda?”“Pak, saya pengurus shift malam. Kami sudah hubungi kepala asrama tapi belum ada kabar. Kami butuh bantuan Anda untuk melakukan pencarian lanjutan. Tapi kami butuh dana operasional, Pak. Untuk mobil, konsumsi, dan tenaga kerja.”Yitno mengerutkan dahi. “Dana operasional? Itu tanggung jaw