Share

6

Author: Anik Safitri
last update Last Updated: 2025-05-14 17:54:02

"Jangan dik. Mereka itu orang- orang ku,"

Aku tercengang menatap Bang Yitno. Menyisakan penuh tanda tanya.

"Iya. Itu semua orang yang kusuruh untuk memanen pete abang."

"Abang itu kan petani. Malas sekali memanen sendiri. Sayang uang nya kan. Lagipula pete laku berapa sih," gerutuku. Jiwa emak-emak dan perhitunganku meronta-ronta.

"Tidak apa-apa dik. Hitung-hitung sedekah. Ada anak istri mereka yang menunggu di rumah."

Aku semakin tidak habis pikir dengan jalan pikiran Bang Yitno. Mempekerjakan orang, tetapi justru dia bermalas-malasan enggan ke sawah. Dengan muka yang masih cemberut, aku mengikuti nya di belakang.

"Gan, truk nya sudah siap?"

"Paling dua jam lagi datang. Kalau ada sisa waktu istirahat dulu," kata Bang Yitno lembut.

Panggilan apa lagi ini. Kemarin ' H ', hari ini ' Gan '. Besok apa lag ?

"Bang, Gan itu apa? Ganten ? Memangnya suami saya ganteng begitu?" tanyaku pada pekerja itu.

"Agan neng. Juragan. Tidak sopan kalau saya langsung memanggil nama."

Juragan? Katanya petani sekarang pindah haluan menjadi juragan?

Bang Yitno pergi mengobrol dengan para pekerjanya. Aku yang kesal hanya jalan-jalan di kebun pete itu.  Tapi tunggu sebentar, kebun pete ini seperti tidak ada ujungnya.

"Bang, ini semua kebun pete abang?"

"Iya dik. Kenapa mau jalan-jalan?"

"Memangnya berapa luasnya bang?"

"Kecil dek. Hanya dua hektar,"

Dua hektar dibilang kecil? Lalu yang luas itu berapa? Aku geleng-geleng kepala dengan manusia antik ini. Entah bagaimana pemikiranya. Pantaslah dia memperkerjakan orang. Mau panen sendiri juga berat. Tapi berapa sih lakunya pete itu. Bukan kan pete itu bau?

"Ini mau dijual semua bang?" tanyaku lagi.

"Enggak dek."

"Kok dipanen semua?". Aku semakin kepo.

"Iya abang sisain sepuluh gerombol, buat makan dirumah sama dibagi pada warga kampung,"

"Pete?" Aku melongo menutup mulutku dengan tangan. Membayangkan aku disurih masak pete. Nyium baunya aja bisa muntah.

"Kamu belum pernah nyobain sambal pete buatan abang ya? Dijamin kamu langsung ketagihan dik." ujarnya lrnih keyakinan.

Sama sekali aku tidak tertarik. Karena dalam pikiranku pete itu tetaplah bau mau dimasak seperti apapun.

*

Tidak terasa hari sudah semakin sore, aku bergegas pulang karena juga truk pengangkut juga sudah berangkat. Tetapi di teras rumah ada seorang ibu paruh baya yang terlihat sedih sekali. Siapa dia ?

"Bu Sumi, maaf saya baru pulang. Mari masuk dulu,".

Aku yang tidak kenal hanya mengangguk dan tersenyum. Bu Sumi pun melakukan hal yang sama.

Tiba-tiba Bu Sumi mengeluarkan air matanya sesenggukan.

"Mas Yitno, sebenarnya saya malu kesini. Mas Yitno juga baru saja melangsungkan pernikahan. Tetapi saya tidak tau mau kemana. Saya mau meminjam uang, mas. Mau meminjam ke renternir, takut bunganya besar, lalu saya tidak bisa membayarnya. Anak saya sedang sakit, mas," ucapnya lemah.

Hmmm banyak di kota-kota dijumpai modus kejahatan seperti ini. Semoga saja Bang Yitno tidak lagsung percaya.

Tetapi dia justru merogoh sakunya mengeluarkan beberapa lembar uang untuk Bu Sumi. Itukan hasil penjualan pete? Kalau dipinjamkan ke Bu Sumi kita makan apa?

"Ya Allah mas terimakasih banyak sudah membantu saya. Semoga rezeki Mas Yitno lancar. Keluarga Mas Yitno dilindungi selalu oleh Tuhan. Nanti saya akan mencicilnya mas,"

"Tidak usah dipikir bu. Saya tidak menganggap ini hutang. Yang penting anak nya sembuh dulu,"

Aku semakin kaget dibuatnya. Dikira dihutangkan justru diberikanya. Lalu apakah dampak nya ke aku ?

"Mas, itukan hasil penjualan pete. Kenapa dikasih cuma-cuma kepada Bu Sumi?"

Aku menggerutu sesaat Bu Sumi telah pulang.

"Di sebagian harta kita ada hak orang lain dik. Dan kekayaan itu adalah apa yang kita amalkan apa yang kita sedekahkan. Itu baru namanya kekayaan,"

"Lalu nafkahku bagaimana bang?"

"Memangnya nafkah yang abang beri tempo hari sudah habis?"

Aku menggeleng. Iya sih aku belum pernah kekurangan hidup dengan Bang Yitno.

"Abang juga kenapa langsung percaya saja sih. Bisa saja Bu Sumi hanya menipu,"

"Dik, Bu Sumi bukan orang lain bagi abang. Dia yang merawat almarhum emak saat Abang di Jakarta,"

"Memangnya abang pernah hidup di Jakarta?"

Bang Yitno salah tingkah.

"Pe-pernah dik. Belajar bertani," jawabnya gugup.

Belajar bertani di Jakarta? Apa tidak salah?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUAMI YANG DIHINA KELUARGAKU   50

    Malam itu langit gelap gulita. Bulan tertutup mendung, menyisakan suasana mencekam di kampung kecil itu. Lampu di teras rumah Yitno menyala redup. Di sudut halaman, Rijal duduk bersandar di kursi kayu pendek, pentungan di tangan kanannya, senter menggantung di pinggangnya. Matanya awas menatap ke segala arah, sesekali menghela napas panjang mencoba menepis kantuk.Di dalam rumah, Sella terlelap dengan gelisah. Berkali-kali tubuhnya menggeliat dalam tidur, keringat dingin membasahi pelipis meski angin malam menembus celah genting. Yitno yang duduk di kursi dekat tempat tidurnya terjaga, matanya sembab, tetapi tetap awas. Pikirannya penuh dengan was-was.Tiba-tiba...Tok… tok… tok…Suara ketukan pelan terdengar dari arah pagar depan. Rijal segera berdiri, menggenggam erat pentungannya.“Siapa itu?!” teriak Rijal lantang.Sunyi. Tak ada jawaban.Rijal melangkah cepat mendekat ke pintu pagar. Ia menyorotkan senter, tapi tak ada siapa pun. Hanya jalan setapak kosong, dan semak-semak di sis

  • SUAMI YANG DIHINA KELUARGAKU   49

    Hari-hari berikutnya, suara pagar besi yang diketok dan mesin molen semen yang berdengung terus terdengar dari rumah Yitno. Di balik tembok tinggi itu, Sella beristirahat dalam diam. Yitno sibuk mengawasi pekerjaan tukang, memastikan setiap sudut aman, setiap celah tertutup rapat. Rijal mulai rutin berjaga malam, duduk di bawah lampu temaram depan rumah dengan pentungan di samping termos kopinya.Namun di luar pagar itu, gelombang omongan miring makin menggulung besar. Dan Pak Kardi menjadi pemandunya.“Sekarang giliran siapa yang mau dibatasi aksesnya? RT? RW? Keluarganya sendiri?” ujar Pak Kardi suatu sore saat berkumpul di pos ronda bersama beberapa bapak-bapak lain.Pak Darto masih berusaha netral. “Dia cuma pengin istri dan rumahnya aman, Pak.”Pak Kardi langsung menyambar, suaranya meninggi. “Lha, semua orang juga pengin aman, Dar! Tapi kita ini hidup di kampung, bukan kompleks pejabat! Apa setiap orang mau pasang pagar kayak begitu juga?”Beberapa warga mulai mengangguk. Ada ya

  • SUAMI YANG DIHINA KELUARGAKU   48

    Sella memegang perutnya erat-erat, rasa nyeri makin menajam. Nafasnya pendek-pendek, keringat dingin mulai merembes di pelipisnya. Dengan tangan yang gemetar, ia meraih ponsel yang tergeletak di atas meja ruang tamu.Jari-jarinya bergetar saat menekan nama Yitno di layar. Sekali dering. Dua kali.“Ya Allah, angkat dong Mas…” gumamnya lemah.Akhirnya terdengar suara berat yang familier. “Halo, Dik? Ada apa?”Suara itu jadi pemicu tangis kecil yang akhirnya pecah juga. “Mas… pulang sekarang… aku nggak kuat…”“Astaghfirullah. Kamu kenapa?”“Sakit, Mas… perutku kenceng banget. Aku takut…”“Ya Allah…” terdengar suara Yitno berbalik arah dari sawah. “Tahan sebentar, aku pulang sekarang! Jangan panik ya, aku segera sampai!”Yitno datang sekitar sepuluh menit kemudian. Nafasnya masih tersengal saat membuka pintu dan langsung memeluk istrinya yang terduduk lemah di lantai dekat kamar.“Kita ke dokter sekarang,” ucapnya tegas.Tak butuh waktu lama, mereka meluncur ke klinik ibu dan anak di kota

  • SUAMI YANG DIHINA KELUARGAKU   47

    Sella berdiri diam di ambang lorong, memandangi punggung Budhe Inem yang semakin menjauh lalu menghilang di balik pintu. Suara pintu ditutup pelan oleh Darto menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar di tengah rumah yang hening itu. Lalu hening. Tak ada yang berbicara. Bahkan istri Darto hanya menunduk, seperti ingin segera lenyap dari ruangan itu. Sella menarik napas pelan, lalu berbalik menghadap Yitno yang masih duduk memijat pelipis. Matanya tampak lelah, namun keteguhan wajahnya tak berubah sedikit pun.“Mas…” Sella akhirnya membuka suara. Yitno menoleh, mengangguk kecil.“Iya?” Sella ragu sejenak sebelum akhirnya melangkah mendekat dan duduk di sisi suaminya.“Kamu… pernah nyesel nggak?” suaranya nyaris tak terdengar. “Mengadopsi mereka berdua… Yumna, Yusna. Apa kamu pernah ngerasa ini semua terlalu berat? Terlalu… bukan bagian dari hidup kita?”Yitno menatap wajah istrinya lama. Mata Sella tampak berkabut, seperti menyimpan luka yang sulit dikatakan dengan kata-kata. Ia tahu

  • SUAMI YANG DIHINA KELUARGAKU   46

    Yusna langsung berbalik badan, berjalan ke arah lemari kecilnya dengan langkah riang. Ia membuka pintu lemari sambil bersenandung pelan, benar-benar yakin bahwa kedatangan orang tuanya malam-malam seperti ini hanya berarti satu hal bahwa dia akan dibawa pulang. Entah karena kangen, atau karena merasa bersalah telah meninggalkannya jauh dari rumah.Sella dan Yitno hanya saling pandang. Yitno menahan napas panjang, sementara Sella menggenggam ujung bajunya erat.“Yusna…” panggil Sella pelan.“Iya, Bu?” jawab gadis itu riang, sambil melipat handuk kecil ke dalam tas.“Kami ke sini karena kami dapat telepon dari orang yang mengaku pihak asrama,” lanjut Sella, suaranya mulai mantap. “Katanya kamu hilang. Kami panik. Kami takut terjadi apa-apa dengan kamu.”Yusna langsung menoleh, wajahnya bingung. “Hah? Hilang? Aku? Siapa yang bilang? Aku dari tadi cuma di kamar. Terus makan, terus mandi, ya udah gitu aja.”Yitno melangkah maju, suaranya lebih tegas. “Ada orang yang pura-pura jadi petugas

  • SUAMI YANG DIHINA KELUARGAKU   45

    Sella langsung berdiri dari kursi goyang. Segelas susu hangat tumpah ke lantai, tapi ia tak peduli. “Halo? Apa maksud Anda? Yusna kenapa?!”Suara di seberang terdengar tergesa. “Kami tidak bisa menjelaskan lewat telepon. Tapi Yusna… dia tidak ada di kamarnya sejak sore. Kami sudah mencarinya di sekitar asrama, tapi tidak ditemukan. Kami butuh Bapak dan Ibu datang secepatnya. Ini serius, Bu.”Jantung Sella berdetak tak karuan. Wajahnya pucat. Ia menatap Yitno yang baru saja bangkit dari kasur.“Ada apa?” tanya Yitno cepat, melihat kegelisahan istrinya.“Yusna hilang… dari tadi sore,” jawab Sella nyaris tak terdengar.Yitno langsung mengambil ponsel dari tangan istrinya. “Halo? Ini ayahnya. Siapa Anda?”“Pak, saya pengurus shift malam. Kami sudah hubungi kepala asrama tapi belum ada kabar. Kami butuh bantuan Anda untuk melakukan pencarian lanjutan. Tapi kami butuh dana operasional, Pak. Untuk mobil, konsumsi, dan tenaga kerja.”Yitno mengerutkan dahi. “Dana operasional? Itu tanggung jaw

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status